REINKARNASI
CHAPTER 1
Disclaimer : J. K. Rowling
Pair : Draco Malfoy / Harry Potter
Rating : T
Genre : Romance / Angst
Setting : Setelah perang besar dan 18 tahun setelah perang besar.
Warning : Modifiate Canon, James Severus Potter dan Lily Luna Potter tak pernah lahir.
Untuk pertama kalinya saya mencoba jasa seorang beta reader, ternyata asik juga, jadi saya ga perlu edit2 lagi #plak #pemalas.
Fic ini di beta oleh 'keponakan' saya yang baik dan sabar, Fitri Ayu Permata Astri, alias Ficchan, alias Ruuki Ruina… thanks baby #hug
So… happy reading ^^
.
#
.
"Malfoy," panggil sebuah suara yang begitu dikenal Draco. Pemuda berambut pirang itu tak menoleh, dia tetap terdiam sambil memandang lurus ke tengah danau. Dia terkejut saat pemuda yang memanggilnya tadi mengulurkan sesuatu padanya. Dengan malas Draco menatap pemuda itu, tercekat saat melihat satu senyum samar tertuju padanya.
"Apa ini, Potter?" tanya Draco datar tanpa mengambil apa yang diulurkan Harry.
Pemuda yang ternyata Harry Potter itu dengan sedikit ragu duduk di samping Draco, musuh besarnya, mungkin mantan, "Kau belum makan malam kan? Aku tak melihatmu di aula besar tadi," jawab Harry sedikit salah tingkah.
Draco mengabaikan apa yang ditawarkan Harry, mata abu-abunya kembali menatap ke tengah danau, "Kau tak usah berbaik hati padaku, ah, maksudku aku tak butuh belas kasihanmu," jawab Draco ketus.
Harry tersenyum kecut, "Maaf, aku hanya merasa lelah saja jika harus terus berperang denganmu," jawabnya sambil bangkit, lalu meninggalkan Draco sendiri dalam keheningan.
Draco menatap bungkusan putih yang dibawa oleh Harry tadi, dia tak juga menyentuhnya, kembali tenggelam dalam lamunannya.
Perang telah berakhir 6 bulan yang lalu, Harry Potter berhasil mengalahkan pangeran kegelapan. Euforia kemenangan meninggalkan luka di hati Draco dan Harry. Dalam perang besar itu Draco harus kehilangan kedua orang tuanya yang dibunuh oleh Voldemort, bertahun-tahun Draco mencoba membujuk kedua orang tuanya untuk meninggalkan pangeran kegelapan itu tetapi mereka telah terikat sumpah dan Voldemort akan melukai Draco kalau mereka ingkar.
Setahun yang lalu Draco begitu terkejut mengetahui Harry dan Hermione tertangkap oleh Death Eather di Manornya. Saat itu Draco memutuskan untuk menyelamatkan Harry dari kematian yang nyaris menghampirinya dan entah kenapa dia tak menyesal saat melakukan itu. Dia tak peduli walau pangeran kegelapan dan para anak buahnya akan mengetahui hal tersebut, yang dia pikirkan hanya keselamatan Harry dan Hermione.
Sebenarnya Draco tak pernah membenci Harry Potter yang benar-benar dari hati, dia membenci Harry hanya untuk membatasi dirinya. Dia anak seorang Death Eather yang seharusnya memang membenci Harry Potter, dia seorang Slytherin yang memang tak pernah bisa berteman dengan Gryffindor, dia seorang keturunan penyihir darah murni yang menjunjung tinggi martabat mereka dengan menjauhkan diri dari penyihir berdarah campuran.
Tapi dia tak bisa membohongi dirinya sendiri kalau dia juga tertarik pada pemuda itu, pemuda yang selalu bersemangat, pemuda yang selalu berusaha tampak tegar dihadapan teman-temannya untuk menutupi kegalauan hatinya. Dia salut pada pemuda yang bisa bertahan hidup tanpa kasih sayang dari orang tuanya sejak umurnya setahun itu, dan yang paling membuatnya sesak adalah mata emerald itu tetap bersinar terang walaupun takdirnya sebagai pemuda yang akan membunuh pangeran kegelapan telah menggelayuti pundaknya hampir seumur hidupnya dan bahkan bukan tidak mungkin akan mengakhiri hidupnya.
Mata hijau milik Harry selalu mampu membuat hatinya terasa hangat, ada keteduhan disana yang membuatnya merasa nyaman, tapi selama tujuh tahun dia berusaha keras menutup hatinya akan Harry, dia tak boleh mengecewakan kedua orang tuanya.
Perlahan Draco meraba dadanya, ada luka memanjang disana. Dia teringat tahun ke-enam saat Harry menyerangnya dengan mantra Sectumsempra milik Severus. Saat itu dia bersyukur Harry menyerangnya, setidaknya dia bisa merasakan sakit yang lain selain sakit di hatinya saat dia dipaksa menjadi seorang Death Eather. Tapi saat itu dia yakin kalau kilau emerald mata Harry memancarkan rasa cemas dan penyesalan yang dalam.
Dan kini disaat damai telah tercipta Draco harus hidup sendiri, sama seperti Harry. Tak ada lagi orang tua yang dibanggakannya selama ini dan ini sudah cukup membuatnya terpuruk dalam rasa sedih dan sepi. Dia benci tatapan mata orang yang melihatnya dengan penuh rasa kasihan bahkan melecehkan. Dia sudah pasrah saat auror membawanya ke persidangan, dia sudah siap mendekam di Azkaban kalau saja Harry tak memberikan kesaksian yang menghapuskan hukumannya karena telah membantunya lolos dari Malfoy Manor.
Severus Snape lah yang membantunya bangkit, pria yang ditunjuk kembali menjadi kepala sekolah itu selalu mendampinginya. Pria yang ternyata berada di pihak Dumbledore dan lolos dari kematian akibat racun Nagini. Severus Snape lah yang memberikan kekuatan padanya sejak perang berakhir, dan pria itu melakukan hal yang sama pada Harry yang juga telah kehilangan seluruh keluarganya.
Dan malam ini, kehadiran Harry telah kembali menghangatkan hatinya, tapi Draco tetap bersikeras, dia tak mau membuka hatinya, dia tetap tak mengijinkan seorangpun masuk dalam hidupnya, karena dia tak mau merasakan sakit lagi karena kehilangan.
.
#
.
Harry memandang sosok pemuda berambut pirang yang duduk sendiri di pojok perpustakaan. Mata kelabunya memandang kosong keluar jendela dengan buku yang terbuka di tangannya. Ingin rasanya Harry menghampiri pemuda itu, entah kenapa dia bisa merasakan kesedihan dan kesepian yang dirasakan Draco, karena saat ini pun dia merasa hal yang sama. Harry merasakan kesepian walaupun dia berada dikeramaian. Saat ini orang yang selalu mendukungnya hanyalah Severus Snape, mantan guru ramuannya itu telah bercerita banyak tentang Draco dan dia berharap Harry bisa membantunya menguatkan Draco. Sebenarnya Severus tak usah meminta itu karena Harry juga sudah memiliki niat seperti itu.
Sejak Draco menolongnya lolos dari Malfoy Manor perasaan Harry terhadap musuh besarnya itu berubah, dia yakin kalau Draco tak sejahat yang dilihat orang. Draco memiliki sisi lain yang tak pernah diketahui orang lain, bahkan mungkin keluarganya sendiri. Dan sejak saat itu bayangan Draco tak pernah lepas dari kepalanya.
"Kuharap kalian tak ribut," kata Harry pelan pada Hermione, Ginny dan Ron yang menemaninya di perpustakaan.
"Apa maksudmu?" tanya Ginny yang diikuti tatapan heran kedua temannya.
Harry berdiri dari duduknya, "Aku akan menghampiri Malfoy."
Semua terkejut, terutama Ron, "W-what? Mate kau gila?" desisnya ngeri.
Pemuda berambut merah itu terdiam saat Harry memberikan pandangan tajam padanya, lalu Harry pun melangkah mendekati meja sudut dimana Draco masih melamun.
"Draco," sapanya pelan.
Yang dipanggil begitu terkejut, terlebih Harry memanggilnya dengan begitu akrab, "Sejak kapan kau memanggilku dengan nama depanku?" tanya Draco datar walau tak ada lgi nada dingin pada suaranya.
Harry tersenyum samar, "Boleh aku duduk disini?" tanya Harry tanpa menjawab pertanyaan Draco.
Draco menyapu seisi perpustakaan yang memandang tegang pada mereka, termasuk madam Pince, "Kau memang suka sekali mencari perhatian ya?" desis Draco yang tak suka menjadi pusat perhatian seperti itu, dengan kesal pemuda berambut pirang itupun berdiri dan keluar dari perpustakaan.
Harry menghela nafas panjang, 'memang tak mudah untuk berteman dengan musuhmu', batinnya. Dengan lemas dia kembali pada teman-temannya.
"Dasar bodoh, kau mempermalukan dirimu sendiri, mate," geram Ron.
Harry memijat pangkal hidungnya, "Cukup, Ron, aku akan tetap mendekatinya. Aku tak mau ada perang lagi, aku lelah. Kau paham?" desis Harry.
Hermione dan Ginny saling berpandangan, keduanya mengangguk kecil mencoba mengerti. "Bersabarlah, dari dulu dia memang selalu begitu, kau juga tahu itu, Harry," kata Ginny sambil mengusap lengan mantan kekasihnya itu.
"Kalau kau memang ingin berteman dengannya kau harus menguatkan hatimu dengan kata-kata pedasnya," sambung Hermione sambil tersenyum.
Hati Harry sedikit lega, setidaknya teman-temannya mendukungnya berbaikan dengan Draco selain Severus, "Thanks," jawabnya sambil tersenyum pada dua gadis itu. Lalu mereka kembali mengerjakan essay yang sempat tertunda.
.
#
.
"Hai, Draco," sapa Harry saat mereka berpapasan di koridor, tapi Draco tak menjawab dan berbalik pergi.
#
"Draco, bisa bantu aku mengerjakan ini?" pinta Harry saat dia menghampiri Draco yang duduk sendiri di bangku taman.
Draco berdiri dan mengibaskan jubahnya, "Teman perempuanmu cukup jenius untuk bisa membantumu, Potter," jawabnya ketus sambil berlalu meninggalkan Harry.
#
"Aku ingin menjadi partnermu dalam pelajaran ramuan kali ini," kata Harry sebelum mereka masuk ke kelas Slughron.
"Aku tak butuh partner," jawab Draco datar tanpa melihat ke arah Harry.
#
"Tak keberatan kan kalau aku ikut duduk disini?" tanya Harry saat dia menemui Draco yang sedang sendiri di tepi danau, "Kali ini aku tak mau ditolak, Draco," jawab Harry keras sebelum Draco membuka mulutnya.
Dengan kesal Harry menghempaskan tubuhnya di samping Draco, "Kau itu menyebalkan sekali, harus berapa lama aku bisa menjadi temanmu?"
"Aku tak pernah memintamu jadi temanku," jawab Draco datar.
"DASAR MALFOY BODOH," teriak Harry tepat di telinga Draco yang membuat pemuda berambut pirang itu terkejut.
Draco menoleh pada Harry dan nyaris tertawa melihat wajah kesal pemuda yang beberapa minggu ini terus berusaha mendekatinya itu, "Apa maksudmu?" tanya Draco kesal sambil berusaha menyembunyikan rasa gelinya.
"AKU BILANG KAU ITU BODOH, KAU DENGAR?" teriak Harry lagi sambil mendorong tubuh Draco dengan keras.
Draco terkejut mendapat perlakuan begitu, "Seharusnya itu kata-kataku," jawab Draco sambil balas mendorong Harry lebih keras, tapi tangan Harry menarik tangannya dan membuatnya ikut terjatuh. Mereka sama-sama terkejut saat menyadari jarak wajah mereka begitu dekat dengan posisi Draco diatas Harry.
Draco mau tak mau menyeringai, dadanya berdegup kencang, 'Kubalas kau, Potter', batinnya. Dengan lembut bibirnya menyentuh bibir Harry. Karena terkejut bibir itu menjadi setengah terbuka dan itu dimanfaatkan Draco dengan baik. Dia memagut bibir Harry dengan dalam, menjepit bibir atas Harry dengan bibirnya dan dia tersenyum saat Harry tak mampu membalas. Lidahnya membelai sisi dalam bibir merah itu dan membuat tubuh Harry bergetar.
"K-kau..." kata Harry tercekat saat Draco mengangkat wajahnya.
Draco kembali menyeringai, "Salah sendiri kau ribut terus, ini maumu kan?" katanya santai.
"WHAT?" teriak Harry sambil mendorong tubuh Draco yang menindihnya, pemuda berambut hitam itu duduk sambil memeluk lututnya, wajahnya dipalingkan ke samping, tak mau memandangi Draco, "Aku tak pernah meminta itu," jawabnya kesal.
Walau memalingkan muka tapi Draco masih bisa melihat telinga Harry yang memerah, Draco tak menjawab, dia hanya tersenyum kecil. Dan tanpa dia ketahui Harry pun sedang berusaha keras menahan senyumnya.
Saat itu rasa sepi hilang dari hati mereka, kehangatan menyelimuti jantung yang berdebar semakin kencang. Perjuangan Harry mendekati Draco selama beberapa bulan ini berakhir manis dengan sebuah kecupan.
.
#
.
Draco menyantap makan paginya dengan tak nyaman, mata emerald dari meja seberang terus memperhatikannya. Dengan kesal Draco membalas tatapan mata hijau itu, "What?" tanyanya tanpa bersuara.
Harry hanya memberikan cengiran kecil di bibirnya lalu kembali menikmati sarapannya.
Draco berdecak kesal, "Apa sih maunya?" gumam Draco tak jelas.
"Hei, Draco, kau mau ikut kami ke Hogsmeade tidak?" tanya Theodore Nott, salah satu dari dua pemuda Slytherin yang masih mau berteman dengannya.
Draco menggeleng, "Tidak, aku disini saja," jawab Draco.
"Kau tak kesal kalau si keras kepala, Potter, itu kembali mengganggumu?" tanya Blaise Zabini, salah satu pemuda yang lain yang duduk di samping Theo.
Draco menyeringai, "Aku sudah tahu cara untuk membungkamnya," jawabnya pelan dan tak peduli saat dua temannya itu memandangnya heran.
.
.
Harry berpapasan dengan Draco di koridor, sudah seminggu sejak kejadian di tepi danau itu dan mereka sama sekali belum saling sapa. Bukan karena kesal, hanya saja Harry merasa bingung harus bersikap seperti apa. Dan lagi sejak itu setiap berada di dekat Draco jantung Harry berdebar tak karuan, seperti sekarang disaat dia mencoba menghiraukan Malfoy junior itu dan berjalan melewatinya.
Hati Draco mendadak kesal, dia kehilangan gangguan-gangguan yang disebabkan Harry yang sudah terlihat wajar baginya.
Harry terkejut saat Draco menahan lengannya, "What?" tanyanya bingung.
"Sampai kapan kau mau menghindariku, Potter?" tanya Draco.
Harry memberikan cengiran khasnya, "Bukannya kau tak suka kalau aku mengganggumu?" jawabnya.
Draco menatap tajam mata hijau itu, "Jangan membuatku kesal," desis pemuda berambut pirang itu sambil menarik Harry lebih dekat lagi.
Harry tersenyum kecil, "Kalau kau tak mau aku menghindar sebaiknya kau bersiap untuk terus merasa kesal," balasnya.
Draco menyeringai, "Jangan banyak bicara," jawabnya sambil mencium bibir Harry dengan kuat. Seminggu tanpa gangguan-gangguan Hary membuatnya merasa sedikit kehilangan, lubang di dadanya yang sempat tertutup kembali terbuka, dan kini disaat dia kembali menyentuh Harry dia bisa merasakan kalau keutuhan kembali menyapa jiwanya. Dia terus mencium bibir Harry dan membelainya dengan lidahnya. Senyum muncul di bibirnya saat Harry sedikit mengerang dan mengalungkan lengannya di leher Draco. Dengan posesif pemuda bermata abu-abu itu menarik pinggang Harry merapat padanya dan menahan lengannya disana.
"Dan... Apa maksudnya ini?" bisik Harry saat Draco mengakhiri ciumannya, lengannya masih menggantung di pundak Draco.
Pemuda berambut pirang itu menempelkan pipinya pada pelipis Harry, "Apa ini salah?" tanyanya pelan sambil terus merapatkan tubuhnya pada mantan musuh besarnya itu.
Harry tertawa tertahan, "Entahlah," jawabnya singkat. Dia melepaskan lengannya dari leher Draco dengan enggan. Mereka sama-sama belum bisa mengartikan rasa nyaman yang mereka dapat saat mereka bersama. Harry merasa sepinya hilang saat bersama Draco, dan Draco merasa jiwanya terbebas saat bersama Harry. Mereka saling membutuhkan, itu yang mereka rasakan saat ini.
Draco berbalik dan mulai melangkah perlahan, "Kau mau kemana?" tanya Harry.
"Tidur siang, tepi danau," jawab Draco tanpa menoleh pada si penanya.
Harry tersenyum lebar, "Aku ikut," putusnya sambil mengikuti langkah-langkah kaki panjang milik Draco, mereka tak menghiraukan tatapan terkejut dan tak percaya dari para murid yang mereka lalui sepanjang jalan. Melihat mereka berdua berdekatan tanpa keributan itu saja sudah sangat aneh, tapi melihat wajah si tuan muda Malfoy yang tampak hangat itu lebih mengejutkan dari pada apapun yang pernah mereka lihat.
.
.
"Hei, Draco," panggil Harry pelan saat mereka sama-sama merebahkan diri diatas rerumputan di tepi danau.
"Hmm?" jawab Draco malas sambil tetap memejamkan matanya dan berbantalkan kedua tangannya.
"Apa rencanamu setelah ini?" tanya Harry, "Maksudku, setelah lulus dari Hogwarts."
Draco sedikit terdiam, "Ada tawaran dari kementrian yang memintaku bergabung sebagai anggota auror," jawabnya.
Harry terkejut, dia langsung bangkit dari rebahannya dan duduk sambil memandang 'teman barunya' itu, "Benarkah? Aku juga," katanya bersemangat.
Draco mengeluh pelan, "Kenapa musibah selalu saja menghampiriku?" gerutunya sambil memasang wajah seolah dia begitu kesal menderita mendengar berita tersebut.
Harry berdecak kesal, "Brengsek kau," katanya sambil menendang kaki Draco dengan sedikit keras.
Draco mengaduh dan dia duduk lalu memukul lengan Harry sebagai balasan, "Kenapa kau ini?"
"Apa maksud kata-katamu tadi? Kau tak suka bekerja bersamaku?" kata Harry sambil bersungut-sungut.
Draco menahan senyum melihat wajah lucu dari pemuda yang disebut sebagai pahlawan itu, "Aku tidak ingat kalau berkata seperti itu tadi," elak Draco.
"Kau masih muda, kenapa sudah pikun?" balas Harry kesal.
Draco tertawa kali ini, "Kau mengaku kalau kau sudah tua ya? Aku sungguh tak mengatakan itu tadi."
Merasa kalau pemuda berambut pirang ini menggodanya Harry pun kembali menendang kaki Draco dalam posisi duduk dan kembali membuat pangeran Slytherin itu mengaduh keras sambil mengusap bekas tendangan Harry, "Kita selesaikan ini, Draco, tanpa tongkat sihir," tantang Harry sambil bersiap berdiri.
Draco tertawa lagi, kali ini dia menarik lengan pemuda berambut hitam itu dengan keras dan membuatnya terjatuh ke dalam pelukannya.
"Hei, lepaskan aku, Malfoy," gerutu Harry, "Aku sedang menantangmu."
Draco berdecak, "Diamlah, Harry, kau membuatku semakin pusing," jawab Draco sambil merebahkan tubuhnya kembali dengan Harry tetap berada dalam dekapannya.
Harry terdiam, jantungnya berdesir halus, rasa hangat dan nyaman kembali menyelimutinya saat dia merebahkan kepalanya di lengan pemuda bermata kelabu itu. Dan dia tersenyum saat Draco menarik lengan kirinya agar dapat memeluk pinggangnya yang ramping. Tak ada yang bersuara, keduanya tak ingin bertanya apa yang tengah terjadi diantara mereka, mereka tak ingin merusak kebersamaan yang terasa sangat benar ini dengan pertanyaan yang salah.
.
#
.
Semakin lama kedekatan mereka semakin terasa wajar, tak satupun kata pengikat meluncur dari bibir-bibir mereka, yang mereka tahu hanyalah mereka merasa bahagia saat bersama, dan mereka ingin terus bersama.
Seperti saat ini, disaat tim Gryffindor memenangkan piala Quidditch untuk pertandingan terakhir ditahun ajaran ini, seminggu menjelang kelulusan mereka.
"Selamat ya. Kau beruntung kakimu tak patah lagi," sindir Draco sambil mengacak rambut hitam Harry saat tim singa emas itu keluar dari ruang ganti.
Harry tertawa sambil menyikut rusuk Draco, "Sebenarnya aku ingin berhadapan dengan timmu di final ini, tapi kalian justru kalah di tangan Ravenclaw," gerutu Harry.
Draco mengangkat bahunya, "Kami hanya mengalah," elaknya yang membuat Harry tergelak.
"Besok kami ingin merayakan ini di Hogsmeade, kau ikut ya?" pinta Harry sambil memeluk pinggang Draco, rasanya nyaman sekali memanjakan diri dalam pelukan pemuda itu disaat rasa lelah menyerang setelah bertanding.
Draco merengkuh bahu Harry dan menempelkan punggung pemuda itu di dinding batu, "Aku tak bisa, kau pergi saja bersama mereka," jawabnya.
Harry menarik napas berat, rasa kecewa terpancar jelas di mata hijaunya. Draco selalu menjaga jarak dengan teman-teman seasramanya walaupun saat ini semua orang telah bisa menerima keberadaan Draco Malfoy yang dulu begitu kejam dengan semua sikap dan kata-katanya.
Seakan mengerti akan apa yang dirasakan Harry, Draco pun menangkupkan tangannya pada dua sisi wajah pemuda itu, "Aku akan menemuimu setelahnya, ok," hiburnya, lalu mencium bibir pemuda berkacamata itu dengan lembut.
Rasa kecewa Harry perlahan hilang, menikmati apa yang dilakukan Draco. Sentuhan pemuda itu selalu mampu membuatnya tenang. Tapi satu hal yang membuatnya bimbang, bagaimana perasaan yang mereka rasakan saat ini? Cinta kah? Tapi tak ada satupun kata seperti itu terucap dari bibir tipis Draco, tak pernah.
Draco melepaskan bibir Harry, tangannya terulur ke belakang lehernya sendiri untuk melepas sesuatu. Seuntai kalung emas putih polos terentang di depan Harry.
Pemuda berambut hitam itu mengernyit, "Apa itu?" tanyanya bingung.
Draco memutar matanya dengan kesal, "Kau tak tahu ini apa?" tanyanya tak percaya.
Harry tertawa pelan, "Bukan itu maksudku, Mr. Malfoy," bantahnya, "Kenapa kau lepas kalung itu?"
Draco mengulurkan tangannya ke belakang leher Harry dan mengaitkan kalung itu di sana, "Anggap ini hadiah kemenanganmu ya?" katanya.
Harry tercekat, kepalanya menggeleng keras dan tangannya berusaha membuka kembali kaitan kalung itu, "Tidak, Draco, ini benda yang berharga untukmu," tolak pemuda itu.
Draco menahan tangan Harry, "Aku sudah memutuskan itu menjadi milikmu, Harry," tegas Malfoy junior itu.
"Tap- tapi, Draco, ini…"
Suara Harry tertelan oleh ciuman Draco, pemuda berambut pirang itu sekali lagi memporakporandakan fungsi otaknya. Ciuman ini begitu berbeda seperti ciuman-ciuman yang sering mereka bagi semenjak mereka bersama, kali ini terasa begitu panas dan menuntut.
"Draco," erang Harry, dia bersyukur di koridor sepi tanpa ada seorangpun yang lewat, lengannya memeluk leher Draco dengan gemetar.
"Besok aku akan menemuimu setelah perayaan, di tempat biasa," bisik pangeran Slytherin itu setelah memberikan kecupan singkat di pipi Harry, setelah itu dia pergi dengan bibir tersenyum.
.
#
.
Pesta kemenangan ini begitu meriah, kedai madam Rosmerta penuh dengan anak-anak Gryffindor. Bahkan anak-anak angkatan akhir memanjakan diri dengan Firewhiskey, umur mereka dirasa cukup untuk mengkonsumsi minuman itu selama tidak berlebihan. Tapi tidak dengan Harry, dia terus minum dan minum menuruti perasaannya. Perasaannya sekarang tengah begitu bahagia, timnya menang dan Draco akan menemuinya nanti. Pemuda yang telah dicintainya sejak lama, yang memberikan ciuman-ciuman memabukkan, yang selalu memeluknya dengan hangat, ini perayaan tersendiri untuknya.
"Harry, cukup, kau sudah mabuk," kata Ginny yang memegang tangannya.
Harry menatap gadis yang pernah menjadi kekasihnya itu dan tersenyum, "Jangan melarangku, Gin, ini perayaan," jawab Harry sambil tertawa lebar.
Ginny menggeleng, "Sudah, semua sudah mulai meninggalkan tempat ini," kata gadis itu, "Ayo kita pulang, aku akan menemanimu."
Kepala Harry sudah terlalu pusing, dia mengikuti saja kemana Ginny menyeretnya, bahkan dia tak sadar kapan dia naik kereta dan sampai di gerbang Hogwarts. Tiba-tiba diantara akal sehatnya yang semakin menghilang dia teringat sesuatu dan berbelok cepat.
"Kau mau kemana?" tanya gadis itu.
"Menemui Draco," jawab Harry setengah terhuyung, dia menyesal minum begitu banyak tadi, saat ini pandangannya begitu kabur.
Ginny tak tega melihat pemuda yang sampai saat ini masih disayanginya itu, dia memutuskan untuk mengikuti Harry yang ternyata melangkah ke tepi danau.
.
.
Harry menyandarkan tubuhnya pada sebatang pohon, melepas beberapa kancing kemejanya karena terasa panas akibat Firewhiskey.
"Kau tak apa-apa?" tanya Ginny kuatir.
Harry terkejut, "Kenapa mengikutiku?" tanyanya.
"Aku khawatir padamu," jawab gadis itu sambil mengusap kening Harry yang berkeringat.
Harry tertawa, dadanya berdebar kencang. Efek minuman itu masih begitu terasa dan sentuhan Ginny mau tak mau membuat tubuhnya semakin memanas.
Ginny memandang wajah Harry yang memerah, mengusap pipinya yang hangat. Rasa cinta itu masih ada dalam hatinya dan dia memberanikan diri untuk mencium pemuda itu, mencium bibirnya yang tak pernah dia lupakan bagaimana rasanya.
Harry tercekat, dia ingin menolak, tapi otaknya dikuasai oleh alkohol yang menyengat. Entah apa yang diingatnya, dia merasa tengah mencium Draco, bayangan pemuda itu begitu nyata di matanya.
Keberadaan mereka yang hanya berdua perlahan justru menyulut gairah yang tertahan, keduanya tak ingin menghentikan kegiatan itu, sentuhan demi sentuhan menjadi akar dari napsu yang terus menyala. Ginny dengan cintanya yang tetap terpendam, dan Harry dengan bayangannya akan Draco. Sentuhan-sentuhan Draco yang selalu membuatnya melupakan semua logikanya.
.
.
Draco tercekat menyaksikan tubuh Harry dan Ginny yang tengah berpelukan dengan ditutupi selembar jubah mereka. Hatinya begitu hancur, malam yang seharusnya menjadi milik mereka berdua telah dikhianati Harry begitu saja, di tempat ini, tempat mereka.
Dengan menahan luka yang semakin menganga lebar pemuda itu pun meninggalkan danau dengan hati yag entah bagaimana bentuknya, hancur, luluh lantak berkeping-keping. Apa yang diharapkannya dari Harry musnah seketika sebelum dia sempat mengungkapkannya.
.
.
Harry mengerang merasakan udara malam yang semakin dingin mengusap kulit telanjangnya, dia merentangkan tubuhnya dan terkejut mendapati Ginny berbaring di sampingnya, dengan tubuh yang sama polosnya dengan dia. Otaknya bekerja cepat mengingat apa yang terjadi sebelumnya dan dia tak bisa berkata apa-apa saat otaknya perlahan mulai mengingat semua.
Ginny membuka matanya dan terkejut melihat Harry yang telah duduk dengan pandangan kosong. "Harry…" panggilnya. Dia segera merapikan tubuh mereka dengan tongkat sihirnya.
"Kenapa ini bisa terjadi?" tanya Harry gamang.
Ada luka di dada Ginny melihat wajah menyesal Harry, "Ini…" Ginny terdiam sebentar tampak berpikir, "Entahlah," jawabnya akhirnya.
Harry berdiri dan menarik-narik rambut hitamnya yang berantakan, "Draco…" desisnya, tiba-tiba dia teringat pemuda itu. 'Malam sudah terlalu larut, apakah tadi dia menemuiku dan melihatku disini?', tanyanya dalam hati dan rasa takut tiba-tiba menyeruak di dadanya membayangkan Draco melihat apa yang dilakukannya bersama Ginny.
"Harry, kau menyesal?" tanya Ginny pelan.
Harry berbalik dan menghadap gadis itu, dia begitu marah, terlebih marah pada dirinya sendiri, "Menyesal?" tanyanya, "Ya, tentu saja aku menyesal, Gin!" teriaknya putus asa.
Ginny menutup wajahnya dan menangis, dadanya terasa begitu sesak. Dia tahu Harry marah, tapi yang membuatnya sakit adalah karena Harry benar-benar sudah tak mencintainya lagi.
Harry mendesah keras, dia marah, sangat marah, bagaimana bisa dia kehilangan kendali malam ini? Menodai gadis sebaik Ginny, menodai gadis yang telah dianggapnya sebagai adik, mengkhianati cintanya pada Draco. Tubuh Harry bergetar hebat, dia melihat tubuh rapuh Ginny yang juga bergetar karena menangis. Ini bukan salah gadis itu, ini murni salahnya. Pelan dia merengkuh tubuh Ginny dalam dekapannya, "Maafkan aku," bisik Harry.
Ginny menggeleng, "Ini juga salahku, tak seharusnya tadi aku memancingmu, Harry," isaknya.
Harry tak menjawab, pikirannya terpusat pada Draco, dia begitu takut pemuda itu melihat apa yangterjadi padanya dan Ginny.
.
#
.
"Draco…" panggil Harry pelan saat melihat pemuda itu duduk di koridor samping keesokan harinya.
Tubuh pangeran es itu menegang, dia meneruskan membaca bukunya tanpa menoleh pada Harry. Hatinya masih terlalu hancur melihat kejadian malam tadi.
"Draco…" panggil Harry lagi dan Draco tetap tak bereaksi. Berarti benar kalau semalam Draco melihatnya dan Ginny di tepi danau itu, dan itu membuat Harry merasa semakin kalut. Kali ini Harry memberanikan diri untuk menyentuh pundak pemuda berambut pirang itu dan tercekat saat Draco menepis tangannya dengan kasar. Pemuda Slytherin itu berdiri dan memandang Harry dengan tatapan benci, jijik… sedih?, "Jangan pernah menyentuhku dengan tangan kotormu itu, Potter," desisnya.
"Draco, aku…"
"Bahkan jangan pernah ucapkan namaku melalui bibirmu itu, kau sungguh memuakkan," katanya dingin dan berlalu meninggalkan Harry yang membeku di tempatnya berdiri.
.
#
.
Sejak saat itu Harry sama sekali tak berani menemui Draco lagi, dia takut akan penolakan yang ditujukan pemuda itu padanya. Dia hanya mampu memandangi Malfoy junior itu dari kejauhan. Tak peduli bagaimana hatinya teriris setiap kali Draco menatapnya dengan penuh kebencian.
Ginnny yang melihat hal itu tak tega. Sejak malam itu Harry sama sekali tak tersenyum, tak bicara, bahkan nyaris tak pernah menyentuh makanannya. Wajahnya selalu tampak pucat dan tak bercahaya, bahkan dia juga menolak bicara dengan Hermione dan Ron, dua sahabat yang tak pernah jauh dari sisinya.
Gadis itu memutuskan untuk menemui Draco dan menjelaskan semuanya.
.
Draco memandang Ginny dengan tajam, darahnya semakin mendidih melihat gadis itu, "Apa maumu?" tanya Draco dingin saat gadis berambut merah itu menghalangi jalannya.
"Aku ingin bicara tentang Harry," jawab Ginny.
Draco semakin marah mendengar gadis itu memanggil Harry dengan nama depannya, "Aku tak peduli," jawabnya sambil terus berjalan.
"Malam itu Harry…"
"Jangan pernah menceritakan perbuatan menjijikkan kalian di depanku, Weasley," desis Draco.
"Malfoy, dengar aku… Harry hanya…"
"Walau dia mati sekalipun aku tak akan peduli, kau dengar itu?" teriak Draco marah. Mata kelabunya menangkap bayangan Harry yang berdiri tak jauh dari mereka, emerald itu tampak semakin terluka dan saat itu juga Draco menyesali kata-katanya. Dengan segera dia pergi menghindari dua orang yang telah menghancurkan hidupnya.
.
.
Setelah itu tak ada kontak sama sekali diantara keduanya, bahkan sampai hari terakhir mereka di Hogwarts. Sampai mereka berkumpul di stasiun Hogsmeade untuk kembali ke keluarga masing-masing.
Harry memandang lesu pada Draco yang berdiri menjauh dari keramaian menunggu saat untuk masuk ke dalam kereta. Pemuda berambut pirang itu menunduk memandangi ujung sepatunya, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana panjangnya. Tas ranselnya yang besar dibiarkan tergeletak di lantai, di dekat kakinya.
Harry tersenyum kecil, luka di hatinya masih terasa basah, dia tak tahu bagaimana ia bisa menebus kesalahannya pada pemuda itu. Rasa cinta itu tak pernah berkurang, bahkan semakin besar setiap harinya. Bagaimana jadinya jika rasa itu tak berbalas? Akankah dia bisa hidup dengan menanggung perih di sepanjang hidupnya?
Tiba-tiba melalui ekor matanya dia melihat seseorang dengan jubah hitam berjalan kearah Draco sambil mengacungkan tongkatnya. Harry tercekat saat mengetahui siapa orang itu, Rodholpus Lestrange, suami dari Bellatrix Lestrange, salah satu dari pelahap maut yang sempat meloloskan diri dari kejaran para Auror saat perang besar berakhir. Dia melihat orang itu semakin mendekat dengan pandangan penuh dendam saat melihat Draco yang tak menyadari keberadaannya.
Sekuat tenaga Harry berlari secepatnya kearah Draco tepat sebelum orang itu merapalkan mantra entah apa yang ditujukan pada pemuda yang begitu dicintainya itu. Dia memeluk tubuh Draco tepat disaat dia merasakan rasa panas menjalar di seluruh tubuhnya.
Draco tersentak, dia mendengar teriakan 'Sectumsempra' yang begitu keras disaat Harry menabrak tubuhnya. Draco melihat kearah sumber suara yang merapalkan mantra terlarang itu dan tercekat saat melihat pamannya membalikkan badan dan ber-apparate secepatnya.
Semua orang mulai berteriak panik dan mengerumuni mereka. Tangan Harry yang semula memeluk erat tubuh Draco mulai melemas, membawa tubuhnya meluncur ke lantai stasiun yang dingin.
Draco memeluk tubuh Harry sebelum pemuda itu membentur lantai, matanya tercekat melihat darah keluar dari hidung dan mulut Harry, tapi yang membuatnya lebih takut lagi adalah darah merah segar yang keluar dari luka melintang di tubuh Harry. Dia tak bisa berkata apa-apa, ingin menjerit tapi tak ada suara yang mampu keluar dari bibirnya, dia hanya menatap nanar emerald Harry yang masih terus memandangnya. Jantungnya ingin meledak saat melihat Harry tersenyum, senyum yang telah hilang dari bibirnya sejak malam terakhir Draco melihatnya bersama Ginny. Kilau emerald itu tampak berbinar indah dengan hiasan butiran kristal di kelopaknya yang memerah. Sayup dia mendengar bisikan Harry, "Cold," katanya lirih.
Dengan lembut Draco memeluk tubuh yang lemas itu, membiarkan darah membasahi lengan dan pundaknya, "Bertahanlah, kumohon," bisik Draco dengan suara bergetar.
Harry tersenyum, mengusap lembut pipi Draco dengan hidungnya yang terus mengeluarkan darah, "My Draco," ucapnya lirih sebelum tangannya terkulai di lantai dan matanya menutup selamanya.
Tubuh Draco gemetar hebat, matanya terus menatap wajah yang perlahan semakin memucat itu, "No, Harry… Buka matamu, please," katanya dengan suara tercekat. Tapi Harry tak bereaksi, pemuda berambut hitam itu tetap terpejam dengan sisa senyum pada bibirnya. Draco memeluk erat tubuh itu, mengayunkannya dalam dekapannya, "Buka matamu, lihat aku, kumohon," pintanya lirih di telinga Harry. Otaknya benar-benar membeku, emerald yang selalu dipujanya itu tak kunjung membuka, tubuh itu semakin terasa dingin di kulitnya.
Draco tak tahu harus berbuat apa, otaknya serasa kosong. Dia tak mampu melawan saat tubuhnya ditarik menjauh oleh entah siapa, tapi dia masih bisa melihat saat Severus Snape mendekati tubuh Harry yang masih berbaring di lantai, memeriksa pemuda itu lalu menggeleng lemah pada seseorang di sampingnya yang Draco juga tak tahu siapa. Gelengan Severus membuat duanianya menjadi gelap seketika, dingin… Dia merasakan rasa dingin yang mungkin sama seperti yang dirasakan oleh Harry.
.
.
"Draco…"
Telinga Draco lamat-lamat mendengar satu suara yang memanggilnya.
"Hei, Draco, buka matamu,"
Suara yang begitu dirindukannya itu terdengar lagi. Perlahan Draco membuka matanya, silau… dia mengerjapkan matanya untuk membiasakan diri pada sinar terang yang dilihatnya. Tak lama dia melihat Harry berdiri di samping tempat tidurnya, dengan senyum hangat dan kilau emeraldnya yang tampak begitu indah.
Entah mendapat kekuatan dari mana Draco langsung melompat dari tempat tidurnya, "Harry!" serunya gembira, dia lega karena melihat pemuda itu, pemuda yang telah mencuri seluruh dunianya. Draco memeluk Harry dengan begitu erat, tubuh itu terasa hangat.
"Draco," bisik Harry sambil menatap kilau kelabu pemuda itu.
Draco tersenyum, "Yes?" jawabnya sambil menempelkan keningnya pada kening Harry, "Yes, Harry," ulangnya.
"Maafkan aku," bisik Harry lagi, "Maafkan aku telah menyakitimu."
Draco menggeleng, "Aku tak peduli, asal kau bersamaku," jawabnya.
Harry tersenyum samar, "Maafkan aku lagi."
"Untuk apa?" tanya Draco bingung.
Harry menangkup wajah Draco dengan tangannya, "Karena aku tak bisa bersamamu."
Draco mengernyit bingung, "Kenapa?"
"Karena aku harus pergi, Draco," jawab Harry lirih.
Tiba-tiba Draco teringat kejadian di stasiun itu, "Tidak, kau hidup, Harry, kau bersamaku, akan terus bersamaku selamanya," bantah pemuda berambut pirang itu.
Harry menggeleng lemah, "Aku tak bisa menemanimu, Draco, aku harus pergi, sendiri."
"Tidak!" kata Draco bersikeras, "Aku akan bersamamu."
Harry menunduk, "Kau harus tetap berada disini, bantu aku menjaga sesuatu yang tak bisa kujaga," jawabnya.
"Apa maksudmu?" tanya Draco.
Perlahan tubuh Harry mulai tampak samar, semakin menipis, "Harry…!" teriak Draco.
"Aku mencintaimu…" bisik Harry dengan terus memandang lurus kilau kelabu Draco sebelum tubuhnya benar-benar menghilang.
"Harry!" teriak Draco lagi, dadanya terasa begitu sakit, dia tak bisa memeluk tubuh itu lagi.
.
"Draco…" panggil sebuah suara lagi, tapi bukan suara Harry. Pemuda itu merasa tubuhnya diguncang oleh seseorang , "Draco, kau kenapa? Buka matamu," seru suara itu.
Sekuat tenaga Draco berusaha membuka matanya, "Harry!" teriaknya dan terduduk di tempat tidurnya dengan peluh membasahi sekujur tubuhnya. Matanya nanar memandang kesekelilingnya, dia melihat Severus dan madam Pomfrey disitu, juga Pansy, Blaise dan Theo, tapi tak ada Harry di situ, dia tak melihat Harry-nya.
Draco tak bicara, dia menatap Severus tajam meminta penjelasan akan semua yang terjadi.
Seakan mengerti apa yang diinginkan anak baptisnya itu, Severus pun mulai bicara, "Tubuh Harry tak bisa menahan kutukan Crucio itu karena kondisinya yang melemah akhir-akhir ini." kata sang kepala sekolah itu pelan.
Draco menggeleng, mencoba menolak apa yang akan dikatakan oleh mantan guru ramuan itu.
"Harry… Telah meninggalkan kita, Draco," sambung Sev lagi dengan nada sedih yang tak bisa disembunyikannya.
Draco tak menjawab, dia ingin menolak semua ini tapi tak kuasa, dia tahu kalau apa yang dikatakan Severus itu benar, tapi dia tetap berharap ada keajaiban yang akan mengubah semuanya, dia berharap ini hanya lelucon dan sebentar lagi Harry akan masuk ke ruangan itu, mengejutkannya dan menertawakan kebodohannya. Tapi tidak, itu tak mungkin terjadi, pintu Hospital Wing itu tak pernah terbuka dan Harry tak akan pernah lagi memberikan senyuman padanya, Harry telah pergi, Harry-nya telah meninggalkannya sendiri dengan penyesalan yang tak berujung.
Pansy mendekati Draco dan mengulurkan sesuatu yang membuatnya tercekat, "Sebelum kejadian itu Harry menyerahkan kalung ini padaku dan memintaku untuk mengembalikannya padamu, Draco," kata gadis berambut hitam itu dengan mata sembab, "Katanya dia tak membutuhkan ini, dia akan terus mencintaimu dalam hatinya walau apapun yang terjadi."
Draco menunduk, dia sudah tak mampu lagi menangis, dia hanya bisa menikmati luka yang terus menganga itu dalam diam.
Pansy mengulurkan tangannya dan memakaikan kalung itu di leher Draco, gadis itu tercekat saat merasakan basah pada lengannya, Draco menangis, menangis tanpa suara, hanya air mata yang terus mengalir dari mata kelabunya. Pansy memeluk erat sahabatnya yang tampak rapuh itu, belum pernah seumur hidupnya dia melihat seorang Draco Malfoy menjadi begini lemah, tidak juga saat kedua orangtuanya tewas di tangan Voldemort.
.
.
Draco memandang nanar dari kejauhan saat peti putih itu ditanam di sebelah makam Albus Dumbledore. Severus meminta jenazah Harry dimakamkan di Hogwarts, di samping makam pelindungnya.
Tak ada yang bisa mengerti bagaimana perasaan Draco saat ini, dia merasakan ada lubang hitam yang menganga lebar di jiwanya saat melihat peti putih itu perlahan tertutup oleh tanah. Dia merasa dingin yanng begitu beku, melumpuhkan semua sarafnya, menghentikan fungsi otaknya.
Ingin rasanya dia berlari dan ikut berbaring bersama Harry di dalam peti itu, tak ada gunanya dia berada di sini kalau seluruh hidupnya telah dibawa pergi pemuda itu. Tak ada gunanya dia berada disini, kalau satu-satunya yang ingin dia miliki pergi meninggalkannya sendiri, jadi apa lagi yang dia cari? Tak ada yang bisa didapatnya dengan berdiri diam disini.
Perlahan dia berjalan mendekati kerumunan itu dengan pandangan kosong, tapi langkahnya terhenti saat sebuah suara terdengar di gendang telinganya.
"Kau harus tetap berada disini, Draco, bantu aku menjaga sesuatu yang tak bisa kujaga,"
Draco terdiam, dia belum bisa mengartikan apa yang dimaksud Harry saat muncul di dalam mimpinya semalam. Dia membeku di tempatnya dan melihat kalau Pansy dan Theo menghampirinya.
"Kau tak apa-apa?" tanya gadis itu cemas sambil memegang lengan Draco.
Draco tak menjawab, matanya tetap memandang lurus ke arah makam yang baru itu. Dia melihat Hermione, Ginny dan Ron menghampirinya. Tapi dia tetap tak peduli, bahkan saat Hermione memeluknya, mengusap punggungnya.
"Untuk apa kau melakukan itu, Mione," kata Ron dengan nada ketus.
"Apa maksudmu?" tanya Hermione bingung.
Ron mendengus, "Untuk apa kau memeluk pembunuh itu."
"Ron!" teriak Hermione dan Ginny bersamaan, begitu juga dengan Pansy dan Theo yang terkejut dengan perkataan pemuda itu.
"Dia yang menyebabkan Harry mati, Mione… Dia yang membunuh Harry!" teriak Ron marah.
PLAAAK!
Hermione menampar pipi Ron dengan keras dan membuat pemuda itu terkejut, "Jangan pernah berkata seperti itu, Ron," desis Hermione.
"Tapi karena dia Harry mati, Harry tak mampu bertahan karena kondisinya yang sedang lemah, dan itu semua gara-gara dia, karena dia menjauhi Harry tanpa sebab!" teriak Ron lagi sambil menuding wajah Draco yang pucat, "Kenapa Harry harus mengorbankan nyawanya untuk pecundang seperti ini?"
"Kau…"
Kata-kata Pansy tertahan oleh Ginny yang maju mendekati kakaknya, "Karena Harry mencintai Draco, Ron… Dan aku percaya Harry tak akan pernah mencintai seorang pembunuh. Harry hanya ingin melindungi orang yang dia cintai, hanya itu," jawab gadis itu dengan tajam dan membuat semua orang yang mendengarnya terdiam "Draco memiliki alasan melakukan itu, dan itu semua…"
"Ya," potong Draco, pemuda itu memandang Ron dengan pandangan yang tak dapat diartikan, "Ya, kau benar Weasley, aku yang membunuh Harry, aku memang seorang pembunuh," jawab pemuda itu lirih lalu membalikkan badannya dan berlalu dari tempat itu.
.
#
.
Hari dan bulan berlalu begitu lambat untuk Draco. Sejak kematian Harry, Severus meminta pemuda itu untuk tetap tinggal di Hogwarts bersamanya. Draco membatalkan keanggotaannya untuk departemen Auror dan memilih menyibukkan diri dengan belajar ramuan bersama Severus. Mantan guru ramuannya itu meminta Draco untuk menjadi asisten pengajar dalam mata pelajaran ramuan mengingat kemampuan gemilang Draco di bidang itu.
Siang ini sekali lagi dan akan selalu seperti ini, pemuda berambut pirang itu menghabiskan waktunya di tepi danau, sendiri. Melewatkan entah untuk keberapa kali waktu makan siangnya disini, dengan berbekal sepotong sandwich tuna dan apel hijau. Menyandarkan punggungnya pada sebatang pohon, pohon yang dulu selalu memayunginya dan Harry dari panas atau hujan, pohon dimana mereka selalu suka berbaring berdua di bawahnya.
Mata kelabu itu menerawang jauh, rasanya baru kemarin dia memeluk dan mencium Harry di tempat ini, bercanda berdua, melewatkan waktu-waktu membosankan bersama. Dan kali ini pemuda itu telah terbiasa dengan rasa sakit yang selalu menyayat hatinya setiap kali dia terkenang akan pemuda itu.
Dua bulan sudah sejak kematian pemuda itu, tapi Draco masih bisa merasakan keberadaan Harry di sekitarnya. Terkadang bayangan pemuda berambut hitam itu berkelebat di depan matanya lalu menghilang. Severus selalu berkata kalau itu hanya halusinasinya saja, rasa kehilangan yang sangat besarlah yang membuat Draco akhirnya menciptakan bayangan Harry di kepalanya. Draco sama sekali tak menanggapi perkataannya, dia membiarkan hal itu terus terjadi padanya, biarlah itu hanya bayangan, setidaknya Draco masih bisa meihat wajahnya walau hanya dalam ilusi.
Draco terkejut saat dia mendengar suara di belakangnya, dia menoleh dan kembali memalingkan wajahnya saat melihat siapa yang datang. Ginny Weasley, gadis itu masih menjalani tahun terakhirnya di sekolah ini.
"Draco- mmh, maaf maksudku profesor Malfoy," sapa Ginny gugup.
Draco tak menjawab, dia tetap melemparkan pandangannya ke tengah danau.
"Aku harus bicara padamu," kata Ginny lagi.
Draco terdiam sesaat, "Kau sudah disini, cepat bicara dan tinggalkan aku," jawab draco dingin.
Tak disangka oleh Draco kalau Ginny akan menangis, gadis itu terisak sambil terduduk di depannya. "Draco… a-ada sesuatu yang aneh p-pada diriku," kata gadis itu tersendat.
Draco mengernyit bingung, "Apa maksudmu?"
Ginny terus terisak sambil menutup wajahnya, "Aku tak tahu kenapa aku harus mengatakan ini dulu padamu."
Draco semakin tak sabar, "Cepat katakan, Weasley," katanya setengah membentak.
Ginny semakin terisak, "Draco… A-aku terlambat menstruasi selama dua bulan ini, dan… Dan setiap pagi tubuhku terasa aneh, sakit… Mual…" isak gadis itu makin menjadi, "Sepertinya aku hamil, Draco."
Draco terkejut, dia tak bisa berkata apa-apa, otaknya belum bisa mencerna apa maksud kata-kata Ginny.
"Ini anak Harry, Draco… Kalau benar aku hamil berarti ini anak Harry!" teriak gadis itu kalut.
Draco tersentak, dia berdiri dan menarik lengan Ginny agar ikut berdiri bersamanya, "Kau jangan bercanda," desisnya.
"Bagaimana bisa aku bercanda dengan hal seperti ini?" teriak gadis itu lagi
Draco terpaku, "Kau sudah memeriksakan itu pada Poppy?" tanyanya.
Ginny menggeleng lemah, isak tangis masih terdengar dari bibirnya.
.
.
Madam Pomfrey keluar dari ruang periksa, menemui Draco dan Severus yang menunggu di sana. Ada juga Ron dan Hermione yang sengaja dipanggil oleh Severus yang memberi kabar akan kondisi Ginny.
"Bagaimana?" tanya Hermione cemas.
Healer itu memandang Hermione dan semua orang bergantian, "Dia hamil," jawabnya yang membuat semua orang terpaku, "Usia kandungannya dua bulan."
"Ini gila," jawab Ron tak percaya, "Ini tak mungkin… Siapa yang melakukan itu padanya?" teriak pemuda itu kalut. "Kau…" katanya menuding Draco, "Kenapa Ginny mengatakan hal ini lebih dulu padamu? Ada hubungan apa antara kau dengan kehamilan adikku?" tuduh Ron.
Draco tak menjawab, kenyataan kalau Ginny hamil kembali menorehkan luka di hatinya. Dia ingat akan pengkhianatan Harry malam itu, malam dimana dia telah memutuskan untuk memberikan seluruh hidup dan cintanya pada Harry, malam dimana dia bermaksud untuk mengatakan pada Harry betapa dia mencintai pemuda itu dengan segenap jiwanya.
"Jawab aku!" teriak Ron marah sambil mencengkeram kerah baju Draco, dia tak peduli walau Severus dan Hermione berusaha menjauhkan dia dari Malfoy junior itu.
"Ini anak Harry, Ron," jawab Ginny yang baru keluar dari ruang periksa dengan wajah pucat, "Ini anak Harry."
Draco tak bisa mengartikan perasaannya, rasa sedih, kecewa dan entah apa lagi. Kepergian Harry meninggalkan luka yang begitu membekas dalam hidupnya, dan kali ini… Akankah dia menerima kehadiran anak dari pemuda yang dicintainya itu? Anak yang di dapatnya dari orang lain dengan menyakitinya? Draco memilih pergi dari tempat itu, mengurung diri dalam ruangannya. Inikah yang dimaksud oleh Harry? Inikah alasan kenapa Harry tak ingin dia pergi bersamanya? Menjaga apa yang tak bisa dijaganya? Menjaga anaknya dan Ginny? Lalu apa maksud ungkapan rasa cintanya sebelum dia menghilang itu? kalau Harry memang mencintainya kenapa semua ini harus terjadi?
.
.
"Apa maksudmu, Draco?" tanya Severus saat pemuda itu menemuinya malam ini di kantornya.
"Aku akan meninggalkan Inggris untuk sementara, Sev," jawabnya, "Aku akan pergi ke Perancis, mencoba membuat ramuan di sana."
"Kau bisa melakukannya di sini," kata sang kepala sekolah.
Draco memijat pangkal hidungnya, "Maaf, ini keputusanku."
Severus mengengguk-angguk kecil, dia tahu bagaimana menderitanya Draco sejak kepergian Harry, dan kini dia harus dihadapkan pada sesuatu yang lebih menyakitkan lagi, anak Harry yang dikandung Ginny. "Draco, aku tahu ini berat untukmu, tapi bagaimanapun janin itu tidak bersalah," kata Severus berusaha mencegah anak asuhnya itu pergi.
"Sev, please… Suatu saat aku akan kembali ke tempat ini lagi," paksanya. Lalu pemuda itu berdiri dan keluar dari ruangan bundar itu setelah melihat Severus menganggukkan kepalanya.
.
#
.
Entah berapa lama dilalui Draco di tempat ini, dia berusaha sendiri menyembuhkan luka hatinya. Surat dari Severuslah yang menghubungkannya dengan Inggris.
Surat pertama Severus mengabarkan kalau anak Ginny telah lahir, seorang anak laki-laki yang diberi nama 'Albus Severus Potter'. Alasan Ginny memberi nama itu karena Harry begitu mengagumi Albus Dumbledore dan severus Snape sebagai pelindungnya.
Surat kedua Severus mengabarkan kalau dia telah melihat bagaimana wajah Albus kecil, begitu mirip dengan Harry, dengan rambut hitam dan mata hijaunya. Hal itu cukup membuat Draco meringis sakit. Dia ingin bisa memaafkan Harry, tapi peristiwa malam itu benar-benar tak sanggup dilupakannnya.
Surat ketiga dan seterusnya tak pernah lepas dari pertumbuhan anak itu, dan Draco selalu membuat surat itu menjadi abu setiap kali selesai membaca tanpa menuliskan balasan. Entah berapa malam dilewatinya tanpa memejamkan mata, bayangan Harry terus mengikutinya kemanapun dia pergi, kemanapun dia bersembunyi. Rasa sakit dan perih tak juga hilang, rasa sesal pun semakin dalam.
Tanpa sadar seringkali dia menangis dalam diam, dalam gelap, tatkala teringat wajah Harry yang penuh oleh darah saat memeluknya untuk terakhir kali itu. Kenapa Harry masih bisa tersenyum di kala rasa sakit mendera tubuhnya? Kenapa Harry masih bisa memandangnya dengan tatapan lembut disaat perih mengoyak raganya? Kenapa Harry membiarkannya tetap hidup disaat dia sendiri tak mampu bertahan? Untuk menyiksanya kah?
Surat Severus terus datang walau jawaban darinya tak pernah tertulis. Severus mengabarkan kalau Albus sudah memulai tahunnya di Hogwarts, dan bisa ditebak kalau anak itu akan menghuni Gryffindor seperti kedua orang tuanya. Severus juga mengatakan kalau kemampuannya di bidang mantra dan pertahanan terhadap ilmu hitam tak kalah hebat dari ayahnya, ya ayahnya. Setiap kali Draco membaca tulisan itu maka lukalah yang akan didapatnya. Dan surat-surat Severus itu cukup untuk membuatnya mengenal sosok Albus walau tanpa melihat rupanya.
Hingga delapan belas tahun berlalu tanpa terasa, surat Severus datang lagi dan memintanya menjadi tenaga pengajar di mata pelajaran ramuan menggantikan Profesor Slughron. Jika dihitung berdasarkan tahun, maka tahun ini adalah tahun dimana Albus Severus Potter akan memulai tahun ajaran ke-enamnya di Hogwarts. Lelah bersembunyi tanpa menghasilkan apapun selain rasa rindu dan sakit yang terus membakar, Draco pun memutuskan untuk pulang, kembali ke tempatnya yang dulu selalu ada Harry di sisinya, cintanya.
.
#
.
Dan malam ini disaat Severus memperkenalkannya di depan para murid, suara riuh rendah menyambut kehadirannya. Nama Draco Malfoy pernah tercatat dalam sejarah, besar atau kecil tapi jasanya menyelamatkan sang pahlawan, Harry Potter, patut dikenang dan dihargai.
Dan sekali lagi luka itu menganga lebar saat dilihatnya kilau emerald yang begitu dirindukannya itu memandang lurus padanya dari meja Gryffindor. Draco ingin menjeritkan nama Harry saat itu juga, ingin memeluk pemuda itu seerat yang dia bisa, tapi itu bukan Harry-nya, bukan pemuda yang selalu dicintainya. Dan matanya tak juga bisa lepas dari sosok yang begitu menyerupai kekasihnya yang telah pergi delapan belas tahun yang lalu, kekasihnya yang meregang nyawa dalam pelukannya.
TBC
a/n.
ga tau kenapa ide begini bisa muncul. Ini benernya proyek dah lama banget, bahkan aku ngetik pertama kalinya ini bareng sama fic Dilema, tapi terbengkalai begitu aja di file tanpa tersentuh. Dan sekarang pengen ngelanjutin lagi, pengen menggalau lagi =))
Pair ke depan mungkin bisa berubah jadi Draco X Albus #gelindingan. Saya pasrah ma reader, suka ya sukur, kalo enggak ya kebangetan #eh?
Okeh, ditunggu ripiunya ya! O iya, fic ini udah saya ketik mpe tamat, jadi jangan minta saya ngerubah alurnya ya, capek saya kalo ngetik lagi #ditabokmassa.
