"Babys(h)it"

Chapter 1 : Babysitter

A BoBoiBoy Fanfiction by Fanlady

Disclaimer : BoBoiBoy © Monsta. Tidak ada keuntungan material apapun yang diambil dari fanfiksi ini.

Warnings : AU, No alien, no super-power, OOC akut, mahasiswa!Kaizo, balita!HaliTauGem, miss typo.

Dedicated for my beloved NaYu Namikaze Uzumaki~

Selamat membaca ^^

.

.

.

Kaizo melangkah gontai menyusuri jalanan kota yang ramai dijejali sekumpulan orang dari berbagai kalangan. Peluh sesekali diusap dari keningnya, sementara bibirnya tak henti menggerutu tentang betapa mudah hidupnya seandainya ia memiliki kendaraan pribadi. Jangankan kendaraan pribadi, sedikit recehan untuk naik bus pulang saja ia hampir tak punya. Sebenarnya ia masih memiliki sedikit sisa uang untuk bulan ini, namun alangkah lebih baik jika ia menyimpannya untuk makan saja.

Aroma sedap makanan menguar di udara dan langsung membuat perut Kaizo menjerit histeris minta diisi. Kaizo menoleh dan menatap penuh damba sebuah warung makan di seberang jalan. Liurnya nyaris saja menetes melihat deretan lauk yang terpajang di etalase.

Kaizo mengeluarkan dompet penuh tambalan dari saku dan menghitung sisa lembaran di sana. Nyaris tak cukup untuk biaya makan seminggu lagi. Kalau ia menggunakannya sekarang untuk membeli makanan di warung, bisa dipastikan dua hari ke depan ia tak akan bisa makan apa-apa.

Dengan berat hati Kaizo memalingkan pandangan dari nikmatnya godaan iman di seberang sana. Ia mencoba membayangkan beberapa bungkus mie instan yang menantinya di rumah, siap untuk direbus dan disantap. Yah, lebih baik daripada tidak makan sama sekali, 'kan?

Lamunan Kaizo yang tengah membayangkan semangkuk sedap mie panas dengan telur ceplok di atasnya langsung buyar begitu mendengar sebuah teriakan panik.

"Gempa!"

Kaizo reflek merunduk sambil menggunakan tas selempangnya untuk melindungi kepala. Ia menoleh ke sekelilingnya dengan panik untuk mencari tempat berlindung dari gempa bumi. Butuh beberapa detik sebelum Kaizo menyadari tanah di bawah kakinya sama sekali tidak bergoyang.

"Gempa, tunggu!"

Seorang wanita berkerudung merah muda berlari melewatinya dengan kedua tangan menarik dua bocah kembar. Kaizo memandangnya heran, sama sekali tidak mengerti apa yang tengah terjadi. Kenapa wanita itu berteriak-teriak tentang gempa padahal sama sekali tidak ada gempa bumi?

Terdengar suara decitan rem yang diinjak mendadak dan beberapa orang memekik tertahan. Kaizo memalingkan wajah untuk melihat apa yang terjadi. Seorang anak laki-laki berdiri di tengah jalan raya, dengan sebuah sedan putih hanya beberapa senti jaraknya dari tubuh kecilnya. Bocah bertopi terbalik itu terlihat kaget, kemudian ia langsung berlari kembali ke seberang jalan tanpa melihat ke sekelilingnya.

Kaizo membelalak saat sebuah mobil lain, truk, melaju cepat ke arah anak laki-laki itu. Wanita berkerudung merah muda yang tadi dilihatnya, menjerit histeris. Kaizo tanpa sadar berlari ke tengah jalan raya dan tahu-tahu saja ia sudah menyambar bocah laki-laki itu tepat sebelum tubuh kecilnya terlindas roda truk.

Anak laki-laki itu bergetar dalam pelukan Kaizo saat mereka tiba di seberang jalan, dan Kaizo sendiri merasa jantungnya berdebar sangat kencang. Ia tak percaya dirinya baru saja mempertaruhkan nyawa dengan melompat begitu saja ke depan truk yang sedang melaju kencang, hanya untuk menyelamatkan seorang bocah kecil. Tapi Kaizo juga tidka bisa membiarkan saja anak itu tertabrak, 'kan?

"Ka-kau baik-baik saja?" tanya Kaizo. Ia menurunkan anak itu hati-hati dan memeriksa apakah ada luka.

Sepasang mata karamel menatapnya sejenak, sebelum air menggenang di kedua pelupuknya dan tangisan keras yang membuat Kaizo refleks menutup telinga terdengar.

"Gempa!"

Wanita berkerudung merah muda itu muncul, masih dengan menyeret dua anak laki-laki yang baru disadari Kaizo mirip dengan anak yang baru ditolongnya. Wanita itu berlutut dan langsung memeluk bocah kecil itu.

"Gempa, syukurlah kau tidak apa-apa!"

Kaizo akhirnya paham sekarang. Yang tadi diteriakkan wanita itu ternyata adalah nama anak ini, bukan gempa bumi sungguhan. Tapi siapa yang mau menamai anaknya sendiri dengan nama bencana alam?

"Gempa, mama 'kan sudah bilang jangan lari-lari di jalan raya. Untung aja Gempa nggak kenapa-napa. Kalau sampai tertabrak mobil, gimana?"

Wanita itu mengeluarkan sebuah sapu tangan dari dalam tasnya dan mengelap air mata di pipi tembem bocah itu.

"Maaf, mama. Lain kali Gempa nggak nakal lagi," gumam anak laki-laki bernama 'Gempa' itu, masih sedikit terisak.

Kaizo hanya berdiri canggung di sana, tak tahu harus berbuat apa. Ia baru saja hendak pergi diam-diam, saat wanita itu akhirnya berbalik dan memandangnya.

"Terima kasih banyak karena sudah menyelamatkan anak saya," ucapnya seraya tersenyum penuh terima kasih.

"Eh, tidak apa-apa. Itu bukan masalah," balas Kaizo, melambaikan tangan tak acuh seolah menyelamatkan anak kecil dari truk yang tengah melaju kencang adalah rutinitasnya sehari-hari.

"Biarkan saya membalas kebaikanmu dengan sedikit tanda terima kasih ini." Ibu dari tiga anak kembar itu mengeluarkan dompet dari tas tangannya, namun Kaizo buru-buru melambaikan tangan mencegah saat melihatnya hendak mengeluarkan beberapa lembar uang.

"Tidak, tidak perlu. Saya menyelamatkan anak ibu ikhlas, kok. Tidak minta bayaran," kata Kaizo. Dalam hati ia merutuki dirinya sendiri yang dengan begitu bodohnya menolak rejeki nomplok yang ada di depan mata. Ia memandang lembaran uang dalam genggaman tangan wanita itu dengan penuh damba.

'Kau sudah bangkrut dan terancam akan mati kelaparan beberapa minggu ke depan, Kaizo. Kenapa harus sok pahlawan begitu, sih?'

"Eh, tapi ..."

"Benar, tidak apa-apa. Kalau begitu saya pergi dulu."

Sebelum harga dirinya runtuh dan Kaizo memilih untuk menerima uang pemberian wanita itu, ia bergegas pergi meninggalkan ibu dan tiga anak laki-laki kembar itu. Wanita itu terlihat hendak menahannya, namun Kaizo sudah menghilang di balik kerumunan pejalan kaki. Kaizo sempat melirik ke belakang untuk terakhir kali, dan melihat ketiga bocah kembar itu tengah memandangnya lekat, sebelum akhirnya sosok mereka hilang tertutupi oleh orang-orang yang berlalu-lalang.

.

.

.

Kaizo menanti dengan gelisah sementara handphone di telinganya masih betah menyuarakan bunyi nada tunggu. Setelah mengulangi panggilan hingga lima kali, barulah usaha Kaizo membuahkan hasil. Panggilannya diangkat dan terdengar suara seorang wanita dari seberang telepon.

"Halo?"

"Halo, ibuku yang tercinta~" Kaizo berusaha membuat suaranya seceria mungkin.

"Kamu pasti mau minta dikirimkan uang lagi, 'kan?" suara galak dari seberang membalas bahkan sebelum Kaizo selesai berbasa-basi.

"Ehehe ... naluri seorang ibu itu memang kuat sekali, ya. Ibu memang selalu tahu apa yang Kaizo inginkan," ucap Kaizo sedikit cengengesan.

Terdengar helaan napas panjang dari sang ibu. "Minggu lalu 'kan ibu baru mengirimkan uang padamu, Kaizo. Ini sudah ketiga kalinya kau minta dikirimkan uang dalam sebulan. Ke mana kau habiskan semua uang-uang itu, Kaizo?"

"Yah ... pastinya untuk keperluan kuliah, ibu ..."

"Bohong. Ibu dengar dari Adu Du, katanya kau selalu mengambur-hamburkan uang dengan ikut pesta di sana-sini. Benar, 'kan?"

Kaizo menyuarakan sederetan sumpah serapah di dalam hati untuk tetangga sebelah apartemennya. Mentang-mentang Adu Du kenal dengan ibunya, tidak berarti harus melaporkan semua gerak-geriknya pada sang ibu, 'kan? Mereka bahkan jarang bertegur sapa, jadi untuk apa Adu Du ikut campur dalam masalahnya?

"Ng-nggak, kok, bu. Adu Du bohong. Masa' ibu lebih percaya sama dia daripada anak sendiri? Kapan sih, Kaizo pernah bohong atau ngecewain ibu?"

Kaizo merasa sedikit bersalah karena —lagi-lagi— harus membohongi ibunya. Tapi mau bagaimana lagi, ini sudah menyangkut hidup dan matinya selama beberapa minggu ke depan.

"Yah, baiklah, ibu percaya padamu." Kaizo bersorak gembira dalam hati, namun kata-kata sang ibu berikutnya langsung meruntuhkan harapannya. "Tapi ibu tetap tidak akan mengirimkan uang untukmu lagi."

"Eeehh, kenapa, ibu?"

"Kau harus belajar berhemat, Kaizo. Apalagi kau sedang berada jauh di perantauan sana. Kalau tidak pinar menyimpan uang, nanti hidupmu bisa kacau."

"Tapi, ibu ..."

"Pokoknya tidak ada kiriman lagi bulan ini. Sudah, ya. Ibu masih banyak kerjaan. Belajar yang rajin untuk kuliahmu, jangan sibuk foya-foya sama temanmu."

Sebelum Kaizo sempat berkata apa-apa lagi, sang ibu sudah menutup teleponnya. Kaizo akhirnya hanya bisa mengerang pasrah dan meratapi nasibnya yang malang.

.

.

.

Suara kebisingan kota menalir masuk dari jendela apartemen Kaizo yang terbuka. Angin sore sepoi-sepoi ikut berhembus masuk bercampur dengan debu dan juga polusi kendaraan.

Kaizo berbaring lesu di tempat tidurnya dengan laptop diletakkan di dada. Tangannya bergerak mengarahkan kursor ke sana-kemari, sementara sepasang iris merah mudanya melahap setiap informasi yang disuguhkan layar. Tapi sejauh ini belum ada satu pun usahanya yang membuahkan hasil.

Kaizo tengah mencari lowongan pekerjaan dengan mengandalkan mesin pencari dunia maya yang kini bisa menyediakan informasi apa saja. Mumpung sebentar lagi ia akan mendapatkan jatah libur semester yang sudah dinanti-nanti, ada baiknya ia memanfaatkan kesempatan ini untuk mencari penghasilan tambahan. Daripada ia kembali ke kampung halamannya dan harus menerima omelan panjang lebar dari sang ibu atas sikapnya yang boros dan tidak bertanggung-jawab, lebih baik ia menetap di sini saja dan mencari kerja.

Tapi sejak pagi tadi, Kaizo sudah mencari ke seluruh website lowongan kerja yang bisa ditemukannya, namun hingga saat ini tak ada yang sesuai dengan kriterianya.

Bukannya Kaizo ingin pilih-pilih. Kondisinya saat ini tidak memungkinkannya untuk terlalu pilih-pilih pekerjaan mana yang ingin diambilnya. Hanya saja Kaizo tidak memiliki banyak keahlian. Ia juga tidak berpengalaman dalam hal pekerjaan apa pun karena selama ini selalu mengandalkan uang pemberian orang tuanya. Sekarang Kaizo mulai menyesali sifat kekanak-kanakannya yang terus bergantung pada orang tua, padahal ia anak pertama yang harusnya bisa belajar mandiri lebih cepat.

Kaizo hampir putus asa mencari, hingga akhirnya ia menemukan sesuatu yang menarik perhatiannya. Sebuah lowongan pekerjaan dengan gaji yang lumayan, dan juga tugas yang ... yah, tidak terlalu sulit bagi Kaizo, sebenarnya. Tapi pekerjaan ini sepertinya sama sekali tidak cocok dengan imej seorang Kaizo yang terkenal sebagai pujaan hati para wanita di kampusnya dan juga dikagumi oleh semua mahasiswa di dalam, maupun luar universitasnya.

Lowongan yang baru saja ditemukannya adalah, bekerja sebagai seorang babysitter.

Kaizo menggelengkan kepala dan menertawakan kebodohannya yang sempat berpikir untuk mengambil lowongan itu. Dia, Kaizo, menjadi seorang babysitter? Tidak, terima kasih. Kalau sampai ada teman-temannya yang tahu, harga dirinya bisa jatuh dan popularitasnya akan menurun drastis.

Tapi setelah melakukan browsing beberapa saat lagi dan sama sekali tidak mendapatkan hasil, Kaizo terpaksa kembali ke halaman yang tadi ditinggalkannya. Ia memandang lekat pengumuman yang diletakkan di sebuah forum kecil yang membahas tentang jual-beli pakaian dan peralatan bayi.

Kaizo menyambar ponselnya dan mulai menekan nomor yang tertulis di bawah pengumuman itu, sebelum kemudian menghapusnya kembali. Ia menggelengkan kepala dan menutup laptopnya sedikit kasar. Kaizo kemudian memandang langit-langit kamar yang catnya mulai sedikit mengelupas. Ia melirik kembali laptop di dadanya dan menghela napas panjang.

"Aku pasti sudah gila ..." gumamnya.

Kaizo membuka kembali laptopnya dan mencatat nomor yang tadi dilihatnya di ponsel. Beberapa kali Kaizo kembali bergumam tentang betapa ia benar-benar sudah kehilangan akal sehat kalau sampai nekat melakukan ini. Tapi demi kelangsungan hidup, dan juga karena ia ingin mulai belajar mandiri, Kaizo akhirnya menekan tombol panggil sambil menahan napas.

Dan suara lembut seorang wanita menjawab panggilannya tak lama kemudian.

.

.

.

Lonceng kecil yang tergantung di pintu berdenting pelan saat Kaizo melangkah masuk. Ia celingukan ke sana-kemari mencari seseorang, hingga ia akhirnya menemukan seorang wanita berhijab merah muda yang tengah duduk sendirian di meja paling sudut. Kaizo berkutat sejenak dengan dirinya sendiri tentang apakah ia harus menghampiri wanita itu atau memilih untuk pergi saja. Tapi ia sudah terlanjur datang ke sini, jadi lebih baik tak usah mundur lagi.

"Um, permisi. Apa anda ibu Yaya?" tanya Kaizo ragu begitu ia tiba di meja yang ditujunya. Wanita yang tengah duduk di sana mendongak dan Kaizo sedikit terkejut mendapati wajahnya yang familiar.

"Ah, kamu yang waktu itu menolong anak saya, 'kan?" kata wanita itu sambil tersenyum. Kaizo mengangguk canggung. "Kamu yang menelepon kemarin?" tanyanya.

"Iya, saya yang kemarin menelepon," jawab Kaizo.

"Silakan duduk kalau begitu," wanita itu mempersilakan. Kaizo menarik kursi di depannya dan menghempaskan diri di sana. "Kamu pasti mahasiswa, ya?" tebak wanita itu.

"Eh, iya. Saya kuliah di Universitas Tapops, jurusan Teknik Mesin," terang Kaizo.

"Ah, begitu," Yaya mengangguk-angguk. "Sejujurnya saya sedikit kaget saat mendapat telepon dari seorang laki-laki yang berkata ingin mengisi lowongan pekerjaan sebagai babysitter yang saya tawarkan," wanita itu tersenyum kikuk. Kaizo membalas senyumnya seolah meyakinkan bahwa ia tidak keberatan dengan kata-katanya.

"Saya belum pernah mempekerjakan seorang pemuda sebagai babysitter. Apa kamu punya pengalaman mengurus anak?"

"Eh, sebenarnya tidak juga ..." Kaizo menggaruk kepalanya canggung. "Tapi saya punya seorang adik yang masih balita di rumah, dan saya sudah lumayan terlatih mengurusnya, jadi ... yah ..."

Kaizo benar-benar merasa seperti orang bodoh sekarang. Apa yang dipikirkannya sampai ia memilih untuk mengambil pekerjaan ini? Harusnya ia mencari pekerjaan yang lain saja.

"Hmm, begitu rupanya ..." Yaya terlihat menimbang-nimbang sejenak. "Berapa umurmu?" tanyanya.

"19 tahun," sahut Kaizo cepat.

"Kamu bisa mengurus pekerjaan rumah tangga juga?"

"Yah, sedikit-sedikit ..."

"Berapa hari dalam seminggu kamu bisa bekerja?"

"Err ... mulai minggu depan saya mulai libur semester, jadi saya bisa bekerja setiap hari selama dua bulan ke depan."

"Kamu bukan pedofil, 'kan?"

"Bukan, bu, sumpah!"

Kaizo menunggu dengan jantung berdebar sementara Yaya terlihat sibuk berpikir. Ia sudah setengah berharap tidak akan diterima. Pasti akan konyol sekali kalau ia benar-benar diterima bekerja sebagai—

"Baiklah, kamu diterima."

babysitter.

Rasanya Kaizo ingin menangis saja saat Yaya mulai menjelaskan detail pekerjaannya dengan nada ceria. Wanita itu memintanya datang ke alamat yang diberikannya mulai minggu depan, dan Kaizo berharap ia mati terlindas truk saja saat perjalanan pulang nanti.

.

.

.

"Nah, anak-anak, kenalkan, ini kak Kaizo. Mulai hari ini kak Kaizo yang akan menjaga dan mengurus kalian sementara mama pergi bekerja," kata Yaya sambil tersenyum.

Ketiga putra kembarnya berdiri takut-takut di balik punggung Yaya. Sementara Kaizo berdiri canggung di depan mereka, berusaha tersenyum seramah mungkin.

"Kalian tahu kak Kaizo, 'kan? Dia yang pernah menyelamatkan Gempa saat hampir tertabrak truk hari itu," ujar Yaya lagi. Ia mengelus rambut salah satu putranya yang berkaus kuning. "Ayo, kasih salam sama kak Kaizo."

"Kak ... Pa-ijo?" ucap tiga anak kembar itu ragu-ragu.

"Bukan Paijo, sayang. Kak Kaizo. K-a-i-z-o."

"Kak Ijo!" ketiga bocah itu berseru serempak.

Yaya menoleh dan tersenyum meminta maaf pada Kaizo. "Maaf, ya. Bolehkan mereka memanggilmu seperti itu? Kelihatannya namamu agak sulit diucapkan oleh mereka," ujarnya merasa tidak enak.

"Eh, tidak apa-apa, kok. Tidak masalah," kata Kaizo cepat-cepat.

"Um, baiklah. Kalau begitu akan saya perkenalkan mereka satu persatu. Yang sulung, yang baju merah, namanya Halilintar. Yang baju biru, namanya Taufan. Dan yang terakhir, yang baju kuning, namanya Gempa."

Kaizo mengangguk-angguk mendengar penjelasan Yaya. Ia ingin bertanya kenapa wanita itu memberi nama anak-anaknya dengan nama bencana alam, namun karena takut ditendang keluar maka Kaizo lebih memilih untuk bungkam.

"Umur mereka baru saja menginjak 4 tahun beberapa hari yang lalu," lanjut Yaya lagi. "Pengasuh mereka sebelumnya berhenti bekerja karena harus kembali ke kampung halamannya untuk menikah. Jadi saya sedikit kerepotan mengurus mereka bertiga karena saya juga harus bekerja. Apalagi suami saya sedang pergi ke luar kota untuk urusan pekerjaan."

"Anda tidak perlu khawatir. Saya akan berusaha sebaik mungkin untuk mengurus dan menjaga mereka," kata Kaizo sambil memberikan senyum terbaiknya.

Yaya balas tersenyum penuh syukur. "Kalau begitu, mohon bantuannya mulai hari ini."

Kaizo mengangguk. Biarlah ia harus menjadi seorang babysitter demi mendapat uang tambahan. Lagipula ini bukan pekerjaan yang sulit. Dan anak-anak ini juga kelihatannya anak-anak yang baik dan penurut.

"Halo, anak-anak," sapa Kaizo. Ie melambai dengan sedikit canggung dan berusaha tersenyum selebar mungkin untuk menarik hati ketiga anak kembar itu.

Yang terjadi berikutnya justru tangis ketiga bocah itu pecah melihat senyum Kaizo yang ternyata lebih menyerupai seringai.

"HUWEEE MAMAAA, TAKUUUT! KAK IJO MUKANYA SELEEMM!"

.

.

.

To be continued

A/N :

Ini cuma sebuah ide gila mendadak yang dicetuskan author partner recehku tersayang *colek NaYu*

Aku langsung jatuh cinta sama ide ini, dan pengen banget langsung bikin. Sayangnya penyakit males nggak ilang-ilang /dzig

Eh, kenapa aku malah curhat ya ...

Yang jelas, aku sangat menikmati nulis ini, jadi kuharap kalian juga menikmati membacanya X")

Sampai jumpa di petualangan kak Ijo berikutnya~

Jangan lupa reviewnya~~