Kuroko no Basuke © Tadatoshi Fujimaki

.

20 Desember

© Alitheia

Future!AU. BL; MidoAka. Lumayan (sangat) OOC. Absurd sumpah saya nggak bohong. Happy birthday, Akashi. 'w'

.

Saya tidak mendapat keuntungan materiil apa pun dari menulis fanfiksi ini.

.

Itu adalah Sabtu yang dingin. Shintarou menyaksikan bagaimana napasnya sendiri menjelma menjadi uap putih dan menciptakan kabut tipis di permukaan kacamatanya. Orang-orang yang baru keluar dari stasiun berlalu-lalang; beruntung ia setidaknya sekepala lebih tinggi dari rata-rata, sehingga tidak mungkin ada yang tidak melihatnya di keramaian itu dan mereka tidak akan bertabrakan meski penglihatannya agak terganggu.

Ia melirik arloji di pergelangan tangan kanan. Pukul empat. Masih ada kurang dari sejam sebelum benar-benar gelap. Bergegas; tahu kalau Seijuurou sudah menunggu di luar tempat mereka biasa bertemu, dengan pipi yang memerah dan jari-jari yang membeku, kemudian ia akan berkata kalau Shintarou lama sekali meski paham kalau perjalanan dari Tokyo ke Kyoto bukanlah yang paling singkat.

Barang bawaannya hanyalah satu tas di punggung dan sebuah kotak kecil dalam saku celana (Shintarou merogoh sakunya berkali-kali hanya untuk memastikan benda itu masih berada di sana). Di ujung mata, berupa objek-objek buram yang bahkan tidak diliriknya dua kali, hiasan yang bernuansa Natal memenuhi bangunan-bangunan. Masih lima hari sebelum tanggal yang dimaksud, tapi orang-orang memang selalu bersemangat jika mereka bisa mendapat alasan untuk berbelanja dan berpesta (atau berkencan—tapi yang ini hanya berlaku bagi yang punya pasangan, tentu saja). Toh Shintarou sendiri tidak pernah ambil pusing, karena baginya ada satu hari di bulan Desember yang lebih penting.

Dua puluh Desember; tanggal kelahiran Akashi Seijuurou.

Saat tiba di belokan trotoar yang dikenalinya, ia mempercepat langkahnya lagi. Di ujung jalan itu, tepat sebelum perempatan, ada kafe kecil yang tidak pernah absen ia kunjungi setiap kali datang ke Kyoto. Kopinya enak, suasananya tenang, dan letaknya dekat stasiun; Shintarou dan Seijuurou telah sepakat untuk selalu bertemu di sana tanpa mengucap perjanjian apa-apa. Mereka memang tidak perlu.

Tidak sulit menemukan Seijuurou, selain karena rambutnya yang menyala merah, Shintarou ingat ada yang bilang jika kau mencintai seseorang, ia adalah figur yang selalu ada dalam benakmu, sehingga saat orang itu tenggelam dalam kerumunan sekali pun, ia akan selalu jadi sosok pertama yang kau kenali. Dan memang di sana Seijuurou sekarang, berdiri di depan kaca jendela kafe seakan-akan sedang berusaha menarik pelanggan, tapi ia terlihat terlalu tidak acuh dan kaku untuk melakukan itu. Shintarou telah berkali-kali berusaha memberitahunya untuk menunggu di dalam jika ia tiba lebih dulu, tapi Seijuurou tidak pernah mau dengar. Ia hanya akan selalu berdiri di sana, menunggu Shintarou bersama udara dingin lalu menyambutnya dengan senyuman dan kata-kata yang selalu diulanginya itu, "Kau lama sekali, Shintarou, aku sudah membeku."

Sejak setahun yang lalu, Shintarou menyerah untuk menyuruhnya masuk lebih dulu. Ia hanya membiarkan Seijuurou melakukan apa yang disukainya, karena mungkin juga Seijuurou sudah kebal dengan cuaca dingin sekarang. Lelaki muda itu menyapanya, "Kau lama sekali, Shintarou, aku bosan menunggu."

"Tokyo jauh." Ia menjawab malas. Dari dulu mereka sama-sama tahu kalau Seijuurou memang tidak mungkin langsung menunggunya di sana ketika ia bilang keretanya berangkat dari Tokyo. Seijuurou hanya membalasnya dengan dengusan yang Shintarou artikan sebagai tertawa. Yah, kurang-lebih begitu.

Shintarou mendorong pintu kafe dan mereka melangkah masuk, memilih meja yang berada di pojok ruangan, di samping jendela yang menghadap ke belokan kanan dari perempatan jalan. Pelayan yang pertama kali melihat kedatangannya memberikan sebuah buku menu, yang hanya dibolak-balik Shintarou demi kesopanan, sementara pada akhirnya ia memilih apa yang selalu ia pesan. Pelayan itu kemudian beranjak pergi, bersama pesanan dengan porsi satu orang di catatannya. Sejak setahun yang lalu, Seijuurou telah mengembangkan kebiasaan untuk tidak memesan apa-apa setiap kali mereka makan di sana.

Tapi ia jadi punya kebiasaan yang agak mengganggu ini dengan memerhatikan kopi Shintarou lekat-lekat ketika gelasnya datang, mengamatinya dengan serius ketika yang memesan mencicipi rasanya, kemudian bertanya dengan nada yang mendamba, "Apa rasanya masih enak?"

"Tidak berubah." Shintarou meletakkan gelasnya. "Kalau kau mau, kau selalu bisa memesan satu, kau tahu."

"Tidak, tidak," Seijuurou bersandar di kursinya dengan senyum puas, "aku lebih suka melihat wajahmu saat menikmati minuman itu."

"Apa itu ada maksud gombal?"

Yang ditanya hanya mengangkat sebelah alis. "Menurutmu?"

Shintarou tidak menjawab, matanya menerawang jendela.

Mereka pernah tinggal bersama di apartemen Shintarou untuk rentang waktu yang diingatnya sebagai dua tahun, tapi kemudian Seijuurou menjadi benar-benar sibuk—atau mereka berdua yang sama-sama menjadi terlalu sibuk—dan suatu hari Seijuurou bilang ia harus kembali ke Kyoto untuk memegang cabang perusahaan entah-yang-mana untuk beberapa lama. Pilihan yang sulit. Shintarou tahu jika saja ia ingin menjadi egois dan meminta Seijuurou untuk tidak pergi, ia tidak akan pergi. Tapi ia tidak suka menghalang-halangi karir seseorang, rasanya akan jadi seperti tidak memanfaatkan kesempatan atau potensi yang ada dengan sebagaimana seharusnya, dan itu agak bertentangan dengan prinsip hidupnya; karena manusia harus berusaha semaksimal mungkin dulu, bukan?

Ia tidak ingin menyesali apa pun, sungguh, tapi ia menyesal tidak meminta Seijuurou untuk tetap tinggal.

Pada akhirnya, mereka berdua setuju untuk saling mengunjungi satu sama lain pada tanggal dua puluh setiap bulannya, atau pada akhir pekan setelah tanggal itu. Bertemu sekali setiap bulan menjadi semacam permainan untuk mereka—untuk Seijuurou, setidaknya—semacam tes untuk melihat siapa yang lebih tidak tahan berjauhan dari satu sama lain. Tentu seingin apa pun ia mendapati Seijuurou berada di rumah setiap kali pulang kerja, Shintarou tidak akan mengakuinya, tidak juga akan mengatakannya saat bercakap di telepon atau dalam pesan-pesan yang mereka kirim.

(Toh ada saja saat ketika Seijuurou tiba-tiba mengetuk pintunya sebelum tanggal dua puluh, dengan alasan ia sedang punya urusan bisnis di Tokyo dan kebetulan tempatnya dekat dengan apartemen Shintarou dan kebetulan juga ia sedang ingin mampir. Itu akan menjadi kejutan yang menyenangkan—tidak, tentu saja Shintarou juga tidak mau mengakuinya.)

Acara sepasang kekasih yang bertemu setiap tanggal dua puluh itu berlangsung cukup lama.

Tapi sejak setahun yang lalu, Shintarou tidak tahan lagi. Tidak pernah lagi Seijuurou yang datang ke tempatnya; Shintarou selalu pergi ke Kyoto. Mereka berhenti membuat konfirmasi tentang siapa yang akan mengunjungi siapa, atau kapan mereka akan bertemu. Shintarou hanya akan datang dan Seijuurou sudah hafal.

Seijuurou memulai percakapan; ia memang selalu lebih pandai membuka pembicaraan, "Bagaimana pekerjaanmu?"

"Baik, seperti biasa." Shintarou mengembalikan perhatiannya kembali pada Seijuurou. "Minggu ini tidak terlalu sibuk, aku bisa pulang sesuai jadwal."

"Senang melihat tidak ada kantong hitam di bawah matamu."

"Tidurku cukup, posisi Cancer juga sedang baik terus."

Seijuurou membiarkan ekspresi wajahnya terlihat seperti aku tidak menanyakan soal zodiak tapi kemudian ia tersenyum, dan Shintarou ikut menunjukkan raut yang sama, hanya saja lebih pahit, dan lebih palsu.

"Ada sesuatu yang ingin kau bicarakan?" Lelaki berambut merah itu bertanya.

"Ya, kau tahu?" Shintarou tiba-tiba menjadi lebih tertarik pada permukaan air kehitaman yang ada dalam gelasnya.

"Aku tahu segalanya," senyum Seijuurou tidak sampai ke matanya, "segalanya tentangmu, setidaknya, dan kau tidak bisa mendebat itu." Saat Shintarou tidak menjawab, ia melanjutkan, "Jadi, apa yang ingin kau katakan?"

Seharusnya itu adalah sore yang indah. Jika saja saat itu adalah musim yang berbeda, mereka mungkin sedang duduk berhadapan dengan bermandikan cahaya matahari sore yang menembus jendela. Posisi Shintarou selalu membelakangi matahari, sementara sinarnya akan mencapai Seijuurou dan terpantul di rambut merahnya, menjadikan sosoknya menyala dan memperparah aura agung yang selalu dimilikinya. Ia antara suka dan tidak suka dengan pemandangan itu; Shintarou tidak begitu senang diingatkan bagaimana dan kenapa dari awal ia bisa jatuh cinta pada orang seperti Seijuurou.

(Tapi sore itu berawan; sosok Seijuurou terlihat tenang di bawah lampu kafe yang temaram, lebih indah dari senja mana pun yang pernah ia lihat.)

Seharusnya ini menjadi pertemuan singkat dan pembicaraan yang mudah, Shintarou telah menata kalimatnya dan mengulang-ulangnya selama empat minggu terakhir. Tapi ketika mereka akhirnya duduk berhadapan dan menatap wajah satu sama lain, ia mendapati bahwa tenggorokannya kering. Keraguan menguasai pikirannya. Muncul beban berat yang mengganjal dalam dadanya—sama mengganjalnya dengan kotak yang sejak pagi berdiam diri dalam sakunya.

Mereka telah mengenal cukup lama untuk tahu bagaimana cara menghadapi satu sama lain, dan Seijuurou telah menjadi cukup dewasa untuk tidak lagi mendesaknya bicara seperti yang dulu gemar dilakukannya. Sebagai gantinya, ia suka mengalihkan pembicaraan, sembari menunggu Shintarou siap menyampaikan maksudnya dan si dokter muda menghargai itu.

"Terakhir kita bertemu, kau sedang menulis cerita," Seijuurou memulai, "kau masih melakukannya?"

"Hmm, ya," ia mengaduk-aduk isi gelas dengan sendok, berusaha menghalangi gemetar yang hendak menyerang tangannya, "cukup menyenangkan juga, ternyata, untuk mengisi waktu luang."

"Begitukah? Cerita apa yang terkhir kau tulis?"

"Aku tidak yakin bagaimana cara menjelaskannya," saat ia berkata begitu, Seijuurou justru memasang wajah penasaran dan membungkukkan badannya di atas meja, memangku dagunya dengan kedua tangan; meminta rincian, "… yah, intinya," Shintarou berdeham, "ceritanya tentang Karakter A yang berusaha menyelesaikan novelnya tapi ada Karakter B yang selalu 'mengganggu' dengan komentar-komentarnya yang terlalu banyak."

"Lalu?"

"Aku belum menyelesaikannya."

"Kau pasti menyiapkan plot twist, ya kan?"

"Semacam itu." Shintarou meneguk kopinya.

"Kau tidak memberi mereka nama?"

"Belum."

"Kalau begitu," sebuah senyuman merangkak ke bibir Seijuurou, "namai karakter A dengan Midorima dan karakter B boleh jadi Akashi."

"Maaf?"

"Oh, ayolah, kalau kau menamakan mereka seperti itu, akan jadi lebih menarik saat kau menuliskan lanjutannya, kan?" Ada sesuatu dalam air muka Seijuurou yang berubah menjadi lebih lembut. "Kau yang selalu berusaha tenang dan mengotot berjalan dengan pace-mu sendiri, dan aku yang selalu terlalu banyak berkomentar karena membuatmu jengkel adalah hiburan bagiku."

"Dari caramu mengatakannya, membuatku jengkel jadi kedengaran seperti sesuatu yang manis."

"Memang manis—buatku."

Shintarou tidak berkomentar, sedang setengah jalan menghabiskan minumnya. Di meja mereka yang persegi, sepot kecil tanaman hias yang hijau segar ditempatkan di tengah-tengah. Saat-saat ada kesunyian yang menyelingi percakapan seperti inilah ia mulai sadar akan hal-hal yang sebelumnya tidak menarik perhatiannya. Tentang apakah tanaman di mejanya itu sungguhan atau hanya plastik, bagaimana musik akustik yang sejak tadi mengalun langit-langit kafe itu terdengar seperti melodi sebuah lagu yang judulnya tidak bisa ia ingat, dan kenapa interior ruangan yang didominasi kayu itu membuatnya merasa nyaman.

Atau tentang bagaimana Seijuurou benar-benar terlihat hidup dan menawan sore itu, bagaimana cahaya kuning lampu menyapa kulitnya yang pucat, bagaimana kedua mata yang tidak sama warna itu menatapnya dari balik poni merah yang sudah memanjang. Di saat seperti ini Shintarou berpikir, alasan apa yang ia punya untuk tidak terus mencintai orang itu.

Seijuurou bersandar, melemaskan punggungnya. "Shin, kau ingat kan kalau sebenarnya ada sesuatu yang spesial hari ini?"

"Dua hal, sebenarnya."

Sebelah alis merah itu terangkat. "Aku tahu yang satu, tapi yang satunya lagi apa?"

"Biar aku yang memulai. Pertama, ini adalah hari ulang tahunmu. Yang kedua," Shintarou berdeham, pelan menepuk sakunya untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa kotak itu masih bersamanya, "ini akan menjadi hari yang besar dan penting karena aku ingin memberi tahumu sesuatu."

"Apa?" Seijuurou menegakkan punggungnya. Ini dia. Waktunya telah tiba. Sejak setahun yang lalu, Shintarou telah menunggu-nunggu untuk mengatakannya langsung kepada Seijuurou. Sejak setahun yang lalu, kotak kecil di sakunya itu telah menemaninya pada malam-malam tanpa Seijuurou dan mengingatkannya agar selalu kuat. Sejak setahun yang lalu, cincin di dalam kotak itu adalah bukti cintanya yang tidak pernah dituntaskan.

Shintarou melipat kedua tangannya di meja. Menatap dalam-dalam ke mata lawan bicaranya, menelan ludah, lalu mengambil napas panjang-panjang. "Kita—"

.

.

.

"—aku rasa kita sudahi di sini saja."


A/N: Maaf, saya cuma nggak bisa nolak godaan buat ngemaso dua mahoso (maho + maso /HEH) ini. Harusnya birthday fic itu jadi sesuatu yang manis atau yang semacamnya kan ya hehehe tapi saya memang minta dicelup. Udah pokoknya selamat ulang tahun ya Akashi, dan saya cinta MidoAka. Bai. :3 /woi