Rina: Fwahaha! Kangen nggak? Kangen nggak? Pasti nggak lah~

Rin: Apalagi ide bejad nan gak logis yang ada di pikiranmu itu BAKA!

Len: Awas kalau melakukan ini itu gak jelas lagi!

Rina: Ndak, ndak, peace! Damai~ gak ada sangkut pautnya dengan adegan-adegan begitu kok~ ini cuman ide yg tiba2 muncul waktu Rina jalan2 lihat judul dan satu kalimat di sinopsis novel, tapi tidak beli y tidak baca. XDDD

Len+Rin: Jadi, ini cuman ide gaje yg tiba2 muncul waktu kau sedang gaje begitu?

Rina: WOIIII! Menghina tuh! Aku hanya sedang jalan2! Oh, jadi minna, karena Rina gak baca ya gak beli, plot cerita masih merupakan milik Rina! Oke~ selamat baca… oh, ya, Disclaimer na adalah, Rina gak akan pernah punya Vocaloid. Meski dunia kiamat.


Normal POV


"KENAPAAAAAAAAAAAA!" teriak seorang gadis blonde dengan kerasnya di atas atap sekolah yang merupakan tempat bersembunyinya.

Gadis itu bernama Kagam- Kagaine Rin, seorang gadis yang bersekolah di SMA Vocaloid. Rambutnya berwarna blonde dan dipotong pendek. Di atas kepalanya terdapat pita besar berwarna putih yang dengan setia menemani hari-harinya. Meski postur tubuhnya lebih pendek -sedikit- dari gadis-gadis seangkatannya, wajahnya yang alami imut membuatnya menjadi 'nona' di sekolahnya. Kalau ada yang tanya siapa Yang Mulia Putri dari SMA Vocaloid, bisa dipastikan semua orang akan menjawab bahwa Rin-lah orangnya. Rin sendiri sudah mendapat pengakuan cinta dari hampir semua cowok di sekolahnya, disebabkan karena popularitasnya yang tersebar di seluruh angkatan. Hell, bahkan guru-guru selalu mengingat namanyam. Tapi, meski sudah ditembak oleh banyak cowok tampan, Rin selalu menolak mereka.

Pertanyaannya sekarang. Apa yang membuatnya berteriak di atap sekolah? Jawabannya mudah, tugas pelajaran Seni Musik.

Tidak, bukannya Rin tidak suka dengan pelajaran Seni Musik, bahkan sebaliknya, dia sangat menyukai pelajaran musik, terutama menyanyi. Rin merupakan bintangnya klub paduan suara di sekolahnya. Dan jika ada tugas dengan tema 'musik', pasti Rin yang akan segera menyelesaikannya.

Nah, kalau bukan pelajarannya, jadi apanya? Jawabannya mudah, pasangannya dalam tugas itu. Pasangannya sendiri, tidak lain dan tidak bukan adalah kakak tirinya yang paling dibencinya. Kakak tirinya itu bernama Kagamine Len. Dan hal itu sudah jadi pembicaraan di sekolahnya. Hal itu sendiri disebabkan karena ibu Rin yang merupakan Kagaine Lenka menikah lagi dengan ayah Len yang bernama Kagamine Rinto. Rin sendiri sebenarnya bermarga Kagamine, tapi Rin menolak mentah-mentah untuk mengganti namanya, dan memilih untuk memakai nama keluarganya yang lama, Kagaine.

"Kenapa aku harus dipasangkan dengan orang menyebalkan itu? Apa Tuhan sedang ingin bermain-main denganku dan membuatku menderita?" keluh Rin dengan air mata yang menetes perlahan dari pipinya.

Rin membenci kakak tirinya karena dia tidak pernah menyetujui pernikahan ibunya lagi dengan orang lain. Baginya, ayahnya yang sudah meninggal adalah ayah satu-satunya baginya.

"Untuk sekali ini… aku ingin membenci musik… Orang itu juga sepertinya tidak terlalu peduli dengan tugas dari pelajaran sampingan seperti ini…" gumam Rin dengan pelan sambil membiarkan tangisnya keluar.


Di sebuah taman yang tidak terlalu diketahui oleh orang lain, seorang cowok blonde yang rambutnya diikat dengan gaya ponytail rendah kecil, sedang tiduran dengan wajah yang kusut. Disekitarnya sudah banyak ranting-ranting kayu yang patah dan tidak berbentuk lagi. Tidak ada angin topan yang lewat, hanya dia yang sedang marah dan menghancurkan benda-benda sekelilingnya. Yang tidak tersentuh olehnya hanyalah kacamata yang terlipat rapi disebelahnya.

Nama cowok itu adalah Kagamine Len, cowok yang duduk di bangku SMA kelas 2 SMA Vocaloid. Dia merupakan figur yang sempurna untuk menggambarkan cowok peringkat pertama dengan prestasi akademis yang ada segudang dan juga merupakan seorang ketua OSIS yang sangat disegani. Rambutnya berwarna blonde pucat, dan memakai kacamata berbingkai tipis yang berkesan stylish. Meski memakai kacamata, Len juga terlihat sangat tampan tanpa memakainya, dan menyebabkan Len memiliki fans yang berasal dari penggemar cowok kacamata dan juga cewek biasa. Sudah ribuan kali dia dimintai untuk menjadi pacar, tapi semua dia tolak.

Nah, jadi, apa yang mampu membuat tuan yang sepertinya perfect kita ini, bad mood? Mudah saja, dia harus mengerjakan sebuah tugas sekolah bersama dengan adik tirinya. Sudah jadi rahasia umum bahwa kakak beradik tiri Kagamine tidak pernah akur. Selain karena Len dan Rin sendiri seperti kutub Utara dan kutub Selatan, dengan Rin yang menarik tapi tidak sepintar Len, dan Len yang pintar namun tidak terlalu menarik secara sosial. Meski begitu, masih banyak yang percaya dalam sekali lihat bahwa Rin dan Len adalah saudara jika mereka melihat mereka berdua bersamaan. Kalau tidak saudara kembar, ya… pacar. Benar sekali tuan-tuan dan nyonya-nyonya, Rin dan Len sangatlah mirip secara fisik, bagai pinang dibelah dua, bagai refleksi dari cermin yang berhadap-hadapan.

Sebenarnya apa yang menyebabkan mereka tidak akur? Mudah saja, karena Len sendiri juga tidak menyetujui pernikahan ayahnya lagi dengan ibu Rin, Kagaine Lenka. Bagi Len, dia hanya mengakui ibunya yang sudah bercerai dengan ayahnya sebagai ibu kandungnya.

Tugas yang membawanya dan adiknya dalam satu perahu adalah sebuah tugas Seni Musik. Setiap murid harus membuat sebuah lagu, singkat saja boleh, dan ditampilkan di depan kelas. Jika benar-benar bagus, akan ditampilkan dalam pementasan musiman yang diadakan oleh sekolah.

Len sendiri juga sangat pandai dalam menyusun musik. Menyusun musik, memainkan alat musik, dan menyanyi, sudah bukan hal yang tidak mungkin dia lakukan, bahkan sudah menjadi hobi Len. Len tahu adiknya juga bisa melakukannya sendiri, tapi dia tidak bisa menanggalkan image yang melekat padanya. Jadi, mau tak mau dia harus melakukannya, meski adiknya tidak melakukannya.

"Kenapa aku harus berpasangan dengan gadis itu?" gerutu Len sambil menutup matanya dan membiarkan dirinya tertidur. Dia membolos pelajaran dengan izin sakit, jadi selama apapun dia disana tidak masalah.

"Aku menyukai musik… tapi apa aku bisa menghadapi musik dan dia dalam saat yang bersamaan? Dan lagi… apa dia juga menyukai musik?" pikir Len dengan menutup matanya dan akhirnya terlelap.


Rin POV


Aku sedang tidak mood untuk melakukan apapun, dan yang kulakukan hanyalah bersembunyi dari mata siapapun. Tapi, aku ingin menyanyi… aku ingin mengerjakan tugas yang diberikan oleh Luka-sensei…

Tapi, sekilas, wajah dari kakak tiriku yang hanya berjarak beberapa jam itu terlihat, dan mengingatnya membuatku makin kusut. Tapi, mungkin kakakku itu tidak akan memikirkan untuk mengerjakan tugasnya, karena seni hanya pelajaran tambahan, mungkin lebih baik kulakukan saja.

Dengan sedikit malas, aku melangkahkan kakiku menuju ruang musik. Len tidak terlalu sering menggunakan ruangan ini, dengan pekerjaannya sebagai tuan sempurna yang patuh pada guru. Tapi, yang membuatku terkejut adalah keberadaan sosok yang tidak kusangka-sangka itu di ruang musik…

"Kagaine-san?" ujar suara itu dengan heran. Hanya satu orang di seluruh gedung sekolah ini yang memanggilku dengan nama keluarga lamaku.

"Nii-san?" ujarku dengan tidak kalah kagetnya. Dan kalian pasti tahu bahwa hanya ada satu orang yang kupanggil dengan nama itu.

Benar sekali, Sherlock, yang ada di dalam sana adalah Kagamine Len. Tangannya berada pada piano, sementara tangan yang lainnya menulis sesuatu di sebuah kertas. Kertas yang langsung kukenali hanya dengan sekali lihat pada belakangnya.

"Music notes?" ujarku dengan heran. Aku tak tahu bahwa tuan sempurna ini melakukan musik. Aku tahu dia kan tuan sempurna, pasti dia mengerti musik setidaknya dasar-dasarnya.

"Kenapa kau disini?" tanyanya tanpa mempedulikan pertanyaanku yang terisi keingintahuan 100%. Tapi, sebelum aku bisa menjawab, dia sudah berdiri dan meninggalkan ruangan dengan dinginnya. Huh, apa sih yang dilihat orang-orang pada tuan sok sempurna itu?

"Dasar bawel," gerutuku sambil mendekati piano yang baru saja disentuh oleh tuan sok sempurna itu. Dia meninggalkan lembaran musiknya di tempatnya. Aku melihatnya sekilas dan menangkap beberapa nada yang ditulis olehnya.

Yasashii uso o hito o suzuita

Mitsu o usoite kurushikunatte

Egao de irukoto wa nande nai ikedo

Kizuita toki o kanashikunatte

Shin do to shite wasurete

Gomakashite wa…

Mata hi wa okotte…

Orang itu… apa ini yang dia rasakan? Apa ini sama sepertiku?

Aku melihat judulnya, yang bertuliskan, "Voice of Reminiscence". Entah kenapa… aku jadi ingin menambahkan beberapa bagian dari lagu yang belum jadi ini. Aku memainkan not-not dari musik yang sudah ditulis dan menangkap nadanya. Spontan saja aku segera menyanyikan lanjutannya.

Hontou wa… aaah…

Tsutaetai koto bakaride…

Afurete… aah…

Gono gono ni natta shashin wa…

Shukufuku no tame ni seiban no iban…

Kioku ni nokoru… ano hi ni mita ga kimi ni…

'Sayounara' no… koe o…

Aku memainkan piano untuk bagian itu dan secara alami memainkan bagian selanjutnya yang tiba-tiba muncul di kepalaku.

Atarashii mono wa umarete iki…

Jouku na mono wa wasurerareteiku…

Kokoro mo kioku mo katachi wa nai kedo…

Konna ni mo itai kute kurushiku naru yo…

Onaji koto wa… futatsu naikara…

Ushinau… koto… osorete ita dake…

Aku menuliskannya namun segera berhenti karena terserang writer block secara tiba-tiba. Aku meninggalkan piano tempatku berkutik sejak tadi, dan pergi ke kelas. Aku melihat bahwa lorong masih sepi, berarti di antara aku terlambat untuk pelajaran yang baru, atau pelajaran sebelumnya masih berlangsung.

"Dia juga menyukai musik ya…" gumamku. Aku ingin tersenyum membayangkan bahwa dia memang menyukai musik… sepertiku.


Len POV


Aku menatap buku yang terbuka lebar di hadapanku dengan tatapan blank. Aku tidak pernah menyangka bahwa dia akan menuju ke ruang musik. Karena aku tidak pernah melihatnya bernyanyi atau memainkan alat musik. Aku memang mendengar dari omongan orang-orang bahwa dia memang bermain musik, tapi aku tak terlalu percaya karena aku tak pernah lihat.

Setelah aku melihatnya tadi, aku buru-buru meninggalkan ruang musik karena aku tidak suka berada satu ruang dengannya. Rasanya membuat dadaku sulit bernafas, dan rasanya sama sekali tidak enak. Aku tidak menyukainya karena dia merupakan anak dari orang itu, orang yang mengambil posisi ibuku di sisi Ayah.

Tiba-tiba aku teringat tentang music note yang berisi dengan lagu yang kutulis masih tertinggal di ruang musik. Dengan panik, segera aku menutup buku bank soal yang terbuka di hadapanku, lengkap dengan buku tulis dan alat tulis menulis lainnya, dan segera berlari menuju ruang musik lagi.

Aku membuka pintu ruang musik saat aku sudah sampai disana, dan ternyata sudah kosong. Aku menghela nafas lega karena aku tak tahu bagaiamana reaksiku jika aku melihat dia masih berada disana. Suasananya pasti akan menjadi tidak enak.

Dengan segera aku mendekati music note milikku yang tertinggal dan melihat bahwa ada tambahan di dalam sana. Dengan segera aku mengetahui tulisan disana sebagai tulisan dari dia, karena hanya dia yang memasuki ruang musik ini selama aku meninggalkan ruangan.

Karena penasaran, aku mencoba memainkan not-not yang dia tulis dan menggabungkannya dengan not milikku. Aku merasa sedikit terkejut bahwa not yang dia tulis benar-benar berkesinambungan dan dengan segera, aku membaca lirik yang dia tulis bersamaan dengan not lagu itu.

"Ini yang selama ini dia rasakan?" gumamku saat aku selesai membaca lirik yang dia tulis.

Aku merasakan aura kesepian yang tertoreh di sana. Tanpa aku sadari, ide untuk melanjutkan lagu ini mulai bermunculan dan aku segera menuliskannya untuk melanjutkan bagian lagu yang dia buat. Aku ingin dia mendengarkan apa yang kurasakan… entah kenapa.

Hontou wa… ahh…

Nakitai kurai yowakute…

Nagarete… ahh…

Gono gono ni natta ryou te wa…

Mata hitotsu koe wa… umare kiete iku…

Daremo ga nokosu… rekishi no to yuu ga tai wa

Inowasete… zutto…

Kimiga saine ga reita sumikiri boku ra no kimochi wo…

Suide kusama gamana story…

Kitto…

Kono koe wa kitto…

Sena o… sutae ni…

Aku kemudian memasukkan sebagian permainan piano untuk bagian yang memang kukosongkan lalu melihat bagian selanjutnya yang masih belum selesai. Apa setelah ini aku bisa memanggilnya dengan namanya sendiri?

Apa aku bisa… apa aku akan menerima… untuk mengucapkan namanya…

"Rin…" gumamku.

Aku tersenyum simpul. Kutub utara dan kutub selatan. Dua sisi bumi yang tidak mungkin bertemu. Bayangan di dalam cermin yang akan selalu dibatasi dengan cermin. Lubang yang tak akan pernah tertutup. Apa aku bisa menghapus semuanya dan memulai yang baru?

Tanpa sadar aku menutup mataku lagi dan segera melanjutkan lagu yang merupakan lagu kami berdua yang pertama.

Hontou wa… ahh…

Nokoshitai koto bakaride…

Koboshita…

Tashikani kimi ta kotoba wo…

Aku langsung berhenti. Apa yang ingin kukatakan? Lebih tepatnya… apa yang sedang kulakukan? Apa yang kulakukan disini? Apa yang kuharapkan? Kenapa aku bahkan melakukan ini hanya demi harapan palsu?

"Lebih baik aku pulang saja…" gumamku sambil berdiri dari kursi piano yang sedari tadi kududuki dan meninggalkan ruang musik. Aku tahu bahwa meninggalkan sekolah sebelum waktunya bukan hal yang baik, tapi sekali-sekali aku ingin mendinginkan kepalaku.

"Cih…" umpatku dalam hati. Aku mulai berharap terlalu banyak. Tidak mungkin kenyataan bergerak dengan mudahnya seperti yang kuharapkan.


Rin POV


Aku masih kepikiran tentang lagu yang ditulis oleh dia, jadi saat aku bisa, aku segera berlari menuju ke ruang musik. Aku bersyukur bahwa kertas berisi lagu itu masih ada, bahkan sudah mendapatkan perubahan.

Tanpa kusadari aku jadi tersenyum sendiri. Aku senang bisa melihat sisi lain dari orang itu. Lagu yang merupakan jembatan penghubung kami, yang kami bangun berdua. Aku senang bahwa kami sama-sama mencintai musik. Lagu ini menjadi landasan dari kepercayaanku.

Aku menggumamkan melodi lagu ini saat aku membaca dan melagukannya.

"Tashikani kimi ta kotoba wo…" aku berhenti dengan tidak begitu enak pada bagian itu.

Alisku berkernyit dan itu membuatku teringat akan sesuatu yang membatasi kami. Ada sebuah dinding yang tak akan roboh. Kita saling membenci satu sama lain. Hanya dengan satu lagu ini, tidak mungkin kami bisa berbaikan seperti di drama-drama opera yang terlalu dramatis itu.

Aku segera membawa buku itu dan berpikir untuk pulang lebih awal. Aku ingin mendinginkan kepalaku sejenak. Kamarku akan sangat membantu dalam hal itu…

Aku melihat ke arah buku yang kini ada di dekapanku, dengan lirih aku membaca sampulnya, "Kagamine… Len…" gumamku.

Aku merasa dadaku sesak…


Normal POV


(Time Skiiiiiiiiiiiiiiiiiiiip~)

Baik Rin maupun Len melewatkan waktu mereka di kamar masing-masing dalam diam. Orang tua mereka sedang tidak ada di rumah dan pergi entah kemana. Tak ada yang menginjakkan kaki keluar dan yang berputar di dalam kepala mereka adalah melodi lagu yang belum selesai, yang terus terulang diulang-ulang.

Rin membaca not musik yang di tulis oleh Len dan dirinya selama berulang-ulang. Rin ingin menyelesaikan lagu itu, tapi dia tidak tahu apakah Len berpikiran sama dengannya. Jika sebuah lagu tidak diselesaikan… bagi Rin akan menjadi terasa sangat janggal.

Tapi… membayangkan harus bekerja sama dengan Len, Rin merasa ingin muntah. Kebencian yang sudah mendarah daging seperti ini sulit untuk Rin hapus begitu saja. Tapi, hanya memikirkan bahwa dia harus mundur setelah dia dan Len menulis sebanyak ini… dadanya terasa sesak.

Rin bingung, apakah dia ingin membenci kakak tirinya itu lagi mulai sekarang atau justru… mencoba untuk memahaminya lebih dalam?

"Papa… kumohon beri aku petunjuk…" gumam Rin sambil menekuk kakinya ke atas dan meletakkan dahinya di atas lutut sementara tangannya memeluk kakinya. Rin meletakkan tangannya di dadanya sebentar… rasanya sulit bernafas…

Dia merasa sangat sakit… tapi bukan karena kebencian yang dirasakannya namun… akan langkah yang mungkin akan dia ambil sesudah ini. Dia tidak boleh berpaku pada masa lalu, Len tidak pernah salah akan apa yang terjadi pada keluarganya.

"Dia tidak pernah melukaiku… tapi kenapa aku membencinya?" gumam Rin sambil memeluk lututnya rapat-rapat. Rasanya dingin… sesuatu tidak ada disana…

'Aku sudah tak tahu lagi…' pikir Rin saat air mata tiba-tiba mengalir dari pelupuk matanya hampir tanpa sebab yang jelas baginya.

'Seseorang… seseorang tolong aku… disini dingin… dingin sekali…' gumam Rin lagi sambil memeluk kakinya erat-erat. Tubuhnya yang kecil bergetar karena ketakutan dan kedinginan.


Len sendiri membuka banyak sekali buku pelajaran di tempat tidurnya, namun tidak satupun yang dia kerjakan. Pikirannya tidak bisa fokus untuk belajar, yang bisa dia pikirkan adalah buku musik yang kini dibawa oleh Rin. Di dalam pikirannya, terulang melodi-melodi indah yang seakan memintanya untuk menyelesaikannya.

"Tidak. Aku tak perlu menyelesaikannya. Sejak awal, menulis lagu itu merupakan kesalahan…" gumam Len yang ingin menghalau pikirannya untuk menulis lagu itu lagi. Dia tidak ingin kebetulan membawanya lagi dalam suasana seperti itu dengan adik tirinya.

'Aku tak ingin bertemu dengannya di ruang itu lagi…' pikir Len sambil berusaha mengalihkan pikirannya untuk mengerjakan soal-soal ujian yang terpampang di hadapannya. Tapi, tak ada satu pun yang masuk kedalam kepalanya. Pikirannya selalu terbang menuju not-not lagu yang telah ditulisnya.

'Aku ingin menyelesaikannya… tapi aku tidak ingin menyelesaikannya… apa yang harus kulakukan dengan hatiku yang tidak bisa memilih ini? Apa yang membuatku menjadi bimbang? Apa yang telah lagu itu lakukan padaku?' pikir Len dengan menekan dadanya dengan tangan.


Len POV


Saat aku menyadarinya, hari sudah beranjak pagi. Aku melihat jam weker dan melihat bahwa ini sudah cukup pagi bagiku untuk bangun. Meski malas, aku menggerakkan tubuhku yang terasa sangat kaku karena aku tidak terlalu bisa tidur. Hatiku terasa sangat bimbang… aku tidak tahu apa yang harus kulakukan…

Dengan malas-malasan aku berjalan menuju kamar mandi. Setelah itu aku segera memakai seragamku yang terlipat rapi. Aku melihat ke cermin dan merasakan bahwa aku benar-benar mirip dengannya… dengan Rin… sama seperti bayangan cerminku sendiri. Andai aku menguraikan rambutku dan berdiri di hadapannya, pasti tidak ada yang bisa mengerti perbedaannya.

"Len~" aku menjadi membayangkan yang tidak-tidak. Tidak mungkin dia akan memanggilku dengan bersemangat dan penuh makna seperti itu. Tidak mungkin aku melihatnya tertawa kecuali saat dia bersama dengan teman-temannya.

Aku mengikat rambutku, tapi saat aku melihat ke arah cermin. Semburat merah tampak dengan sangat nyata di wajahku. Aku jadi membayangkan suaranya memanggil namaku berkali-kali dengan berbagai nada saat aku melihat wajahku itu.

"Ahh… Leen…" tiba-tiba muncullah suara yang sama sekali tidak kuundang. Aku tidak ingin mendengar suara semacam itu… atau mungkin tidak. Argh! Kenapa aku memikirkan tentang gadis itu lagi! Dia itu hanyalah adik tiriku. Tidak lebih.

Berusaha untuk menghapuskan pikiran anehku ini ke ujung dunia sana, aku membuka pintu kamarku, hendak mengambil sarapan lalu berangkat ke sekolah. Tapi, saat aku membuka pintu, aku melihat sosok yang sedang tidak ingin kutemui sekarang, sedang lewat di hadapanku.

Spontan aku dan dia membeku di tempat kami. Aku melihat rambutnya yang masih basah, karena terdapat beberapa tetes air yang jatuh dari helaian rambutnya, lalu turun ke lehernya dan masuk ke dalam bajunya. Di kepala Rin terdapat handuk yang dia khususkan untuk rambutnya saja. Dia memakai kaos yang sangat longgar sehingga terlihat kebesaran dipakainya. Selain itu, dia juga memakai celana pendek yang sangat pendek, aku bahkan masih bisa melihat kakinya yang jenjang di balik pakaian yang dia pakai. Kulit yang putih, mulus, merekah, dan juga terlihat sangat ramping dan pas untuknya.

Entah kenapa aku ingin berbicara dengannya sekarang ini… bahkan sebelum aku mengirimkan perintah, mulutku bergerak sendiri untuk memanggilnya.

"Rin?" "Len?" aku mendengar dua suara yang berbeda dan menyebutkan nama yang berbeda pula.

Aku melihat ke arahnya lagi, dan dia melihatku kembali. Kami hanya saling pandang cukup lama-tapi-yang-jelas-aku-tidak-tahu berapa lama. Yang tersalurkan pada telingaku adalah nafasku yang terasa tercekat, dan suara jantungku yang berdebar tidak menentu.

"A-aku harus bersiap untuk sekolah…" ujarnya yang segera membuka pintu kamarnya yang ada di seberang kamarku, lalu menutup pintunya. Aku bahkan mendengar suara kunci yang beradu dengan knop. Pintu yang ada di hadapanku kini sudah terkunci.

"Kenapa?"

Kenapa perasaanku terasa kacau begini?


Rin POV


Aku terduduk di hadapan pintu yang berada di belakangku. Aku tak bisa membayangkan kebetulan yang terjadi barusan saja. Semalaman, aku berusaha untuk melupakan tentang pemikiranku sendiri. Tapi, aku tidak bisa menghapuskan bayangan dari orang itu… bayangan Len… dari dalam kepalaku. Dadaku terasa sangat sesak seperti terikat dengan tali tambang, saat aku mengetahui bahwa kami saling membenci. Aku benci perasaan ini…

Aku merasa ragu, gugup, khawatir, senang, takut, bahagia, dan banyak emosi lainnya yang tercampur aduk. Hanya dengan melihat wajahnya yang ada di hadapanku, cukup untuk membuatku kehilangan kata-kata.

"Kenapa… hatiku menjadi gugup dan berdebar saat aku dekat dengannya?" gumamku sambil memeluk diriku sendiri. Aneh, rasa segar yang kurasakan tadi menghilang dan sekarang berganti dengan rasa dingin yang menusuk tulang…

"Lebih baik aku berangkat sekolah sekarang…" gumamku sambil memaksa kakiku untuk berjalan menuju lemari yang menyimpan seragam sekolah yang kupakai.

Saat aku selesai, aku melihat cermin. Yang terbayang saat aku melihat cermin itu adalah wajah Len. Aku buru-buru menghapusnya dengan sekuat tenaga dan saat aku melihat wajahku sendiri…

Wajahku memerah… sama seperti rona wajah teman-temanku yang sedang jatuh cinta pada seseorang…

"Itu… tidak mungkin, kan?" gumamku dengan ketakutan.

Tidak mungkin aku jatuh cinta pada kakak tiriku sendiri. Itu jelas… tidak mungkin. Karena aku membenci Len… benci… tapi aku tidak benci…

"Lama-lama pikiranku bisa menjadi gila hanya dengan ini!" teriakku dengan menutup cermin yang kulihat. Aku segera mengambil tas sekolahku dan berlari keluar menuju sekolah.


Saat aku sampai sekolah, banyak yang menyapaku seperti biasanya. Aku menolehkan kepalaku untuk menjawab sapaan mereka. Tapi, aku tanpa sadar mencari keberadaan dari kakak tiriku itu.

Ah, tidak, tidak. Ini semua hanyalah kesalah pahaman dan aku tidak usah memikirkannya terlalu dalam. Aku hanya perlu bersikap seperti biasa dalam menghadapinya…

Jadi kau bermaksud untuk membencinya lagi?

Tidak! Bukan begitu! A-aku tidak berniat…

Jadi kau menyukainya?

Tidak! Aku tidak menyukainya! Aku… a-aku…

Kau mencintainya… kau jatuh cinta padanya… bukankah begitu?

TIDAK!

Dengan segera aku menghapus pikiran yang kini bahkan berbicara denganku. Kenapa aku tidak bisa membantah ucapan dari pikiranku sendiri? Aku tidak menyukai orang itu… tapi aku juga tidak membencinya… kalau begitu yang mana? Apakah ini 'Suka' ataukah 'Benci'?

Saat aku sadar dari kereta lamunan yang seakan tidak bisa berakhir itu, aku berdiri di depan pintu ruang musik. Aku hanya berdiri mematung disana, tanpa ada niatan untuk membuka pintu dari ruang musik. Aku punya perasaan bahwa orang itu ada di balik pintu ini… dan aku ingin menemuinya… sekaligus tidak ingin bertemu…

Aku menarik nafas dalam-dalam. Jika aku tidak melakukannya sekarang, maka aku tidak akan bisa membuka pintu ini lagi. Kubuka pintu geser di hadapanku dengan sumbangsih tenaga yang besar, sehingga menghasilkan suara yang cukup keras.

Dan benar sekali… di ruang musik… terdapat orang itu…

"Kagaine…-san?" ujarnya lagi dengan suara yang heran. Tangannya yang berada di atas tuts-tuts piano berhenti menari saat aku membuka pintu. Sepertinya dia terkejut akan kehadiranku yang cukup tiba-tiba ini.

Aku menutup pintu ruang musik dan menguncinya. Aku tidak mau perasaan yang menghantuiku, menghantui lebih lama dari ini. Aku harus menyelesaikan konflik yang terjadi di antara kami secepat mungkin. Sehingga aku bisa menentukan apakah aku membencinya atau akan menerimanya.

Orang itu… Len… tidak bergerak untuk melarikan diri, namun sebaliknya menatapku dengan tatapan matanya yang tajam dan lurus. Aku tahu mata itu… karena itu juga merupakan mata yang kumiliki sekarang ini. Mata yang ingin tahu apa yang sedang hati kami rencanakan.

"Kau… suka musik?" tanyaku dengan hati-hati. Aku tidak ingin menghancurkan apa yang sedang terjadi sekarang ini. Dunia yang sangat kecil, dibandingkan dengan dunia yang sangat luas ini.

Dia hanya mengangguk pelan. Dia melihat ke arah piano yang ada di hadapannya sebentar, lalu melihatku kembali. Aku hanya bisa diam dipandangi seperti itu. Lalu dia berkata, "Kau… juga?" tanyanya dengan pelan.

"Mmm…" aku mengangguk saat aku mengatakan itu. Kami berdua sekarang tahu bahwa kami sama-sama menyukai musik. Aku menundukkan kepalaku seraya berpikir… tentang Musik itu sendiri, satu-satunya tali yang mengikat kami berdua.

Saat aku menyadari apa yang hatiku katakan, aku segera mendongakkan kepalaku dan melihat ke arah Len dengan tatapan sedikit tidak percaya. Aku tidak ingin mempercayai perkataan hatiku sendiri, namun entah kenapa aku juga mempercayainya. Aku ingin menghapus ikatan kebencian di antara kami… karena dia tidak melakukan apapun… semua ini bukanlah salahnya. Aku tidak mungkin membencinya tanpa alasan seperti ini.

Tapi… apa mungkin itu benar… bahwa aku menyukainya?

Aku masih belum mengerti apa itu adalah yang sebenarnya kuinginkan. Tapi, yang kutahu sekarang, aku ingin menyanyi meninggalkan rasa benci… sudah saatnya aku mengatakan Sayonara pada diriku yang dulu…

Saat itulah Len selesai menyanyikan bait yang dia nyanyikan, bait yang belum dia selesaikan dari lagu yang kami tulis bersama dan kini kami nyanyikan bersama. Aku segera menyanyikan kata-kata selamat tinggal kepada diriku yang dulu.

"Sayonara…"


Len POV


Dia… kini memandangiku dengan tatapan tidak percaya. Aku tak tahu apa yang sedang ada di pikirannya, saat dia berjalan untuk duduk di salah satu bangku di ruang musik. Selama dia melangkahkan kakinya, aku tidak bisa berhenti memperhatikan gerak tubuhnya.

Gerakan kakinya yang ringan, lalu rambutnya yang bergerak ke atas dan ke bawah mengikuti irama kakinya yang bergerak. Namun, tubuhnya yang ramping itu terlihat lemah, dan meminta seseorang untuk melindunginya.

Dia duduk dengan perlahan sambil tetap memandangiku. Aku melihat ke arah piano yang tidak kusentuh sejak dia memasuki ruangan ini. Yang terpikirkan di kepalaku adalah memainkan lagu yang belum jadi itu. Jadi, dituntun dengan instingku sendiri, aku mulai menekan tuts-tuts piano, melantunkan melodi yang ku- tidak, kami tulis.

Aku segera menyanyikan frase pertama dari lagu yang kutulis. Lalu aku teringat akan melodi frase kedua yang dia tulis, dan spontan aku menyanyikannya… tepat saat dia juga menyanyikannya.

"Hontou wa… aah…" aku menyadari suaranya tepat saat kami memasuki bait kedua. Aku meliriknya dari ujung mataku. Dia menutup matanya seraya menyanyi mengikutiku.

Aku baru menyadari, bahwa suaranya sangatlah indah… bagaikan burung gereja yang berkicau dengan lembut. Suaranya membuat hati orang yang mendengarnya menjadi hangat. Nada suaranya juga sangat pas dengan not-not yang tinggi maupun yang rendah. Namun yang paling penting… aku merasa suaranya sangatlah menyatu dengan suaraku.

Aku mendengarkan suaranya… suara Rin… yang menyatu dengan melodi yang kumainkan. Di dunia yang luas ini… ruang musik adalah dunia milik kami berdua. Suara Rin menggema di dalam telingaku seperti permohonan, serta curahan hatinya tentang apa yang selama ini dia rasakan.

Saat dia memasuki bait keempat, aku menyanyi bersama dengan Rin. Aku tahu sekarang ini… bahwa aku tidak ingin membencinya… sudah saatnya kami berdua menghapus ikatan kebencian di antara kami dan memulai lembaran baru bersama. Apa yang terjadi padaku… dan padanya… bukanlah salah siapapun. Aku tidak mungkin membenci seseorang tanpa alasan seperti ini…

Sudah saatnya aku mengucapkan selamat tinggal kepada diriku yang penuh kebencian tanpa alasan seperti ini. Sudah saatnya aku mengatakannya… mengatakan Sayonara pada diriku yang dulu yang penuh dengan kebencian.

"Sayonara…" aku mengatakannya tepat saat aku menyelesaikan bait yang belum selesai kutulis. Tapi, aku mendengar suara lain yang menyanyikan lagu ini bersamaan dengan suaraku.

Aku menghentikan pianoku tepat saat bagian itu selesai. Aku melihat ke arah Rin dengan mata yang terbuka lebar karena kaget. Dia juga melihatku dengan pandangan yang sama pula. Aku baru menyadari bahwa Rin kini sudah berdiri di sampingku dengan tangan yang berada di dadanya.

Aku dan Rin saling pandang selama beberapa saat… hingga dia berkata, "Maaf!" sambil membungkuk dalam-dalam.

Oke… maaf?

"Kenapa memangnya? Kalau ada yang harus meminta maaf, seharusnya akulah yang meminta maaf…" tanyaku dengan sedikit- tidak, sangat heran. Rin tidak pernah melakukan hal yang buruk, seharusnya akulah yang meminta maaf karena telah membencinya.

Rin berdiri dengan benar lagi, lalu segera berkata, "Ti-tidak! Aku yang salah! Selama ini aku tidak pernah menerimamu di keluargaku sebagai saudara tiriku, ja-jadi aku selalu membencimu dan jaga jarak jauh-jauh jadi… aku ingin minta maaf," ujar Rin tanpa titik di perkataannya. Wajah Rin terlihat panik namun… manis.

Aku merasa wajahku menjadi memerah saat aku melihat wajah Rin. Aku buru-buru berusaha menghapusnya dan segera menjawab, "Aku juga salah… aku juga tidak menerimamu sehingga aku terus menjauhimu dengan pura-pura sibuk. Jadi… aku juga harus meminta maaf," ujarku dengan melihat ke arah lain. Aku tidak ingin melihat Rin dengan kondisi diriku yang aneh begini.

"…" entah kenapa terjadi keheningan di antara kami. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan di saat-saat begini. Aku tidak bisa tiba-tiba langsung terlihat seperti kakaknya dalam 5 detik seperti ini. Hubungan kami tidak terlalu dekat pula…

"Mungkin kita… bisa melanjutkan lagunya…" ujar Rin tiba-tiba sambil meletakkan buku yang menjadi tempat aku menulis lagu Voice of Reminiscence. Ternyata benar dia yang menyimpannya…

Aku melihat ke arah buku itu lalu ke arah Rin. Aku segera menjawab, "Duduklah…" ujarku sambil menepuk bagian yang tersisa dari tempat duduk yang kududuki. Aku kini menginginkan untuk menyelesaikan lagu ini bersama dengan Rin sekarang…

(Time Skip)

"Sudah jadi!" Rin berkata dengan penuh semangat saat aku selesai memainkan ulang permainan piano untuk lagu ini.

"Benar-benar sudah jadi ya…" gumamku dengan melihat ke arah buku yang terbuka lebar di hadapanku. Disana ada sebagian tulisanku dan juga tulisan dari Rin. Not musik yang kupikirkan dan not musik yang Rin pikirkan.

Aku melirik ke arah Rin yang tersenyum dengan senang. Aku baru menyadari bahwa senyumnya sangatlah cerah seperti matahari. Senyumnya juga terasa hangat seperti matahari. Senyumnya mirip seperti senyum ibu…

Dadaku berdegup dengan lembut dalam keheningan duniaku saat aku memperhatikan setiap gerak tubuh Rin yang sangatlah manis itu. Dia terlihat seperti matahari yang memberi cahaya di sekelilingnya. Meski hatinya merasa gundah dan juga sedih, dia tidak pernah berhenti menyinari orang-orang disekelilingnya. Pantas saja Rin sangatlah disukai banyak orang…

"Rin…" tanpa sadar aku mengucapkan namanya. Aku kini baru menyadari bahwa namanya juga sangatlah indah. Terdengar seperti suara lonceng yang sangat bersih.

Rin melihat ke arahku dan saat dia berkata, "Ada apa, Len-niisan?" dengan tersenyum untuk menjawabku, aku merasa sangat marah. Kenapa aku hanyalah kakak tiri dari Rin?

Saat itulah aku menyadari arti perkataan hatiku sendiri. Jadi… selama ini aku sudah… jatuh cinta pada Rin…


Rin POV


Aku baru menyadari beberapa hal saat Len tiba-tiba memanggilku yang tentu saja kujawab dengan cara aku menjawab keluargaku.

Aku baru menyadari bahwa Len ternyata lebih tinggi dariku beberapa inchi jadi aku harus mendongak untuk melihatnya. Rambutnya yang berwarna pirang terlihat sangatlah halus dan lembut. Matanya yang melihat ke arahku berwarna Aquamarine yang sangat dalam dan juga tajam. Aku bisa mencium wangi pisang yang tidak terlalu kentara dari rambutnya pula.

Aku sedikit melihat ke bawah dan dari kemeja sekolah yang dia pakai, aku bisa membayangkan dada yang bidang dan juga lumayan berotot. Len lumayan sering berolahraga pada pagi hari, juga pekerjaannya sebagai ketua OSIS membuatnya berlarian kesana kemari lumayan sering.

Buru-buru aku melihat ke arah lain. Kenapa aku memikirkan tentang detail tubuh dari Len? Aku kan hanyalah adik tirinya! Kenapa pikiranku berpikiran seperti ini? Tidak mungkin kan bahwa aku jatuh cinta pada kakak tiriku sendiri?

Saat aku mengatakan pada diriku sendiri bahwa Len hanyalah kakak tiriku, rasanya sangat sakit. Aku merasa sesak dan sulit bernafas. Aku tidak ingin hanya menjadi adik tirinya… aku ingin… menjadi apa? Apakah itu benar bahwa aku jatuh cinta pada kakak tiriku sendiri? Apakah aku benar-benar jatuh cinta pada Len?

Aku mengulang pertanyaan yang membingungkanku di dalam hatiku. Dan semakin aku mengulangnya dalam hatiku, aku merasakan perasaan hangat yang mengisi dadaku. Kata-kata 'Jatuh cinta pada Len' terdengar indah…

Len selalu bersikap dengan dingin namun tetap hangat. Dia terlihat sangat jauh dan tidak tercapai, namun selalu ada disana dan menunggu. Len terlihat sangatlah indah, dan memperindah segala sesuatu yang ada di sekelilingnya. Cahaya yang tidak terlalu kentara namun lembut… seperti bulan.

"Tsuki…" gumamku tanpa sadar.

Len melihatku dengan heran. Aku segera menutup mulutku dengan kedua tangan. Len mendengar gumamanku! Ga-gawat!

"Suki?" ulang Len dengan heran.

Aku melihat ke arahnya dengan tatapan heran. Dengan segera aku mengambil pulpen dan menuliskan kanji dari Bulan di buku Len. Sepertinya tadi Len salah dengar antara Tsuki yang berarti bulan dengan Suki yang berarti suka.

"Ooh… memang apa yang bulan?" tanya Len dengan heran.

Wajahku jadi memerah. Aku tidak bisa terang-terangan mengatakan bahwa aku mengatakan hal itu sebagai dia. Tapi, mulutku sedikit berkhianat dengan berkata, "Kau terlihat seperti Bulan… itu maksudku dengan Tsuki…" ujar mulutku yang berkhianat dari pikiranku.

Aku segera menyembunyikan wajahku dengan kedua tanganku. Wajahku terasa sangat panas dan juga sangat tidak manis. Aku tak tahu bagaimana cara untuk menghadapi Len.

Len tetap diam selama beberapa saat, sebelum mengatakan, "Menurutku… Rin terlihat seperti matahari…" balas Len dengan suara yang terkesan dalam.

Dadaku langsung berdegup dengan sangat kencang dan tidak tahu kata-kata berhenti. Dengan satu kalimat pujian seperti itu, Len telah membuat kupu-kupu di perutku terbang bebas. Aku merasa sangat senang hingga mungkin aku akan menangis…

Hatiku tidak bisa mengelak lagi sekarang. Karena aku… sudah jatuh cinta pada Len…


Rina: Arara~ karena Rina begitu kejam, jadinya Rina potong tepat disini. Sebenarnya sih ada lanjutannya… yaitu di chapter 2, penyebab kenapa fanfic ini adalah rate M. XDDDDD silahkan di enjoy rate T na selagi sempat.

Read Chapter 2 on your own accord. Don't read it if you dislike Lemon scene. For chapter 2 please wait until 23th-27th of March