"Breath"
Pair(s)
Oh Sehun x Xi Luhan
Kim Jongin x Xi Luhan
*Another Pair(s) will be come next chapter*
~Genre(s) : Fantasy, Fluff, School Life, Drama, Smut, Others!~
~Rate : M
~Chapter : 1/?~
~Disclaimer : Their own self
Warning(s) : Yaoi (Boys Love a.k.a Boy x Boy), Smut, Raped, Typo(s), Crack Pair, etc.
Don't Like? Don't Read!
.
.
.
(A/n : FF HunHan gue yang pertama. Moga gak mengecewakan^^
Terinspirasi dari beberapa komik yang aku baca^^
dan sebenarnya aku hampir memakai keseluruhan plot di komik itu^^
Would you leave me some review guys?^^)
~Just Enjoying~
~And HAPPY READING GUYS^^~
-oOo-
.
.
.
Luhan's POV
"Ah, lelahnya…" aku meregangkan otot-otot lenganku sambil berjalan menuju pinggiran pagar berniat untuk melihat murid-murid yang berlalu lalang di bawah. Sedikit mencondongkan tubuhku ke depan dengan ragu takutnya aku malah terjungkal.
Ngomong-ngomong aku berada di lantai atas sekolah, menjauhkan diri dari aktivitas sekolah dan tentu saja merenungkan betapa buruknya–malangnya–nasibku. Aku tidak membolos kok, hanya saja aku butuh angin yang jauh lebih segar daripada pendingin ruangan. Tapi sebenarnya aku lagi tidak mood mendengar ocehan Baekhyun soal eyeliner-nya yang hampir habis atau si Kyungsoo membahas tentang resep baru yang kemarin ia coba dan berhasil—aku tidak meragukan kemampuan memasaknya. Mungkin mereka tidak menyadari beberapa kali aku memutar bola mataku, bosan.
Mereka mempunyai kehidupan yang sepertinya membahagiakan, tidak sepertiku.
Aku menghela nafas dan semakin mencondongkan tubuhku ke depan.
Fuhhh… rasanya mau bunuh diri saja—
Pushhh!
"Whoaaaaa…" tubuhku terhuyung-huyung ke depan saat tiba-tiba saja ada seseorang yang mendorong punggungku, untungnya aku bisa menyeimbangkan tubuhku dengan baik.
Aku berbalik, "Yaaa—idiot! Apa yang kau lakukan? Kau mau membunuhku? Ini bahaya, tau." Teriakku panik tepat di depan mukanya.
Mata coklat yang indah… Aku menggelengkan kepala, menyadari kebodohanku barusan. Dia hampir membunuhmu, Luhan!
Namja itu memicingkan matanya sambil tertawa pelan membuatku melototkan mataku. Dia hampir saja membunuhku dan tertawa tanpa dosa?. "Eh? Aku kira kau mau melompat jadi aku berusaha untuk membantumu." Ia menyunggingkan senyum membuatku memicingkan mata sambil sesekali mencuri pandang ke arahnya.
Pakaiannya! Bukankah dia? For God's sake! Dia guru disini! Dan apa barusan ku katakan? Idiot?
Aku membaca papan nama di dada kirinya,
Oh Sehoon.
Namja itu –maksudku- guru itu berjalan tepat di mana aku berada sebelumnya, mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap ke bawah pesis seperti yang aku lakukan sebelumnya. "Lantai putih di bawah pasti bakal jauh lebih indah kalau dihiasi dengan bercak darah di sana. Meskipun ada tubuh yang bakal remuk, tapi itu tidak menutupi keindahannya." Dia ini bicara apa sih? Tiba-tiba dia menghadap ke arahku dengan senyum yang entah harus kutafsirkan sebagai senyum apa. Yang aku yakini, tubuhku bereaksi terhadap senyum itu, aliran darah mengalir deras ke pipiku. "Aku ingin melihat tubuh itu jatuh dengan mataku sendiri, satu kali saja." Apa? Jadi dia ingin melihat tubuhku jatuh dari lantai setinggi ini dengan matanya sendiri?
Mentalnya mungkin rusak, bagaimana mungkin ada seorang guru ingin melihat muridnya terjatuh di lantai atas dan mengatakannya sebagai pemandangan yang… indah?
Aku berbalik–setelah mendesis ke arahnya meskipun tidak sopan– dan segera berjalan sambil menggerutu, meninggalkannya. Dan lagipula aku harus menemui Kyungsoo dan Baekhyun–sahabatku–yang pasti bakal sebal denganku karena meninggalkan mereka tanpa pemberitahuan sama sekali. Well—aku lupa memberitahu kalau aku barusan kabur dari mereka.
"Kau dari mana saja?" Tanya Kyungsoo saat aku menghempaskan tubuhku di kursi. Kulihat Baekhyun sedang menyalin –entah apa itu, mungkin tugas?–dengan serius.
Aku menoleh ke Kyungsoo yang menatapku dengan mata bulatnya, "Lantai atas. Aku bertemu guru disana, yang mau membunuhku." Curhatku setengah berharap Kyungsoo bakal sangat excited dengan pengalamanku barusan. Aku jadi sedikit berharap ia bereaksi berlebihan seperti melotkan matanya dengan bibir mencebik, mungkin?
Kyungsoo mengedikkan bahu menoleh dengan gumaman, "Ohhh…" panjang sambil membongkar tasnya.
Aku menoyor kepalanya, "Kau harusnya khawatir, aku baru saja hampir masuk koran gara-gara guru sialan itu." Kesalku sambil menggembungkan pipi.
Kyungsoo menatapku tajam dengan mata bulatnya, "Hei! Aku itu setahun lebih tua darimu jadi sopan sedikit, dan jangan bertingkah sok imut seperti itu, karena aku jauh lebih imut darimu." Ketus Kyungsoo yang membuatku melet-melet ke arahnya dan sukses membuatku mencium keteknya. Dia mengapit kepalaku dengan lengan—tidak berisinya itu.
Baekhyun berdeham membuatku –dengan sedikit geraman– meminta Kyungsoo melepasku. "Ngomong-ngomong kita ada guru baru," Ujarnya singkat sambil melanjutkan tulis-menulisnya.
Aku sedikit excited. "Kata siapa?" tanyaku membuat Kyungsoo menganggukkan kepalanya.
Baekhyun memicingkan matanya –yang full eyeliner–ke arahku kemudian Kyungsoo. "Kataku barusan, lah! Kalian tidak dengar?" tanyanya balik, aku langsung meninju lengannya dan Kyungsoo melototkan mata bulatnya. Pantas saja eyeliner-nya lekas habis, matanya jadi mengerikan begitu.
Saat aku berniat bertanya ke Suho–ketua kelas kami– tentang guru tersebut, tiba-tiba saja kelas yang tadinya seperti pasar berubah menjadi sehening kuburan saat guru –yang entah siapa–memasuki kelas.
"Open your book on page 134." Serunya datar dan kelas kembali ribut dengan suara lembaran-lembaran buku.
Namja– maksudku, guru—itu?
Oh Sehun?
Aku kembali ke lantai atas kali ini tidak kabur dari Baekhyun dan Kyungsoo, aku memberitahu mereka kalau aku ada urusan. Ahhh—semilir angin disini sangat nyaman, jauh bertolak belakang dengan AC yang dipakai di dalam ruangan. Aku merentangkan tanganku berusaha menghirup oksigen sebanyak-banyaknya sambil memejamkan mata.
"Kau tidak ingin bunuh diri lagi 'kan?" Tanya seseorang yang seketika itu juga membuatku terlonjak kaget dan untuk kedua kalinya terhuyung ke depan. Kali ini ia membantuku, si Sehun.
Aku menoleh sekaligus mendengus ke arahnya –tepat dimukanya–, "Kau itu terobsesi sekali ingin membunuhku, ya?" tanyaku ketus sambil berusaha melepaskan lenganku dari cengkeramannya. Saat menyentuh–dan sebenarnya saat ia juga menyentuhku– aku merasa di sengat listrik dan tidak bisa aku pungkiri, aku suka mata coklatnya itu.
Guru itu menatapku tajam. "Aku ini guru, gunakan hyung." Ucapnya datar.
Aku mendengus, "Cih! Sok imut sekali. Tapi baiklah, Ajjushi." Ucapku sarkastik dan memberikan penekanan di kata Ahjussi. Tapi ngomong-ngomong dia, Sehun, asyik juga.
Sepertinya dia berusaha mengacuhkanku, jadi aku tanpa ragu sekalipun mengeluarkan rokok di saku celanaku. "Kau ingin rokok?" tawarku sambil menjulurkan kotak rokok yang kira-kira sudah berkurang enam batang.
Sehun—memang jauh lebih baik memanggilnya begitu—menoleh ke arahku yang sudah menghisap rokok. Aku memamerkan senyumku. "Aku tidak merokok kalau di rumah, tapi jauh lebih baik melakukannya di sekolah." Aku menoleh ke arahnya yang masih menatapku entah apa maksudnya itu.
"Berikan aku satu." Putusnya dan aku kembali menjulurkan kotak rokokku. "Korek?" tanyanya, well—aku jadi punya pikiran yang sedikit, jail.
Aku menatap Sehun yang juga menatapku di balik ekspresinya yang penuh tanda tanya. "Nyalakan sendiri." Aku menggerakkan bibirku yang menggigit rokok, berusaha menggodanya—menggoda guru.
Yang aku tidak sangka dia tanpa ragu mendekatkan bibirnya ke bibirku –maksudku rokokku– dan menghisap rokoknya pelan hingga ujung rokoknya menyala dengan api kecil. Aku bersumpah, aku menahan nafas setelah mencium nafasnya. Bukan karena bau, tapi—tubuhku seperti di setrum dengan jutaan volt. Wangi tubuhnya memabukkan, dan takutnya aku malah ketagihan kalau menghirupnya lebih dalam.
Aku masih belum mengedipkan mataku sejak dua puluh detik terakhir ketika Sehun berdeham, "Kau seharusnya tidak merokok, kecuali fakta bahwa kau menginginkan kanker paru-paru." Sehun menghisap rokoknya dalam-dalam.
Aku mendengus. "Sehun. Kau aneh!" tukasku, kenapa tidak? Berarti dia juga ingin kanker aru-paru 'kan?
"Panggil aku hyung!" tegasnya.
Aku menjulurkan lidahku.
Ini sudah hampir dua minggu sejak kehadiran Oh Sehun sebagai guru di sekolah, dan aku jadi lebih sering ke lantai atas dibandingkan bersama Kyungsoo ataupun Baekhyun. Aku dengar-dengar si Kyungsoo sedang dekat dengan temanku Jongin, ah tunggu sampai dia tahu kami sering melakukan apa. Aku bukannya mau mengkhianati temanku dengan mata inosennya itu, tapi aku sudah mengatakan padanya kalau Jongin salah satu temanku saat kami lagi sama-sama membutuhkan. Tapi dia malah bilang tidak apa-apa dan si Kyungsoo sedikit berharap bisa menggantikan posisiku, ambil saja sana kalau mau, ucapku acuh saat itu .
Sedangkan si namja eyeliner, saat ini melakukan pendekatan dengan Chanyeol songsaenim, guru di sekolah dan dengar-dengar Sehun ahjussi—songsaenim—hyung atau apalah—merupakan sahabat Chanyeol songsaenim.
Selama dua minggu terakhir aku selalu bertemu si guru judes Oh Sehun setiap kali naik ke lantai atas. Ternyata dia ramah dan dia juga berkata jauh lebih baik di panggil Sehun kalau lagi berdua. Well—aku tidak keberatan, karena aku memang jauh lebih menyukai memanggil nama seseorang tanpa embel-embel. Terlebih saat pertama kali kami bertemu, ia sudah membuatku kesal.
Aku menghela nafas sambil menopang daguku. "Cinta atau nafsu…aku tidak bisa membedakan di antara dua hal itu." Gumamku pelan membuka pembicaraan sekaligus ingin curhat colongan dengannya.
Aku mendengar langkah kaki kecil di belakangku dan Sehun mendekat dan berdiri tepat di sampingku, well—dia meresponnya dengan baik. "Sehun, aku punya beberapa pasangan. Tapi aku tidak pernah benar-benar bisa membedakan dua hal itu." Ucapku dan menoleh ke arahnya menunjukkan senyum miris.
Sehun berdeham dengan kening berkerut, "Banyak pasangan? Kau selingkuh?—" aku dengan tegas menggeleng, "—bagaimana kalau, pacar? Kau tidak punya pacar?" tanyanya membuatku memperlebar senyum mirisku.
Aku mengalihkan pandanganku ke bawah menatap murid-murid yang lalu lalang sambil bersenda-gurau. "Tidak karena aku tidak mau dan… bisa dibilang aku beku kalau soal cinta. Dan lagi pula aku tidak tahu cinta itu apa ." aku menyipitkan mataku berusaha mencegah supaya air mataku tidak jatuh. Mataku aku kedipkan berkali-kali mencegah air mata sialan itu membumbung jauh lebih banyak lagi di pelupuk mataku yang mulai kabur, dan sebenarnya berusaha untuk tidak menatap Sehun.
Sehun mendecak. "Well—kau punya pengalaman buruk sebelumnya?" tanya Sehun membuatku langsung menoleh ke arahnya dan sedikit berharap ia tidak menatap mataku.
Aku kembali menerawang. "…Tidak. Kenapa kau bertanya?"
"Ah." Gumam Sehun membuatku kembali menoleh ke arahnya yang sedang melihat jam. "Aku harus kembali. Jam makan siang sudah berakhir dan… Luhan, kau seharusnya kembali ke kelas." Ucap Sehun berusaha mengusirku secara halus, dia pasti harus mengajar.
Aku terkekeh. "Tidak… aku mau disini dulu." Tolakku, sambil membalikkan badan, membelakanginya. Aku kembali menopang daguku sambil mengayun-ayunkan tanganku saat Sehun berkata "Kalau begitu aku duluan." serunya tanpa aku berniat menoleh sedikit pun.
Baru saja aku mau curhat, dan Sehun sudah pergi.
Sebenarnya itu tidak termasuk dalam hitungan soal pengalaman burukku. Karena aku hanya terlalu inosen, naif dan kaku sehingga aku gampang sekali disakiti. Bahkan jika aku benar-benar mencintai seseorang aku tidak akan pernah mempunyai hubungan yang mendekati kesan romantis. Jangankan romantis, untuk mendapatkan posisi sebagai seorang kekasih aja tidak aku dapatkan. Itulah kenapa cinta bisa disebut sebagai perasaan yang salah. Atau aku mencintai orang yang salah?
.
.
.
My first loved…
"S-saranghaeyo, hyung." Ucapku terbata dengan kepala tertunduk memandang tali sepatuku yang satunya tidak terikat dengan baik. Aku tidak berani menatapnya—kakak kelas yang ada di depanku.
"Ummm—siapa kau?" tanyanya dingin membuatku mendongak menatapnya dengan tatapan takut.
Kembali aku menunduk, "Xi Luhan kelas IIX, hyung."aku mengenggam ujung kemejaku dengan tangan gemetar, "Aku tahu tidak seharusnya aku mengatakan itu, tapi hyung sudah lulus dan—dan aku harus mengungkapkan perasaanku sebelum aku tidak bisa bertemu hyung lagi."
Aku baru saja mengungkapkan perasaanku ke kakak kelas yang sudah aku suka—cintai sejak dulu, Choi Siwon. Aku tahu kami tidak akan menjadi kekasih, jadi aku tidak terlalu banyak berharap. Tapi jauh dari dalam hatiku, aku harus mengungkapkan perasaanku sebelum aku tidak bisa melihatnya lagi. Tindakan yang sangat berani, 'kan? Aku berharap Siwon hyung merahasiakan hal ini.
"Okey!"
Aku mendongak menatap kata singkat itu. Kaka kelas yang bernama Choi Siwon itu menyunggingkan senyumnya—dengan lesung pipi yang mengagumkan—dan sedetik kemudian mengerlingkan matanya ke arahku. "Kau cantik dan hmmm—imut untuk ukuran pria…" Siwon hyung menatap papan nama di dada kiriku, padahal barusan aku menyebutkan namaku. "…Luhannie."Tangannya mengusap pipiku yang aku yakin berubah menjadi kepiting rebus, tubuhku pernghianat sekali."Let's try to going out then."aku sadar kalau kemampuan berbahasa inggrisku di bawah standar, tapi aku masih bisa menangkap arti di kalimatnya barusan, kencan?
Kuharap aku tidak bermimpi. Aku tidak pernah benar-benar menyangka kalau perasaanku dibalas, bahkan kurang dari tiga menit. Kalian tidak tahu betapa bahagianya aku sekarang, mungkin kalau di bolehkan aku akan menangis di hadapan Siwon hyung yang –masih- menyunggingkan senyum dengan lesung di kedua pipinya.
Siwon hyung menggenggam tanganku –yang masih gemetar-, "Aku bebas sekarang dan untungnya rumahku kosong hari ini. Mau bermain ke rumahku?"
"Eh?" Mataku membulat sempurna.
Siwon hyung mengacak rambutku, "Tenang, orang tuaku tidak ada di rumah. Jadi, kita bisa melakukannya."Siwon hyung menarik lenganku, kenapa dia tidak peka? Kakiku gemetaran dengan lutut yang masih lemas malah disuruh berjalan.
Dan, kenapa semuanya serasa tiba-tiba sekali? Luhan, kau yakin ini yang kau mau?
Aku yakin ini yang aku mau. Karena… karena aku sangat menyukai Siwon hyung. Dia tampan dan baik, dan terlebih dia salah satu jejeran namja terpopuler di sekolah. Semua orang menyukainya! Kapan lagi aku bisa bermain ke rumahnya?
"Orang tuaku menyebalkan! Aku barusan lulus dan mereka malah pergi berlibur." Aku hanya menanggapi dengan anggukan dan menggumam 'hm' panjang dan kadang –sering kali- tersenyum jika Siwon hyung menatapku dan mengatakan aku sangat imut kalau lagi tersenyum. Bagaimana mungkin aku bisa berprasangka buruk terhadapnya? Dia sangat baik, dan aku percaya padanya.
.
.
.
Aku mempercayainya seperti orang idiot dan tidak mengerti apa-apa!
.
Dua tahun kemudian aku menjadi sangat layak untuk dipanggil sampah atau bahkan a whore! Tapi, bahkan pelacur pun dibayar, tapi aku?
Aku tidak bisa menghitung sudah berapa banyak namja yang tidur denganku. Hidup dalam kesengseraan, hanya karena aku mengungkapkan cinta pertamaku. Aku menyukai kesengsaraan itu, saat tubuhku di mainkan oleh mereka yang menyukainya. Aku suka saat mereka mengatakan tubuhku indah—tidak… aku suka saat mereka menyukaiku, aku suka saat aku disukai. Karena bisa saja saat mereka menyukaiku dan aku menyukai mereka aku bisa merasakan cinta, lagi. Tapi aku belum menemukannya, tidak sampai detik ini.
Hanya karena cinta pertama , rasa cinta tidak pernah ada lagi ada di dalam duniaku, aku tidak percaya cinta, karena orang itu
"T-tunggu…Jongin-ah," aku menangkap tangan Jongin saat ia sudah mulai berusaha membuka underwear-ku. Jongin menatapku dengan tatapannya yang memelas, aku tahu ini bukan pertama kalinya ia memandangku seperti itu.
Jongin melepas tanganku yang mencengkeramnya dan mulai melepas underwear-ku, "Luhannie, kita sudah ada di sini… Aku mau…" tanyanya sambil menabok pantatku. Terkesan lembut dan membuat nafsuku makin membumbung di atas kepala.
Aku mengerang nikmat saat jemarinya mulai menari-nari di sekitar butt-ku "Ne, tapi bagaimana kalau ada orang?" aku mengedarkan pandanganku di sekeliling ruang lab bahasa, berharap tidak ada seorang pun yang memasukinya sebelum kami selesai. "Ngghhh~" aku mengeluh panjang saat tanpa penetrasi sama sekali Jongin langsung memasukkan juniornya ke dalam tubuhku. Bukan pertama kalinya aku menangis kesakitan, bahkan jauh lebih sering. Bukan karena rasa sakit di bagian bawah tubuhku, bagian dalam tubuhku jauh lebih sakit. Aku menyeringai saat aku –kembali- menyadari betapa murahannya diriku.
Aku tidak membutuhkan cinta. Aku tidak mau merasakan rasa sakit itu lagi, cukup nafsu—sudah jauh lebih baik. Memberikan kepuasan terhadap tubuhku, saat aku berusaha melupakan bagaimana rasa sakit yang aku rasakan dulu. Membuat orang-orang menyukaiku.
"Nhh~ahh…Faster Jongin-ah…"
Jongin menarik rambutku ke belakang menuntutku untuk menatap manik hitamnya, "Jangan berhubungan dengan orang lain lagi, Luhannie. Cukup aku, ne?" Jongin menghentakkan tubuhnya jauh lebih dalam membuatku menggelinjang menahan sakit yang luar biasa. "Mendesahlah." pintanya. Aku mengalungkan lenganku ke lehernya sambil menaik turunkan badanku.
"Un…ah~ngghhh…"
"You're so adorable, Luhan." Jongin mengecup-melumat-bibirku tanpa memberiku kesempatan untuk menarik nafas terlebih dahulu.
Aku berusaha mengimbangi permainan Jongin yang semakin menggila. Ini yang aku suka darinya, brutal, sama denganku. Aku tidak berhenti-hentinya mendesah, dan tidak menghiraukan kalau bakal ada seseorang yang memasuki ruangan ini. Well—kalaupun kami ketahuan aku cukup menggodanya dan kalau bisa mengajaknya thereesome. Pikiranku benar-benar bodoh, dan aku bisa merasakan hatiku mulai membeku dengan senyuman licik terukir di bibirku yang terengah-engah mengeluarkan lenguhan.
Tidak peduli siapapun, aku tidak akan pernah bisa membuka hatiku untuk siapapun lagi, untuk merasakan cinta yang menyakitkan dan pada akhirnya membuatku semakin asing terhadap diriku sendiri.
Sosok Sehun tiba-tiba terlintas di pikiranku membuatku menggelengkan kepala. Tapi aku bisa merasakan rasa sengat yang dikirimkan dari setiap inci tubuhnya saat kami bersentuhan baik sengaja maupun tidak, dan aku mengakui saat menatap mata indahnya hatiku seperti disiram air…hangat. Mencairkan sedikitnya permukaan hatiku yang membeku.
"Nngghhh~" lenguhku saat Jongin kembali menghentakkan pinggulnya. Lonceng sudah berbunyi sejak lima menit yang lalu, dan aku tahu aku tidak akan menginjak kelasku sebelum aku menyelesaikan ini. Aku kembali menaik turunkan badanku sambil mengedarkan pandanganku ke sekeliling ruangan dengan lenguhan.
Sehun?
Aku menajamkan indraku berusaha menolak kalau pria dengan rambut blonde-nya itu sedang menatapku, menatap kami dengan tatapan datarnya.
Dia itu menganggap aku udara? Kenapa dia tidak terkejut sama sekali?
Aku beranjak dari tubuh Jongin, "We've done!" tegasku berusaha untuk tidak menatap Jongin dan aku mendorong tubuhnya dan mengacuhkannya saat ia menyumpah-nyumpah kalau aku menyakiti punggungnya.
"Ada apa, Luhan?" aku menghempaskan tangannya saat ia mencengkeram lenganku, sambil mendesis aku mulai melototkan mataku.
"Lepas!" teriakku naik satu oktaf dan mulai memungut celanaku memakainya dengan diam dan berusaha untuk tidak menatap Jongin yang aku yakin ia memandangku dengan tatapan membunuhnya. Mungkin aku harus membentaknya kalau Kyungsoo dengan senang hati ingin melayanimu, tapi itu bukan urusanku sama sekali.
Aku berbalik, "Pergi ke kelasku, dan cari namja yang bernama Do Kyungsoo!" Aku berlari meninggalkan Jongin yang masih berdiri mematung, bingung. Mungkin aku harus minta maaf padanya saat aku ingin melakukannya lagi? Yang penting aku harus menemui Sehun. Lagipula, mungkin aku tidak akan melakukan itu lagi dengannya, kalau dia menemui Kyungsoo.
"Sehun!" teriakku dan berusaha acuh saat aku menyadari seragamku belum dikancing. Sambil mendesis aku menarik pergelangan tangannya. Sehun menoleh tanpa ekspresi sama sekali, wajahnya kaku dengan tatapan mata yang datar. Aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa, tapi saat ia balik mencengkeram lenganku, sengatan listrik kembali menjalar di seluruh tubuhku detik itu juga. Dalam diam kami berjalan menuju lantai atas sambil mataku sesekali mencuri pandang ke arah tangannya yang mencengkeram lenganku.
"Kalau kau tidak mau melakukannya, so don't." Sehun membuka pembicaraan ia berjalan menuju pagar dan menyenderkan punggungnya.
Aku menaikkan alisku, tidak mengerti. "Eh?"
Sehun menyeringai, "Kau tidak mengerti? Ekspresimu! Saat kau bercinta, kau terlihat seperti boneka cacat." Aku mengedikkan bahu tetap tidak mengerti tapi berusaha untuk mencerna kata-katanya barusan. Boneka?
Aku meninju lengannya, "Aku bukan boneka, tau!" Sehun mendelik dan mendekat ke arahku, aku diam-diam mengagumi kulit putih susunya.
"Kalau itu aku, aku tidak akan membiarkanmu memperlihatkan ekspresi yang seperti itu." Sehun mengusap pipiku dengan ibu jarinya yang aku tau langsung memerah–tubuhku menghianatiku lagi–dan menarik sudur bibirnya beberapa senti membentuk seulas senyum yang… indah.
Aku meneguk ludah dengan susah payah, "Kalau itu aku, aku akan membuatmu menikmatinya dan membuat pikiranmu menjadi…blank." Sehun kembali mengusap pipiku, dan mengirimkan—lagi jutaan volt di seluruh tubuhku dan darah mengalir deras di pipiku di bawah usapan ibu jari Sehun. "Kalau itu aku, aku akan membuatmu mendesahkan namaku, disetiap hentakan-hentakan yang aku buat." Sehun mendekatkan wajahnya ke wajahku dengan deru nafasnya yang memburu–aku jauh lebih memburu–dan tatapan mata yang tajam tapi lembut disaat yang sama, "Bagaimana? Kau mau mencobanya, denganku?" aku tersentak dengan pertanyaan itu tapi aku bisa menguasai diriku sendiri, perlahan aku menurunkan tangannya.
"Kau mabuk!." Ucapku datar melepaskan tangannya.
Sehun tersenyum, "Iya atau tidak?" tanya Sehun sekali lagi.
Aku tidak tahu perasaan apa yang muncul saat aku berdekatan dengan guru ini. Saat ia barusan menyentuhku, aku seperti disengat dan suaranya semacam melodi yang indah dan membuai di telingaku. Deru nafasnya yang harum dan wangi tubuhnya yang maskulin yang semerbak di sekitar tubuhnya. Tapi satu hal yang aku percayai sampai sekarang.
Aku tidak akan percaya cinta…lagi.
Karena apa yang terjadi dan aku rasakan terhadap guru ini hanya—
…nafsu.
Dari awal aku sudah memikirkannya, bagaimana kalau aku melakukan itu dengannya? Aku hanya perlu memperlakukannya seperti aku memperlakukan semua yang pernah meniduriku.
Aku membawa tanganku ke saku celana Sehun yang menyembunyikan tangannya. Menariknya keluar dan membawanya ke dadaku yang telanjang–bajuku belum dikancing–, "Ne!" tegasku sambil mengedikkan bahu berusaha acuh tapi jujur saja saat permukaan tangannya menyentuh dadaku yang telanjang aku sempat tersentak, sengatan itu lagi.
Sehun tersenyum dan baru kali ini aku melihat tatapan matanya yang juga menyiratkan kebahagiaan, "It's a deal!" Sehun menarik tanganku dan mengecupnya, lembut.
Aku tersenyum.
.
.
.
Sehun mengecup–mencecap–bibirku tanpa memberikan aku kesempatan untuk mengambil nafas terlebih dahulu. Bibirku ia mainkan dan lidahnya berusaha mendominasi di dalam mulutku yang juga merespon dengan baik kedatangannya.
Lidahnya–sekali lagi–menggeliitik langit-langit mulutku membuatku menggelinjang kegelian, tapi tidak rela melepaskan ciuman–lumatan–ini.
Entah bagaimana caranya aku sampai tidak sadar kalau kami berdua sudah full naked. Aku terlalu terbuai dengan belaian Sehun di tubuhku, saat ia mencium, menjilat, menghirup, dan mencecap di setiap inci tubuhku. Untuk pertama kali dalam seumur hidupku, mungkin in adalah foreplay-ku yang paling terlama.
Sehun melepaskan bibirnya–aku mendesis tidak rela–dan memindahkan tangannya untuk mengusap pipiku yang seketika itu juga memanas, "Ceritakan." Gumamnya pelan dan kemudian mengecup bibirku, lembut.
Sehun membalikan badanku dan memelukku dari belakang sementara bibirnya ia mainkan di sekitar leher jenjangku yang sengaja aku miringkan ke samping supaya dia lebih leluasa, "In junior high…nghhh~" Sehun memelintir nipple-ku yang sedari tadi menegang, "Aku menyatakan perasaanku ke kakak senior, seseorang yang sangat aku sukai—cintai." Aku memutar kepalaku kebelakang, berusaha meraih pipi Sehun dan mengecupnya.
"Cinta pertama?" aku mengangguk dengan susah payah saat Sehun menggigit daun telingaku dan mulai menjilatinya yang detik itu juga membuatku menggelinjang—lagi.
"Kalau kau mengatakannya begitu." Gumamku di sela lenguhan. "Aku tidak terlalu berharap, dan saat ia mengajakku bermain ke rumahnya, aku sangat senang sekali." Aku mengigit bibirku saat Sehun memainkan nipple-ku dan satu tangannya mulai bergerilya di sekitar selangkanganku.
"Let them out. Desahanmu." Sehun mengecup leherku, dan tanpa berusaha menahan lagi aku mulai mengeluarkan lenguhan-lenguhan nikmatku. "…lalu?" tanya Sehun sambil berusaha memutar badanku menghadap ke arahnya.
"Dia mengajakku ke rumahnya, bisa kau bayangkan betapa senangnya aku?" Sehun mengangguk acuh membuatku mendesis tapi seketika berubah menjadi lenguhan saat ia mengecup—melumat nipple-ku. "Aku baru mengerti sekarang, betapa bodohnya aku saat itu." Aku mendorong Sehun dan mulai terisak dengan kepala tertunduk. Sehun meraih kepalaku, membawaku ke dada bidangnya dan mengusap rambutku dengan lembut, kemudian mengecup keningku—lembut sekali. "Karena aku tidak tahu kalau saat itulah pertama kalinya aku merasakan rasa sakit itu." Aku membawa tanganku memeluk Sehun, erat. "Karena orang-orang itu sangat brutal dan tanpa ragu langsung—" Sehun melepaskan pelukannya, menatap bola mataku yang dibanjiri air mata.
"Tunggu, orang-orang itu?"
Aku mengangguk lemah, "Teman-teman Siwon." Gumamku pelan tidak berani menatapnya tapi satu hal yang aku yakini sedetik setelah aku mengucapkan itu aku mendengar Sehun mendesis—menggeram. "Aku sangat takut, jadi aku menoleh tempat dimana Siwon berdiri dengan sepuntung rokok dimulutnya, meminta pertolongan. Dan tebak apa yang dikatakannya?" aku menengadah menatap Sehun yang menggeleng,
"Bocah ini dengan berani menyatakan perasaannya padaku. Jadi kupikir dia sudah berpengalaman, kalian bisa menikmatinya. Tapi melihat kepolosannya yang seperti tidak tahu apa-apa… kalian bisa mengambil keperawanannya."
Aku menundukkan kepalaku, lemas dan berusaha untuk membuang ingatanku tentang apa yan mereka lakukan terhadap tubuhku saat itu. Aku terisak dalam diam. Hingga saat sengatan listrik itu kembali mengejutkan permukaan wajahku.
"Itulah kenapa kau jadi seperti ini?" aku mengangguk, "Aku pikir saat kau bercinta, kau akan mengingat masa lalumu itu." Sehun masih mengusap pipiku.
"Aku tidak tahu." Gumamku pelan.
Sehun tersenyum, "Luhannie—" aku membulatkan mataku saat menyadari itu pertama kalinya ia menyebut namaku sejak kami bertemu, "Hari itu kau berencana bunuh diri kan? Ketika pertama kali kita bertemu." Aku menundukkan kepalaku, ia benar. "Tapi aku melihat sisi lain darimu, kau kuat. Aku bisa melihatnya dari tatapan matamu." Sehun perlahan membawa tubuhku di kasur dan mulai mengecup pipiku.
Aku menatap manik Sehun, "Aku tidak ingin mencintai orang lain lagi…"
"Bullshit!" Sehun menatapku tajam, tapi kemudian menampakkan deretan giginya dengan seulas senyum, "Aku bisa mencintaimu. Mungkin aku tidak akan memberimu banyak kebahagiaan. Kegelisahan… ketakutan… kekhawatiran… dan kecemburuan, aku ingin melihat tubuhmu bereaksi seperti itu terhadapku." Sehun menjilat bibir atasku, "Aku ingin melihat dirimu, yang bersinar cemburu karena... aku." Sehun mulai mempermainkan jemarinya di bagian bawahku tanpa melepaskan tatapan matanya yang lembut berusaha–dan berhasil–menohok tepat di mataku.
Aku memutuskan pandanganku dengannya saat aku merasakan satu jemarinya mulai memasuki tubuhku, aku menoleh ke kiri menahan rasa sakit.
"Aku akan berusaha untuk memberimu definisi kebahagiaan, mungkin akan sangat berbeda dengan orang-orang yang bersamamu sebelumnya." Sehun membuatku melenguh saat memasukkan jarinya yang kedua. "Tapi aku akan berusaha untuk membuatmu merasakan rasa cinta itu lagi, benar-benar cinta." Aku menggeleng keras membuat Sehun menghentikan servisnya.
"Look—" Sehun meraih pipiku, "Aku tidak akan menyakitimu, pegang janjiku." Aku tidak berusaha mengeluarkan pendapat apapun dipikiranku, yang pasti mungkin setelah ini semuanya akan berjalan seperti biasanya, saling mengacuhkan seolah-olah tidak terjadi apa-apa dan kembali bercinta saat kami berdua menginginkannya.
"Tidak! Pegang janjiku.!" Seru Sehun membuatku tersentak kaget dan menatap maniknya yang menatapku tajam, apa dia baru saja membaca pikiranku?
Aku tidak tahu apa aku harus percaya padanya, tapi jauh di dalam hatiku aku tidak bisa begitu saja membuang kesempatan yang ia beri. Ia ingin mencintaiku, menghidupkan rasa cinta lagi di dalam diriku. Entahlah…
Aku mulai tersenyum saat ia kembali memperlihatkan deretan gigi putihnya. Aku membawa jemariku ke pipinya, mengusap pipinya lembut.
"May I?" aku mengangguk dan mulai mempersiapkan tubuhku untuk menerima Sehun mendapatkaan tempat di dalam tubuhku.
"Ngghhhhh~" Aku menggigit bibirku berusaha menahan rasa sakit saat Sehun mulai memasuki tubuhku secara perlahan. Aku menoleh kesamping dan satu tanganku mencengkeram seprai putih Sehun yang kini acak-acakan.
Sehun berdeham disela geramannya, "Jangan gigit bibirmu, Luhan." Sehun menuntutku untuk menatapnya dan dengan senyum yang terpatri di bibirnya ia mengecup bibirku, lembut. "Aku ingin kau memaggil namaku, Luhan." Aku mengangguk pelan, "Karena aku akan memberitahumu mantra yang indah." Sehun menghentakkan tubuhnya lebih dalam ke tubuhku dan membuatku berhasil meneriakkan—mendesahkan namanya cukup keras di setiap hentakannya. "Karena saat kau menyebutku, kau akan menginginkan yang lebih." Sehun menggerakkan pinggulnya dan mulai memompa tubuhnya perlahan menapaki puncak terjal yang ingin kami raih.
Aku tidak percaya cinta, karena aku tidak tahu bagaimana cara menemukannya lagi. Sehun hadir di dalam hidupku secara tiba-tiba dan membuatku merasa kalau aku harus membuang perasaan beku di dalam diriku. Aku tidak terlalu berharap untuk membuatnya menepati janjinya itu, tidak—aku tidak ingin mempercayai seseorang dengan semudah itu lagi. Aku tidak ingin terlihat bodoh untuk kedua kalinya. Tapi jauh di dalam diriku aku tidak bisa menolak kalau aku kembali di mabuk cinta, dan kurasa kali ini aku benar, mungkin.
Sehun mengecup bibirku, lembut.
Aku meneriakkan nama sehun saat berhasil menemukan puncak kenikmatan yang berusaha kami raih begitu juga Sehun yang meneriakkan namaku dan dengan cepat-cepat ia menarik tubuhnya dari dalam diriku.
"Gamsahamnida, Luhannie~" Sehun mengecup bibirku lembut—setelah sebelumnya menyedot dan menelan spermaku—di sela nafasku yang memburu, mungkin dia orang yang pertama kalinya berterima kasih karena sudah menikmati tubuhku. Kecupannya beralih ke keningku, membuatku langsung terisak.
Sehun melepaskan bibirnya, menatap manikku dengan intens dan aku bisa merasakan aliran darahku menderas ke bagian pipi, karena tatapan itu. "Luhan, look—" aku mengerutkan keningku,
"…Love me!"
.
.
.
~To be continued~
_oOo_
.
.
.
Gue kasih genre fantasi karena faktanya memang begitu.
Cuma karakternya belum keluar, mungkin next chap?
Dan maafkan aku soal kaka senior yang kejam itu dan Crack pair yang gak terduga.
Intinya ini FF yang kepengen banget gue tulis tapi karena malesnya minta ampun selesainya baru sekarang setelah beberapa kali di edit. Hampir dua minggu nulisnya, ck!
Jangan lupain kalo ini genre fantasi…karakter-nya belum keluar^^
Yang mau Review-nya dibalas, silahkan log-in, Insya Allah gue usahain balas satu-satu, dan buat yang mau nanya-nanaya juga silahkan^^
Well—?
Lanjut or?
and
Mind to review please?
.
.
.
_BerRy_
