Kuroko no Basuke © Tadatoshi Fujimaki
No financial profit taken from this.
Warning: monolog, typo?
.
.
-The Moment-
.
.
Momoi Satsuki merapatkan mantelnya. Bahkan hembusan kecil angin seperti ini mampu membuatnya menggigil. Hanya guguran daun pohon mapel yang membuat Momoi masih bisa menikmati jalan pulangnya.
Ia mendongak, menatap langit musim gugur yang kelabu. Ah, betapa Momoi rindu langit biru.
Utara Jepang menjadi tempat tinggalnya semasa kuliah. Kota Sapporo bukanlah lokasi yang dekat dengan ibukota Tokyo, atau region Kanto, bahkan Kansai. Bisa dibilang Momoi berada pada posisi terjauh dari teman-temannya. Dari Tetsu-kunnya.
Momoi pikir, semuanya akan berakhir ketika mereka menyandang status sebagai mahasiswa. Semuanya tentang kebersamaannya dengan teman-teman pelanginya. Semuanya tentang perasaannya yang tidak terbalaskan. Semuanya tentang Tetsu-kun.
Menjadi mahasiswa berarti perpisahan. Momoi paham itu. Tempat mereka belajar yang terpaut jarak beratus-ratus kilometer sudah cukup menjadi alasan. Tidak akan bisa lagi berpapasan di jalan, apalagi bermain basket bersama seperti dulu.
Rasanya Momoi ingin waktu berhenti saat itu, saat mereka berkumpul untuk melapor kelulusan mereka di universitas masing-masing. Seandainya bisa, Momoi ingin mengabadikan tatapan Tetsu-kun yang –menurutnya- intens kepadanya setelah mendengar tempat tujuannya menuntut ilmu. Mungkin terlalu percaya diri bagi Momoi mengartikan tatapan itu sebagai sebuah keterkejutan yang mengarah pada rasa kehilangan dari Tetsu-kun untuknya. Tapi siapa peduli? Boleh saja 'kan Momoi bahagia dalam imajinasinya sendiri?
Sekarang Momoi tidak lagi berharap dengan perasaannya. Haruskah ia menunggu empat tahun lagi? Momoi bahkan tidak bisa merasa yakin seperti dulu. Seperti saat ia harus memilih Touou Gakuen demi Dai-chan. Karena seiring waktu berlalu, selama itu pula Tetsu-kun tetap bersikap normal atas segala perhatian yang diberikannya, membuat Momoi merasa penantiannya selama ini sia-sia saja. Tidak ada tanggapan khusus dari pemuda bayangan itu untuknya. Atau memang tidak akan pernah ada. Tapi mengingatnya seperti ini saja mampu membuat Momoi merona.
"Momoi-san?"
Gadis merah muda itu mematung setelah sebuah suara kecil –namun sangat familiar- memanggilnya. Sepasang manik biru sewarna langit itu menatapnya, bersamaan dengan senyum tipis yang perlahan terbentuk di wajah pucat itu.
Ah, betapa takdir suka sekali mempermainkan hatinya.
.
.
.
A/N:
Yap, percobaan pertama nulis kuromomo dan jadinya malah dikit banget gini, huf. Sebenernya udah lama banget ada di draft, tapi gatau kenapa baru ada niat publish sekarang. Semoga masih readable, aamiin. Akhir kata, mohon maaf atas segala error yang ada di sini.
Salam olahraga!
-Seiba
