Fanfiction ini diikutsertakan dalam #EventGarisMiring
.
ANXIETY
"Love. Obsession. Uncertainty."
.
Secarik kisah dari ribuan eksemplar buku cerita kehidupan.
.
Karena aku adalah makhluk buas untuk imajinasiku, karena aku pemikir brutal yang membabi buta atas keinginan-keinginan tak masuk akal, jadi aku memerangkap diriku sendiri bersamamu, memaksa renggang usia kita seolah bukan masalah, berpaling dari moral sosial, karena aku.. pendosa.
Kau bilang, "langit itu seperti laut!" Aku ingin mempercayai kata-katamu, mempercayai setiap hal yang kau lakukan, dengan binar yang berkerlap kerlip di matamu aku ingin menyaksiksan bagaimana langit dan laut yang begitu jauh jaraknya bisa bergandengan seperti yang kau sebutkan. Dengan begitu, aku tak perlu takut atas keraguan yang kusimpan dan kupendam diam-diam. Karena... kau belum tahu bagaimana isi kepalamu langsung dipenuhi banyak hal di detik matamu terbuka di pagi hari, kau belum tahu bagaimana berhemat dan memenuhi kesenanganmu itu adalah dua hal kontradiksi, kau belum tahu cara bercakapmu memiliki arti, kau belum tahu bagaimana rasanya menjadi seorang dewasa.
Tapi itu tidak apa-apa, Eren.. itu bukan masalahmu atau masalahku. Lihatlah sekarang, dimana kita, dengan siapa, mengenakan apa, dan apakah kau tersenyum? Selama kau bisa lihat aku, aku akan membuatmu tersenyum dan begitulah kita melewati hari. Sejauh apapun sesuatu memisahkan kita, ingatlah langit pun bisa menyentuh laut di ujung horizontal.
Eren,
"Mister Levi!"
Ya, seperti itu, Eren. Lambaikan tanganmu padaku, sebut namaku dengan raut sumringah. Karena aku akan percaya, kau menginginkanku sebesar aku menginginkanmu meski hasratmu itu hanya sesaat.
Sesaat sampai kau...
melewati usia remajamu.
.
ANXIETY
"Love. Obsession. Uncertainty."
.
Kau bisa tertawa sesukamu, kau bisa menangis ketika kau ingin, kau berteriak dan marah jika kau memang merasakan itu, tapi aku... kedua tanganku, yang kulitnya menebal dan tak lagi berdarah jika Cuma duri melukainya atau pisau dapur menggoresnya, bahkan tak bisa meraihmu untuk aku genggam dalam pelukan dan kuberitahu padamu bahwa aku tak ingin melepasmu, aku ingin kita berjabat tangan tanpa mempedulikan apa yang mungkin orang lain pikirkan, tanpa mempedulikan apa akibat dari yang kita lakukan terhadap masa depanmu.
"Mr Levi, aku menyukaimu!"
Berapa juta kali kau telah mengatakannya padaku? Apa kau tak cukup yakin perasaanmu itu tersampaikan?
"Hei, Mr Levi... katakan kau juga menyukaiku."
Dan apakah aku perlu mengatakan hal yang sama padamu? Eren, dengar, ada orang yang berkata mereka menyukai hujan, tapi mereka berlindung di bawah payung. Ada orang yang berkata mereka menyukai matahari, tapi mereka mengerut menghindar dari silau. Ada orang yang berkata mereka menyukai angin, tapi mereka menutup jendela dan pintu ketika angin bertiup. Itu membuatku takut ketika kau berkata kau menyukaiku, Eren.
.
ANXIETY
"Love. Obsession. Uncertainty."
.
"Kau bohong,"
Aku tersenyum, berusaha membuat wajah ceria serupa yang biasa kau buat.
"Kau bohong!"
Karena aku tak lagi sebebas dirimu, jika aku harus berbohong, itu adalah apa yang terbaik yang harus kulakukan sebagai seseorang yang telah mengarungi kehidupan lebih banyak daripada kau.
"Kau tahu, aku tak pernah ingin tumbuh dewasa. Sayang, aku bukan Peter Pan. Meski aku terperangkap dalam tubuh begini, aku tak bisa terbang."
Apa kau akan tertawa mendengar perkataan bodoh ini? Mungkin kau tak mengerti, karena bagimu aku tetap pria dewasa yang mengerti banyak hal. Aku mengira-ngira ketika kepalamu menunduk dalam menatap sepasang sepatu usang yang kau bilang itu menjadi sepatu favoritmu di hari pertama kau menerimanya, di hari ulangtahunmu, sebuah kado yang kuberikan dari gajih pertamaku, dan kau tak tahu seberapa mahal sepatu itu dan aku bersusah payah mendapatkannya dengan mengurangi jatah makan. Kau hanya memandangku sebagai lelaki dewasa yang mapan.
Sekonyong-konyong ku muntahkan kekhawatiran yang kuyakin kau tak mengerti. Kau menganggapnya lelucon bodoh, aku yakin itu. Karena jika kukatakan lebih jelas lagi, Eren, kau dan aku akan lihat seperti apa ketakutan yang kupendam. Aku tidak seperti yang kau pikirkan.
"Kau bohong!"
Apa yang tak aku dustakan kepadamu? Kesehatanku? Kisahku? Keluargaku? Pekerjaanku? Biaya sewa apartemenku? Kenapa kau tuduh aku berbohong sekarang ketika aku telah melakukan itu sejak awal? Demi mendapatkanmu, Eren.. demi membahagiakanmu, telah kubuang akal sehat dan harga diri. Kau telah membuat pendosa ini merasa bersalah, dan perasaan bersalah adalah larangan pertama bagi seorang pendosa. Kau tak tahu penderitaan yang kurasakan, Eren. Kau tak pernah tahu karena aku pendusta yang handal, meski kau sebut keahlianku ini adalah pengkhianatan karena kau percaya semua yang kuucapkan adalah kebenaran dan kau mengikuti tiap kata-kataku.
Jika aku tak pernah berdusta, apakah aku akan pernah menggengam tanganmu? Apakah kau akan mengatakan kata-kata yang membuatku khawatir kau akan melupakan kata-kata itu suatu hari nanti? Kata-kata sederhana yang menghangatkan hatiku seperti 'terimakasih!', 'aku suka dasimu, Mr Levi', dan 'aku ingin tumbuh tinggi supaya aku bisa melindungimu'. Apa bahkan kau akan berada di sini? Aku perlu berdusta, Eren. Tapi satu hal yang tak kudustakan; alasan dibalik pendustaan ini.
"Eren,"
"Mr Levi, kenapa kau tak pernah bercerita padaku?"
Bagaimana bisa aku melakukannya? Sekalipun kau mengerti, apa yang bisa kau lakukan setelah itu? Karena bahkan aku, yang lebih tua darimu, meringkuk di sudut ruangan terpenjera keegoisan. Bagaimana seseorang remaja sepertimu bisa menghadapi situasi begini? Apa kau ingin katakan kau lebih dewasa dariku? Kau mampu membuat keputusan dan berjalan yakin di atas pilihanmu? Apa kau bahkan bisa membeli rokok dan menegak sake di usiamu?
Hei, Eren.. sekarang katakan mantra itu. Katakan dengan segera supaya jantung ini berakhir dan kita bisa sama-sama bebas. Kau tahu, selama jantung ini berdetak, hatiku tidak akan menyerah dan terisi penuh dengan banyak harapan yang membuatku sekarat, dan kau tak tahu sekarat menyiksamu lebih kejam daripada kematian. Katakan mantra itu, Eren. Katakan kau ingin mengakhiri ini. Biarkan aku memiliki kehidupan yang bebas, yang tak mengenal kasih, yang mengenal kekerasan adalah bagian dari keadilan hidup, yang tak mengenal perlindungan dan hanya tahu memperjuangkan diri sendiri.
"Mr Levi.. aku.. Aku ingin jadi seseorang yang bisa kau andalkan, aku juga ingin memberimu sesuatu istimewa dan mahal, tolong berhenti berbohong dan katakan semua keluh kesalmu padaku, supaya aku berguna untukmu!"
Ah, Eren.. kenapa kau mengatakan itu dan membuat keadaan lebih rumit? Kenapa kau memberi pria tua ini uluran tangan dan membuatku sulit kehilanganmu? Apa kau ingin tunjukan aku tak lebih dari orang tua biasa? Aku hanya manusia yang menua tanpa kedewasaan, begitu? Eren, bisakah kali ini kau berhenti bertingkah seolah kau tahu apa yang harus kau lakukan? Karena kau telah membuat pria tua ini bingung. Kau telah membuat pria tua ini mabuk setiap hari, kau telah mengoyak hatinya dalam letupan kebahagiaan, yang pria tua ini tak sadar tiap letupan telah membawa dirinya lebih dekat ke garis kematian. Ego yang kau pupuk dan kau balut dengan cinta, pria tua ini tak memiliki wadah yang cukup untuk perasaan sebesar itu. Jadi kau tahu Eren, daripada mencintainya, kau malah berusaha membunuh pria tua ini.
Ingatkah kau hari dimana kau menghabiskan waktu luangmu di apartemenku? Aku mencuri dengar percakapanmu dengan ibumu di telepon. Kau bilang, "aku ada kelas tambahan. Pelajaran bahasa Inggris dengan Mister Levi." Dan kau tahu apa yang sedang kau lakukan ketika itu? Kau berbaring di kasurku, mengendus bauku, lalu kau mendesah memanggil namaku. Atau hari Minggu kita, kau ingat? Kau bersamaku, di atas sofa tua usang di balik selimut yang tak kau lepas sejak semalam, kau tertidur sementara aku menikmati lembar demi lembar bacaan yang tak benar-benar aku baca, karena kepalaku sibuk mengontrol diri menjagamu dari sentuhan buasku, dan di waktu bersamaan aku menahan perasaan was-was jika sewaktu-waktu pintu apartemenku diketuk dan aku melihat wajah garang kedua orangtuamu. Aku tahu, kau pun menjadi seorang pendusta karena aku. Kau katakan pada orangtuamu kau menginap di rumah teman, kan?
.
ANXIETY
"Love. Obsession. Uncertainty."
.
"Oy, Levi.. sampai kapan kau akan menonton foto usang itu?"
Levi menyelipkan selembar foto di tangannya ke dalam dompet, kemudian melupakan rekan kerjanya yang lagi-lagi memergokinya melamun sambil menatap foto kekasih lamanya.
"Ini waktunya kau masuk kelas, Levi."
"Berisik. Aku tahu. Dasar mata empat."
Levi meninggalkan ruang guru tanpa pamit dan suara, menyusuri koridor dengan dentum hak sepatu menggema di antara pilar-pilar sekolah, tawa anak-anak mengaum dan sesekali terdengar teguran. Suasana seperti itu, Levi kira dia akan berhenti merasakannya jauh-jauh hari. Levi kira dia akan membenci hal itu. Levi kira, dia tak akan tahan memilikinya menjadi bagian hidup. Enam tahun lamanya sejak dia berniat mengundurkan diri dari pekerjaan ini, tapi tertahan oleh sesuatu yang tak bisa dia mengerti. Karena kesimpulan tentang dirinya mengidap penyakit kejiwaan, pedopilia, bukanlah jawaban yang tepat. Dia tak memiliki hasrat yang serupa yang dimilikinya untuk Eren Jaeger kepada murid lain.
"Apa kau tak bisa lebih bersahabat dengan anak-anak?" Hange meneguk susu kedelainya sambil mengganggu jam istirahat Levi. "Lihat, itu Petra. Semua murid menyukainya. Apakah ada murid yang menyukaimu seperti mereka menyukai Petra?"
"Aku tak membutuhkan mereka menyukaiku. Mereka menyeganiku. Aku mendidik mereka, bukan membuat mereka jatuh cinta."
"Aw.." Hange menahan dagunya di atas kedua tangan. "Kata-katamu menyentuh sekali.. aku tak mengira kawan bejadku bisa sangat lembut. Oh, tapi kau sangat beruntung, Levi."
Levi mendelik, mencari raut terang Hange yang memang selalu seterang matahari pagi yang mengusik tidur.
"Kau mungkin tak disukai banyak murid, tapi kau disukai oleh seseorang yang disukai banyak murid. Hei, berhentilah menatap pacar lamamu. Kau tidak hidup untuk masa lalu. Apa yang kurang dari Petra?"
Levi diam tak menggubris, menatap langit biru yang bersih dari awan, mengingat-ingat apakah tadi pagi dia mendengar ramalan cuaca?
"Hei, Levi..."
"Hn?"
"Petra mengira kau patah hati karena tak bisa memacari sepupumu, Mikasa."
Levi menaikkan sebelah alis.
"Foto di dompetmu itu bukan selembar foto berisi satu orang kan?" kata Hange menjelaskan.
"Ah,"
"Aku tak tahu kenapa kau putus dari Eren ketika kau tak bisa melupakannya setelah 6 tahun."
"Diam, kau mata empat."
Hange menguncang-guncang kotak susunya, memastikan dia tak melewatkan satu tetes pun. "Apa Mikasa tak tahu Eren pernah pacaran denganmu?"
"Kau pikir aku akan membuat pengumuman semacam itu?"
Hange mendengus menahan tawa. "Aku ingin lihat bagaimana wajahmu ketika kalian berkumpul di acara keluarga."
"Keluarga apa?"
"Kau dengan Mikasa.. Ops, maaf.. aku lupa keluargamu terlalu rumit. Perkumpulan keluarga sepertinya bukan sesuatu yang umum ya?"
"Hange, enyahlah."
"Berapa kali Eren berganti pacar setelah putus darimu?"
"Enyahlah!"
Hange mengerut, mengerti benar ini memang waktunya dia harus memberi waktu sendirian untuk Levi. Sambil berlalu, Hange mengumpat, "dasar pecundang. Kalau suka, tinggal kejar saja."
Berapa kali Eren berganti pacar?
Itu terlalu sering sampai Levi tak ingat siapa saja perempuan-perempuan itu. Levi mengeluarkan dompetnya, mencabut selembar foto dan merobeknya menjadi potongan abstrak. Menghitung jumlah waktu yang dia habiskan bersama Eren kemudian membandingkannya dengan lamanya Eren bersama Mikasa, Levi sadar, itu kembali menjerumuskannya kepada kebodohan.
Apakah empat tahun, tiga, satu ribu atau dua ribu tahun, itu tak akan memberi arti apapun. Eren tak lagi kekasihnya yang berkata, "aku ingin bersama Mister Levi selama-lama lama lama-lamanya,". Eren yang berkata seperti itu hanya hidup selama tiga tahun di SMP. Tapi bukan waktu yang menuakan hubungan mereka.
"Eren.."
Ada hal yang lebih keras selain waktu untuk memisahkan mereka.
"Eren Jaeger.."
Levi mendengung, menyenandungkan sebuah lagu yang anehnya masih dia ingat setelah enam tahun berlalu dari terakhir kali dia mendengarnya.
.
.
.
Bersambung.
