A HAPPY END ...?
Main Cast: Lee Donghae, Lee Hyukjae
Genre: Romance, Friendship
WARNING!
BOYS LOVE
DON'T LIKE? DON'T READ PLEASE!
THE STORY IS MINE
Typo may applied, don't be silent reader please.
NOT ALLOWED TO COPY PASTE WITHOUT MY PERMISSION :)
TIDAK MENERIMA BASH DAN KAWAN-KAWANNYA. KRITIK DAN SARAN SANGAT DIBUTUHKAN.
THANKYOU :)
.
.
All the fears you feel inside, it ending here...
.
.
Hari mulai gelap ketika Donghae sampai di rumah. Pemuda berusia delapan belas itu berjalan gontai menuju flat sederhana yang menjadi tempat tinggalnya setahun belakangan ini. Tas sekolah berwarna hitam yang menjadi teman seperjuangannya ia seret dengan malas, berkali-kali ia terdengar membuang napas berat sambil terus melangkah. Semua yang ia alami hari ini memang berat. Lupa mengerjakan tugas, dimarahi karena ketiduran di kelas dan terakhir ia tidak menangkap pelajaran hari ini. Kehidupan sekolah yang Donghae jalani semakin hari semakin mencekik. Serius, tugas sekolah yang seolah tidak ada habisnya itu terasa membunuh perlahan.
Pagi ini Donghae berangkat sekolah lebih awal karena semalam ia lupa mengerjakan tugasnya. Donghae malah asyik keluyuran hingga malam untuk memotret langit, dengan kamera kesayangannya yang merupakan peninggalan kakaknya yang sudah meninggal. Dan karena hal itu juga yang menjadi alasan kenapa Donghae pulang hampir malam hari ini. Sepulang sekolah tadi Donghae mampir ke studio milik mendiang kakaknya, ia membereskan foto yang belum sempat digantung dan mencetak beberapa foto hasil jepretan mendiang kakaknya.
Lee Donghwa berusia empat tahun lebih tua dari Donghae. Sosoknya yang lembut dan dewasa sangat dikagumi Donghae. Sebagai anak sulung yang nantinya akan mewarisi perusahaan keluarga, Donghwa sangat bertanggungjawab dan bisa diandalkan. Apapun yang dilakukan Donghwa selalu membuat Donghae kagum, ia ingin menjadikan kakaknya sebagai panutan dan berusaha mengikuti semua yang dilakukan kakaknya. Termasuk mengikuti jejaknya menjadi seorang fotografer alam.
Sejak remaja Donghwa dikenal sebagai fotografer muda berbakat, karya pertamanya diakui oleh profesional hingga membawanya ke puncak kesuksesan dan memiliki studio sendiri. Sayangnya, Donghwa tidak bisa menikmati kesuksesannya lebih lama karena harus meninggalkan dunia ini lebih cepat. Donghwa meninggal di usianya yang baru menginjak angka dua puluh. Saat itu Donghwa sedang memotret di pantai Haeundae, dan tanpa diduga terjadi tsunami besar. Donghwa terseret arus dan kemungkinan meninggal sebelum ditemukan tim SAR. Jasadnya baru ditemukan tiga hari setelah kejadian. Mengingat kejadian itu, membuat Donghae pusing dan sakit hati. Ia tidak menyangka akan kehilangan kakaknya secepat itu.
"Hei, kau baik-baik saja?" Suara lembut yang sangat familiar itu membuyarkan lamunan Donghae. Ia yang sedari tadi berdiri sambil melamun didekat jendela kamarnya terkesiap karena panggilan itu.
"Hyukjae, kapan kau datang?" tanya Donghae sambil menghampiri pemuda berkulit putih pucat itu.
Pemuda berkulit putih pucat yang dipanggil Hyukjae itu memandangi Donghae dengan alis bertaut, lalu duduk di tepian tempat tidur. "Baru saja. Tapi sepertinya kau terlalu asyik melamun hingga tidak menyadari kehadiranku."
"Oh," sahut Donghae asal. Ia kemudian merebahkan dirinya di tempat tidur sambil memandangi langit-langit kamarnya dengan pandangan menerawang.
"Aku datang karena saat pulang sekolah tadi tidak melihatmu," kata Hyukjae menjelaskan.
"Oh, aku ke studio kakakku dan lupa memberitahumu. Maaf, aku tergesa-gesa tadi." Donghae beringsut, lalu duduk di samping Hyukjae.
"Oh iya, aku dapat hadiah dari kontes memotret bulan lalu. Tapi karena bukan juara pertama, aku tidak dapat banyak."
Hyukjae tersenyum bangga sambil menatap mata hazel Donghae yang berkilauan, ia suka sekali melihat senyum Donghae yang cerah. Semenjak mendiang kakaknya meninggal dua tahun yang lalu, Hyukjae hampir tidak pernah melihat Donghae tersenyum secerah itu.
"Benarkah? Jadi, apa kau akan mengajakku jalan-jalan nanti?" tanya Hyukjae antusias. Matanya tak kalah berbinar, senyumnya juga terlihat cerah dan tulus.
"Hmm, setelah kupotong untuk keperluan rumah sisanya benar-benar tidak banyak." Mata sendu Donghae melengkung, ia takut mengecewakan Hyukjae yang selama dua tahun ini menjadi kekasihnya itu.
Hyukjae tertawa pelan sambil mengelus lembut rambut brunette Donghae yang mulai panjang. "Suruh siapa kau kabur dari rumah dan nekat hidup sendiri? Lihat, sekarang baru terasa hidup mandiri diusia remaja itu sulit."
Setahun setelah Donghwa meninggal, Donghae memang memilih tinggal sendiri di flat sederhana yang tidak jauh dari sekolah. Ia nekat meninggalkan rumah karena ayahnya menentang keinginan Donghae untuk menjadi fotografer seperti kakaknya. Sang ayah marah besar saat mengetahui anak bungsunya ingin mengikuti jejak mendiang anak sulungnya. Beliau yang sudah berusia lanjut tidak mau kejadian yang menimpa anak sulungnya terulang, itu sebabnya dia menentang keras keinginan Donghae dan hanya ingin Donghae hidup sebagai calon pewaris tunggal perusahaan keluarga.
Terjadi pertengkaran besar saat Donghae nekat ikut kontes memotret di festival musim panas tahun lalu. Ayahnya yang mengetahui Donghae mengikuti kontes itu diam-diam, langsung memarahinya dan tidak segan memukulnya. Sejak saat itu hubungannya dengan sang ayah meregang dan akhirnya Donghae memilih untuk pergi dari rumah. Enggan berurusan dengan ayahnya lagi.
Donghae mengembuskan napas panjang. "Kau benar, hidup mandiri memang susah. Aku harus belajar dengan giat sepanjang hari dan saat akhir pekan tiba aku harus bekerja dengan giat juga." Ia kemudian melirik Hyukjae yang masih menatapnya. "Haruskah aku kembali ke rumah ayah saja?"
Hyukjae berpikir sejenak sebelum mengutarakan pendapatnya. "Hmm, lakukan apapun yang menurutmu terbaik. Aku di sini akan selalu mendukung apapun yang menjadi keputusanmu."
Ucapan Hyukjae barusan membuat Donghae tersenyum. Ini lah alasan kenapa Donghae bertahan bersamanya selama dua tahun ini. Padahal Donghae yang terkenal cassanova itu tidak pernah menjalin hubungan lebih dari tiga bulan sebelumnya. Tapi Hyukjae berbeda, dia memiliki sesuatu yang selama ini Donghae cari dan tidak ia temukan di sosok siapapun. Mantan-mantan kekasihnya dulu adalah sekumpulan gadis yang hanya tahu belanja dan bersenang-senang memamerkan ketampanan Donghae. Tidak ada satupun dari mereka yang bisa memahami Donghae seperti Hyukjae yang memahaminya.
Hyukjae pribadi yang menyenangkan, namun ada kalanya dia sangat tertutup pada orang lain. Ah, dan dia juga sangat galak, tidak mudah mendekatinya. Butuh waktu dan usaha untuk Donghae mendapatkan hatinya seperti sekarang ini. Donghae bahkan tidak ingat, berapa kali Hyukjae menolaknya dulu. Oh, Donghae juga ingat, Hyukjae selalu memakinya dengan kata kasar setiap kali Donghae berusaha merayunya. Bahkan saat pertama kali menyatakan cinta, Hyukjae menendang tulang keringnya dengan keras. Serius, itu sakit sekali.
"Jadi bagaimana?" tanya Donghae bingung.
"Aku akan sangat senang jika kau mau kembali ke rumah ayahmu dan berdamai dengannya. Tapi jika kau memutuskan untuk tetap hidup mandiri seperti sekarang, aku juga tidak keberatan dan akan selalu mendukungmu," Hyukjae berkata sambil menangkup wajah Donghae dengan kedua telapak tangannya.
"Sekarang, mandi dan ganti bajumu. Aku membawa masakan ibuku untuk makan malam kita hari ini."
Donghae mengangguk sebelum membawa dirinya melangkah menuju kamar mandi. Ia berjalan mundur karena tidak ingin melepaskan pandangannya dari sosok manis Hyukjae yang sangat ia cintai. Karena sepanjang hari ini Donghae sibuk di sekolah dan saat pulang tadi tidak melihatnya, ia jadi sangat merindukan Hyukjae tanpa alasan yang jelas.
"Kau bisa terantuk sesuatu jika berjalan begitu, bodoh!" seru Hyukjae mengingatkan kekasihnya.
Tapi Donghae menghiraukannya dan terus berjalan seperti itu hingga masuk ke dalam kamar mandi.
"Ah!"
Terdengar suara mengaduh dan suara benda jatuh sesaat setelah Donghae menutup pintu kamar mandinya. Hyukjae tertawa cukup keras, ia tahu Donghae pasti menabrak sesuatu. Salah siapa? Jelas Hyukjae sudah memperingatkannya barusan.
"Hah, rasakan! Dasar idiot, aku sudah memperingatkanmu barusan!"
"Berisik!" Donghae berteriak dari dalam kamar mandi. Sementara Hyukjae hanya bisa tertawa geli.
Sambil menunggu Donghae selesai mandi, Hyukjae menuju ke dapur. Ia membongkar barang bawaannya dari rumah. Ibunya membuatkan samgyetang untuk Donghae yang sudah ia anggap seperti anak sendiri. Kalau di pikir-pikir lagi, ibunya jadi lebih perhatian pada Donghae dua tahun belakangan ini. Setiap kali memasak, ibunya itu selalu menyebut nama Donghae. Memikirkan apa yang harus ia buat untuk diberikan pada Donghae setiap harinya. Hyukjae yang notabene anak kandung sang ibu kadang merasa iri, tapi ia juga senang karena keluarganya begitu terbuka dan menyambut kehadiran Donghae dihidupnya dengan hangat. Berbeda sekali dengan keluarga Donghae yang justru menentang hubungan mereka.
Oh, Hyukjae jadi ingat pada saat pertama kali datang ke rumah Donghae dulu. Saat itu ayahnya memarahi Donghae karena diam-diam ikut kontes memotret. Bahkan ayahnya menampar Donghae dihadapan Hyukjae. Kejadian itu sepertinya meninggalkan bekas luka dihati Donghae, hingga ia tidak mau kembali ke rumah dan memilih mengabaikan ayahnya hingga sekarang.
"Wah, ibu membuat samgyetang?" Donghae keluar dari kamar mandi dengan hanya menggunakan celana pendek. Ia menghampiri Hyukjae ke meja makan sambil menggosok rambut brunettenya dengan handuk kecil.
"Kau selalu memanggilnya ibu, padahal dia ibuku," keluh Hyukjae pura-pura kesal.
Donghae berdecak sambil memincingkan matanya. "Setelah kita lulus sekolah, dia juga akan jadi ibuku."
"Hm?"
"Ibu mertua." Kemudian Donghae tertawa tidak jelas, membuat Hyukjae hanya bisa memutar bola matanya malas dan bergumam pelan mengatainya bodoh.
"Kemarilah, biar aku bantu mengeringkan rambutmu." Hyukjae menepuk kursi dihadapan meja makan, menyuruhnya untuk duduk dan segera menyantap makan malamnya.
Donghae mengangguk, lalu duduk dan membiarkan Hyukjae mengusak rambutnya yang cukup tebal itu dengan handuk. Sementara dirinya mulai menyantap samgyetang yang menjadi menu makan malamnya.
"Kau pasti melewatkan makan siangmu tadi, benar?" tanya Hyukjae sambil memperhatikan Donghae yang mulai makan dengan lahap, sementara tangannya masih menggosok rambut Donghae dengan handuk.
"Bagaimana kau tahu?" tanya Donghae tanpa mengalihkan pandangannya dari hidangan ayam lezat itu.
"Semenjak kau menjalani hobi memotretmu dengan serius, kau selalu melewatkan jam makanmu. Kau mungkin tidak menyadarinya, tapi berat badanmu belakangan ini semakin turun. Saat memelukmu aku merasakan adanya tulang-tulang yang menonjol ...,"
"Termasuk bagian bawahku yang menonjol," sela Donghae memotong kalimat Hyukjae.
Hyukjae berdecak sambil mendorong kepala Donghae hingga nyaris menabrak mangkoknya. "Bocah mesum!" serunya kesal.
Donghae hanya tertawa melihat wajah Hyukjae yang kesal, kemudian ia menarik pergelangan Hyukjae dan membuatnya duduk di pangkuannya. Mata sendu Donghae mengunci tatapan Hyukjae. Seketika waktu terasa berhenti, hanya ada mereka berdua saat ini. Hyukjae menyukai tatapan Donghae yang sendu dan dalam. Hanya dengan membalas tatapannya, Hyukjae sudah merasa sangat dicintai oleh pemuda yang terkadang keras kepala itu.
"Malam ini aku mau mengajakmu ke pameran," kata Donghae tanpa memutus kontak matanya.
"Malam ini?" tanya Hyukjae memastikan.
"Hmm."
Hyukjae berpikir sejenak. "..., pameran apa?"
"Investor dari kontes foto yang aku ikuti waktu itu mengadakan pameran di galeri pribadinya yang ada di Gangnam. Karena aku juara ketiga, mereka ingin memasang karyaku di pamerannya."
Hyukjae hanya diam mendengar penuturan Donghae. Ia tiba-tiba teringat pada pembicaraannya dengan Shim Changmin—teman dekat Donghae sejak sekolah menengah pertama, seminggu yang lalu. Changmin memberitahunya bahwa hasil jepretan Donghae menarik perhatian banyak fotografer profesional dikontes terakhir yang diikutinya. Pemuda jangkung itu bilang, Donghae ditawari untuk ikut ke New York dan mengikuti pelatihan untuk jadi fotografer profesional di sana. Yang mengusik pikiran Hyukjae adalah karena Donghae yang tidak mengatakan apa-apa padanya. Donghae tidak pernah menyinggung soal itu dengan Hyukjae, padahal Donghae tidak pernah menyembunyikan apapun darinya.
"Hyukjae?" Donghae mengecup singkat bibir plum Hyukjae yang ada dihadapannya. Ia mengoceh dari tadi, tapi sepertinya Hyukjae tidak memperhatikannya sama sekali.
"Hm?"
Donghae berdecak. "Kau tidak mendengarkan aku?" tanyanya agak kesal.
"Oh, maaf. Ada apa?"
"Minggu depan sudah masuk liburan musim panas," Donghae berkata dengan nada menggantung.
"Hmm, lalu?" tanya Hyukjae penasaran.
"Aku ingin mengajakmu ke Jeolla. Hanya kita berdua."
Mata doe Hyukjae membulat, ia tidak percaya dengan apa yang didengarnya barusan. Donghae? mengajaknya liburan? Hanya berdua? Itu adalah hal yang hampir mustahil. Hyukjae bahkan tidak pernah membayangkannya. Selama berhubungan dengan Donghae dua tahun ini, dia hampir tidak pernah mengajak Hyukjae kencan. Hanya sekali Donghae mengajak kencan Hyukjae ke taman bermain saat mereka merayakan satu tahun hari jadi mereka. Itupun ditemani oleh Changmin, Kyuhyun dan Junsu. Oh, juga Victoria, kekasihnya Changmin.
"Kenapa tiba-tiba?" tanya Hyukjae bingung.
"Liburan musim panas nanti akan menjadi liburan terakhir kita sebagai siswa sma, tahun depan kita sudah lulus dan jadi mahasiswa."
Ah, benar juga. Mereka sudah berada di tingkat akhir sekolah. Waktu berjalan tanpa terasa, hari-hari yang dilalui bersama Donghae begitu menyenangkan hingga membuat Hyukjae lupa mereka sudah hampir dewasa.
"Sudahlah jangan dipikirkan. Sekarang, aku harus bersiap dan berangkat ke pameran."
Donghae beranjak dari tempat duduknya, setelah sebelumnya mengangkat tubuh ringan Hyukjae dan memindahkannya agar duduk di atas meja makan. Sementara Hyukjae masih mematung di atas meja makan, pandangannya tertuju pada pintu kamar Donghae yang tidak tertutup.
Apa sesuatu terjadi padanya ...?
.
ooODEOoo
.
"Lee Donghae! Ya Tuhan, aku bangga sekali padamu."
Changmin langsung menerjang Donghae begitu melihat sahabatnya itu muncul dan bergabung di tengah keramaian pameran. Pemuda jangkung yang hobi makan itu dengan tidak tahu malu berteriak memanggil Donghae dan langsung memeluknya heboh. Mengundang banyak mata untuk memperhatikan mereka.
"Chwang ..., lepas! Kau membuatku malu." Donghae mendorongnya menjauh, lalu menatapnya dengan sinis.
"Aku benar-benar bangga karya sahabatku dipajang di pameran berkelas seperti ini!" seru Changmin heboh.
Hyukjae yang melihat itu hanya tertawa pelan, ia sudah terbiasa dengan reaksi berlebihan Changmin. Dia memang seperti itu jika sedang bersama teman-teman dekatnya. Tapi saat dikelas atau dihadapan teman-temannya yang tidak dekat, dia bersikap tenang dan kalem. Saat sekelas dengan Changmin kelas satu dulu, Hyukjae sempat mengira Changmin punya kepribadian ganda. Tapi setelah dekat dan kembali satu kelas lagi saat naik kelas dua—dan satu kelas juga di kelas tiga, Hyukjae semakin mengenalnya dan memahami sifatnya. Changmin dan Donghae memiliki sifat yang hampir sama, keduanya hanya akan menunjukan jati diri mereka pada orang-orang yang dianggap dekat saja. Selebihnya, mereka akan bersikap tenang dan terkesan tak acuh.
Tiga tahun yang lalu, saat Hyukjae masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, Hyukjae memutuskan untuk masuk ke sekolah menengah atas khusus laki-laki Jaeguk. Keputusan itu datang setelah Hyukjae melihat selebaran yang menempel di majalah dinding sekolahnya. Di sana ditulis, bahwa sekolah mereka memiliki ruang musik yang memadai dan mendukung siswa yang berprestasi di bidang musik dengan beasiswa untuk kuliah di Paris. Impian Hyukjae sedari dulu adalah melanjutkan sekolahnya ke Paris dan mendalami segala sesuatu yang berkaitan dengan musik. Terutama menari dan main piano. Karena itulah ia memutuskan masuk ke Jaeguk. Tanpa diduga, selain mendapatkan apa yang ia mau, Hyukjae juga mendapatkan kekasih hebat seperti Donghae. Seorang fotografer muda berbakat yang pintar main piano. Hyukjae jatuh hati padanya setelah melihat permainan pianonya yang piawai. Donghae menekan tuts-tuts piano itu dengan elegan hingga menciptakan alunan musik yang indah.
Hyukjae menerima pernyataan cinta Donghae dua tahun lalu, setelah sebelumnya Hyukjae tolak sampai tiga kali. Waktu itu Hyukjae menolaknya karena berpikir Donghae hanya main-main dengannya. Donghae yang ada di kelas unggulan itu terkenal cassanova, berganti pacar tiga bulan sekali dan dikenal penjahat kelamin karena dia memacari siapapun. Entah itu laki-laki atau perempuan, tidak peduli lebih tua atau lebih muda. Donghae menyabet semuanya. Bahkan Changmin yang pada dasarnya teman dekat Donghae pernah bilang, Donghae itu predator cabul dan Hyukjae harus hati-hati dengannya. Itu sebabnya, Hyukjae yang pernah mengalami kisah cinta monyet yang pahit memilih untuk menolak pernyataan cinta Donghae dan sempat menjauhinya.
Beberapa bulan Hyukjae menjauhinya, dan kembali dekat setelah melihat permainan piano Donghae di festival tahunan sekolah. Saat itu Hyukjae mengajaknya bicara soal piano dan malah berujung pada obrolan tidak jelas. Semakin lama Hyukjae menilai Donghae tidaklah semengerikan yang diceritakan Changmin. Dalam hati Hyukjae sempat menyumpahi Changmin yang menurutnya sangat berlebihan dalam menilai Donghae. Buktinya, setelah mencoba dekat dengannya, Hyukjae merasa nyaman. Akhirnya setelah beberapa minggu kembali dekat, Hyukjae memutuskan untuk menerima cintanya dan menjalani hubungan kekasih hingga hari ini.
"Oy, Hyukjae! Kau sedang apa?" Changmin mengibaskan tangannya di depan wajah Hyukjae.
"Hah? Oh, aku memperhatikan hasil foto Donghae yang dikerumuni banyak orang." Hyukjae berbohong, ia tidak mungkin bilang pada Changmin bahwa baru saja melamun.
Tapi Hyukjae tidak sepenuhnya berbohong, foto hasil jepretan Donghae yang tergantung di dinding itu memang dikerumuni banyak orang. Mereka kagum melihat foto gedung pencakar langit yang di abadikan dengan aesthetic itu.
"Ah, kau benar. Eh omong-omong, Donghae sudah mendapatkan hadiahnya, bukan?" tanya Changmin pada Hyukjae, karena Donghae tampak sedang sibuk memandangi hasil jepretan orang yang mendapat juara satu.
Hyukjae mengangguk. "Hmm, dia mendapatkannya kontan."
"Wah, hebat!" seru Changmin tiba-tiba. "Aku sudah membuat daftar makanan apa saja yang akan aku beli nanti."
Donghae yang mendengarnya langsung berbalik, lalu menendang tulang kering Changmin. "Untuk apa aku membelikanmu makanan? Kau dasar perut karet, hanya makanan saja yang kau pikirkan!"
"Tidak usah menendangku, bodoh!" Changmin berteriak setelah mengaduh karena tulang keringnya berdenyut sakit. "Lalu, mau kau gunakan untuk apa uang sebanyak itu?"
"Tidak banyak," sela Hyukjae sebelum Donghae menjawabnya. "Donghae sudah menggunakannya untuk keperluan rumah."
"Sisanya akan aku gunakan untuk liburan musim panas nanti," tambah Donghae.
"Kalian akan liburan berdua?" tanya Changmin heboh. "Lalu, aku dan Kyuhyun bagaimana?"
Donghae melirik Changmin sinis. "Apa urusannya denganku?"
"Permisi, kau siswa yang bernama Lee Donghae."
Donghae dan Changmin berhenti berdebat, keduanya menoleh pada sosok laki-laki setengah baya yang berjas rapi. Hyukjae ikut menoleh, lalu memandanginya bingung.
"Ya, aku Lee Donghae." Donghae membungkuk sopan, diikuti Changmin dan Hyukjae.
"Aku Steve Choi dari majalah Exposure. Aku pernah membuat artikel soal kakakmu, Lee Donghwa. Karyanya yang memotret kunang-kunang di pelosok Yeosodo itu sungguh menakjubkan."
Donghae menerima kartu nama yang diserahkan laki-laki berjas itu dengan kedua tangannya. Oh, Donghae ingat artikel yang dibuatnya beberapa tahun yang lalu itu. Saat kakaknya mendapatkan penghargaan untuk pertama kali, karyanya memang langsung terkenal dan masuk majalah berkelas itu.
"Selain mendapatkan perhatian karena adik dari Lee Donghwa, kau juga membuat kagum para fotografer profesional karena jepretanmu. Oh, videomu yang kau unggah di situs online juga viral karena kepiawaianmu menangkap objek dengan kamera."
Mendengar penuturan laki-laki setengah baya itu, membuat Hyukjae melirik Donghae kagum. Donghae memang terlihat tak acuh dan bermain-main dengan hidupnya, tapi sebetulnya dia sudah memikirkan masa depannya. Sejak kecil Donghae sudah punya tujuan hidup, meski terkadang ia terlihat tidak peduli. Berbeda dengan Hyukjae masih tidak jelas tujuannya apa. Hyukjae ingin jadi menjadi penari profesional, tapi ia juga ingin jadi pianis. Tujuan masa depannya masih tidak jelas, Hyukjae bahkan belum memutuskan mau kuliah di universitas yang mana. Sementara Donghae sudah jelas dia akan melanjutkan studinya ke bidang yang berkaitan dengan fotografi. Bahkan sebelum lulus pun Donghae sudah ditawari untuk pergi ke New York.
"Oh, jadi itu Lee Donghae? Yang memotret gedung itu?"
"Dia yang juara ketiga? Wah, tampan dan masih muda."
"Dia Lee Donghae?"
Hyukjae menoleh ke belakang dan sadar ada banyak orang berkumpul di sana memperhatikan Donghae yang sedang bicara dengan seseorang dari majalah terkenal itu. Hyukjae menghela napas panjang, ia mundur beberapa langkah dan membiarkan orang yang sedari tadi memperhatikan Donghae dari jauh mulai mendekat dan memotret Donghae. Bersama Changmin, ia memilih untuk ke sudut ruangan yang agak sepi.
"Terima kasih," kata Donghae pelan.
"Kalau kau ada waktu, datanglah ke kantorku yang ada di Cheondamdong. Aku permisi dulu,"
Setelah membungkuk pada Steve Choi yang tiba-tiba menghilang ditengah keramaian, Donghae baru menyadari dirinya jadi pusat perhatian. Ia mulai risih, lalu menutupi kepalanya dengan topi yang sejak tadi menggantung di tas ranselnya. Kepalanya menoleh ke kanan dan sadar Hyukjae tidak ada di sampingnya. Mata hazel Donghae bergerak gelisah, ia mencari Hyukjae yang entah kemana.
"Boleh kami wawancara?" Seorang wartawan menghampiri Donghae, menghalangi langkahnya yang baru saja akan mencari Hyukjae.
Donghae menoleh sekali lagi dan mendapati Hyukjae sedang mengobrol dengan Changmin di sudut ruangan. Donghae menghela napas lega, ia pikir Hyukjae pergi diam-diam.
"Oh, baiklah."
"Bagaimana bisa kau mendapatkan angle seindah itu saat memotret gedung yang sebenarnya biasa itu?" tanya wartawan bertubuh tinggi dan kurus itu.
Donghae tersenyum, matanya memandang lurus ke arah Hyukjae. "Semua berkat pacarku. Dia inspirasi terbesarku."
Wartawan itu mengerutkan dahinya, tidak begitu paham dengan jawaban Donghae.
"Kalau bukan karena dia, aku mungkin sudah menyerah dan berhenti memotret," kata Donghae tanpa mengalihkan pandangannya dari Hyukjae.
"Wah, dia pasti gadis beruntung. Apa dia cantik?"
Donghae tersenyum penuh arti. "Dia lebih dari itu. Dia indah. Dia hal yang terindah dalam hidupku selama delapan belas tahun ini."
"Hmm, menarik. Bagaimana kalau kita melakukan wawancara yang lebih resmi besok?" tawar wartawan itu sambil menyodorkan kartu namanya.
Donghae mengangguk, menerima kartu nama itu. "Baiklah."
"Kalau begitu aku permisi. Sampai jumpa besok."
"Tunggu," kata Donghae tiba-tiba. Membuat wartawan yang hendak pergi itu kembali berbalik dan memandang Donghae.
"Dia bukan seorang gadis. Tapi yang jelas, dia lebih indah dari itu."
Setelah berkata demikian Donghae membungkuk dan pamitan, membuat wartawan itu memiringkan kepalanya sambil mengerut kening.
Hyukjae-ku adalah hal yang paling indah...
.
ooODEOoo
.
