Gadis bersurai indigo itu membuka matanya perlahan. Ia mengerjapkan kedua matanya beberapa kali sebelum akhirnya dia menyadari bahwa belakang kepalanya terasa begitu sakit. Tangannya tergerak untuk menyentuh kepalanya, namun kedua tangannya sama sekali tak bisa digerakkan. Mata lavender itu terbelalak lebar, menyadari dirinya terikat di ruangan gelap yang nampak seperti gudang penyimpanan.
Apa yang terjadi?
Ia berusaha mengingat-ingat kejadian sebelum ia berada di sini. Namun, ia sama sekali tak bisa mengingat apapun. Mungkin kepalanya terhantam sesuatu yang keras hingga membuatnya amnesia.
KRIET!
Hinata menoleh saat mendengar suara pintu tua yang terbuka. Menampilkan dua sosok laki-laki yang mengenakan masker dan topi hitam. Gadis berseragam SMA itu memundurkan tubuhnya ketakutan. Dan tepat saat kedua lelaki berperawakan besar itu berdiri di hadapannya, barulah sekelebat memori terakhir yang ia ingat muncul di kepalanya.
Sore itu ia pulang dari sekolah, dan seperti biasanya ia selalu menggunakan taksi untuk mengantarkannya menuju rumah. Awalnya tak ada yang mencurigakan, namun saat kendaraan yang ditumpanginya berbelok ke arah yang berlawanan menuju rumahnya, tiba-tiba saja muncul sesosok pria dari belakang kursi penumpangnya dan membekap mulutnya.
Hinata meronta-ronta namun tenaganya sungguh tak sebanding dengan pria besar itu. Karena ia terus berusaha memberontak, pria itu memukul belakang kepalanya dengan sangat keras, membuatnya pingsan seketika. Dan ketika sadar, dia sudah berada di tempat menakutkan ini dengan keadaan terikat.
"A-apa mau kalian?!" teriak Hinata ketakutan saat salah satu dari mereka menarik lengannya untuk berdiri.
Kedua pria menyeramkan itu sama sekali tak menjawab. Mereka membawa Hinata keluar dari ruangan itu menuju ruangan lain. Ruangan kali ini sangat berbeda dengan yang sebelumnya. Tempat berukuran cukup luas ini nampak bersih dengan dinding dan lantai berwarna putih. Tak ada benda lain disana selain sebuah handycam, laptop, speaker berukuran kecil, dan.. dua buah tongkat baseball?
Seluruh tubuh Hinata bergetar ketakutan. Keringat dingin mengalir deras dari pelipisnya. Apa yang akan terjadi padanya nanti?
.
.
Naruto © Masashi Kishimoto
The Red Room © Hyuuga Sabaku
Thriller
OOC, Typo(s), Psychological
.
.
BRUK!
Hinata meringis saat tubuhnya dihempaskan secara kasar ke lantai. Kedua tangannya yang terikat di belakang membuatnya tak bisa melindungi wajahnya yang menghantam keramik dingin itu. Ia berusaha medudukkan dirinya dengan susah payah.
"Siapa kalian?! Kenapa kalian melakukan ini padaku!" bentaknya dengan kedua mata yang mulai berair. Hinata sama sekali tak habis pikir kenapa mereka menculiknya dan memperlakukannya seperti ini. Ia ingat betul bahwa dirinya sama sekali tak memiliki musuh. Lagipula ayahnya juga bukan pengusaha besar yang bisa membuatnya memiliki pesaing berbahaya. Dia dan keluarganya sama sekali tak berpotensi untuk memiliki musuh yang nekat melakukan hal semacam ini.
"Lepas ikatannya."
Hinata menoleh saat ucapan dengan intonasi yang begitu tenang muncul dari speaker. Ia terkejut mendapati dirinya terpampang di layar laptop, disana juga terdapat chatroom di bagian sisi kanan layar. Oh, apakah penculikan dirinya ini ditampilkan secara live untuk tontonan orang-orang yang berada di ruang obrolan itu?
Kejam sekali!
"Menurut kalian ini menarik, hah?!" teriak Hinata dengan emosi yang meluap. Ini adalah kali pertama baginya berbicara dengan nada kasar, dan itu membuat tenggorokannya terasa sakit. Namun ia sama sekali tak peduli mengingat dirinya tengah berada di keadaan yang sangat berbahaya sekarang, dan ini semua karena manusia-manusia tak bermoral yang tega menjadikan penderitaannya sebagai bahan tontonan.
Tepat setelah ikatannya dibuka, ia segera bangkit dan berlari menuju handycam bermaksud untuk menghancurkannya. Namun saat tinggal selangkah lagi ia menggapainya, rambut panjangnya ditarik dengan keras dan lagi-lagi ia dibanting ke lantai. Hinata mengaduh memegangi belakang kepalanya yang berdenyut hebat.
"Apa kami perlu menyumpal mulutnya?" tanya pria yang membanting Hinata.
"Tidak perlu." Lagi-lagi suara itu terdengar dari speaker. "Aku ingin mendengar teriakan indahnya," lanjutnya dengan intonasi yang begitu tenang, dan itu membuat Hinata muak.
"Kau sakit jiwa!" hardiknya.
Sesaat setelahnya Hinata bisa mendengar suara tawa membahana dari speaker. Perlahan tawa senang itu berhenti dan intonasi bicaranya menjadi datar, "remukkan kedua kakinya."
Mata pucatnya terbelalak lebar, ngeri dengan perintah yang diucapkan pria misterius yang entah berada dimana itu. Hinata berusaha bangkit dan berjalan menuju pintu saat dua pria besar disana mengambil tongkat baseball yang tergeletak di ujung ruangan. Namun sial sekali pintu itu sudah terkunci rapat dan lagi-lagi ia ditarik salah satu pria berpakaian serba hitam itu menuju ke tengah-tengah ruangan.
"Tolong jangan lakukan itu!" pinta Hinata ketakutan dengan air mata yang mengalir deras. "Kumohon." Hinata memejamkan kedua matanya erat.
Dan seperti sebelumnya, kedua pria itu sama sekali tak menanggapi ucapan Hinata. Tongkat baseball itu melayang dan menghantam kaki kanan Hinata hingga membuatnya terjatuh. Gadis itu berteriak kesakitan dan terus-menerus meronta serta memohon agar mereka berhenti saat pukulan demi pukulan ganas dilayangkan pada kedua kakinya.
Di tengah teriakan dan tangisannya yang terdengar memilukan dia merasakan rasa sakit yang luar biasa pada kedua kakinya. Ia bahkan bisa mendengar suara tulangnya yang remuk, dan kini ia bahkan tak bisa menggerakkan kedua kakinya sama sekali. Kondisi kakinya kini sangat mengerikan dengan banyak luka lebam dan darah yang terciprat membuat lantai keramik yang tadinya putih bersih menjadi kemerahan.
Pukulan-pukulan itu berhenti dan Hinata kini terlentang di lantai dengan keadaan kedua kakinya yang mengenaskan. Tak hanya kakinya yang merasakan sakit luar biasa, tapi sekujur tubuhnya terasa begitu nyeri mendapatkan rasa sakit yang mengerikan itu. Tubuhnya begitu lemas dan sama sekali tak memiliki tenaga untuk bergerak.
"K-Kenapa kau melakukan ini padaku?" tanya Hinata dengan suara bergetar di sela-sela tangisannya. "Siapa kau?!" bentaknya dengan suara serak yang terdengar begitu memilukan. Rasa sakit luar biasa yang kini merambat ke seluruh tubuhnya membuat kepalanya berdenyut sakit. Dan membuat kesadarannya perlahan mulai menghilang.
"Aku melakukan ini karena aku.."
Hinata berusaha mempertahankan kesadarannya karena ingin mendengar alasan pria jahat itu, namun belum sempat ia mendengar kelanjutannya, kesadarannya benar-benar telah menghilang.
.
.
To be continue
.
.
Author note :
Fanfic pertama saya setelah saya vakum selama beberapa tahun dari dunia ffn, hihi. Semoga ceritanya menarik. Dan mari bermain tebak-tebakan siapakah pria misterius itu?
