Harry Potter J. K. Rowling

Value by ReddishBlood

Well, mungkin sedikit peringatan untuk Out of Character, mantra-mantra yang sebenarnya tidak ada di Harry Potter dan content-content kekerasan, mature dan sebagainya.

.

.

.

.

Chapter One : White

"Sudah saatnya.."

Hermione memandangi Harry dan Ron dengan mata karamelnya. Wajah kedua sahabatnya terlihat penuh keyakinan dan keberanian. Bahkan di mata Aquamarine dan Emerald itu tak ada sedikitpun keraguan atas keputusan mereka ini. Mereka sudah siap untuk pertarungan terakhir.

Jauh di dalam lubuk hatinya, Hermione masih merasa ragu dengan semua ini. Bagaimana kalau mereka tidak berhasil? Bagaimana kalau Voldemort berhasil membunuh Harry? Bagaimana kalau-

"Tenanglah 'Mione." Lagi-lagi suara Harry mengacaukan pikiran buruknya. Dia mendongak membiarkan pandangannya teralih dari lantai Hogwarts yang berdebu menuju senyuman yang diberikan oleh pria berkacamata itu.

"Sejujurnya Harry, aku merasa tidak tenang," sahut Ron dengan memasang ekspresi ketakutan yang dibuat-buat hingga sebuah pukulan ringan mendarat di bahunya. "Aw 'Mione! Aku baru terkena kutukan di daerah itu. Jangan memperparah lukaku, aku kuatir seseorang akan menggantikan posisi ku di tim Quidditch nanti."

Hermione memutar kedua bola matanya kesal disusul sebuah cengiran kecil dari Harry.

"Merlin!" Lagi-lagi Hermione memberikan pukulan ringan di pundak pemuda berambut merah itu. "Fokus! Voldemort berada di menara Gryffindor, sesuai rencana awal kita akan melewati tangga bergerak selama 4 menit dan tiga lorong menuju menara itu." Dia berhenti sejenak untuk menarik nafas dalam -dalam. "Kita akan menghadapi tiga Death Eaters di lorong itu. Setelah mengalahkan mereka, kita memasang perisai pelindung agar tidak ada yang datang. Kemudian-"

Harry memandangi Hermione penuh arti melalui kacamata bundarnya yang dipenuhi oleh retakan kecil. "Aku akan mengalahkannya."

Ron dan Hermione mengangguk bersamaan, berusaha mengumpulkan keberanian dan menyakinkan diri mereka masing-masing.

"Kami mengandalkanmu Harry."

Sebuah senyuman kecil terlukis di wajah Harry. Dengan sebuah anggukan kecil darinya, mereka kini berlari dari Great Hall menuju tangga bergerak. Menghindari pertempuran yang terjadi di sekitar mereka dengan hati-hati.

Hermione bisa mendengar suara Ginny dan Molly Weasley ketika mereka meleparkan beberapa mantera kutukan disusul oleh suara ledakan atau suara-suara keras lainnya.

"Petrificus Totalus!"

Mereka terus berlari menuju tangga lainnya, melewati Professor Flitwick yang berhadapan dengan dua Death Eaters yang tak dikenali. Sinar-sinar berwarna merah keluar dari ujung tongkat mereka secara brutal, seakan tak ingin menunggu apapun.

Hermione menggigit bibir bawahnya . Kakinya terus berlari melewati tangga-tangga yang mulai rusak dan ledakan ada dimana-mana. Sebentar lagi Hogwarts akan hancur- sebentar lagi mereka akan kalah.

Dia semakin menggigit bibir bawahnya, berusaha menghilangkan pemikiran buruk dan keraguan dalam hatinya. Dia adalah Gryffindor. Kenapa dia tidak optimis dan berani dengan semua ini?

Mereka tidak boleh kalah. Mereka sudah berjuang sampai sejauh ini. Professor Dumbledore dan professor Snape sudah menjadi korban. Neville sudah menghancurkan Hoxcrus dengan pedang Gryffindor. Sekarang tinggal selangkah lagi. Mereka tidak boleh ragu.

Hermione memegang tongkat sihirnya semakin erat, setelah belokan ini mereka akan menemui lorong pertama.

'Protego Horibillis!'

Dia mengayunkan tongkatnya dengan cepat ketika mereka berbelok. Di tengah lorong itu salah satu Death Eaters yang dia kenal dengan nama Yaxley sudah menunggu mereka dan melemparkan kutukan pemotong kepada mereka.

Sebuah senyuman picik terlihat di wajah Yaxley ketika dia melihat trio Gryffindor hadir di depannya. Tanpa berbicara apapun, dia mengayunkan tongkatnya ke arah Harry.

"Confringo!" Harry mengayunkan tongkatnya bersamaan dengan pria itu. Membuat sihir mereka bertemu dan menyebabkan ledakan besar. "Ron!"

Ron segera mengayunkan tongkat sihirnya dan melemparkan kutukan Conjuctivitus ke arah Yaxley di tengah ledakan itu. Pria itu tak bisa menyadari kutukan Ron yang menuju kearahnya dengan cepat. Dia berusaha menangkisnya dengan tangan kanannya dan sedetik kemudian kedua matanya terasa sangat sakit seakan ditusuk oleh ribuan jarum.

Hermione tidak menyiakan kesempatan ini. Dia mengangkat tangan kanannya dan mengarahkan tongkat sihirnya sejajar dengan posisi Yaxley. "Expelliarmus!" Tongkat sihir Yaxley terpental jauh dari jangkauan tangannya, membuat pria itu berteriak kesal.

"Ayo." Mereka kembali berlari melewati Yaxley yang bergerak secara brutal tanpa arah dengan kedua matanya yang tertutup. Hermione tetap berlari menuju lorong selanjutnya, mata coklat madunya mengamati punggung kedua sahabatnya yang berlari di depannya.

Sedikit lagi dan mereka akan kembali ke masa-masa damai itu. Sedikit lagi mereka bisa menghabiskan waktu bersama di Hogwarts, tanpa memperdulikan perang dan tanpa takut untuk terbunuh.

"Protego!"

Ron merapalkan mantera pelindung ketika sebuah sinar merah melesat cepat kearahnya, menabrak prisai sihir yang ada di depan Ron dan menghantamnya seperti halilintar.

"Harry Potter.." Sebuah suara menyambut mereka dari ujung lorong. Disana Dolohov telah berdiri dengan penuh percaya diri. Memandangi mereka dengan tongkat sihir yang teracung. "Dan teman-teman kecilnya." Dia mengayunkan tongkatnya lagi dan menyerang perisai pelindung Ron.

Kali ini perisai itu tak mampu melindunginya lagi. Dalam sepersekian detik, Ron terpental jauh ke belakang, menghantam dinding batu dengan keras.

"Sekali lagi," ucap Dolohov puas dan mengayunkan tongkat sihirnya dengan gerakan yang berbeda. Hermione tahu kutukan itu. Dolohov menciptakan kutukan itu dan menggunakannya saat di kementerian sihir. Sebuah sinar kemerahan kembali keluar dari ujung tongkatnya. Kali ini jauh lebih kuat dan lebih besar, seperti pedang tajam yang melayang bebas ke target tanpa ampun.

"Protego!" Hermione mengarahkan tongkatnya ke arah Ron untuk melindunginya dari kutukan itu. Diliriknya Harry dan mengirimkan signyal bahwa dia akan menarik perhatian Dolohov . Harry mengangguk setuju dan menunggu Hermione memulai rencananya.

Hermione menarik nafas singkat dan menghembuskannya dengan cepat. Dia harus fokus dan kesempatannya sangat kecil. Dia mengayunkan tongkatnya ke arah bongkahan-bongkahan batu bekas runtuhan dinding. Merapalkan mantera pemanggil api dan membuat bongkahan batu itu diselimuti oleh api yang membara.

Digerakkannya lagi tongkat shirinya, membuat batu-batu berapi itu melayang dan menyerang Dolohov. Raut wajah pria itu terlihat serius dan mengamati gerakan batu-batu yang melayang kearahnya. Pelindung sihir juga tidak akan berguna menghadapi batu-batu ini.

"Reducto!" Dolohov memecahkan batu-batu itu menjadi berkeping-keping. Setidaknya itu bisa mengurangi efek untuk tanpa dia sadari di sela pecahan-pecahan batu itu, sebuah sinar melesat cepat mengenainya, mengenainya dan membuat sebuah tebasan dalam di dadanya.

Dolohov jatuh terduduk, darah segar mengalir keluar dari lukanya dan membasahi kemeja yang dipakainya.

Hermione sedikit merasa lega ketika mantera Sectumsempra Harry berhasil mengenai Dolohov. Dia mengamati pria itu sembari membantu Ron untuk bangkit dari posisi duduknya.

"Kalian pasti akan kalah, dan Lord Voldemort akan menang!" Dolohov tertawa keras sambil memegang dadanya. Dia menatap tajam kearah Harry dan Hermione. Setelah dia terbatuk dan mengeluarkan darah dari dalam mulutnya, pria itu terjatuh dan tak sadarkan diri.

"Bloody Hell!" Ron terbatuk dan meringis kesakitan ketika punggungnya terasa nyeri. "Sekarang aku yakin kalau aku akan melewatkan pertandingan Quidditch," ucapnya pelan sambil mengusap punggung belakangnya. " Dan jangan memukulku lagi 'Mione." Ron melirik Hermione yang sudah siap untuk memukul pundaknya untuk ketiga kalinya.

"Guys.." Harry berusaha membuat mereka untuk fokus kembali. "Kita harus cepat." Hermione dan Ron mengangguk dan mereka kembali berlari menuju lorong terakhir sebelum mereka mencapai menara Gryffindor.

"Lihat apa yang kutemukan.." Suara nyaring menggema di lorong terakhir, mereka sangat mengenal suara ini dan tentu saja kekejama, nnya. Rambut hitam kelam berombak miliknya tergerai bebas untuk membingkai wajahnya. Kulit pucat miliknya yang sangat kontras dengan gaun hitam yang membalut tubuhnya, disertai mata tajamnya yang senantiasa mengawasai gerakan mereka.

"Bellatrix.." Harry menyebutkan nama wanita itu dengan suara yang pelan. Sedangkan Hermione dan Ron tengah bersiap-siap untuk mengeluarkan perlindungan bila terjadi penyerangan mendadak.

"My Lord pasti akan senang bila aku berhasil membunuhmu!" Bellatrix tertawa senang seakan-akan dia telah berhasil membunuh Harry. Kaki jenjangnya melangkah berani mendekati Harry dan bersiap untuk menyerangnya.

"Harry, kita tidak ada waktu lagi. Cepatlah, kami akan melindungimu!" Ron berdiri di samping Harry, wajahnya yang sering terlihat bodoh itu kini menghilang digantikan oleh ekspresi serius yang jarang muncul.

"Harry.." Hermione memberikan tatapan 'Percayalah pada kami' kepada pemuda bermata hijau jernih itu. Sedangkan Harry membalasnya dengan tatapan ragu, meskipun begitu dia tetap mengangguk dan menyetujui rencana ini. Setelah mengamati Harry beberapa saat, Hermione kembali menatap Bellatrix, "Flipendo Duo!"

"Sekarang Harry!" Ron mendorong Harry untuk maju dan berlari. "Protego Horribilis!" Dia mengarahkan tongkatnya ke Harry yang mulai berlari menuju menara Gryffindor.

Bellatrix menggerakkan tongkatnya untuk menangkis serangan Hermione, "Mudblood! Kau mencuri tongkatku!" Mata hitam yang di penuhi oleh kemarahan itu tertuju pada Hermione.

" 'Mione, lindungi Harry."

Hermione mengangguk , "Fianto Duri!" Dia mengayunkan tongkatnya untuk memperkuat pelindung sihir di sekitar Harry dari kutukan-kututkan yang dilemparkan oleh Bellatrix. "Repello Inimicum!"

Bellatrix semakin geram dan menghentikan menyerang Harry. Dia membiarkan pemuda itu melewatinya dan berlari menjauh menuju menara Gryffindor.

"Incendio!"

"Aqua Eructo!" Bellatrix mengeluarkan air dari ujung tongkatnya untuk menghadapi serangan dari Ron. "Baik kalau itu mau kalian, aku akan membunuh kalian berdua!" Dia berjalan mendekati Ron dan Hermione tanpa ragu-ragu sedikitpun. Tangan kanannya terus mengayunkan tongkat sihirnya untuk mengeluarkan semua Dark Curse yang dia ingat.

"Beritahu aku, kalian ingin kukuliti hidup-hidup? Kubakar? Kupotong hingga tak tersisa? Atau langsung mati seperti kutu menjijikkan?" Bellatrix tertawa keras sepersekian detik. Di detik selanjutnya dia terdiam dan mengeluarkan sebuah senyuman penuh arti. "Ah, tepat seperti yang kuharapkan."

Hermione memperhatikan gerakan mata Bellatrix, berusaha membaca apa yang dia pikirkan dan tiba-tiba kedua mata cokelat madunya membulat. "Protego!" Dia berbalik seratus delapan puluh derajat dan membuat perisai pelindung secepat mungkin hingga dia merasakan sesuatu membentur perisai itu dengan keras.

Tepat tak jauh dari posisinya berdiri, Lucius Malfoy mengacungkan tongkatnya ke arah mereka. Mata gelapnya terlihat kosong dan raut wajahnya tanpa emosi. 'Imperius?' Hermione menaikkan sebelah alisnya.

"Caedere.." Lucius mengucapkan kutukan selanjutnya dengan suara yang pelan. Sinar berwarna ungu terang keluar dari ujung tongkatnya dan bergerak seperti gerakan menebas berkali-kali menuju Hermione. Sedangkan gadis berambut ikal itu dengan cepat membentuk perisai pelindung maksimal untuknya. Meskipun begitu, kutukan yang dilempar oleh Lucius sangat kuat, mendorong perisainya terus menerus hingga dia harus berkonsentrasi penuh untuk mempertahankannya.

"Avadra Kedavra!"

Suara lantang Bellatrix membuatnya segera melupakan perisai pelindungnya dan kutukan itu mengenai tangan kirinya. Memberikan luka sayatan dalam disana dan darah segar segera keluar disusul rasa sakit luar biasa.

Jantung Hermione berdegup dengan keras. Dia sangat yakin bahwa sinar berwarna hijau yang keluar dari ujung tongkat Bellatrix itu menuju kearah mereka. Tapi kepada siapa? Kutukan tak termaafkan itu tak bisa ditahan oleh perisai manapun dan lorong ini begitu sempit untuk menghindar.

Hermione menoleh dengan cepat kearah Ron yang berada tepat di sampingnya. Degup jantungnya semakin tidak beraturan dan dadanya terasa sesak. Tangan kanannya yang memegang tongkat sihir terlihat bergetar dan air mata mulai keluar perlahan dari ujung matanya.

"Ro- Ron?" Lelaki berambut merah itu terbaring di lantai dengan kedua mata birunya yang kosong. Tidak ada lagi semangat dan keberanian di dalam sana. Hanya tatapan kosong yang tak berisi kehidupan.

Hermione menggigit bibir bawahnya untuk mencegah isak tangis yang memberontak keluar dari mulutnya. Dengan cepat dia menghapus air mata yang menghiasi wajahnya dengan lengan bajunya.

Dia harus kuat. Dia tidak boleh kalah disini. Harry masih membutuhkan bantuannya.

"Ah- sayang sekali meleset," ucap Bellatrix kecewa dan hanya tersenyum licik saat Hermione memandanginya dengan tajam. Dia menggerakan tangannya lagi untuk bersiap melemparkan kutukan yang sama kepada Hermione.

"Fiendfyre!" Dengan cepat ujung tongkat Hermione mengeluarkan pusaran api yang semakin lama semakin membesar. Mengelilinginya dengan ganas dan berkumpul di satu titik membentuk wujud seekor elang raksasa. Dia mengucapkan matera 'Gemini' hingga elang api itu menjadi dua.

Raut wajah Bellatrix menjadi serius. Dia tahu bahwa mantera Fiendfyre tidak bisa dihilangkan dengan mantera Aquamenti apapun. Yang bisa dia lakukan adalah membuat perisai pelindung di sekitar tubuhnya ketika elang api itu menyerangnya dengan ganas.

Hermione menggerakan tongkat sihirnya lagi saat kedua elang api itu menyerang kearah Lucius dan Bellatrix dengan cepat. Dia berlari kearah Bellatrix dan mengucapkan mantera pemanggil angin. "Aeolus.."

Pusaran Angin keluar dari ujung tongkatnya, berhembus kencang ke seluruh penjuru dan membuat kobaran api yang menyerang kedua musuh itu semakin besar dan cepat.

Hermione terus berlari dibalik kobaran api itu, melewati Bellatrix dan mengambil posisi tak jauh di belakang punggungnya. Dia mengacungkan tongkat sihirnya tepat kearah wanita berambut hitam itu tanpa ragu sedikitpun.

"Avadra Kedavra!"

Bellatrix membalikkan badannya dengan cepat, sinar hijau itu sudah melesat kearahnya dan dia tidak sempat untuk menghindar. Dalam hitungan detik, sinar itu mengenai dadanya dan Bellatrix terjatuh di lantai seperti Ron.

Nafas Hermione tidak beraturan dan jantungnya masih berdegup dengan kencang. Pegangan pada tongkat sihirnya semakin erat ketika dia memandangi jasad Ron yang ada di tengah lorong. Dadanya kembali terasa sesak dan dia ingin berteriak.

Tidak, dia tidak boleh menangis saat ini.

Setelah menggelengkan kepalanya berkali-kali dan menarik nafas dalam-dalam. Dia meninggalkan lorong itu dan berlari menuju menara Gryffindor.

Apa Harry berhasil? Apa perang ini sudah berakhir? Apa mereka menang?

Kedua kaki Hermione berhenti melangkah. Hembusan nafasnya keluar dengan cepat dari mulutnya dan dapat terlihat seperti uap di udara yang dingin. Dia berdiri kaku disana seakan terkena mantera pembeku. Rasanya jantungnya akan berhenti saat itu juga.

Disana, tak jauh darinya. Harry berdiri diam dengan sebuah senyuman di wajahnya. Dia memandangi kedua telapak tangannya dengan wajah puas dan menyentuh pipinya yang dipenuh oleh debu.

"H-harry?" Ragu-ragu Hermione memanggil pria berkacama itu. Dia memutuskan untuk maju selangkah mendekatinya meski dia merasa ada sesuatu yang aneh. Matanya bergerak menganalisa sekitar untuk menemukan jasad Voldemort, namun yang dapat dia lihat hanya tongkat Elder yang berada agak jauh dari Harry.

"Ah—Mudblood."

Jantung Hermione kembali berdetak dengan cepat. Dia bisa melihat bahwa mata hijau Harry kini berubah menjadi merah seperti darah segar. Senyuman yang ada di wajahnya bukan senyuman lembut yang biasa diberikan oleh Harry kepadanya.

Tidak.

Hermione memegang tongkatnya dengan erat. Dengan susah payah dia menelan ludahnya yang tersangkut di tenggorokkan.

Mereka kalah.

"Tidak ingin menyambut temanmu?" Tawa ringan keluar dari mulut Harry. Dia berjalan mendekati Hermione masih dengan sebuah senyuman aneh di wajahnya.

"Berhenti!" Hermione mengambil langkah mundur dan mengacungkan tongkat sihirnya kearah Harry. "Kau.. bukan Harry."

"Berani sekali kau menyuruhku!"

Hermione menghindar dan membentuk perisai pelindung untuknya. Dia menggigit bibir bawahnya dan mata coklat madu miliknya melirik tongkat Elder yang tergeletak tak jauh darinya.

Hanya itu harapannya.

Dia melirik sosok Harry sejenak dan meyakinkan dirinya. Setelah menghitung mundur dalam hati, Hermione segera berlari dengan kencang. Melewati serangan Harry yang mengikuti setiap langkahnya dan mengambil tongkat Elder itu dengan cepat.

Dia memegang tongkat itu dengan erat dan mendekatkannya ke dada, berusaha melindunginya apapun yang terjadi padanya.

"Apa yang kau lakukan, Mudblood?" Dahi Harry mengerut, kedua alisnya bertemu dengan mata merah yang menatap lurus ke arah Hermione. "Berikan tongkat itu padaku."

"Tidak."

"Kau tidak bisa melakukan apapun dengan tongkat itu." Harry berjalan mendekati Hermione lagi, "tongkat Elder hanya menuruti pemilik sahnya yaitu aku."

"..." Hermione tahu itu. Dia tidak akan bisa mengendalikan kekuatan tongkat Elder bagaimanapun caranya karena dia bukan pemilik sesungguhnya. Apa yang harus dia lakukan terhadap tongkat ini? Dia tidak mungkin bisa mengalahkan Voldemort. "Tidak, perhatikan baik-baik Voldemort."

Sebuah senyuman kecil muncul di wajah Hermione. Tanpa ragu-ragu dia memegang tongkat Elder dengan kuat dan mematahkan menjadi dua.

"Mudblood tidak berharga! Berani sekali kau—" Harry menggeram dan auranya berubah menjadi lebih gelap. "Avadra Kedar-"

"Stupefy!"

Harry segera berbalik dan menangkis mantera yang dilemparkan oleh seseorang dari belakangnya. "Malfoy.." dia mendesis pelan dan mengamati sosok itu dengan kemarahan yang memuncak. "Kau ingin menghianatiku?"

Lucius Malfoy hanya terdiam dan melemparkan kutukan lainnya kearah Harry. Meski dia merasa takut dan ragu tapi dia tahu bahwa dia harus melakukan ini. "Miss Granger!"

Hermione mendongak ketika mendengar panggilan keras dari pemuda berambut pirang panjang itu. Dia mengerti bahwa Lucius menyuruhnya untuk menyerang Voldemort saat ini juga.

"Avadra Kedavra!"

Satu sinar hijau mengenai dada Lucius.

"Avadra Kedavra!"

Dan satu sinar lagi mengenai punggung Harry.

Hermione jatuh terduduk. Kedua tangannya gemetar, kedua lututnya terasa lemas dan air mata lagi-lagi keluar dari ujung matanya.

Dia membunuh Harry.

Membunuh sahabatnya.

Mereka menang, Voldemort kalah. Tapi kenapa dia tidak bisa merasa senang sedikitpun?

Ada rasa sakit luar biasa yang muncul dari rongga dadanya, menyerang hatinya dan dia merasa tak punya apapun lagi.

Orang tuanya entah berada dimana, kedua sahabatnya meninggal dan semuanya sudah berakhir.

Pikirannya kalut dan air mata terus mengalir melewati pipinya. Tanpa dia sadari sesuatu yang aneh telah terjadi. Pusaran angin terjadi di sekitar tongkat Elder yang telah patah menjadi dua. Asap hitam keluar bersama pusaran angin itu, menuju tubuh Hermione dan mengelilinginya seperti berporos pada gadis itu.

Semakin lama pusaran itu semakin berputar dengan cepat, membentuk dinding angin di sekitar tubuh Hermione dan tak akan membiarkan gadis itu pergi selangkah pun. Asap hitam itu kini menyentuh kulitnya yang memucat, memaksa masuk ke dalam tubuhnya melalui pori-pori kecil di seluruh permukaan tubuhnya.

Hermione mulai berteriak sekencang mungkin. Asap itu memberikan rasa sakit tidak terhingga di seluruh bagian tubuhnya. Setiap partikel asap itu menyentuh kulitnya, dia seakan merasa bahwa kulitnya terlepas dari tulangnya lapis demi lapis. Saat asap itu melewati pori-porinya dan masuk ke dalam tubuhnya, sakit yang dia terima benar-benar membuatnya berpikir bahwa semua tulangnya remuk dan menjadi abu.

Dia meringkuk dan terbaring di lantai batu yang keras. Asap itu masih berputar-putar dan memasuki tubuhnya tanpa berhenti. Memberikan rasa sakit melebihi kutukan Crucio. Kedua matanya terpejam sangat erat dan darah keluar dari ujung mulutnya akibat menggigit bibir bawahnya terlau keras.

Dia tidak tahan dengan rasa sakit ini. Dia tidak bisa bertahan lebih lama lagi. Suaranya sudah serak dan semakin lama semakin menghilang. Yang bisa dilihat hanyalah kegelapan tanpa ujung dan rasa sakit yang menjalar di seluruh tubuhnya luar dan dalam.

Dalam hatinya, dia berharap bahwa saat dia membuka mata nanti. Dia bisa melihat wajah kedua sahabatnya kembali, mendengar suara mereka dan bisa menjalani hari-hari seperti biasa.

Hanya itu.

(===)

Hermione membuka kedua matanya dengan cepat dan mendapatkan rasa nyeri luar biasa di tubuhnya. Kepalanya terasa pusing dan luka di tangan kirinya masih terasa sakit. Dia bangkit dari posisi tidurnya dan berusaha melihat keadaan sekitar. Langit sudah gelap dan bulan bersinar dengan terang.

Aneh.

Kenapa tidak ada seorangpun yang membangunkannya? Setidaknya mereka bisa membawanya ke hospital wing dan membuatnya merasa lebih baik.

Hermione menghela nafas sejenak untuk menenangkan pikirannya. Namun tiba-tiba sebuah pikiran buruk menghampiri otaknya.

Apa jangan-jangan semua orang sudah meninggal dan hanya dia yang tersisa?

Tidak mungkin.

Dia menggelengkan kepalanya cepat, berusaha menghilangkan pemikiran buruknya. Hermione yakin bahwa teman-temannya tidak akan mati semudah itu.

Mati.

Mata cokelat madu itu segera bergerak untuk mencari sosok Harry yang terbaring agak jauh darinya. Dia menolehkan kepalanya ke seluruh penjuru namun nihil. Dia tidak menemukan siapapun di sekitarnya, bahkan tubuh Lucius ikut menghilang.

Apa orang-orang sudah mengangkat jenasah mereka? Tapi kenapa mereka meninggalkan dirinya sendirian disini? Apa mereka sedang menjahilinya?

Hermione mengerutkan dahinya. Kalau mereka melakukan itu, Hermione akan memastikan bahwa mereka tidak akan bisa tertawa seumur hidup.

"Siapa disana?"

Sebuah perasaan lega menghampiri Hermione ketika dia mendengar sebuah suara dari arah tangga menuju menara Gryffindor. Dia mendongak dan segera berdiri dari posisi duduknya, mengabaikan rasa sakit di kedua kakinya dan membuat sebuah senyuman di wajahnya.

"Syukurlah, kupikir kalian melupakanku," sahut Hermione agak kesal dan berjalan menuju sumber suara itu. Dia menoleh kearah tangga dan menemukan seorang pria yang terasa asing baginya.

Dia tidak pernah melihat pria ini seumur hidupnya.

Mata cokelat gelap yang lebih menyerupai langit malam. Rambut hitam legam yang tertata rapi, alis yang tajam, hidung yang mancung dan bibir yang tipis. Tak ketinggalan pula dengan tulang pipi khas membentuk wajahnya yang terkesan sangat bangsawan.

Hermione mengamati lebih lanjut dan menyadari bahwa pria itu memakai seragam asrama Slytherin. Dan dia sangat yakin bahwa tidak ada murid Slytherin yang memiliki wajah Patrician seperti pria di depannya ini –kecuali Draco-.

"Siapa kau?" Pertanyaan itu keluar dari mulut Hermione dengan ragu-ragu. Dia bisa melihat bahwa pria di depannya merasa bingung meskipun mata kelam itu masih menatapnya bosan.

Sebuah senyuman kecil muncul di wajah pemuda itu, membuat Hermione sedikit terkejut. "Seharusnya aku yang bertanya hal itu padamu."

Suaranya terdengar berat dan dewasa. Tidak ada keraguan dan terdengar sangat yakin.

Pria itu sekarang menganalisa Hermione dengan seksama, "Kau terluka, Miss."

Hermione segera melirik lengan kirinya dan mengangguk kecil. "Ya, hanya luka kecil."

"Menurutku itu bukan luka yang kecil, Miss." Dia membalas perkataan Hermione dengan nada yang sangat sopan. Masih dengan sebuah senyuman di wajahnya, dia sedikit menyingkir dari tangga. "Tapi kalau kau merasa itu bukan luka yang berarti, kurasa kau tidak akan keberatan untuk ikut denganku menghadap kepala sekolah."

Kini giliran Hermione yang mengerutkan alisnya, "kepala sekolah?" Bukankah Hogwarts belum mempunyai kepala sekolah yang resmi saat ini?

"Profesor Dippet pasti senang menerima tamu malam ini."

Sejujurnya, Hermione ingin memutar kedua bola matanya saat mendengar nada bicara pria di depannya. Dia tahu bahwa pria itu hanya berpura-pura sopan dan semua yang dia lakukan hanya akting belaka.

Tapi— tunggu dulu. Profesor Dippet?

"Profesor Dippet?" Kedua mata Hermione membulat ketika pria di depannya mengangguk. "Profesor Dippet adalah kepala sekolah Hogwarts— ah maksudku kepala sekolah Hogwarts adalah.. dia?"

Lagi-lagi pria itu mengangguk.

Merlin! Hermione yakin bahwa Profesor Dippet adalah kepala sekolah Hogwarts sebelum Profesor Dumbledore menggantikannya. Pemikirannya tak mungkin salah, dia sudah membaca Hogwarts: A History berkali-kali dan menghapalkannya di luar kepala.

"Kau tidak bercanda kan?"

Pria di depannya terdiam dan memandanginya beberapa saat. Dia tertawa kecil dan kembali tersenyum. "Maaf, tapi aku bukan tipe orang yang suka bercanda. Apalagi dengan orang asing."

"Sekarang tahun berapa?"

"Hm.. 1944?" Pria itu menjawab pertanyaan Hermione dengan nada ragu. Dia merasa bahwa pertanyaan gadis di depannya ini benar-benar aneh. Well, selama ini dia tidak pernah menemukan orang yang bertanya 'sekarang tahun berapa?' seumur hidupnya.

"1944?" Hermione mengulangi jawaban pria itu dengan nada yang berbeda. Bagaimana mungkin sekarang tahun 1944? Apa yang terjadi? "Apa Profesor Dumbledore hidup— maksudku, ada? Aku ingin berbicara dengannya."

"Hm.." Pria itu lagi-lagi terdiam dan mengamati sosok Hermione dengan teliti. "Kau tamunya?"

"Ya." Hermione berbohong dan berusaha memasang wajah meyakinkan. "Ada hal penting yang harus kusampaikan."

Senyuman sopan itu kembali hadir di wajah pria di depanya. "Baiklah, silahkan ikuti aku."

Hermione mengangguk dan melangkahkan kakinya menuruni tangga. Dia berjalan di belakang pemuda itu sembari memikirkan apa yang telah terjadi padanya.

Seingatnya, ada asap hitam yang mengelilinginya dan masuk ke dalam tubuhnya lalu dia pingsan dan terbangun di tahun 1944. Oke, ini gila.

Kini mereka mencapai lorong pertama setelah menuruni berpuluh-puluh anak tangga. Hermione ingat bahwa lorong ini seharusnya penuh dengan bongkahan batu dan reruntuhan. Tubuh Bellatrix dan... Ron.

Namun lorong ini terlihat normal dan tidak ada kerusakan sekecil apapun. Semuanya terlihat biasa dan pada tempatnya.

Dia yakin kalau dia tidak mungkin bermimpi. Rasa sakit di seluruh tubuhnya adalah bukti nyata bahwa dia ada di alam nyata. Dan-

"Oh?" Sebuah suara lain terdengar di telinga Hermione. Dia mendongak dan melihat seorang gadis berjalan kearah mereka dengan cepat. "Siapa dia?"

"Tamu Profesor Dumbledore." Gadis itu mengangguk mengerti ketika mendengar jawaban pria yang menemukan Hermione.

"Aku Rose Cornelii." Hermione memperhatikan gadis itu dengan seksama. Well, dari nama keluarga dan seragam Slytherin yang dia pakai, gadis ini pasti pure-blood. "Dan dia adalah Tom Riddle. Kami adalah prefect dari asrama Slytherin."

"..." Hermione menoleh untuk melihat pria yang ada di depannya sekali lagi. Matanya kembali membulat dan bahkan dia tidak menyadari bahwa dia sudah mundur satu langkah dari tempatnya berdiri. "Tom Riddle?"

Rose mengangguk. "Kau mengenal Riddle? Er- ya semua orang mengenal Riddle karena dia adalah murid kebanggan Hogwarts."

'Tentu saja aku mengenalnya!' Teriak Hermione dalam hati. Pria ini telah membunuh banyak orang, membuat hidupnya berantakan dan membuatnya kehilangan teman-temannya. Pria ini Voldemort!

"Kau terlau memuji, Cornelii." Tom tersenyum kecil menanggapi perkataan Rose. "Daritadi kau belum memberitahukan namamu, miss."

Hermione menggigit bibir bawahnya, dengan suara pelan dia menyebutkan namanya. "Hermione."

"Aku rasa namamu bukan hanya terdiri dari satu kata." Perkataan Tom membuatnya mendongak dan menggerutu dalam hati. Kenapa Voldemort muda ini benar-benar menyebalkan?

Hermione berpikir keras. Apa dia harus menyebutkan nama aslinya? Dua orang di depannya adalah Slytherin dan satu orang diantara mereka adalah pembenci muggle. Sedangkan nama keluarganya sangat identik dengan nama muggle. Lagipula, kalau dia menyebutkan nama aslinya, apa itu akan merusak alur waktu?

"Kurasa, aku harus mengetahui namamu sebelum mengantarkanmu ke Profesor Dumbledore."

"Aku.. aku keponakannya." Hermione tidak percaya dengan apa yang barusan dia katakan. Bloody Hell! Barusan dia berbohong dengan menyamar sebagai keponakan Profesor Dumbledore!

"Hm.. Hermione Dumbledore?"

Hermione mengangguk pelan. "Wow! Aku tidak pernah mendengar bahwa Profesor Dumbledore mempunyai keponakan." Rose menepuk kedua tangannya antusias sedangkan Tom hanya memandanginya dengan tatapan yang tidak dia mengerti. "Biar aku yang mengantarkannya, Riddle."

Tom mengalihkan pandangannya menuju Rose. Dia terlihat berpikir sejenak dan mengangguk menyetujui tawaran gadis itu. "Maaf merepotkanmu, Cornelii."

"Tidak apa-apa, aku senang bisa membantumu!" Rona merah muncul di kedua pipi Rose membuat Hermione memutar kedua bola matanya. Bisa-bisanya gadis itu merona hanya dengan perkataan maaf dari seorang penjahat?

Oh kau lupa Hermione. Saat ini Tom Riddle belum menjadi penjahat.

Hermione hanya menyipitkan kedua matanya dan memijat kecil pangkal hidungnya untuk menghilangkan rasa pusing di kepalanya.

"Sebaiknya kita segera pergi, kurasa Profesor Dumbledore tidak sabar untuk bertemu denganmu!" Rose tersenyum kearah Riddle dan segera berjalan menuju lorong lainnya.

Hermione melirik kearah Tom sekilas sebelum akhirnya dia mengikuti Rose dengan berjalan di belakangnya.

Mata gelap Tom memperhatikan mereka berjalan menjauhinya hingga akhirnya mereka tak terlihat setelah berbelok ke lorong lainnya. Senyuman sopannya berubah menjadi sebuah senyuman penuh arti dan warna merah kini mendominasi kedua matanya.

"Hermione Dumbledore.."

To be Continue

Author's Note : Oke, aku tahu kalau pair ini sangat gak masuk akal. Tapi aku menyukainya! Mereka berdua sama-sama orang yang pintar dan cemerlang hahahaha. Jujur saja mengenai mematahkan Elder Wand itu aku dapatkan dari sebuah fic English. Well, aku rasa memakai time turner itu tak bisa kembali hingga ke tahun 1944. Jadi aku pakai teori ini~ ahahaha

Kenapa aku menaruh ini di rated M? Oh.. kalian pasti sudah tahu kenapa~ ahahaha Selain itu, aku akan membuat Tom menjadi so DARK. #ketawanista.

Semoga kalian menyukainya!