Assalammu'alikum Minna.
Etto... apa yang harus saya katakan yah? Ohisashiburi? Sudah berapa lama saya menghilang yah? Mah ya sudahlah.
Sebelumnya saya minta maaf terlebih dahulu karena mungkin ada beberapa project yang saya batalkan karena ketidaksanggupan saya. Sebelumnya saya sudah saya katakan bahwa saya mau nulis novel bukan? Sungguh disayangkan naskah novel saya berantakan. Maksudnya dalam arti tidak layak dibaca.
Saya sempat stress karena itu, lalu nyoba buat naskah lain tapi ndak sanggup. Akhirnya saya putuskan untuk nyari tau masalah saya dimana dan apa. Setelah saya telusuri, sayapun tau masalah saya.
Waktu saya nyoba ngelihat tulisan lama saya di FFn, lalu saya bandingkan dengan naskah novel saya, semuanya jadi jelas. Walau saya katakan tulisan novel saya lebih bagus daripada tulisan saya di FFn, tapi justru bedah jauh. Tulisan FFn saya jauh lebih layak buat dibaca walau masih kurang daripada naskah saya. Kenapa? Karena saya lupa satu hal penting, sewaktu saya di dunia FFn, saya menulis dengan tujuan Cuma untuk berbagi kesenangan saya kepada orang lain dan juga ingin tulisan saya dikenal banyak orang. Sedangkan sewaktu nulis naskah, saya terlalu banyak pikiran dan berakhir dengan depresi.
Lalu selanjutnya, tujuan saya buat fic baru ini hanyalah sekedar untuk menghibur diri karena saya suka banget cerita begini. Ini cerita yang idenya saya dapat di grup WA tentang seseorang dengan seseorang. #plakk.
Baiklah, ndak perlu banyak bicara lagi.
Selamat membaca.
.
.
.
.
.
"HAAAA?! MENIKAH?!" teriak seorang gadis bersurai hijau sambil menggebrak meja kuat.
"Aa–aa... Miku. Tenang dulu."
"Bagaimana aku bisa tenang dengan hal seperti ini, Ibu!"
Gadis bernama Miku itu menggerutu kesal. Awal harinya dimulai dengan pembicaraan konyol seperti ini dengan kedua orang tuanya.
"Maafkan Ibu dan Ayah meminta hal seperti ini tiba-tiba, tapi kami harap kau bias menerimanya, Miku."
"Tidak! Tidak! Aku tidak akan pernah menerimanya! Kenapa aku harus menikah tiba-tiba?!" Miku langsung terduduk lemas di sofa. Dia memijat keningnya sendiri karena pusing mendapat masalah seperti ini.
"Ayah harap kau bisa mengerti, Miku. Ini untuk membalas kebaikan keluarga Shion yang sudah banyak membantu kita," jelas ayah Miku memohon kepada anak gadisnya.
"Jadi maksudnya, Ayah mau menjualku?"
"Bukan seperti itu. Ayah hanya ingin menepati janji lama yang telah kami buat."
Miku tersentak mendengar ucapan sang ayah yang barusan. Beliau membicarakan soal janji dengan keluarga Shion? Hal itu sangat melekat di dalam ingatan Miku karena sewaktu kecil dia juga menerima janji tersebut, dan berakhir dengan penyesalan karena suatu alasan. "Ja–jangan-jangan maksud Ayah..."
"Yah. Kau pasti ingat bukan janji yang kita buat dulu dengan anak laki-laki dari keluarga mereka?"
"Ibu juga ingat dulu sekali Miku dan Kaito sangat akrab. Tapi kenapa sekarang Miku sangat membenci dia yah.."
"AAAAA!" Miku berteriak kencang sambil mengacak-acak rambutnya. "Lebih baik aku mati daripada menikah dengan orang itu!"
.
.
.
.
.
Vocaloid & Utauloid ©Crypton Future Media, Yamaha Corp, Etc.
Sweet & Sweet Marriage ©Rainessia Toumitsu.
Rate T.
Don't Like?, Don't Read!
.
.
.
.
.
"Jadi kau belum mati, Miku sayang?" tanya seorang pemuda yang sedang duduk di sebuah kursi dengan meja makan di hadapannya.
Miku menggerutu kesal dengan pertanyaan orang yang terpaksa harus dilayaninya sebagai seorang suami. Yah, dialah anak laki-laki dari keluarga Shion yang telah banyak membantu keluarganya. Parasnya yang rupawan, postur tubuhnya yang gagah dan tinggi, dengan surainya yang berwarna biru tua menjadikan orang itu pemuda idaman semua gadis. Namun justru itu yang membuat Miku jijik dan kesal dengan orang bernama Kaito itu.
"Sebaiknya kau diam! Atau kau yang akan mati!" ucap Miku yang mencoba bersabar. Untuk sekarang, dia harus berkonsentrasi untuk memasak.
"Ahaha... maafkan aku.." Kaito hanya bias tersenyum menghadapi sang istrinya yang manis namun sangat galak itu. Lebih baik dia menurut untuk tidak mengganggu Miku sekarang.
Jika dilihat dengan baik, pasangan yang baru menjalani kehidupan baru mereka beberapa minggu lalu terlihat sangatlah muda. Memang benar, Kaito baru berusia dua puluh satu tahun dan Miku hanya terpaut satu tahun lebih muda dari usia Kaito.
Alasan kenapa mereka menikah di usia semuda ini adalah karena perusahaan orang tua mereka sedang di ambang kehancuran. Untuk menyelamatkannya, kedua perusahaan itu harus menjadi satu dan pernikahan merekalah sebagai mereka bias menolaknya, tapi mereka juga tidak mau jika sampai perusahaan yang sudah dikelola kedua orang tua mereka hancur begitu saja. Kaito dari awal memang tidak keberatan karena gadis yang dinikahinya adalah Miku, namun Miku yang mempunyai masalah dengan Kaito di sini.
"Jika dipikir-pikir, kenapa kau sangat membenciku? Dulu saat masih kecil, kau selalu mengikutiku kemana-mana. Kau sangat manis waktu itu," ucap Kaito sambil mengingat-ingat masa kecilnya dengan Miku.
"Sudah kukatakan diam!" Miku mengambil sebuah penggorengan dan langsung menodongkannya kewajah Kaito. "Jika kau berbicara yang aneh-aneh lagi, jangan salahkan aku sampai wajahmu babak belur." Dan gadis itu tersenyum manis.
Seketika Kaito merinding dengan sikap Miku, apalagi senyumannya. Sangat mengerikan. Dia harus diam sekarang atau dirinya akan dihajar habis-habisan oleh Miku.
Miku kembali ke pekerjaannya. Dia segera menyelesaikan masakannya dan menyajikannya dalam sebuah piring kemudian membawanya ke meja makan.
"Lagi..." Kaito menghela napas. Dia sudah menduga kalau ini akan menjadi sia-sia.
"Memangnya apa yang kau harapkan, bodoh?" tanya Miku sambil menatap Kaito.
"Aku hanya berharap bias memakan makanan yang kau masak."
"Haa... kau ini benar-benar bodoh? Kau selalu melakukan ini berkali-kali sejak kita tinggal bersama. Harusnya kau sudah tahu bahwa aku tidak akan memasak untukmu."
"Ahahaha... kurasa kau benar..." Kaito hanya bias tersenyum. " Tapi yang benar-benar kunantikan adalah masakan yang dibuat oleh Miku. Aku akan terus menunggunya."
"Hmm... begitukah.." Sejenak Miku terdiam dari aktivitas makannya. Entah apa yang ada dipikirannya namun kata-kata Kaito sedikit membuatnya sedih. "Kau benar-benar orang bodoh..." gumamnya sambil melanjutkan makan.
"Ah, tidak. Aku harus segera pergi," ucap Kaito seraya bangkit dan beranjak dari ruang makan. Dengan tergesa-gesa dia berjalan menuju kamar untuk menyiapkan keperluan pekerjaannya.
Benar-benar orang yang ceroboh. Miku menggelengkan kepalanya tidak habis piker kenapa dirinya bias menikahi orang seperti Kaito? Sama sekali tidak siap dalam pekerjaannya dan lebih mementingkan hal-ha lkecil.
Terdengar berbagai macam suara di lantai atas tempat kamar mereka berada. Mulai dari suara benturan tembok, barang yang terjatuh, dan juga suara yang masih sejenis. Miku menghelas napas, ini bukan pertama kali untuknya mengalami hal-hal itu, bahkan hampir setiap hari. Karena itu adalah kebiasaan Kaito.
Tidak lama kemudian, Kaito turun dan kembali menghampiri Miku. "Yosh. Aku sudah siap. Aku pergi dulu." ucapnya pada Miku.
"Tunggu sebentar." Miku bangkit dari posisi duduknya dan berdiri berhadapan dengan Kaito. "Kau tidak akan bisa pergi jika seperti itu." Dengan cepat, gadis itu langsung membenahi penampilan Kaito yang masih berantakan agar menjadi lebih rapi.
"Aa–ahh... baiklah." Kaito hanya menurut. Dia tetap diam untuk beberapa saat selagi Miku melakukan pekerjaannya. Senyuman tipis terbentuk di wajah tampannya, setidaknya dia bisa merasakan sedikit bahagia.
"Sudah. Kau bisa pergi sekarang," ucap Miku selesai membenahi Kaito. Dan pemuda ini terlihat lebih rapi dari sebelumnya.
"Terima kasih, Miku," balas Kaito dengan senyuman. "Sudah kuduga Miku memang istri yang baik."
Mendengar kalimat barusan, Miku langsung memalingkan wajahnya yang sedikit memerah. "A–asal kau tahu saja yah! Aku melakukan ini bukan untuk suatu alasan! Hanya, kau tidak mungkin pergi bekerja dengan penampilan seperti tadi!"
"Baiklah, baiklah. Aku mengerti." Kaito mengusap lembut kepala Miku. Dengan perlahan, dia sedikit mendekat pada sang gadis dan mendaratkan satu kecupan lembut di keningnya. "Kalau begitu, aku pergi dulu."
Mendapat perlakuan seperti itu dari sang suami yang dibencinya, membuat Miku tidak bisa berkata-kata. Tubuhnya membeku dengan wajahnya yang memerah pada. Detak jantungnya terpacu begitu kencang, bahkan hampir mau meledak. Dalam hatinya berpikir, apa Kaito mencoba untuk membunuhnya?
"SUDAH CEPAT KAU PERGI!" teriak Miku yang langsung menendang Kaito keluar rumah dengan kekuatan penuh. Setelah pemuda itu keluar, dia membanting pintu dan menguncinya agar Kaito tidak kembali.
Miku menyandarkan tubuhnya pada pintu. Masih terasa begitu jelas bekas kecupan yang diberikan Kaito. Dia mencoba meraba kembali keningnya, bahkan kehangatannya terasa sampai ke hatinya. Bayangan Kaito langsung muncul dalam benak, membuat wajahnya kembali memerah padam.
"AKKHHHHH!" teriak Miku kencang. Dia menghentak-hentakan kaki karena kesal. "Orang itu...! Aku benar-benar membencinya!"
Di lain sisi, orang yang menjadi korban tendangan istrinya sedang berjalan sambil meratapi nasib menuju tempat kerjanya. Kaito berkali-kali menghela napas, harus sampai kapan dia menjadi bulan-bulanan Miku setiap pagi? Namun setidaknya, untuk hari ini dirinya mendapatkan hal baik.
"Hoi!" sapa seseorang dari arah belakang pemuda itu.
Kaito menoleh ke arah suara datang dan mendapati seorang pemuda yang tak asing lagi dengannya. "Ada apa Len?"
"Oh yah?" Len melihat wajah Kaito yang agak berbeda dari biasanya hari ini. Tampak lebih bersinar dari yang sebelumnya selalu suram. "Apa terjadi sesuatu yang baik hari ini?"
"Eh? Tidak juga."
"Coba kita lihat... Jadi apa kau sudah berhasil mencicipi masakan Miku?"
"Sayangnya masih belum."
"Ahahahahahahaha. Sepertinya belum ada kemajuan," tawa Len keras sambil menepuk-nepuk bahu Kaito dengan keras. "Ini sudah hampir sebulan setelah kau menikah Kaito, dan kau masih belum mendapatkan apapun dari Miku?"
"Ahahaha... Maaf jika itu membuatmu kecewa."
"Apa dia masih membencimu?"
"Belum ada perubahan... Tapi pagi ini aku berhasil mencium keningnya." Kaito tersenyum mengingat kejadian yang sangat membahagiakan tadi pagi. "Walau berakhir dengan tendangan."
"Hoo! Hebat." Len bertepuk tangan kagum dengan tindakan berani Kaito. Bukan dirinya tidak mengenali Kaito dan istrinya itu, mereka sudah saling mengenal sejak berada di Sekolah Menengah. Yang dia tahu, Miku adalah gadis yang sangat galak dan sangat membenci Kaito walau hubungan kedua orang itu berakhir dengan pernikahan.
"Kurasa itu bukan hal yang pantas untuk dipuji."
"Lalu, apa kau sudah meminta maaf pada Miku? Soal kejadian yang pernah terjadi di Sekolah Menengah dulu," tanya Len kali ini dengan nada yang sedikit lebih serius.
"Apa aku pernah melakukan hal yang salah?" Kaito mencoba mengingat kembali kejadian-kejadian yang dulu pernah terjadi di sekolah mereka.
"Memang dari sudut pandang kita, kurasa tidak salah jika kau melakukan hal baik seperti itu. Hanya saja, Miku adalah gadis yang keras kepala. Cobalah untuk meminta maaf dan menjelaskannya dengan cara yang baik. Aku yakin dia mau mengerti meskipun sedikit," jelas Len mencoba memberi saran kepada sahabat baiknya itu.
Kaito merenungkan sejenak perkataan Len. Dia tahu kejadian apa yang dimaksud oleh Len, hanya saja akan lebih baik untuk tidak mengungkitnya lagi. Walau dia memang bukan yang bersalah jika sampai Miku membencinya, namun apa yang dikatakan sahabatnya mungkin memang benar. Sejak saat itu juga, dirinya sama sekali belum meminta maaf pada gadis tercintanya tentang kejadian itu.
"Tapi bagaimana jika dia tidak mau mendengar?" tanya Kaito sedikit cemas.
"Tenang saja. Aku akan meminta pada ayahmu untuk menyediakan kamar VIP di rumah sakit. Ahahahahahaha!" Len tertawa keras menanggapi pertanyaan Kaito. Namun hal itu berhasil memberikan semangat lebih pada Kaito.
Melihat Kaito menjadi lebih baik, memberi sedikit kelegaan di benak pemuda honey-blonde itu. Sungguh pemandangan yang sangat tidak enak untuk dirinya melihat suasana suram orang lain di pagi hari.
"Ngomong-ngomong, Kaito."
"Hn?"
"Kau itu... anak seorang Direktur. Seharusnya kau bisa mengendarai mobil sendiri atau bisa menggunakan fasilitas perusahaan, bukan?"
"Maaf saja. Tapi aku lebih suka berjalan kaki."
"AHAHAHAHAHAHAHA!"
.
.
.
.
.
Waktu berlalu begitu cepat. Pagi berganti menjadi siang, kemudian berlalu menjadi malam. Akan tetapi, saat ini baru saja menjelang tengah hari. Walau cepat, namun bagi Miku setiap harinya terasa berat semenjak dia menikah.
Seperti kondisinya sekarang. Miku yang berakhir duduk di sofa sambil menatap televisi yang menayangkan acara membosankan setiap harinya. Tidak tahu lagi apa yang harus dilakukannya. Seluruh pekerjaan rumah tangga seperti membereskan rumah, atau mencuci, atau yang lain-lain sudah dituntaskan.
Kalau dipikir-pikir kembali, gadis seusia Miku seharusnya menghabiskan waktu di luar rumah bersama dengan seluruh teman-teman, berjalan-jalan di kota, menuju tempat-tempat hiburan untuk menyenangkan diri. Atau mungkin... berkencan dengan kekasih?
Wajah Miku sedikit memerah ketika kata 'Berkencan' terlintas dipikirannya. Menghabiskan waktu bersama, membuat banyak kenangan menyenangkan, saling bergandengan tangan, dan mungkin hari-hari itu bisa diakhiri dengan ciuman sepasang kekasih. Membayangkan semua itu dengan Kaito, membuat pikirannya melayang jauh.
Eh? Tunggu.
"AAAAAAA!" Miku yang sudah tersadar dari lamunannya lansung memerah padam. Apa yang dia pikirkan? Dan kenapa Kaito yang muncul dalam bayangannya?
Miku langsung mengambil bantal yang ada di sampingnya. Dengan penuh rasa kesal bercampur perasaan lain yang tidak bisa dijelaskan, dia menggigit benda lembut itu untuk melampiaskan semuanya.
"Orang bodoh itu! Aku benar-benar membencimu Kaito! Gaahhhh!" Puas menggigit sebuah bantal, setelah itu Miku membanting sang bantal ke lantai. Gara-gara Kaito, pikirannya menjadi sangat kacau sekarang.
Tidak sampai di situ, sekarang Miku teringat kembali dengan kejadian tadi pagi di saat dengan lembut Kaito memberikan kecupan manis untuk dirinya. Wajahnya semakin memanas dan memerah, sudah menyerupai kepiting rebus yang siap untuk disantap. Gadis itu semakin salah tingkah dan perasannya semakin kacau.
"Kaito! Ini semua salahmu! Sepertinya kau benar-benar ingin aku mati! AAAAAA!" Teriakan Miku yang tak tertahankan lagi menggema di seluruh ruangan. Kakinya menghentak-hentak lantai dengan kuat akibat kekesalan yang sudah sampai pada batasnya. Dia terus-terusan menggerutu kesal seperti itu lantaran perasaannya yang tak kunjung kembali normal.
*Ting *Tong
Suara bell rumah Miku berbunyi. Membuat gadis itu terhenti dari segala aktivitasnya. Namun sang tuan rumah tidak langsung membuka pintu, melainkan terdiam untuk beberapa lama sambil menatap pintu. Entah apa yang terjadi, pikirannya menjadi kosong sejenak.
*Ting *Tong *Ting *Tong
"Eh?" Setelah beberapa kali lagi berbunyi, akhirnya Miku tersadar. "Ada tamu?" Bukannya membukakan pintu, gadis itu malah berbicara sendiri.
*Ting *Tong *Ting *Tong *Ting *Tong
Bell rumah Miku berbunyi beberapa kali lagi dengan kecepatan yang luar biasa. Sepertinya tamu yang sedang menantikan sang tuan rumah untuk menyambut sudah kesal.
Miku sama sekali belum sadar apa yang harus dia lakukan. Dia masih menatapi pintu rumahnya untuk beberapa saat lagi. Sepertinya dia masih kebingungan dengan kejadian yang menimpahnya hari ini.
"Oh! Tamu!" Cukup lama untuk menyadarinya, namun akhirnya Miku beranjak dari tempatnya dan langsung berjalan cepat untuk membukakan pintu.
Dibalik pintu, tengah menunggu seorang gadis cantik dengan surai merah muda yang tergerai indah. Terjuntai sampai ke pinggang. Memiliki tubuh bak model-model kelas dunia. Walau parasnya cantik rupawan, namun sudah menjadi masam karena kesal dengan tuan rumah.
"Luka-nee?" sapa Miku tanpa dosa melihat gadis cantik yang sangat dia kenal.
Gadis yang dipanggil Luka itu tersenyum manis pada Miku sebagai bentuk kekesalannya. Tapi Miku membalas dengan senyuman polos. "Sepertinya kau sama sekali tidak merasa bersalah yah, Miku?" tanyanya kesal.
"Memangnya aku melakukan apa?" Miku memiringkan kepala tidak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Luka.
Luka menghela napas untuk meredam kekesalannya. "Sudahlah, tidak perlu dipikirkan." Dia sangat maklum dengan sikap polos gadis yang pernah menjadi adik kelasnya dulu sewaktu mereka bersekolah. "Selain itu, apa terjadi sesuatu yang menyenangkan padamu?"
"He? Tidak juga. Aku sangat bosan di rumah," balas Miku. "Silahkan masuk dulu Luka-nee."
"Ah, terima kasih, Miku. Aku juga sangat lelah berdiri selama lima belas menit di depan rumahmu." Luka tersenyum penuh arti.
"Eh?" Miku tersentak mendengarnya. Selama lima belas menit? Itu berarti sudah sejak dirinya memikirkan hal-hal aneh tadi. "Ahahahaha... ka–kalau begitu kau beristirahat saja dulu di sofa," ucapnya mencoba untuk tidak mengungkit apapun.
"Miku kelihatan sangat senang hari ini. Aku mendengar semuanya~"
"A–apa ya–yang Luka-nee maksud?" Keringat dingin mengucur dari permukaan kulit Miku. Dia hanya bisa berharap bahwa Luka sedang berbohong.
"Apa yang aku maksud? Aku sangat senang ketika Miku berteriak 'Aku benar-benar mencintaimu Kaito!'. Kyaahh~" ucap Luka sambil menirukan suara Miku yang dia dengar sebelumnya namun dengan kata yang berbeda.
"A-AKU TIDAK PERNAH MENGATAKAN ITU! AAAAAA! AKU MEMBENCINYA! SANGAT MEMBENCINYA!" Miku mengacak-acak rambut toscanya. Ingin rasanya dia segera menghilang dari dunia ketika mendengar Luka menirukan kelakuannya tadi.
"Baik, baik. Aku mengerti Miku." Luka benar-benar tidak tahan melihat Miku yang sangat manis. Dia hampir ingin tertawa namun berusaha untuk menahannya agar tidak membuat Miku benar-benar marah.
"Ha–haaa..." Kedua bola mata Miku berkaca-kaca. Air matanya hampir menetes hendak menangis.
Luka langsung mengusap kepala Miku dengan tangannya untuk membuat Miku lebih baik. "Yosh, yosh. Miku anak baik." Dia tersenyum lembut.
Gadis yang tadi pagi terlihat sangat galak pada suaminya, kini terlihat seperti adik kecil di depan seniornya.
"Ayo kita masuk." Setelah menjadi lebih baik, Miku mempersilahkan Luka masuk. "Dan tolong lupakan semua kejadian tadi," tambahnya seraya berjalan kembali menuju sofa dan duduk di sana.
Luka hanya mengangguk menuruti permintaan Miku dan segera masuk.
"Ada apa hari ini Luka-nee datang ke rumahku?" tanya Miku setelah Luka duduk di sampingnya.
"Tidak ada alasan khusus. Aku hanya ingin melihat hubungan kalian berdua yang sangat mengkhawatirkan."
"Kau tidak perlu khawatir dengan kami. Apalagi orang bodoh itu." Miku mengambil sebuah bantal dan memeluknya dengan erat.
"Benar juga... Miku sudah dewasa. Bahkan Miku sudah menikah lebih dahulu, padahal aku yang lebih tua. Seharusnya aku mengkhawatirkan diriku sendiri."
"Dan aku terpaksa harus menghabiskan masa mudaku seperti ini." Miku menghela napas. Dia memendam kepalanya pada bantal yang sedang dia peluk. Seluruh hari-harinya terasa sangat berat sekarang. Sesekali dia juga ingin besantai.
"Mah... mungkin aku sedikit mengerti bagaimana perasaan Miku. Menjalani hidup seperti ini memang bukanlah waktu yang tepat untuk gadis seusiamu." Luka mengusap kepala Miku sekali lagi. "Jika begitu, kenapa Miku tidak mencoba untuk pergi bersenang-senang saja? Kau bisa mengajak Rin atau Gumi atau yang lain untuk pergi, bukan? Bahkan aku juga bisa menemanimu," sarannya untuk menghibur Miku.
Miku langsung mengangkat kepalanya. Dia baru sadar akan hal yang dikatakan Luka barusan. Jika mau, harusnya dia memang tinggal pergi saja dengan teman-teman sekolahnya dulu. Kenapa tidak?
"Ah! Kenapa aku baru menyadarinya!"
"Benar 'kan? Bahkan jika kau mau pergi sekarang, aku akan ikut."
"Kau benar Luka-nee. Tapi..." Masalah lainnya timbul di dalam pikiran Miku. Entah apa yang dirasakannya, namun hatinya menolak untuk dirinya melakukan hal-hal yang disarankan Luka.
"Tapi kenapa?"
"Aku tidak seharusnya melakukan hal itu."
"Tidak ada yang melarangmu, bukan?"
"Bu–bukan seperti itu..." Miku memalingkan wajah ke arah lain. Semburat merah muda tipis menghiasi paras cantiknya. "A–aku hanya tidak bisa pergi sembarangan. I–itu bukan hal yang seharusnya dilakukan seorang istri. Aku punya rumah yang harus dijaga. Walau terpaksa, aku tetap harus selalu menunggu Kaito pulang. Da–dan sekalipun aku sangat membenci orang itu, a–aku harus juga mendapat ijin darinya untuk pergi keluar."
Luka tertegun mendengar kalimat-kalimat yang meluncur dari mulut Miku. Tidak, itu dari hati Miku. Betapa tersentuhnya dia dengan gadis terlalu polos tersebut. Miku mengatakan terpaksa harus melakukannya, namun dia sangat tahu bahwa Miku melakukan semuanya dengan senang hati. Mau bagaimanapun dikatakan, bukankah sangat terlihat bahwa Miku sangat mencintai suaminya?
Mah, sepertinya kekhawatiran Luka menjadi sia-sia sekarang. Mendengar hal itu sendiri dari Miku, malah membuat dirinya merasa bersalah sekarang karena mengganggu hubungan dua orang itu.
"Kaito pasti sangat bahagia menikah dengan gadis seperti Miku," ucap Luka seraya tersenyum.
"Ha–haa?! A–apa yang Luka-nee katakan?!" Miku masih memalingkan pandangannya untuk menyembunyikan wajahnya yang semakin memerah.
"Yah... karena Miku gadis yang sangat baik. Kaito pasti sangat bahagia."
"Ti–tidak mungkin!" Miku langsung berdiri dari sofa dan membanting bantal yang sebelumnya dia peluk. "A-asal Luka-nee tahu, tadi pagi Kaito berusaha untuk membunuhku!" Dengan kesal, dia menginjak-injak bantal di lantai karena teringat lagi dalam bayangannya kejadian tadi pagi.
"He?! Apa yang dilakukannya?!"
"Ka–kau tahu, Luka-nee! Ti–tiba-tiba saja Ka–kaito... me–me–mengecup keningku! Ja–jantungku hampir berhenti! Aku hampir mati!" Miku menutupi seluruh wajahnya yang memerah padam dengan kedua tangannya.
Bahkan Luka yang mendengarnya juga sampai memerah. Tidak tahu apa yang harus dikatakan lagi, tetapi dirinya tidak tahan dengan kejadian-kejadian manis seperti itu. Mungkin ini juga disebabkan oleh kecanduannya terhadap novel-novel romansa muda yang membuat dirinya sangat menginginkan hal tersebut terjadi. Bahkan jika tidak bisa menahan diri, mungkin dia sudah melonjak-lonjak kegirangan ketika momen manis seperti yang diharapkannya benar-benar terjadi sekarang.
"Se–sekarang aku harus bagaimana! Aku sama sekali tidak berani menatap Kaito saat pulang nanti!" Membayangkannya saja sudah membuat Miku jantung berdebar-bebar. "A–aku harus membalasnya, bukan?! Luka-nee?!" tanyanya meminta saran pada Luka.
Luka langsung menyetujui pertanyaan Miku dengan anggukan yang sangat cepat. Sial, dia tidak bisa membayangkan hal-hal yang normal lagi. Dia berharap dapat melihat kejadian-kejadian manis lainnya antara pasangan muda ini.
"A–apa aku harus menusuknya dengan pisau?! A–atau menghajarnya habis-habisan dengan penggorengan?!" teriak Miku yang sudah hampir gila.
"Jangan!" Namun Luka menentang ide Miku. "Aku punya saran yang lebih baik! Mendekatlah!"
Miku langsung mendekat kepada Luka. Luka pun mencoba untuk membisikkan sesuatu pada telinga Miku. Miku yang mendengar jelas saran-saran dari Luka, wajahnya semakin memerah padam. Bahkan kepalanya sampai mengepulkan asap karena wajahnya yang sudah mendidih.
"A–apa itu akan berhasil?!"
"Kau harus mencobanya!" ucap Luka memberi semangat. Atau mungkin, memang dirinya yang senang melakukannya.
"Ba–baiklah! Tu–tunggu saja kau Kaito bodoh!"
.
.
.
.
.
Sore menjelang malam. Dimana saat orang-orang yang hendak bekerja bersiap untuk pulang dan menyapa keluarga di rumah. Seperti halnya Kaito, yang sedang bersemangat untuk segera pulang dan bertemu dengan istri tercinta di rumah.
"Apa yang sedang Miku lakukan di rumah yah..." Kaito membayangkan berbagai macam hal yang akan terjadi di rumah nanti. Apa mungkin Miku akan menyambutnya dengan ramah? Atau sedang memasakkan sesuatu untuk dirinya? "Ahahaha... kurasa tidak mungkin." Keputusasaannya sudah mendahului harapannya hingga dia tahu bahwa hal seperti itu tidak mungkin terjadi.
Namun itu bukanlah masalah untuk Kaito. Dia sudah cukup bahagia hanya dengan menikahi Miku. Gadis yang selalu dipujanya sejak mereka duduk di bangku Sekolah Dasar. Bekerja keras dan melakukan segalanya untuk Miku adalah hal paling indah dalam hidupnya.
Tanpa sadar kedua kaki Kaito sudah membawanya sampai di depan rumah. Tangannya bergerak memegang knop pintu dan membuka pintu perlahan.
"Se-selamat datang!"
Ketika pintu terbuka, Kaito langsung dikejutkan dengan pemandangan yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Tidak pernah sebelumnya, Miku menyambut dirinya seperti ini. Apa gadis itu sedang sakit?
"Mi-Miku?" panggil Kaito.
Miku langsung berjalan menutup pintu dan menguncinya dengan cepat. Tentu saja Kaito sangat kebingungan dengan sikap Miku yang tidak biasa. Pemuda itu mencoba untuk meraih bahu Miku, namun sebelum menyentuh, gadis itu sudah terlebih dahulu memeluk Kaito dengan sangat erat.
"Haa?!" Kaito tersentak kaget. Kenapa Miku tiba-tiba mau memeluknya? Padahal setiap hari Miku selalu menghajarnya.
Miku membenamkan wajahnya senjenak di dada Kaito yang tegap. Seperti sedang melakukan persiapan diri. Dan dengan perlahan, dia memberanikan diri untuk mengangkat wajahnya yang sangat merah dan langsung menatap pada iris Safir Kaito.
"Ka–kau sedang sakit, Miku?" tanya Kaito gugup.
Namun Miku sama sekali tidak menjawab. Wajahnya perlahan mendekat pada wajah Kaito, membuat pemuda itu ikut memerah di wajah. Dia sedikit berjinjit untuk lebih dekat karena perbedaan tinggi badannya dengan Kaito sangat jauh.
Kaito menjadi panik. Miku semakin lama semakin mendekat. Apa ini? Dia sungguh tidak mengerti apa yang terjadi di sini. Miku sama sekali tidak mau mendengarnya.
Kedua mata Miku terpejam seiring mendekatnya wajah mereka. Dan... bibir mereka berdua saling bertemu dan menempel satu sama lain untuk beberapa saat.
Dengan segera, Miku melepaskan ciumannya saat dirasa sudah cukup. Tanpa berkata apapun, gadis itu langsung berlari menuju kamar. Meninggalkan Kaito sendiri yang terdiam mematung.
Pikiran Kaito melayang-layang entah kemana. Kebigungan terus berputar-putar di kepalanya. Sampai kedua kakinya terasa begitu lemas dan membuat dirinya terjatuh. Dia terlalu bahagia, perlakuan manis dari sang istri membuat dirinya sangat bahagia. Bahkan dia sudah tidak keberatan lagi untuk mati sekarang.
Sepertinya misi Miku untuk balas dendam kepada Kaito berhasil. Walau berhasil dalam artian berbeda dan sesuai dengan yang diharapkan oleh Luka, tapi tidak peduli karena pemuda itu sudah pingsan di tempat.
Sedangkan Miku di atas juga memiliki kondisi yang tidak kalah buruk. Wajahnya sudah memerah sempurna dan mendidih. Jantungnya bedegup sampai tiga kali lebih hebat dari biasanya.
"A–A–APA YANG AKU LAKUKAN! AAAAA!" Miku berteriak kencang seperti orang gila. Melakukan hal seperti itu pada orang yang dibencinya entah kenapa terasa sangat memalukan.
Tapi Miku sudah tidak peduli lagi, yang lebih penting dia sudah berhasil melakukan pembalasan dendam. Rencana Luka sangat berhasil, walau dia tidak sadar telah ditipu oleh Luka.
"Se-sekarang waktunya..." Tiba-tiba terlintas masalah lain di pikiran Miku. "Ba-bagaimana aku harus menatap Kaito besok..."
Satu masalah selesai, lalu masalah lain datang. Atau memang sejak awal, Miku tidak pernah menyelesaikan masalah apapun. Dia benar-benar tidak bisa menatap Kaito sekarang.
"AAAAAAA!" Miku kembali menjerit karena sudah berbuat hal semacam itu. Harusnya dia tidak perlu sepanik ini atau mungkin sama sekali tidak pada orang yang dibencinya. Tapi kenapa ini terjadi?
Mungkin jika ada beberapa orang yang melihat hal ini akan kebingungan dengan keanehan Miku dan Kaito. Bahkan mungkin Tuhan pun akan bertanya-tanya, apa yang sebenarnya dilakukan oleh pasangan muda ini?
.
.
.
.
.
~To Be Continued~
Oke. Jadi bagaimana?
Sebenarnya untuk rencana awal, fic ini mau jadi One-Shoot doang. Tapi saya pikir malah jadi terburu-buru dan ndak enak dibaca lalu saya putuskan untuk menulisnya dalam beberapa chapter.
Lalu saya juga mau mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pembaca, khususnya lagi beberapa penggemar saya yang bahkan saya ndak pernah nyangka bisa punya penggemar.
Sejujurnya, sekarang saya ini hampir ndak punya semangat buat nulis karena stress. Lalu beberapa waktu yang lalu saya nyoba buka FFn lagi dan ngelihat PM di akun saya. Dan... alangkah terkejutnya ketika saya mendapat PM dari dua orang berbeda yang saya ndak tau kalo mereka adalah penggemar tulisan saya.
Jujur saya bilang, saya terharu banget bahkan saya hampir nangis karena mereka berharap nunggu buat karya terbaru saya. Ternyata di luar sana masih ada orang yang nyemangatin saya. Walau memang penggemar saya sedikit, tapi saya ucapkan beribu-ribu terima kasih buat kalian. Saya bener-bener ngehargain perasaan kalian yang sudah ngasih saya semangat lagi buat nulis.
Lagi, fic ini juga sebagai bentuk penghargaan saya kepada kalian yang mungkin masih nunggu saya buat balik lagi ke dunia FFn. Serta, ada dua orang penggemar saya lagi di grup WA yang jadi temen deket saya sekarang. Bahkan salah satunya jadi orang yang ngedampingi saya selama ini. #plakk.
Oke, sekian dulu dari saya. Saya belum bisa janji kapan update, tapi saya mohon aja do'a nya agar saya tetep bisa menulis dengan baik.
Akhir kata saya ucapkan terima kasih, dan sampai jumpa lagi.
