Kuroko no Basuke isn't mine. It belongs to Fujimaki Tadatoshi
Tolong kasih kritiknya ya, fic pertamaku nih ^^ salam kenal semuanya~
.
"Anda resmi dinyatakan bersalah. Penjara lima bulan karena masih di bawah umur."
Semua orang bersorak gembira, kecuali sosok berambut merah yang akan menghadap ke sel penjara hari ini juga. Laki-laki itu sama sekali tidak berekspresi, malahan sedikit tersenyum. Sangat tipis.
Laki-laki itu bernama Seijuurou dengan marga Akashi. Akashi telah membakar sebuah toko bangunan, dan hasilnya toko beserta belasan rumah yang berada di sekitarnya hangus dilahap api.
Semuanya cuman dendam. Salah satu karyawan toko yang dikenal Akashi membakar rumahnya karena kritikannya, yang menurut Akashi itu adalah benar. Sayangnya karyawan toko ini tidak suka dikritik. Kalian tahu kritikannya apa?
"Ibu jangan jarang tersenyum. Kalau seperti itu pembeli bakal kabur. Dipecat baru tahu rasa."
Dan pada saat ingin balas dendam, Akashi tak tahu di mana rumah karyawan sialan itu. Akhirnya, ia dengan rencana gilanya membakar toko si karyawannya itu.
Sekarang, ia masuk penjara. Lima bulan. Sempurna.
.
"Cepat masuk!"
Polisi itu mendorong tubuh Akashi hingga terjatuh di dalam selnya. Laki-laki berbaju kumal berusaha membantu Akashi berdiri. Dilihat dari wajahnya, laki-laki itu bukan orang Jepang.
"Terima kasih," ucap Akashi.
"Bu ke qi," jawab laki-laki itu, lalu mengulurkan tangan kanannya, "Liu Wei. Silakan panggil aku Wei."
"Akashi Seijuurou. Panggil aku Akashi. Ini bukan permintaan. Ini perintah," ujar Akashi.
Sepertinya dia bukan orang biasa, pikir Wei, "Baiklah Akashi, mau menemaniku?"
"Aku mau tidur. Sudah larut. Dan aku lelah dengan masalah pada hari ini," ujar Akashi.
"Aku mohon," pinta Wei.
Dan entah mengapa, Akashi penasaran apa yang mau dikatakan pemuda aneh di sampingnya. Ia pun bangkit.
"Orang Cina?" tanya Wei.
"Bukan. Kau sendiri?" balas Akashi.
"Aku orang Cina. Kalau kau orang Cina, pasti akan lebih lancar bicaranya," ujar Wei, "hmm, kena kasus apa?"
"Bukan urusanmu," jawab Akashi datar.
"Jangan terlalu memendam masalahmu sendiri. Terkadang kau butuh orang yang akan membantumu keluar dari masalahmu," ujar Wei.
"Aku membakar toko," ucap Akashi pada akhirnya.
"Itu masih lumayan. Aku membunuh orang," timpal Wei.
Akashi sebenarnya tidak peduli, tapi entah mengapa ia tertarik dengan lelaki di sampingnya. Berbeda sekali dengan teman-teman di SMP-nya.
"Sebenarnya tidak sengaja. Saat itu aku melihat gadis yang digodai preman. Aku melawan mereka satu per satu. Lalu ketuanya datang dan tahu-tahu memukul kakiku, namun untuk selanjutnya aku berhasil merebut kayunya dan memukul punggungnya. Tak kusangka dia mati."
"Oh," respon Akashi.
"Aku yakin kau pasti baru pertama kali masuk penjara," ujar Wei.
"Ya," jawab Akashi.
"Jangan terlihat stres begitu! Di dalam atau di luar penjara sama saja! Seperti rumah yang dibatasi pagar!" hibur Wei.
Benar juga, pikir Akashi. Selama ini hidupnya cuman untuk pergi ke sekolah. Les pun sampai mengundang guru privat.
"Apa kau pernah mendengar pepatah cina?" tanya Wei.
Akashi menggeleng. Dia bukan orang Cina, lagi pula tidak mesti tahu juga.
"Pu yao hou hui, pu yao pa. Artinya 'hidup tak boleh takut, tak boleh menyesal'," ujar Wei, lalu menguap, "aku mengantuk. Terima kasih telah menemaniku begadang."
"Tunggu," cegat Akashi.
Wei menoleh, "Apa?"
"Bagaimana kalau kita kabur?" oh! Pukul Akashi pakai apa saja! Dia sudah gila!
"Hah?! Tidak! Terima kasih!"
.
"Tahanan kabur!"
Akashi melarikan diri, dengan dua polisi yang mengejarnya. Makin lama makin dekat saja jarak antara mereka.
"Berhenti dan angkat tangan!"
Dia tetap berlari, tak memedulikan seruan polisi yang mengejarnya. Dan saat tersandung batu dan ia terjatuh, ia segera bangkit, namun terlambat. Suara pelatuk ditekan dan—
Dor!
—rasa panas menembus jantungnya. Yang diingatnya adalah ia jatuh untuk yang kedua kalinya dan tak sadarkan diri.
