"Ohayou... Naruto-kun..."

Naruto terkejut saat pertama kali melihatnya.

Di pagi hari – di padang rumput yang luas -, disaat angin berdesir dengan cukup kuat, diikuti dengan teriakan para burung yang terbang mengangkasa.

Seorang perempuan berdiri di depannya, menatapnya dengan lembut. Manik putih lugu yang seindah langit biru bertemu dalam satu titik dengan iris saphire yang indah. Bibirnya agak bergetar, namun berbanding terbalik dengan seluruh tubuhnya.

"Kau?!" Ucapnya agak berteriak, sebab terkejut.

Dia perempuan yang sehat; helai rambut putihnya yang panjang berayun lembut terbawa angin, senyumnya yang terlihat begitu menyejukkan hati, serta jemari tangannya terasa dingin. Mencoba meraih kedua tangan Naruto, meyakinkan suatu hal yang tak diketahui.

Naruto terdiam membisu. Ia tidak bisa melakukan apapun terhadap perempuan di depannya. Ia terkejut, namun di sisi lain, ia ketakutan setengah mati.

"Naruto-kun..."

Suaranya sehalus sutra terbaik yang pernah ada...

Bibir suci memanggil sebuah nama...

Naruto agak mundur beberapa langkah. Namun sebelum itu, perempuan di depannya menarik tangannya, memberi arti bahwa ia tidak boleh pergi darinya. Naruto tidak bisa melakukan apapun. Ia benar-benar tidak menyangka jika terjebak dalam keadaan seperti ini.

Kedua tangan Naruto bergetar, sama persis dengan bibirnya yang hendak mengatakan sesuatu. perempuan pucat di depannya tersenyum, menunggu sesuatu dari Naruto. Genggaman tangannya pun tak akan bisa lepas dari Naruto.

"Me-mengapa kau bisa berada disini? –"

"- Ootsutsuki Kaguya?!"

"..."

"Kau masih mengenalku ternyata, Naruto-kun? –"

"- padahal kaulah yang membunuhku dengan teman-temanmu"

Ya...

Gadis itu adalah Ootsutsuki Kaguya...

Sang ratu chakra, ibu dari semua shinobi...

.

.

.

.

.

.

.

.

.


- 10 October –


.

.

.

.

.

.

.

.

.

Naruto seakan masih tak percaya, bahwa wujud sosok Ootsutsuki Kaguya masih berada di dunia. Dan lebih dari itu, sosoknya berdiri tepat didepannya.

Memasang senyum lembut, kulit putih pucat yang seolah ingin dilindungi, rambut berayun meminta untuk diusap lembut, dan tatapan matanya yang tak memancarkan dendam apapun atau sedikitpun. Meski kenyataannya, pemuda pirang di depannya adalah orang yang pernah membunuhnya.

Naruto kembali mencoba mundur beberapa langkah, berniat meninggalkan Kaguya disana. Namun sayang tangannya ditahan. Naruto tidak bisa pergi dari sini. Padahal sebelumnya, ia pergi keluar desa dan berhenti di padang rumput ini hanya sekedar untuk mencari angin sejuk saja.

"Ootsutsuki Kaguya?! Apa maumu?"

"Kau begitu padaku, Naruto-kun..."

Naruto tidak bisa berpikir dengan jernih. Mungkin? Bisa saja ia melawannya disini sekarang juga. Namun melihat pancaran matanya; yang hanya mencari kebahagiaan semu, membuat Naruto merasa tidak tega.

Hari ini adalah hari ulang tahun Naruto, dan ia sengaja pergi keluar desa hanya karena tidak ingin diganggu oleh teman-temannya yang ia duga tengah menyiapkan sebuah kejutan. Pergi keluar desa, mencari angin, mencari udara sejuk, mencari kesenangan dimana ia bisa bersenang-senang hanya seorang diri.

Namun apa daya? Ia berhenti di padang rumput ini, dan sialnya bertemu dengan sosok yang hampir menghancurkan peradaban manusia.

Kaguya memiringkan kepalanya, mendekat kearah Naruto. Si pemuda pirang di depannya menjadi agak was-was, meski Kaguya sedari tadi sama sekali tak mengeluarkan hawa membunuh dan malah sebaliknya.

"A-apa yang kau inginkan? Ootsutsuki Kaguya?"

"Kaguya saja cukup kok. Atau Ibu? Kau mirip anak dari diriku sih..."

"..."

"Kenapa kau takut padaku? Naruto-kun?"

"Kau itu ancaman dunia tahu!"

"Heeh~ padahal aku kesini hanya ingin mencari kebahagian sedikit saja"

Sudah Naruto duga sebelumnya. Itu terlihat dari pancaran matanya...

"Kebahagiaan apa yang kau maksud?" ucap Naruto sembari mencoba melepas genggaman tangan Kaguya pada lengannya, namun sayang, apa yang ia lakukan adalah hal yang percuma, sama sekali tak bisa ia lepas.

"Kebahagiaan yang kumaksud –"

Kaguya melepas genggaman tangannya pada lengan Naruto. Kedua tangannya kini menggapai kedua pipi Naruto. Mendekatkan wajahnya pada Naruto, lalu menjilat pelan pipi sang pemuda.

"- aku ingin menghabiskan waktu hari ini bersamamu, Naruto-kun!"

"Hah?!"

"Jadi? Bagaimana? Kau mau?"

"Bagaimana jika aku menolaknya?"

"Lalu bagaimana jika kuhancurkan dunia ini?"

Naruto menelan ludahnya dengan kasar. Ucapannya terdengar sangat mengerikan, meski terlihat agak sedikit bercanda. Namun siapa yang mau menganggapnya bercanda? Dia adalah sang dewi kelinci yang hampir memusnahkan dunia.

Toh, apaan itu ancamannya?! Secara tidak langsung, menolak ajakannya sama saja menghancurkan dunia ini dengan Naruto sebagai tersangkanya bukan?!

Jadi, ada apa dengan Ootsutsuki Kaguya? Ibu dari seluruh shinobi ini?!

.

.

.

.

.

Mereka masih berada di luar Konoha, menelusuri jalan di hutan yang luas. Kaguya bergelayut manja pada lengan Naruto, dan Naruto menjadi agak gelisah sendiri, dalam artian, ia berpikir bahwa ia bisa mati kapan saja saat menyadari kenyataan bahwa ia berada di samping Kaguya.

Mereka terus berjalan di bawah hangatnya terik matahari, meski sinarnya terkadang tertutupi rimbunnya dedaunan dari pepohonan yang ada. Kicauan burung membuat keduanya merasa mendengarkan sebuah lagu, begitu pula arus angin yang sejuk berayun di antara dedaunan hijau.

Obrolan yang nirfaedah menjadi penghilang rasa bosan, saat Kaguya terus berbicara tentang hal yang sama sekali tak ingin Naruto ketahui. Naruto terlihat cuek. Rasanya ia benar-benar menyesal pergi keluar desa dan bertemu dengan makhluk yang satu ini.

Namun mau bagaimana lagi? Bahkan jantungnya kini berdegup lebih cepat dari yang sebelumnya. Bukan karena sepasang buah dada yang menekan lengannya, bukan karena suara lembut Kaguya, bukan juga sosok Kaguya yang sesekali menggodanya dengan meniup pelan telinganya, -

- tapi karena ia takut mati ditangan Kaguya, atau Kaguya yang kembali berniat menghancurkan dunia ini.

Ya... dia memang benar-benar ketakutan sih.

"Naruto-kun, kau terlalu tegang tahu"

"Diamlah, aku tak ingin mendengar itu darimu"

"Are? Apa kau masih menyimpan benci padaku? Setelah apa yang kulakukan pada kalian semua?"

"Tentu sa-"

Naruto terdiam, kala ia menolehkan kepalanya ke arah Kaguya.

Perempuan berambut putih itu berhenti melangkah, memaksa Naruto untuk ikut bersamanya. Matanya menatap ke bawah, bahkan sesekali helaian rambutnya menutupi ekspresinya. Ia terlihat menyesal akan sesuatu, yang membuat Naruto merasa bersalah karena salah memilih kata.

"Ma-maafkan aku..."

"Kenapa kau meminta maaf padaku?"

"Err... aku juga bingung sih meminta maaf untuk apa"

Tepat seperti yang baru saja Naruto katakan. Ia bingung meminta maaf atas apa. Atas ia salah memilih kata hingga membuat perempuan itu murung? Namun disisi lain perempuan itu dulunya pernah melakukan hal yang bisa dibilang tidak bisa dimaafkan?

Seolah lupa pada hal yang baru saja terjadi. Kaguya kembali menyeret Naruto, menelusuri jalan yang mereka lalui. Kini tak lagi ada belahan dada yang menghimpit lengan seorang pemuda pirang, yang ada hanyalah genggaman tangan yang menarik seorang lengan pemuda, seolah genggaman itu tak bisa ia lepas dan tak ingin ia lepaskan.

"Naruto-kun! Lihat itu!"

Mereka berhenti saat melihat pohon apel. Kaguya menunjuk-nunjuk salah satu apel merah yang menggantung di ranting yang cukup tinggi. Naruto menghela nafas pelan. Entah mengapa, Kaguya yang ini jauh berbeda dengan Kaguya yang ia lawan dulu.

Semacam, Kaguya sama halnya seperti gadis-gadis biasa. Ia rasa...

"Naruto-kun! Ambil itu untukku!"

"Hah?! Untuk apa aku mengambilnya?"

"Ya tentu saja untukku!"

"Lalu kenapa kau tidak mengambil sendiri saja?"

"Naruto-kun!"

Dan saat melihat ekspresi Kaguya, membuat Naruto mau tak mau menuruti permintaannya. Sekilas ia berpikir, ada apa dengan Kaguya yang ini? Mana sifat kejamnya terhadap orang lain?

Enggan untuk mengeluarkan banyak tenaga, Naruto membuat satu bunshin dan memerintahkannya untuk mengambil apel yang berada di atas sana. Yah... Naruto malas untuk memanjat pohon sih. Toh, untuk apa juga ia harus mengambil apel itu jika bukan dirinya yang memakannya?

Beberapa menit berlalu, Apel yang ditunjuk Kaguya kini telah berada di tangannya. Ia terlihat senang, namun entah mengapa, Naruto ikut turut senang. Ia tahu ada yang salah dengan dirinya, namun ia tidak peduli. Matanya melembut saat melihat Kaguya menggigit apel itu hingga mengeluarkan suara yang terdengar renyah.

"Apa itu enak?"

"Tentu. Kau mau?"

"tidak, terima kasih..."

Tentu saja bukan? Bagaimana Naruto mau memakan apel yang ada bekas gigitan Kaguya?

Melanjutkan perjalanan, mereka kini bergandengan tangan, meski Kaguya yang memaksa sih. Naruto juga sebenarnya tidak ingin melakukan ini namun jika tidak? bisa saja dunia ini hancur karena ulahnya. Dan karena itulah, Naruto menuruti semua yang diinginkan perempuan yang satu ini.

Menit demi menit telah berlalu. Apel yang sebelumnya terus dimakan dan digigit oleh Kaguya pun telah habis tak tersisa, dan di sampingnya, Naruto hanya bisa pasrah dan menuruti apa yang diinginkannya. Tak puas bergandengan tangan, Kaguya kembali menghimpit lengan Naruto dengan belahan dadanya.

"Oi oi! Lepaskan tanganku!"

"Heeh? Wajahmu memerah lho~"

"A-apa maksudmu hah?"

"Jadi Naruto-kun suka dengan dada perempuan ya?"

"Apa yang membuatmu berpikir jika wajahku memerah itu tandanya aku menyukainya?!"

"Hihihi..."

Selang beberapa menit, tiba-tiba Kaguya bertingkah aneh, membuatnya berhenti dan terlihat seperti mengendus-endus sesuatu. Naruto jadi penasaran. Apa yang dilakukannya? Pikirnya di dalam hati.

"Kau mencium sesuatu?"

"Huh?"

"Baunya seperti air..."

"Hei, katakan padaku, apa kau seekor anjing?"

"Disana!"

Merasa agak kesal saat pertanyaannya diabaikan – meski terkesan seperti pertanyaan yang retoris sih -, Naruto kembali dikejutkan oleh tingkah perempuan yang satu ini saat Kaguya berlari sembari menarik lengannya. Mereka berlari, namun tidak mengikuti jalan setapak. Mereka berlari di jalan yang tidak seharusnya.

Tak apa sih, toh jika seandainya mereka tersesat, Naruto bisa mencari jalan keluarnya.

Tak sampai beberapa menit namun bisa dibilang agak jauh dari jalan setapak yang mereka lalui sebelumnya, mereka tiba di tempat yang dikatakan Kaguya. Sebuah sungai, dengan air jernih yang mengalir cukup tenang. Di pinggir sungainya, ada beberapa pohon yang dedaunannya menghalangi sinar matahari yang terik juga semak belukar yang menutupi penglihatan dari luar. Namun meskipun begitu, di sana cukup sejuk karena dedaunan yang menutupi cahaya matahari.

Sungguh, itu adalah tempat yang sangat bagus yang baru pertama kali Naruto lihat.

"Tak kusangka ada sungai disini"

"Naruto-kun"

"Ya?"

"Aku agak gerah, mandi bareng yuk?"

"..."

"Haaaah?!"

Dan yah? Yang dapat Naruto lakukan tidak lain hanya membalikkan badannya saat perempuan itu mencoba melucuti pakaiannya.

.

.

.

.

Awalnya Naruto berpikir, mengapa ia turut ikut berendam di sungai ini?

Hanya mengenakan celana pendek, dan bersandar di pinggir sungai yang dalamnya hampir mencapai pundak itu. Tumpukan pakaian terlihat menggantung di ranting pohon yang tidak terlalu tinggi. Semak-semak yang berada di pinggir sungai menjadi penghalang penglihatan orang lain.

Mau bagaimana lagi? Ia tidak ingin orang lain melihat mereka berdua – Naruto dan Kaguya – mandi bersama di sebuah sungai, dan tidak ingin orang lain melihat kemolekan tubuh Kaguya meski hanya satu detik. Ia tak tahu alasannya, namun ia tidak ingin itu terjadi.

Namun meskipun begitu, satu hal yang tidak bisa Naruto tahan sama sekali –

"Naruto-kun~"

- yaitu kemolekan tubuh Kaguya. Entah, ini surga dunia atau neraka baginya.

Air sungainya cukup jernih, dan memungkinkan Naruto untuk bisa melihat dada Kaguya yang tenggelam di dalam air meski terlihat agak samar. Semu merah hinggap di kedua pipinya, saat Kaguya mencoba menggodanya sambil mendekat kearahnya. Naruto membuang muka, maksud menghilangkan malu.

"Me-menjauhlah dariku!"

"Are? Memangnya kenapa?"

Naruto menahan nafas, saat Kaguya tepat berada di depannya. Perempuan berambut putih itu memasang senyum lembut, bersamaan dengan kedua tangannya yang mengelus lembut pipi Naruto. Dan disaat Naruto menatap wajahnya, Naruto tak bisa melakukan apapun selain terkejut.

Kaguya menatapnya dengan penuh arti, namun arti itu sama sekali tak dapat Naruto mengerti. Sudut matanya mengeluarkan setitik cairan suci, hingga akhirnya tumpah hingga ke pipi tanpa sebab yang pasti. Senyumnya belum luntur, bahkan tak ada tanda sedikitpun untuk hilang dan lenyap dari wajahnya.

"O-Ootsutsuki Kaguya...?"

"Sudah kubilang panggil aku Kaguya atau Ibu..."

"Maaf, untuk itu aku tak mau"

"..."

Kaguya masih seperti yang sebelumnya, dengan jemari yang menulusuri tiap-tiap inchi dari wajah Naruto. Dari pelipis, turun ke pipi, lalu menyentuh bibir Naruto beberapa kali hingga membuat sang empunya merasa gelisah. Kaguya tersenyum.

Tangan kirinya menghapus air matanya yang jatuh, seakan menyadarkan Naruto bahwa Kaguya baru saja menangis tanpa sebab.

"Ootsutsuki Kaguya? Ada apa?"

"Tidak kok... kau tahu? Kau terlalu mirip padanya..."

"Padanya?"

Dan sepersekian detik sebelum Naruto mencari kata untuk bertanya, bibirnya telah dikunci oleh Kaguya. Tanpa cinta, tanpa nafsu, hanya sekadar mengharapkan kebahagiaan semu semata.

Belum sempat untuk memberontak, Kaguya melepaskannya, membiarkan benang putih bening jatuh ke arus air. Naruto menatap Kaguya, meminta penjelasan atas apa yang ia lakukan padanya. Kaguya tersenyum lembut akan hal itu.

"Uh... aku benci ingatan itu... Kau sangat mirip Naruto-kun... namun berbeda jauh dengan anak dari diriku..."

"..."

Tanpa balasan, bahkan terlihat sama sekali tidak tertarik dengan apa yang diceritakan Kaguya. Dan saat Kaguya mencoba memeluknya, Naruto mendorong kedua bahunya dengan halus, mencoba menjauhkan Kaguya dari tubuhnya.

"Hentikan ini, aku tak menginginkan ini darimu"

"... kau begitu padaku, Naruto-kun..."

"Kau bilang itu sebelumnya padaku, jadi aku bingung apa yang kau inginkan. Apa maumu?"

"..."

"Katakan padaku sekarang. Mungkin aku takut padamu, namun disisi lain, aku tak menyukai hal ini"

"Tolong, biarkan aku seperti ini walau hanya sehari..."

"Huh?"

Naruto mengangkat sebelah alisnya, meminta penjelasan lebih dari Kaguya yang kini tengah menundukkan kepalanya karena suatu hal yang tidak ia ketahui. Kedua tangan perempuan itu kini menyentuh dadanya, lalu mencoba menengadahkan kepalanya, menatap Naruto yang kini berada di depannya untuk meminta penjelasan yang lebih banyak.

Naruto tak bisa melakukan apapun selain terdiam dan terkejut, ketika sang dewi kelinci di depannya itu mengeluarkan tetesan air mata. Sebelumnya sama seperti itu, namun kali ini ekspresi lembutnya tergantikan dengan ekspresi sedih yang menyakitkan. Semacam, ia seperti menahan sebuah beban yang tak bisa ia tanggung sendirian.

Tak sampai hati, Naruto mengulurkan tangannya, hingga jari telunjuk menjadi penghapus air mata. Kaguya terisak pilu, ekspresinya belum jua berubah, namun apa yang Naruto lakukan padanya terasa begitu lembut baginya.

"... kau tahu? Eksistensiku kali ini mungkin tidak lama"

"Apa maksudmu?"

"Alasan mengapa aku hidup, adalah karena dirimu, Naruto-kun..."

"..."

Naruto tak menjawab, namun ia seperti menyadari sesuatu...

"Aku tahu, mungkin legenda tentang diriku, ibu dari semua chakra yang ada akan dilupakan di masa depan nanti. Namun kau, kau berbeda dengan yang lain –"

"- bahkan di hari ulang tahunmu, kau ingat padaku. Padahal saat itu, aku bahkan pernah berniat membunuhmu"

"I-itu artinya?"

"Ya... aku hidup karena kau ingat padaku... aku hidup karena ada sebagian kecil chakraku padamu... aku sangat senang kau mengingatku... Naruto-kun... –"

"... Aku terharu karena itu. Maka dari itu, biarkan aku bersenang-senang denganmu..."

Naruto terkejut, namun setelahnya, ia tersenyum. Hatinya terasa agak sedikit tersayat, kala Kaguya memaksakan satu senyum padanya, meski air matanya tak mampu untuk berhenti dan membasahi kedua pipinya. Naruto kembali menghapus air mata itu dengan jemarinya.

Kaguya adalah ibu dari semua chakra yang ada. Tidak heran jika ia bisa bangkit kembali meski tak lama. Dan hal yang menguatkan soal itu pun, Naruto – yang dikatakan reinkarnasi dari Ootsutsuki Hagoromo – lah yang menjadi pemicu kebangkitannya yang semu. Dia tidak lama disini, dia hanya hidup karena ingatan reinkarnasi anaknya pada dirinya dan sebagian kecil chakranya pada sosok pemuda bernama Naruto.

Ya...

Naruto memang orang yang bodoh. Bahkan di hari ulang tahunnya, ia ingat pada orang yang hendak menghancurkan dunianya beberapa tahun yang lalu, yang saat itu bertepatan dengan hari ulang tahunnya...

.

.

.

.

Setelah selesai mandi di sungai, dan hari yang kian berganti menjadi siang hari – yang membuat Naruto merasa was-was karena takut ada orang lain yang tengah mengintip mereka -, Kaguya kembali seperti biasanya. Yukata berwarna putih polos miliknya terlihat begitu anggun, berbarengan dengan rambut putihnya yang begitu harum nan mewangi.

Mereka duduk bersandar pada sebuah batang pohon yang terbilang cukup besar. Naruto bersandar pada batang pohon itu, dan Kaguya duduk bersandar pada Naruto. Sekilas, mereka memang terlihat seperti sepasang kekasih. Bahkan, Naruto yang kini menyisir rambut putih Kaguya dengan jemarinya seakan menguatkan kenyataan yang ada.

Naruto memasang ekspresi yang lembut, yang cukup berbeda dari yang sebelumnya – cuek, kusut dan terlihat seperti tertimpa oleh nasib yang buruk –. Masih asik menyisir helaian rambut Kaguya dengan jemari tangannya. Terasa lembut, bahkan ia sendiri agak bingung, bagaimana bisa Kaguya memiliki rambut seindah ini?

Apa rambut ini memang berwarna putih? Atau hanya sekadar rambut yang telah memutih?

"Mmmhh~ Naruto-kun..."

Naruto tertawa pelan, saat Kaguya mendesah pelan hanya karena Naruto meniup udara ke telinganya. Naruto tidak pernah tahu, jika perempuan yang bersandar padanya kini cukup sensitif terhadap rangsangan pada telinganya.

"Apa itu terasa geli?"

"Tentu saja bodoh! Kau mau memperkosaku ya?"

Naruto menarik satu helai rambut Kaguya, hingga membuatnya setengah berteriak kesakitan. Naruto tak punya cara lain. Apaan kata memperkosaku yang ia katakan tadi? Malah bukannya sebaliknya saat mereka masih berada di sungai itu bukan?

Sejenak Naruto berpikir, mengapa sosok seperti Ootsutsuki Kaguya bisa memiliki sifat seperti gadis kebanyakan? Memaksa, agak sedikit keras kepala, bahkan bisa-bisanya sang legenda yang satu ini tersipu malu pada Naruto. Naruto tidak habis pikir. Bahkan sekilas terlintas di kepalanya, sebenarnya apa hubungan mereka berdua hingga melakukan hal seperti ini?

"Naruto-kun. Boleh aku bertanya sesuatu?"

"Tentu, selagi aku bisa menjawabnya"

"Menurutmu, aku ini apa bagimu?"

- Dan yah? Apa yang ia pikirkan ternyata ditanyakan oleh orang yang ia pikirkan.

"Katakan padaku, apa kau seorang peramal?"

"Kenapa begitu?"

"Kau bisa menebak apa yang tengah aku pikirkan tahu!"

"Hehe~"

"..."

"Jadi? Aku ini apa bagimu?"

"Ka-kalau itu... teman? Bukan sih. Atau, kenalan? Huh? Mungkin saja, tapi sepertinya lebih tepat jika kuanggap sebagai orang asing terdekat"

"Kau memperlakukanku lebih dari itu. Bagaimana jika kau anggap aku Ibu?"

"Maaf, tapi aku tak ingin mempunyai ibu sepertimu"

"Lalu bagaimana dengan kekasih?"

"Sebentar... apa yang baru saja kau katakan?"

Seketika Naruto berhenti memainkan helaian rambut Kaguya dengan jemari tangannya. Kedua pipinya tersipu malu. Merah jambu terlihat agak samar di sana. Dan di samping itu, Kaguya hanya bisa tertawa renyah tanpa ada niatan sedikitpun untuk menoleh ke arah Naruto.

Naruto tahu, perlakuannya pada Kaguya memang lebih dari sekadar teman atau orang asing terdekat. Mereka bisa menjadi dekat hanya dalam beberapa waktu. Padahal, mereka sama sekali tak ada hubungan apapun. Kaguya bukan ibunya, neneknya, bibinya atau siapapun. Hanya sosok leluhurnya yang dianggap sebagai legenda dan berumur yang entah ia sama sekali tak tahu.

Mungkin saja, tapi ia rasa agak keterlaluan jika umur ribuan tahun namun rupa mirip seperti gadis berumur dua puluh tahun.

Tentu saja bukan?

Lihat saja dirinya sekarang; helaian rambut putihnya yang setengah kering dan harum mewangi, yukata berwarna putih yang menutupi tubuh yang suci, jemari lentiknya, tubuh rapuhnya, bibir manisnya, dadanya... serta wajah cantiknya yang mempesona.

Duduk bersandar pada dada bidang seorang pemuda berambut pirang yang tengah memainkan helaian rambutnya.

Siapa yang bisa menyangkal hal itu?

"Kau menolaknya?"

"I-itu..."

"Lalu apa?"

"Katakan padaku, umurmu berapa?"

Kaguya kembali tertawa. Terdengar begitu renyah, hingga membuat Naruto menjadi malu sendiri. Ia tahu, menanyakan umur pada seorang gadis adalah hal yang begitu tabu. Ia bahkan perlu berpikir dua kali jika membahas soal umur dengan nenek Tsunade. Meskipun begitu, ia perlu menanyakan hal ini pada Kaguya.

"Are? Apa kau malu mempunyai kekasih sepertiku?"

"Jawab saja pertanyaanku bodoh!"

"Ribuan tahun? Mungkin? Aku lupa tanggal lahirku, tapi tubuhku saat ini adalah tubuhku yang bisa dibilang seumuran denganmu"

"Kau bisa yakin akan hal itu?"

"Tentu saja! dadaku saja tidak terlalu besar" ucapnya sambil memeras dadanya sendiri dibalik yukata yang ia kenakan, hingga membuat Naruto menjadi salah tingkah sendiri.

"A-apa yang kau lakukan bodoh!"

"Meremas dadaku sendiri. Kau mau?"

"Ja-jangan bercanda! Hentikan itu!"

"Hahaha..."

Tawa halus kembali keluar, mengalun merdu di telinga Naruto. Wajah pemuda itu sekilas terlihat memerah. Ia tahu alasannya. Dasar! apa yang Kaguya pikirkan tentang tubuhnya sendiri? Apa dia tidak berpikir jika bisa saja ia diperkosa orang jika saat ini posisi Naruto digantikan oleh orang lain?

- Dan ya... Naruto tak menjawab pertanyaan Kaguya...

Selang waktu berganti. Mereka beranjak berdiri, bersiap untuk kembali melanjutkan perjalanan mereka – meski sebenarnya Kaguya yang memaksa sih -. Sejenak Naruto terpukau dengan Kaguya yang berdiri menghadap ke arahnya, pandangan mata yang bertemu dalam satu titik sebelum akhirnya Naruto merusaknya.

Naruto melepas syal merah yang melingkar di lehernya, lalu ia berikan pada Kaguya. Memasangnya dan melingkar pada leher Kaguya agar terasa sedikit lebih hangat. Kaguya tersenyum akan hal itu. Sungguh, Naruto seperti sosok yang tak lagi asing baginya – meski kenyataannya pemuda pirang di depannya adalah sosok yang pernah membunuhnya.

"... Kenapa kau memberikannya padaku?"

"Kau lebih cocok mengenakannya" ucap Naruto saat melihat Kaguya yang dalam balutan Yukata putih polos dengan syal merah yang melingkar di lehernya.

Mereka melanjutkan perjalanan mereka, berjalan menuju jalan setapak yang sebelumnya mereka lalui. Kaguya kembali mengaitkan lengannya pada Naruto. Kali ini tidak terlalu erat, dan tidak menghimpit lengan Naruto dengan dadanya. Namun tetap saja, Naruto agak kaku dengan hal semacam ini.

Jujur, ia adalah pemuda yang masih terlalu sulit untuk mengerti dengan jalan pikir kaum perempuan.

Di sepanjang jalan, Naruto bercerita tentang keadaan dunia yang sekarang. Kali ini gilirannya untuk bercerita pada Kaguya. Ia tahu, gadis itu perlu mengetahui tentang keadaan dunia yang pernah ingin ia hancurkan dulu.

Naruto bercerita tentang indahnya kedamaian lima desa besar yang ada. Kerja sama yang terjalin antar pemimpin desa benar-benar membuat dunia terasa amat aman. Tak ada lagi konflik, tak ada lagi masalah besar, dan tak ada lagi pengganggu yang mencoba merebut dunia dalam satu genggaman tangan.

Semuanya kini telah berjalan dengan indah. Kini langit biru kembali terlihat dengan jelas, tawa dan canda orang-orang kembali terdengar, serta hubungan erat entah itu sesama manusia ataupun desa semakin terasa begitu harmonis.

"- Dan nanti, kurasa aku akan menjadi Hokage yang selanjutnya. Sampai saat ini pun cita-citaku masih tetap sama meski dunia telah damai sekalipun"

"Begitu ya..."

"... Ootsutsuki Kaguya?"

Naruto menoleh. Meski agak sedikit terkejut, namun Naruto tetap mengulas senyum, kala Ootsutsuki Kaguya menundukkan kepalanya dengan sejuta pikiran yang ada di kepalanya. Naruto melepaskan tangannya dari himpitan Kaguya, lalu mengelus surai putihnya yang agung.

"Sudah, jangan terlalu dipikirkan..."

"... Entah apa yang kupikirkan, namun caraku sangat berbeda dengan cara kalian membuat dunia menjadi damai kembali..."

"Ya... kau benar soal itu..."

Kaguya menyembunyikan ekspresinya, di balik helaian rambut putihnya yang menawan. Entah, tak ada satupun orang yang tahu ia sedang merasakan apa saat ini, bahkan Naruto sekalipun. Namun, meskipun begitu, Naruto mencoba untuk menjadi seseorang yang berada di sampingnya.

Ya... walau tidak akan lama...

Disaat menyadari bahwa jemari halus Kaguya berubah menjadi kepalan tangan, Naruto dengan sigap mendekatkan Kaguya dengan tubuhnya, menarik pundak Kaguya untuk bisa berdekatan dengan dirinya. Kaguya menoleh, mendapati senyum hangat Naruto yang selalu ia perlihatkan pada banyak orang.

"Kau tak perlu menyalahkan diri sendiri. Aku tahu, niatmu bagus, bahkan lebih bagus dari cita-cita yang kumiliki..."

"Terima kasih..."

Kaguya mengulas senyum. Ekspresinya yang cukup sulit digambarkan dengan kata-kata kini berubah saat mereka tiba di sebuah pemukiman kecil di hutan. Ia berlari layaknya gadis kebanyakan, menarik tangan Naruto sembari menunjuk ke arah pemukiman kecil itu.

"Naruto-kun! Ayo ke sana!"

"Ya, ya..."

Itu adalah tempat yang kecil, dengan rumah-rumah yang hanya bisa dihitung dengan sepuluh jari. Desain rumahnya terbilang cukup sederhana, bahkan beberapa ada yang membuat rumah kecil di atas pohon. Selain itu, beberapa tempat seperti kedai ramen, toko bunga, toko serba ada, toko peralatan, toko persediaan makanan dan bar serta penginapan tersedia disana.

Naruto menduga, bahwa ini adalah tempat persinggahan bagi para ninja yang lewat, atau mungkin hal semacam itu.

Mereka sampai disana, penduduknya tidak terlalu ramai, namun cukup ramah terhadap pendatang seperti mereka berdua. Mereka melempar senyum pada penduduk sana. Sesekali melambaikan tangan.

Mereka mampir ke toko bunga – meski Kaguya yang memaksa sih, Naruto tidak terlalu tahu tentang bunga -. Penjaganya adalah orang tua yang cukup ramah. Mereka bisa berkeliling mencari bunga yang menarik di mata Kaguya.

"Naruto-kun! Bunga itu!"

"Huh? Yang mana?"

Itu adalah white rose, bunga berwarna putih yang membuat siapa saja kagum pada keindahannya. Naruto mengulum senyumnya, lalu memetik tangkai bunganya setelah meminta izin dari penjaga toko.

"Bunga yang cantik bukan?"

"Ini belum seberapa..."

Naruto menghadap kearah Kaguya, sejenak membuat gadis berambut putih itu menjadi sedikit agak canggung – meski Naruto juga agak heran sih, perempuan yang telah hidup lama seperti Kaguya bahkan bertingkah tidak lebih dari gadis delapan belas tahun kebanyakan -. Naruto mencoba menyelipkan tangkai bunga di sela daun telinganya. Kaguya pun tersenyum karena itu.

Dan lihatlah! Seorang gadis berbalut Yukata putih polos, berambut putih yang cukup panjang dengan syal merah yang melingkar di lehernya, serta bunga white rose yang menjadi hiasan di telinganya. Dia terlihat begitu cantik, manis dalam satu waktu. Naruto menyempatkan waktu untuk terkagum sejenak. Rona merah jambu menempel pada kedua pipinya sebelum sepersekian detik ia membuang wajahnya kearah lain.

"Naruto-kun?"

"Ka-kau terlihat cantik dengan itu"

"Eh?! Beneran?"

"I-iya..."

"Hehe~ makasih~"

Tuh kan! Dia ini sebenarnya perempuan berumur ribuan tahun apa memang gadis berumur delapan belas tahun sih?

Setelah itu, mereka lalu membayar apa yang mereka beli pada penjaga toko, sebelum akhirnya mereka keluar. Kaguya kembali beraksi, menarik-narik tangan Naruto memaksakan kehendaknya pada Naruto. Kali ini ia jari telunjuknya menunjuk ke arah kedai ramen. Naruto tersenyum. Dia juga memang sudah agak lapar sih.

"Paman! Satu mangkuk penuh dan satu lagi mangkuk setengah"

"Setengah? Kau tidak lapar?"

"Justru setengahnya itu punyamu"

"Huh?! Enggak, enggak! Aku maunya penuh!"

"Iya, Iya... dua mangkuk penuh, paman!"

Selagi menunggu pesanan mereka, sejenak mereka mengobrol sedikit tentang sesuatu yang mereka tahu. Sesekali mereka tertawa karena satu hal, sesekali pula mereka terdiam karena tidak ada topik yang mereka bicarakan.

Ya...

Itu adalah hal yang wajar. Kaguya bukanlah orang terdekatnya, begitu pula sebaliknya. Mereka mungkin bisa bertarung mati-matian hanya demi alasan bodoh yaitu mendamaikan dunia. Namun disisi lain, mereka tidak mengetahui kesan, pesan, ingatan, hal yang disukai, dan hal lainnya satu sama lain.

Dan dalam satu keheningan ini, Naruto menyadari, bahwa Kaguya kini bukanlah perempuan yang ia takutkan dulu. Perempuan di sampingnya itu bahkan tidak lebih dari gadis kebanyakan bersamaan dengan tubuhnya yang terlihat masih muda. Ia juga masih sedikit tidak mengerti, mengapa ia bisa merasa akrab dengan Kaguya bahkan tidak sampai memerlukan waktu seminggu lebih?

- Dan lebih dari itu, Naruto masih merasa penasaran, apa orang-orang di sekitar mereka tidak menyadari, bahwa perempuan yang sempat mereka lihat ini adalah Kaguya Ootsutsuki – si dewi kelinci yang tak segan-segan untuk membunuh semua manusia – yang sebelumnya hampir pernah menghancurkan dunia? Atau memang mereka tidak tahu sama sekali?

Memikirkannya saja membuat ia pusing...

Pesanan mereka tiba. Ucapan Itadakimasu! Menjadi pembuka sebelum acara makan-makan mereka dimulai. Kali ini Naruto memakannya dengan santai. Mungkin ia bisa saja menghabiskan tiga porsi, atau mungkin saja ia bisa menghabiskan dua belas porsi. Namun untuk kali ini, ia perlu menjaga porsi makannya sendiri.

*Sluuurp~*

Sejenak ia menoleh kearah Kaguya. Gadis itu memakan ramennya dengan cukup anggun. Mungkin? Karena lengan yukata yang ia kenakan terlalu panjang, atau mungkin saja syal merahnya yang sesekali mengganggunya ketika makan. Naruto tersenyum, dalam arti tersendiri.

"Kau mau tambah?"

"Tidak. Satu saja sudah cukup"

"Baiklah"

*Sluuurp~*

"Hey... lain kali perhatikan cara makanmu itu..."

Naruto menghela nafas pelan. Kaguya terlalu terburu-buru memakan makanannya – atau mungkin terlalu enak untuk disantap? - sehingga ada potongan kecil Naruto di pipinya. Naruto sempat tersenyum, sebelum akhirnya Naruto mengambil potongan itu dari pipi Kaguya lalu memakannya. Kaguya sendiri sempat terkejut dan tersipu malu karena perlakuan Naruto yang terkadang berlebihan itu.

"Na-Naruto-kun..."

"Remahan Narutonya menempel di pipimu. Lain kali pelan-pelan kalau sedang makan"

"Iya, iya... tapi sebentar, Naruto memakan Naruto? Are?! Bukankah itu kalimat yang menarik?!"

"Apaan?! Jangan buat apa yang kau katakan seolah aku memakan diriku sendiri!"

"Lagian namamu Naruto sih... hihi~"

"Maa... untuk beberapa alasan aku terkadang jengkel dengan namaku sendiri, namun di sisi lain, aku bangga dengan namaku..."

"Heeh? Alasannya?"

"Tidak akan kukatakan!"

"Dih!"

Naruto tertawa...

Ya...

Mereka berdua tertawa...

Setelah membayar apa yang mereka makan pada pemiliki kedai, Naruto dan Kaguya lalu bergegas pergi ke toserba. Bermacam-macam kebutuhan tersedia disini. Bahkan hal yang tak terpikirkan oleh mereka saat mampir kesini semacam petasan dan kembang api tersedia disini.

Yah? Jika Naruto bisa mengandaikannya, mungkin bisa dikatakan swalayan dengan tampilan yang tradisional, begitu?

Tidak terlalu ramai, namun mereka merasa nyaman dengan pelayanan sang penjaga toko. Mereka sempat berkeliling mencari apa yang mereka mau. Apapun yang mereka lihat, terkadang terasa ingin mereka beli semua, meski Naruto masih cukup memiliki kesadaran untuk menghemat isi dari Gama-channya. Namun mungkin saja berbeda dengan Kaguya.

"Naruto-kun! Aku mau kembang api!"

"Oi! Kita datang kesini hanya untuk membeli beberapa cemilan dan roti saja!"

"Ta-tapi..."

"Enggak!"

Kaguya cemberut. Mungkin ia kesal? Mungkin saja ia marah? Namun meskipun begitu, Naruto tetap teguh pada pendiriannya.

"Naruto-kun~!"

"Enggak! Kau itu sudah tua tahu!"

"So-soal itu..."

"Haah... Baiklah... ambil sesukamu" ucap Naruto menghela nafas. Kali ini ia mengalah, meski harus merelakan Gama-channya yang kekurangan gizi. Kaguya terlihat senang, meski pada awalnya, ia nampak kaget dan kecewa saat Naruto menyebutnya tua. Namun akhirnya, ekspresinya seketika tergantikan dengan ekspresi bahagianya.

Ya...

Dia bahagia... Kaguya sendiri yakin akan hal itu...

.

.

.

.

Sore harinya – entah jam berapa mereka tak tahu, namun satu hal yang mereka ketahui, yaitu matahari yang tinggal sepenggalah lagi untuk terbenam di ujung barat -, mereka telah meninggalkan pemukiman kecil itu. Membawa sebuah ransel berukuran kecil dengan isi yang tidak hanya satu macam saja – toh, bukan Naruto juga yang membawanya sih. Ia memaksa Kaguya yang membawanya.

"Naruto-kun... berat..."

"Aku lebih berat karena menggendongmu bodoh!"

Ya... Naruto menggendong Kaguya yang berada di punggungnya yang tengah membawa ransel kecil itu.

Rasanya ingin mengumpat kesal atau berteriak sekuat-kuatnya saat rasa pegal menusuk pinggang dan kakinya. Ini semua gara-gara Kaguya, namun melihat tingkahnya yang seperti gadis remaja kebanyakan – yang membuat ia ragu akan umurnya yang sekarang– membuat Naruto mengalah. Ia tahu, tipikal macam Kaguya yang Out Of Character seperti ini agak sedikit keras kepala dan tak mau disalahkan.

Ketika gadis itu mengeluh karena kakinya terasa pegal, padahal sebelumnya, ia yang mengajak Naruto untuk pergi ke air terjun – yang dikata penduduk cukup dekat, padahal sih jauhnya minta ampun -. Naruto kembali menghela nafas lelah. Entah mengapa rasanya ia ingin berlari layaknya seorang ninja di atas ranting-ranting pohon. Namun mau bagaimana lagi? Kaguya menyuruhnya untuk berjalan biasa, moment emas katanya sih.

Jika terhitung, mungkin ini sudah beberapa jam perjalanan. Padahal jika seandainya, Naruto menggunakan chakra yang ia miliki untuk mempercepat laju larinya, mungkin tak membutuhkan waktu yang lama. Namun apa daya? Kaguya terlalu keras kepala. Tak mau menuruti permintaannya, Naruto bisa saja menjadi penyebab dari hancurnya dunia.

"Hey... bisa berjalan sedikit lebih cepat? Matahari sudah hampir tenggelam tahu!"

"Kau pikir aku tidak pegal huh?!"

"Yasudah makanya agak sedikit cepat jalannya!"

"Bacot!"

Beberapa kali mereka berdebat – meski agak sedikit tidak etis sih, debat kok sambil gendongan? – dan tak terasa mereka sampai di sebuah persimpangan jalan. Ada dua jalan, satu jalan ke arah kanan menuju tempat lain, sedangkan jalan ke kiri menuju puncak air terjun. Namun sayang, jalannya agak menanjak, dan memaksa Naruto untuk dipaksa menjadi masokis.

Woi!

"Nee~ Ootsutsuki Kaguya..."

"Sudah kubilang beberapa kali, kau bisa memanggil nama depanku saja"

"Kalau itu aku tak mau. Dengarkan aku, pegangan erat-erat padaku"

"Memangnya kenapa –"

"- Kyaaaaaa~!"

Dan ya... Naruto tak kuat lagi untuk menanjak tanah yang lebih tinggi lagi, maka dari itu ia menyuruh Kaguya untuk berpegangan erat-erat padanya, agar ia tidak terjatuh saat Naruto melompat naik ke atas pohon dan melompati dahan-dahan pohon agar perjalanan bisa lebih cepat lagi.

.

.

.

Tak membutuhkan waktu yang lama, mereka tiba di tempat tujuan mereka. Sebuah air terjun yang cukup terjal, serta airnya yang jernih yang membuat siapa saja ingin meminumnya meski hanya sekali. Udaranya pun cukup sejuk. Sesekali aroma daun dari pepohonan yang melayang di udara terasa segar menusuk hidung. Air terjun yang indah, yang di puncaknya dipenuhi bebatuan besar yang cukup nyaman untuk dipijak.

Mereka berdua – Naruto dan Kaguya – bersantai di atas batu berbentuk rata yang cukup nyaman untuk diduduki. Duduk santai menikmati sunset yang ada. Mereka tersenyum, sesekali merogoh isi dari bungkus keripik kentang yang mereka beli dari toserba sebelumnya.

Mereka bercerita tentang indahnya dunia, dan baru kali pertama pula mereka nyaman dengan apa yang mereka bicarakan. Mereka membicarakan terntang Matahari yang kian menyembunyikan diri, bercerita tentang pepohonan yang mereka lihat sejauh mata memandang, bahkan sesekali diselingi sendai gurau. Kaguya tersenyum. Setidaknya, ia merasa seperti Naruto menerima sosoknya di sisi.

"Indah ya..."

"Ya... sangat indah..."

Menit demi menit berlalu, meninggalkan kesan indah dari apa yang mereka lihat sebelumnya. Hari menjadi gelap, tanpa penerangan apapun, namun mereka masih bisa melihat untuk jarak yang tidak terlalu jauh. Kaguya tersenyum simpul, sementara Naruto agak sedikit canggung dengan suasana ini.

"Naruto-kun! Hanabi! Hanabi!"

"Ah! Iya!"

Naruto merogoh sesuatu dari dalam ransel yang Kaguya bawa sebelumnya. Sebuah kembang api. Naruto tersenyum, ia lalu memberikannya pada Kaguya. Perempuan itu lalu menggunakan elemen api miliknya untuk menghidupkan kembang api yang saat ini ia pegang.

"Uwaaah~! Naruto-kun! Lihat!"

"Iya! Ini aku sedang melihatnya bodoh!"

Mereka tersenyum satu sama lain, lalu akhirnya tertawa tanpa sebab. Kaguya terlihat begitu senang dengan kembang api yang berada di tanganya, sementara Naruto asik memakan keripik kentang sembari memperhatikan apa yang gadis itu lakukan.

Naruto tersenyum...

Ya... untuk saat ini...

- ketika ia menyadari apa yang Kaguya katakan saat mereka membersihkan diri di sungai yang entah ia sempat lupa letaknya dimana, Kaguya berkata padanya, bahwa eksistensinya kini tidak terlalu lama. Naruto tahu itu, ia sangat tahu akan hal itu.

Menyadari satu kenyataan pahit tentang Kaguya yang kembali hidup karena suatu ingatan dari reinkarnasi anaknya saja membuat hati Naruto merasa agak sedikit tersayat. Ia tahu, perempuan di depannya itu adalah perempuan yang mencintai dunia ini lebih dari siapapun – namun sayangnya, cara yang ia gunakan adalah cara yang salah, hingga cara yang ia punya membawanya pada kematian.

Dan kali ini, ia kembali diberi kehidupan, meski lewat ingatan seseorang. Naruto pun masih mencoba berpikir dengan otak yang ia miliki. Mungkin ia tidak pintar, namun ia tidak terlalu bodoh juga. Namun, membangkitkan seseorang hanya karena ingatan dari orang lain itu bukankah hal yang mustahil? Meski di dalam tubuh orang lain itu bersemayam chakra yang ada hubungannya dengan seseorang itu?

Apa ini mimpi? Ini bukan sekedar ilusi?

Tapi wujud Kaguya adalah nyata! Bahkan ia bisa merasakan kulit putih pucatnya yang begitu halus...

Acara bermain kembang api pun selesai beberapa menit yang lalu, setelah stok kembang api yang mereka beli di toserba telah habis tanpa tersisa. Kaguya memasang wajah innocent terhadap Naruto, membuat pemuda pirang itu merasa ingin menjitak kepala gadis itu meski hanya sekali.

- Mau bagaimana lagi? Ia tidak kebagian untuk merasakan bagaimana rasanya memainkan kembang api meski hanya sekali.

Tak lama setelah itu, mereka lalu duduk bersebelahan, dengan sebuah api unggun yang sebelumnya Kaguya buat dengan elemen api yang ia miliki juga kayu-kayu yang Naruto kumpulkan dari sekitar mereka.

Naruto dan Kaguya duduk menatap indahnya langit. Bintang-bintang terang mewarnai langit, sesekali menunjuk kearah rasi bintang yang sempat mereka lihat. Mereka lalu berbaring terlentang, masih bersebelahan, lalu sesekali mencari bintang jatuh dan berharap tentang sesuatu yang mustahil.

"Lihat itu! Bintang jatuh!"

"Huh?! Dimana? Dimana, Naruto-kun?"

"Itu!"

"Oh iya! Aku melihatnya!"

"Hahaha..."

Mereka tertawa... namun secara bersamaan, mereka merasakan hal yang agak asing di dalam hati...

"Apa yang kau harapkan? Naruto-kun?"

"... Entahlah. Aku tak pernah mengharapkan sesuatu sejak dunia menjadi damai seperti ini..."

"Heeh?"

"Oh ayolah. Setidaknya kau bisa menganggap apa yang kukatakan dengan serius"

"Iya, iya... aku mendengarkanmu..."

"Lalu? Bagaimana denganmu? Ootsutsuki Kaguya?"

"Sudah kubilang berkali-kali jika panggil aku dengan nama depanku saja"

"Kalau itu aku menolaknya untuk beberapa alasan"

Kaguya tertawa halus. Naruto memang keras kepala hanya sekadar untuk memanggil namanya tanpa perlu diikuti dengan nama belakangnya.

Ketika pemuda pirang itu menggunakan lipatan tangannya untuk menjadi bantalannya, lalu memandang langit yang begitu menarik, disaat itu pula sesekali Kaguya mencuri pandang. Pemuda itu begitu baik padanya, dan termasuk kedalam tipenya untuk beberapa sisi. Kaguya mengulum senyumnya, lalu mempersiapkan diri untuk sesuatu yang Naruto sama sekali tak ketahui.

"Yang kuharapkan... kurasa... aku hanya ingin momen ini bisa bertahan lebih lama lagi... Naruto-kun..."

"Huh –"

- Dan satu detik sebelum Naruto menolehkan kepalanya kearah samping, Kaguya tiba-tiba berada di atas tubuhnya. Posisinya terlihat seperti gadis yang sangat rapuh, sembari menduduki perut Naruto seenaknya. Kedua telapak tangannya kini berada di sisi kepala Naruto, saat kedua tangan Naruto tak lagi menjadi bantalan kepalanya.

Kaguya tersenyum, dalam arti yang sesungguhnya. Dari senyumnya, terlihat seperti menyimpan sejuta kesalahan dan luka yang selama ini ia rasakan. Air matanya mengalir dari sisi, jatuh ke pipi lalu terjatuh ke wajah Naruto.

"Ka-Kaguya...?"

"Terima kasih, telah menuruti permintaanku... sayang..."

"Kaguya?"

"Kau tahu? Aku telah menipumu. Maaf karena aku telah membohongimu. –"

"- Aku yang sekarang adalah diriku yang berumur delapan belas tahun, sama dengan umurmu yang sekarang, namun dengan ingatan dari Kaguya di umurnya yang entah aku tak tahu berapa..."

"Ja-jadi?"

"Ya... aku tidak lebih dari seorang gadis biasa. Jadi wajar bagimu jika agak aneh melihat diriku yang saat ini lalu dibandingkan dengan Kaguya di masa yang telah kau lalui..."

"..."

"Karena itulah aku memaksamu untuk memanggilku ibu. Itu adalah ingatan dari Kaguya yang kau hadapi, berbeda dengan Kaguya yang saat ini kau lihat. Aku adalah aku, namun dengan ingatan yang Kaguya itu miliki kini berada dalam kepalaku, aku bisa memahami dirimu lebih baik dari Kaguya yang telah kau hancurkan itu –"

"- Mungkin aku lebih pintar dari Kaguya yang pernah kau lihat sebelumnya? Mungkin saja aku lebih lemah dibanding Kaguya yang pernah kau hadapi dulu? Mungkin saja sifatku jauh berbeda dengan Kaguya yang itu? Semuanya adalah kemungkinan yang tidak bisa dihitung berapa jumlahnya. Aku berbeda dengan Kaguya yang pernah kau lihat Naruto-kun. Aku adalah Kaguya yang ingin selalu bersamamu –"

"- Bukan karena kau adalah reinkarnasi dari anak dari Kaguya yang pernah kau lawan. Bukan pula karena aku menyukai kekuatanmu dan berusaha untuk merebutnya. Karena alasan yang paling mendasar mengapa aku bertindak keras kepala padamu –"

"- Karena aku jatuh cinta padamu saat melihatmu pertama kali, Naruto-kun... saat aku kembali muncul di dunia untuk yang kedua kalinya... Hanya kau... Kau seorang... kau yang mengingatku dan membuatku terpaku untuk beberapa alasan yang tak ingin aku sebutkan. Aku mungkin mempunyai seorang anak di masa lalu, namun percayalah padaku... aku masih perawan kok... Aku jauh berbeda dengan Kaguya yang telah menorehkan trauma kecil padamu..."

"Ke-kenapa kau mengatakan itu padaku?!"

"Karena Naruto-kun seorang yang kumiliki saat ini... Ya... Kau seorang... –"

"- Boleh aku memanggilmu dengan sebutan sayang?"

"..."

.

.

.

.

.

"Aku mencintaimu... Naruto-kun... sungguh... –"

"- Aku tak ingin momen ini menghilang begitu saja..."

"..."

"Tapi mau bagaimana lagi? Aku mungkin bisa saja menghilang di hari esok"

"Ba-bagaimana bisa?!"

"Jadi karena itulah –"

"- bisakah aku meminta sesuatu darimu? Sesuatu yang tak akan bisa kulupakan selamanya?"

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Api unggun itu telah berubah menjadi abu, bersamaan dengan jilatan api yang tak kunjung terlihat lagi. Tak ada penerangan, tak ada yang bisa mereka lihat secara jauh. Hanya sang rembulan – yang entah mengapa untuk malam ini ia muncul – menjadi satu-satunya penerang dari semuanya.

"Naruto-kun... sekarang aku milikmu seutuhnya..."

Suara lirih itu muncul bersamaan dengan angin dingin yang menusuk kulit. Kaguya tersenyum penuh rasa sayang. Air matanya terus mengalir di sisi. Bahkan saat ini, ia tidak ingin merubah posisi.

Ia berada di atas tubuh Naruto, dengan perut sang pemuda itu sebagai dudukannya. Gadis berambut putih itu tahu, jika Naruto kini tengah menatapnya dengan perasaan yang berkabung. Sejenak ia lihat setitik cairan putih di ekor mata sang kekasih. Sangat sakit untuk dilihat dan mampu menyayat hatinya yang kian terasa rapuh.

Pakaian Kaguya perlahan terbuka dari sisi, dari kedua pundaknya, lalu terjun ke bawah tanpa halangan sedikitpun. Tubuhnya terlihat sempurna, dan terekam di mata Naruto untuk yang terakhir kalinya. Semilir angin terasa menembus kulit tubuhnya, dan beberapa kali terasa agak dingin. Namun, Kaguya dapat menahannya.

"Ka-Kaguya..."

"... Tak apa... kau boleh menyentuhku..."

Kaguya menengadahkan kepalanya keatas, saat jemari tangan Naruto menyentuh tubuhnya untuk yang pertama kali. Ia bahagia, Kaguya bahagia. Gadis suci yang kini telah ternodai itu mempunyai alasan mengapa ia melakukan hal ini.

Ini begitu tabu... bahkan mereka melakukannya di tempat terbuka...

Apa-apaan dengan di atas batu yang datar? Apa mereka tidak bisa menemukan tempat yang bagus untuk bersetubuh?

Kaguya mendesah pelan. Air matanya tumpah tanpa sebab yang pasti. Ia kini tak lagi suci. Tubuhnya tak lagi sesuci yang dulu. Pemuda yang ia duduki telah menyentuhnya, namun disisi lain, Kaguya yang menginginkan hal ini terjadi.

Ya...

Dia meminta sesuatu yang tak akan bisa ia lupakan...

Naruto melakukan sesuatu terhadap Kaguya, dan lagi-lagi membuat gadis itu terasa rapuh. Naruto diam untuk beberapa waktu, namun Kaguya menggelengkan kepala padanya, memberitahu bahwa ia tidak salah.

Jemarinya naik keatas, sesekali menyentuh ketiak Kaguya sebelum akhirnya tangan Naruto meremas apa yang selama ini para laki-laki inginkan terhadap wanita. Terasa begitu lembut, juga halus untuk beberapa alasan. Naruto akan ingat selalu perasaan ini, saat ia melakukan hal tabu seperti ini dalam keadaan hati yang tak memungkinkan.

Ia tahu, ia harus kuat di depan gadis yang menginginkan sesuatu darinya itu, maka dari itu Naruto memilih untuk tidak berekspresi – meski sebenarnya memang ada alasan lain mengapa wajahnya terlihat begitu datar -. Karena Naruto tahu, jika ia berekspresi sedikit saja, air matanya akan tumpah persis seperti gadis yang tengah menduduki perutnya ini.

Satu alasan, ia tidak bisa menahan semua apa yang ia rasakan jika ia harus berekspresi di depan gadis ini.

- Dan ketika remasan pada gundukan lembut nan empuk itu terulang beberapa kali, Kaguya memaksa Naruto untuk berhenti. Naruto terdiam tanpa ekspresi. Tanpa ada rasa terkejut sedikitpun saat Kaguya menjatuhkan dirinya di atas dada bidangnya. Wajah mereka saling berhadapan dalam jarak yang tak lagi dapat dihitung. Helaan nafas terasa hangat satu sama lain sebelum akhirnya mereka memutuskan untuk memutuskan jarak yang ada.

*Kiss~*

Bibir mereka bertemu dalam satu titik dimana rasa cinta mereka tersampaikan. Kaguya memejamkan matanya. Mungkin ia menikmati ini. Bahkan ciuman yang ia lakukan pada pemuda bernama Naruto itu bertahan dalam beberapa menit. Tak ada yang menyerang, tak ada pula yang mencoba mempertahankan. Semua yang mereka rasakan adalah apa yang saat ini mereka lakukan. Setelah itu, Kaguya mengakhiri aksinya. Benang saliva menjadi penghubung satu sama lain.

"Naruto-kun..."

"Sekarang...?"

"Tidak... untuk saat ini..."

Kaguya menolaknya. Itu masih terlalu cepat bagi dirinya untuk masuk ke dalam satu hubungan yang lebih jauh dari yang sekarang. Bukan berarti ia tidak menginginkan itu, terlebih pada Naruto. Hanya saja, ia masih ingin melakukan pemanasan sebelum memasuki hal yang lebih dalam.

Kegiatan yang mereka lakukan berlanjut saat Kaguya kembali mencium bibir Naruto. Kali ini agak sedikit mengandung nafsu. Liur hangat menetes keluar dari sela bibir. Dua lidah bertarung dalam satu ruangan yang tertutup. Sejenak wajah Kaguya memerah, tak menyangka jika Naruto merespon apa yang ia inginkan.

Tangan Naruto berada di punggung Kaguya, menekan gadis itu untuk lebih dekat padanya. Hatinya berkata seolah ia tidak ingin Kaguya pergi meninggalkannya. Dan dalam pejaman matanya, Kaguya dapat melihat lelehan air mata dari ekor mata Naruto. Gadis yang tak lagi suci itu ikut menangis, menumpahkan kesedihan mereka yang mungkin berakhir hari ini.

*Cup~!*

"Ka-Kaguya..."

"Aku mencintaimu Naruto-kun... Aku mencintaimu..."

"Aku pun sama denganmu..."

"Sayang... –"

"- Ayo lakukan sekarang..."

"Apa kau yakin?"

Anggukan kecil menjadi jawaban. Naruto terdiam, sebelum akhirnya ia mendapati Kaguya yang tersenyum dengan lelehan air mata yang masih tercetak jelas di pipinya. Naruto mengangkat tangannya, menghapusnya dengan jemari tangannya yang kasar.

Kaguya perlahan mengganti posisi, yang memudahkannya untuk bisa menurunkan celana Naruto. Sang kekasih awalnya agak sedikit malu. Jujur saja, itu memalukan, bahkan untuk Naruto maupun Kaguya sendiri. Namun apa daya?

"Kaguya... kau yakin?"

"... iya..."

Kaguya kembali berada di atas tubuh Naruto. Perlahan demi pasti menembus kegelapan yang mereka nantikan bersama. Kaguya menengadahkan kepalanya keatas. Agak sakit ia rasakan, dan terlihat jelas di ekspresi muka kala Naruto menusuknya lebih dalam.

Tak peduli sesakit apa yang ia rasakan... ini semua karena cintanya pada Naruto...

"Kaguya... sempit..."

"Bo-bodoh! A-aku kesakitan tahu!"

"Ma-maaf..."

Mereka terdiam sesaat, saat semuanya belum masuk sepenuhnya. Mereka saling menatap satu sama lain, ketika manik biru langit yang indah bertemu dengan Byakugan yang menawan dalam satu titik. Naruto mencoba memasang senyum lembut. Ia tak tahu, Kaguya bisa serapuh ini.

Dan ketika persetujuan muncul dari tatatapan mata, Kaguya mencoba menurunkan tubuhnya secara perlahan, membiarkan Naruto masuk lebih dalam ke dalam tubuhnya. Mereka satu tubuh, dalam arti yang berbeda. Bahkan, lelehan darah terlihat dari selangkangan mereka bersamaan dengan Kaguya yang menggigit bibir bawahnya mencoba menahan satu sensasi yang menimpa tubuhnya.

"Uuhh... Na-Naruto-kun... ini agak sakit..."

"..."

Tak ada balasan sekadar untuk respon...

Seluruhnya masuk ke dalam tubuh Kaguya. Tubuhnya bahkan agak bergetar saat tubuhnya beradaptasi dengan sesuatu yang masuk ke dalam lubang depannya. Kaguya tak kuasa untuk mengeluarkan suaranya. Ia mendesah, ini bahkan lebih dari yang ia kira sebelumnya. Suatu sensasi yang belum pernah ia rasakan sama sekali.

Sensasi itu cukup aneh ia rasakan. Ketika rasa sakit dan nyeri pada selangkangannya bercampur dengan rasa nikmat yang tiada tara kala sesuatu masuk ke dalamnya. Ini luar biasa dalam artian tertentu. Dan bagi Kaguya sendiri, Ia masih ingin melanjutkan hal ini.

Kaguya mencoba menaikkan tubuhnya, lalu kembali turun. Terus berulang hingga membuat bagian selangkangannya terasa begitu nikmat. Bahkan, sesekali ia mendengar suara decakan dari bawah sana. Ia menatap Naruto. Pemuda itu kini menatapnya dengan lembut.

"Aaaah..."

"Mau ganti posisi?"

"Ya..."

.

.

.

Mereka melanjutkan apa yang mereka lakukan. Naruto menelan ludahnya saat Kaguya yang tengah telanjang tanpa sehelai benang pun menungging membelakanginya, memperlihatkan satu keindahan yang sama sekali belum pernah Naruto saksikan sebelumnya.

Naruto mengambil nafas. Bahkan angin yang berdesir cukup dingin tak dapat menggantikan suasana panas yang berada di sekitar mereka. Ia melihat Kaguya menoleh kecil kearahnya. Senyum manis gadis itu perlihatkan – berkat penerangan minim dari sang rembulan.

Naruto mencoba memposisikan tubuhnya. Menyetubuhi Kaguya bukanlah sesuatu yang mudah. Ia tidak ingin membuat tubuh perempuan ini rapuh karenanya, maka dari itu Naruto mencoba menusuknya secara perlahan namun pasti. Naruto bahkan dapat merasakan dinding yang menjepit dirinya terasa seperti berada di surga, sebelum akhirnya ia masuk sepenuhnya ke dalam tubuh Kaguya.

"A-Aaaahh... Naruto-kun...Uuuhh..."

Kaguya mendesah, kedua tangannya yang bertopang pada dasar kini terlihat menegang. Tusukan yang Naruto lakukan pada dirinya tak ia sangka jika akan memberikan sensasi yang luar biasa hebat. Ia tidak lagi suci, namun ia tak lagi peduli akan kenyataan itu. Selama Naruto yang melakukan ini padanya, ia rela.

Hatinya seakan berdegup lebih kencang dari yang sebelumnya, kala Naruto mencoba menggapai tangannya lalu menariknya, memberikan sensasi yang lebih hebat saat tusukan yang Naruto lakukan semakin lebih dalam. Kaguya mendesah. Itu terulang untuk beberapa kali. Dirinya seakan meleleh, oleh sesuatu yang terus menusuk dirinya dari belakang.

"A-aaah..."

"Ba-bagaimana rasanya...? Uh.."

"A-a-aah... terus lakukan ini padaku... Naruto-kun..."

Mereka terus melakukan itu berulang kali, kala dua tubuh terhubung menjadi satu, dan dalam posisi yang sama. Naruto menarik tubuh Kaguya melalui tangannya, mencoba memperdalam apa yang saat ini tengah ia lakukan pada Kaguya. Sesekali itu terasa berdenyut, sesekali pula itu terasa begitu dalam bahkan hingga sampai ke ujung dimana ia tidak bisa menembusnya.

Naruto mungkin agak kasar melakukannya...

"Ahhhnn... Na-Naruto-kun... A-Aaahh..."

"Ka-Kaguya...!"

Kegiatan mereka tak berlangsung lama, saat Naruto memutuskan untuk berhenti ketika cairan kental nan lengket ia tumpahkan ke dalam tubuh Kaguya lalu mencabutnya dari Kaguya. Begitupun sama dengan Kaguya, gadis itu mencapai puncaknya. Ekspresi puas seakan terlihat dari wajahnya saat ia tersungkur di atas batu yang datar akibat rangsangan demi rangsangan yang membuat tubuhnya terasa lemas. Kaguya menatap Naruto dari lirikan kecil. Sejenak ada perasaan yang aneh ketika matanya mendapati sosok Naruto.

- pemuda itu menangis, untuk alasan yang tidak diketahui. Senyumnya penuh akan makna yang tersirat. Air mata tumpah dari sisi...

"Na-Naruto-kun...?"

"Kau... kau tidak pergi dariku kan...?"

"..."

"Katakan padaku... apa yang terjadi kedepannya jika aku melakukan ini padamu...?"

"- bagaimana dengan anakku nanti...?"

"Na-Naruto-kun... A-apa yang kau -"

"Aku tak ingin kau pergi dariku... tapi... tapi..."

Dan saat Naruto belum sempat untuk melanjutkan apa yang ia katakan, segera Kaguya membangkitkan diri untuk melaju dan memeluk tubuh Naruto. Pemuda itu terkejut, namun ia tetap turut bahagia dalam air mata yang tumpah di pipinya, saat Naruto telah menerima dirinya. –

- bukan sebagai Kaguya yang pernah menorehkan luka pada semua orang, bukan pula sebagai Ootsutsuki Kaguya yang melegenda karena dijuluki sebagai Ibu dari semua chakra. Karena pada dasarnya, Naruto menerimanya tidak lebih dari seorang gadis yang ia harap akan selalu ada di sisinya.

- Pergi ke tempat yang jauh, menikah, mempunyai anak, lalu memiliki keluarga kecil yang bahagia...

Bukankah itu impian yang begitu indah? yang pernah terlintas di kepala Kaguya?

"Maaf... maafkan aku..."

"Kumohon... Jangan pergi..."

Maafkan aku... sayang... tapi mau bagaimanapun, aku akan tetap pergi meninggalkanmu..."

.

.

.

.

.

.

.

.

"Terima kasih..."

"Entah kapan kita akan bertemu lagi, Naruto-kun..."

"Aku mencintaimu. Sungguh..."

"Aku senang bisa melakukan ini bersamamu"

"Terima kasih, karena telah menerima diriku..."

"Aku mencintaimu..."

.

.

.

.

.

.

- Dan saat detik demi detik berlalu, tubuh Kaguya yang kini berada dalam pelukan Naruto perlahan menghilang... lenyap secara perlahan menjadi butiran cahaya yang terbang kesana kemari. Naruto tak kuasa menahannya. Bahkan, tangannya kini tak lagi dapat merasakan punggung gadis itu saat separuh dari tubuhnya perlahan menjadi butiran cahaya kecil.

"Kaguya?!"

"Tidak! aku tidak ingin ini terjadi!"

"Kumohon..."

"..."

"Maaf... aku harus pergi..."

- Dan mungkin itulah senyum terakhir yang Kaguya berikan pada Naruto, saat seluruh tubuhya benar-benar lenyap...

Tepat seperti yang Kaguya Katakan...

Ia benar-benar pergi...

"..."

Naruto terdiam disana. Tangannya yang kini terlihat seperti memeluk sesuatu perlahan turun. Rambut pirangnya perlahan menutupi ekspresi yang ada, bersamaan dengan tangannya yang terkepal erat akibat sesuatu yang tak bisa ia pungkiri.

Rasa nyeri pada hatinya seakan menyeruak. Mengikis secara perlahan dan terasa amat menyakitkan. Ia tahu, Kaguya tak lagi dapat kembali padanya, bahkan jika ia merelakan nyawanya sekalipun. Namun tetap saja, ia tidak bisa menerima kenyataan ini.

Sungguh, ia tidak ingin gadis itu pergi. Mungkin hari-hari yang mereka lewati agak sedikit menjengkelkan, namun di satu sisi, Naruto merasa menyesal karena tak bisa memberikan kebahagiaan yang lebih banyak pada gadis itu. Ia menyesal karena itu. Ia menyesal, karena ia sadar bahwa hatinya telah menerima gadis itu saat pertama kali mereka bertemu.

Ia tidak bisa melakukan apapun...

Sungguh... bahkan sekalipun ia mencoba merubah takdir...

Sialan! Andai ia bisa memutar waktu!

Ia benar-benar tidak bisa menerima kenyataan ini terjadi! Ia tidak ingin Kaguya pergi darinya! Ia tidak menginginkan takdir yang seperti ini!

Namun apa daya?

Ini adalah sebuah kenyataan... Namun di sisi lain, ini seperti sebuah hukuman...

"Hiks..."

"Sialan!"

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

- 10 October xxxx

Dua tahun telah berlalu. Meninggalkan semua kenangan yang telah tercipta. Di hari yang indah ini, di hari yang langitnya cerah ini, kisah baru saja dimulai.

Terlihat sosok pemuda pirang tengah berdiri di hamparan padang rumput yang indah. Rambut pirangnya terbuai terayun oleh angin. Tubuh tegaknya terlihat gagah dari sisi belakang, wajahnya yang kian bertambah dewasa, juga rambutnya yang sedikit berbeda dari tahun-tahun yang lalu – agak sedikit pendek, meski tetap saja bergaya spike -. Senyumnya terukir secara perlahan, dan masih sama seperti waktu-waktu yang sebelumnya.

Senyumnya tak akan pernah berubah sedikitpun...

"Ohayou... Naruto-kun..."

Namanya Naruto – dan terasa agak sedikit de javu ketika mendengar nada suara dengan ucapan yang pernah ia dengar sebelumnya. Entah kapan, ia tidak bisa memastikannya. Senyumnya perlahan menipis, diikuti dengan tatapan matanya yang meredup lembut.

"..."

"Hey! Setidaknya balas salamku bodoh!"

"Ah! Ma-maaf!"

- Dan di depannya, terlihat seorang gadis cantik berbalut Yukata putih panjang tengah menatapnya dengan sedikit cemberut di bibir. Ia terlihat begitu muda, putih pucat menjadi warna dasar dari kulitnya, hampir sama dengan warna matanya. Wajah manis nan cantiknya menguar hebat, bahkan sempat membuat Naruto terpaku untuk beberapa saat.

Dia adalah seorang gadis yang muncul dari ketiadaan...

- Dan saat gadis itu menatap lembut ke arahnya diikuti dengan senyum yang pernah terulang di lain waktu, Naruto tak kuasa menahan air matanya yang jatuh dari sisi.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Ohayou... Kaguya..."

"Selamat datang kembali..."

.

.

.

.

.

.

.

.


- Fin -


.

.

.

.


- 10 October –

Disclaimer : Masashi Kishimoto [Ini hanyalah fanfiction belaka, dibuat hanya untuk menghibur para pembaca]

Genre : Romance, Angst, Hurt/Comfort

Thank you for Reading!


.

.

.

.

.


[A/N] : Sebenarnya ini Cuma Oneshot yang diperkirakan bakalan selesai saat word mencapai angka 5k. Tapi yah? Gak nyangka aja gitu sampe ke angka 8k [Kan bego!]

Oh ya! Sebelumnya selamat bertemu kembali dengan saya – Fhaana [Previously known as 'Hana Natsuki']. Mungkin? Tapi seperti udah lama banget gak mampir ke fandom yang satu ini. Satu bulan yang lalu? Setengah bulan yang lalu? Setengah tahun? Atau bahkan tahun yang lalu?

Siapa yang peduli?

Jangan tanyakan soal Typo atau salah kata. Saya enggak peduli sama sekali! Males nge-beta soalnya.

Maa... jika andai kata dirimu bertanya mengapa saya memilih pairing yang satu ini? Maka saya akan menjawab bahwa ini adalah salah satu crack!pair yang jadi favorit saya [Meski peminat dan fanfiksinya sendiri enggak terlalu banyak sih]. Mau bagaimana lagi? Kaguya muncul pas Manga Naruto mau tamat dan jadi Last Boss disana. Last Boss memang, tapi... beri pujian pada Kishimoto-sensei! Last Boss dari petualangan Naruto berhasil mencuri hati saya dengan parasnya yang amat cantik! /Kyaaa~

Maa... Ini soal Kaguya. Mungkin dirimu agak bingung tentang Kaguya disini. Mari! Dengarkan penjelasan saya!

Kaguya disini adalah reinkarnasi dari Kaguya di PDS4, memiliki ingatan yang sama, namun dalam tubuh dan umur yang berbeda [Tentunya sifat juga berbeda mengingat umur masih terbilang muda]. Karena itulah Kaguya sempat bilang "Anak dari diriku" Maksudnya? Kamu pasti ngerti deh pas dia bilang kalo Kaguya masih perawan /Innocent.

Well, rencananya ini bakalan jadi sebelum bulan puasa dimulai sih [Jadi semacam kek pembuka gitu? FFn kan sepi katanya /ditabok!], tapi entah kenapa jadi ngaret kek begini. Maafkeun saya.

Akhir kata? Mungkin? Tapi lebaran masih lama sih ya? Entar aja deh kapan-kapan diucapin. Berdoalah semoga kita bertemu lagi di fandom yang berbeda. /wwwwwww

Bye Bee~

.

.

Sign : Hana Natsuki