Chapter 1
Kamar tersebut adalah kamar yang luas untuk ukuran kamar anak. Yang membedakan kamar tersebut dengan imej kamar anak-anak lainnya hanyalah satu hal. Mainan? Walau pun banyak dari mainan disana merupakan mainan dengan harga yang mungkin bisa untuk biaya hidup seorang mahasiswa selama sebulan, namun tidak ada yang aneh dari mainan-mainan tersebut. Sama seperti kamar anak lainnya, kamar satu ini tetaplah dipenuhi mainan. Buku cerita anak? Tentu saja ada. Banyak, malah. Jumlahnya sedikit lebih banyak dari buku-buku yang disediakan orang tua pada umumnya. Untuk anak penghuni kamar satu ini, orang tuanya telah memutuskan akan mendidik anaknya dengan dikelilingi oleh buku, sehingga anak itu bisa tumbuh besar dengan tidak membenci buku. Kasur, lemari, meja belajar pun tidak ada yang salah, hampir sama dengan kamar anak pada umumnya.
Yang begitu aneh adalah kenyataan bahwa kamar ini selalu rapi setiap harinya. Jika sedang bermain pun, anak penghuni kamar akan bermain dengan sangat rapi. Bahkan tidak seperti teman-teman TK-nya yang jika mengeluarkan mainan selalu dengan cara ditarik sehingga banyak benda yang akhirnya berhamburan, anak ini mengeluarkannya dengan hati-hati seakan tiap mainan adalah sepatu kaca yang super rapuh dan gampang pecah.
Mungkin ini adalah didikan orangtuanya yang begitu ketat, sehingga anak tersebut bersikap sangat disiplin, bahkan terlalu disiplin untuk anak seusianya. Namun tenang saja, ini tidak seperti kebanyakan cerita tentang orang tua yang kejam dan terlalu keras dalam mendidik anaknya sehingga cerita berakhir dengan tragedi.
Dalam kisah ini, si orangtua masihlah berlaku seperti orangtua yang baik. Ia menemani anaknya walau badan sudah letih, tahu kalau waktunya bersama dengan sang anak tiap harinya tidaklah banyak. Pada jam-jam seperti ini, si orangtua akan menemani anaknya menjemput tidur malam dengan membacakan salah satu cerita dari ratusan buku cerita yang dia belikan. Seperti biasanya, si orangtua akan mengambil satu buku secara acak dari lemari buku di kamar anaknya tersebut, lalu berjalan mendekati sang anak yang sudah siap dengan kepala yang diletakkan di atas bantal. Selimut sudah menutupi sebagian tubuhnya. Dia hanya perlu menunggu orangtuanya untuk duduk di sampingnya dan membacakan cerita sampai dia tertidur.
"Si tudung merah…" Suara menenangkan tersebut terdengar tepat di samping sang anak, menandakan bahwa si orangtua telah menempatkan dirinya di samping tubuh anaknya. "Cerita yang bagus juga. Cerita ini sebenarnya terkenal, hanya saja papa belum pernah membacakannya untukmu."
Mata bulat sang anak mengerjap. Dia merasa sudah familiar dengan judul tersebut. "Tapi Nagato sudah tahu ceritanya, papa," protesnya.
Si ayah mengacuhkan bukunya untuk sementara. Dia melirik ke arah sang anak yang menatapnya dengan mata berbinar kepolosan.
"Papa tahu kau tidak mungkin membaca ini sendirian."
Bukannya si ayah ingin meragukan anaknya sendiri. Tidak. Nagato sudah berumur lima tahun dan sudah bisa membaca walau pelan-pelan dan harus dieja. Tapi karena itulah si ayah tahu benar Nagato tidak mungkin membaca bukunya sendirian. Dia tidak suka membuang terlalu banyak waktu untuk membaca satu buku cerita pelan-pelan. Pelayan di rumah Nagato pun tidak mungkin menyentuh buku-buku yang dibelikan si ayah, karena buku tersebut eksklusif hanya untuk pasangan ayah-anak pemilik rumah. Quality time mereka adalah mutlak dan tidak dapat diganggu siapapun.
"Nagato sudah dibacakan ceritanya tadi di TK." Putra yang satu itu sedikit menggembungkan pipinya kesal. "Tapi tahun depan Nagato pasti sudah bisa baca semua sendiri."
Dengusan geli keluar dari hidung si ayah. Namun ia dengan cepat langsung mengusap surai kecokelatan putranya itu. "Bagus. Papa pegang ucapanmu."
"Tapi nggak apa, deh, kalau papa mau bacain cerita ini." Nagato mengeratkan pegangannya pada selimut yang menutupi tubuhnya. "Habis, Naru-sensei bilang dia suka cerita ini. Nagato pengen hapal biar nanti bisa cerita-cerita sama Naru-sensei."
Mendengar nama tersebut, alis si ayah terangkat. "Naru-sensei? Terakhir papa ke TK-mu, tidak ada guru yang bernama Naru."
"Guru baru! Namanya Naruto-sensei. Tapi karena kepanjangan, Nagato panggil Naru-sensei aja."
Getaran misterius terasa di badan si ayah. Satu orang yang sangat familiar baginya dan memiliki nama yang sama dengan nama yang baru saja disebutkan putranya itu kembali hadir dalam ingatannya. Orang itu pun memiliki cita-cita ingin menjadi guru TK. Apa mungkin…
"Naruto Namikaze?" tanya si ayah, membuat sang anak berjengit kaget. Matanya membulat lebar, memandang si ayah dengan takjub.
"Kok papa bisa tahu? Papa hebat!" pujinya.
"Papa tahu segalanya, Nagato." Manik hitamnya meredup, memandang anaknya dengan penuh kasih sayang.
"Bahkan papa tahu tentang sensei barunya Nagato?" Mata si anak tidak henti-hentinya membinarkan kekaguman pada sosok si ayah yang memang adalah idolanya.
"Tentu tahu." Bibir tipis si ayah melukiskan sebuah senyuman. "Sangat tahu."
(눈_눈)(눈_눈)(눈_눈)
Naruto Namikaze sedang berolahraga kecil-kecilan. Sedari tadi dia membungkukkan badannya kepada setiap orang tua yang sedang menjemput anak mereka. Hei, bagi Naruto, membungkukkan badan berkali-kali sudah termasuk olahraga. Itu adalah olahraga yang sangat menguntungkan karena selain bisa untuk menggerakkan tubuh, olahraga kecil tersebut termasuk bagian dari pekerjaannya sebagai seorang guru TK.
Dapat menjalankan profesi yang telah dia idam-idamkan sejak kecil merupakan sesuatu yang sangat spesial bagi Naruto. Karena itu, seberat apa pun pekerjaan yang harus dia lakukan, Naruto sudah bertekad akan bersikap profesional dan tidak menyerah.
Tak perlu waktu yang lama untuk membuktikan keprofesionalan yang dia miliki.
"Papa!" Sosok kecil berambut merah yang suaranya sudah Naruto hafal itu kini berlari dari arah kotak pasir menuju ke arah Naruto. Namun matanya memandang lurus ke depan dengan penuh binar bahagia. Tidak langsung menggamit tangan orang tuanya seperti anak-anak lain, anak satu ini malah berdiri di samping Naruto dan memegang tangannya. Sementara itu, sosok yang tadi dipanggil sebagai papa telah sampai tepat di hadapan Naruto.
Sekilas, Naruto tahu sosok di depannya itu sempat membelalakkan matanya kaget begitu memasuki area TK dan melihatnya.
"Naru…"
"Selamat siang," potong Naruto cepat. Dia harus berbicara sebelum sosok di depannya berbicara yang tidak-tidak. "Anda pasti ayah dari Nagato-kun. Terima kasih telah menjemputnya hari ini. Biasanya saya melihat Nagato-kun dijemput oleh orang lain yang kata Nagato-kun adalah asisten Anda. Namun saya senang Nagato-kun terlihat gembira saat tahu Andalah yang menjemputnya."
"Nar…"
"Ah, maaf, saya belum memperkenalkan diri sehingga mungkin Anda heran melihat saya disini. Saya Naruto Namikaze, guru yang baru dua minggu lalu mengajar di TK ini. Mohon bantuannya mulai dari sekarang." Naruto membungkukkan badannya dengan sopan.
"Naru-sensei, papa bilang papa tahu Naru-sensei lho!" Tangan kanan Nagato telah meraih tangan ayahnya, sementara tangan kirinya masih ia gunakan untuk menggamit tangan Naruto.
Naruto hanya bisa tersenyum sambil memandang Nagato. "Oh ya?"
"Benar! Kemarin papa bahkan tahu nama lengkap Naru-sensei sebelum Nagato menyebutnya!" Nagato dengan heboh menceritakan betapa hebatnya ayahnya itu, bisa menebak seperti cenayang. "Benar, 'kan, papa?"
Si ayah melirik Nagato, tidak sanggup untuk menghilangkan binar yang ada di matanya. "Benar." Dia mengangguk.
"Kalau begitu, maafkan saya." Naruto membungkukkan badannya lagi. "Maaf, saya malah tidak tahu kalau Anda mengetahui identitas saya padahal saya belum mengenal Anda. Yang saya tahu hanyalah Anda adalah ayah dari Nagato-kun."
"Sasuke Uchiha," sahut sosok itu cepat. "Aku adalah Sasuke Uchiha, ayah dari Nagato Uchiha."
Naruto memberikan senyumnya. "Kalau begitu, salam kenal, Uchiha-san."
Your Little Family and I
Pairing: Sasunaru, Sasumen
Genre: Romance, Family, Drama
Rating: T-M
Warning: Yaoi, Boys Love, MPREG, typo, cliché story, AU, etc
Don't read this if you don't like the plot, the story, the character, or the pairing.
I'm sorry, but I won't accept any flame.
Naruto ⓒMasashi Kishimoto
Enam tahun lalu…
Berpacaran selama lebih dari lebih empat tahun dengan seorang Sasuke Uchiha telah membuktikan bahwa sesungguhnya Naruto adalah seorang pemuda yang tidak dapat diremehkan. Siapa sangka pemuda ugal-ugalan yang suka seenaknya sendiri setiap saat ternyata juga mampu memenangkan hati sang murid teladan sekolah?
Tak hanya itu, si pemuda urakan itu bisa membuat si murid teladan tersebut menyalahgunakan kekuasaannya sebagai mantan ketua OSIS untuk membuat para 'pengikutnya' membantunya melamar si pemuda di hari kelulusan mereka.
Naruto tak pernah menyangka kalau dia akan diculik kekasihnya ke atap setelah upacara kelulusan selesai, untuk melihat kejutan besar dari kekasihnya itu. Di lapangan, murid-murid telah berbaris membentuk kata-kata 'Will you marry me?', membuat para guru yang berada di lantai satu hanya bisa mengernyit tidak paham sewaktu murid-murid mereka mendadak berbaris tanpa adanya arahan maupun sempritan peluit.
Di tahun ketiga mereka berpacaran, Naruto Namikaze telah dilamar oleh Sasuke Uchiha.
Tentu tidak berarti mereka langsung menikah setelah lulus SMA. Sasuke hanya ingin menyematkan status 'tunangan' kepada kekasihnya itu. Dia tahu benar kalau kehidupan kuliah tidaklah sepolos kehidupan SMA. Tambah banyak lagi keliaran yang akan mereka lihat disana. Ada baiknya kalau Sasuke lebih mengukuhkan hubungannya dengan Naruto sebelum terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Dengan alasan yang sama, Sasuke akhirnya 'menculik' Naruto untuk tinggal bersamanya selulus SMA. Sebuah apartemen kecil yang tidak terlalu jauh dari universitas Sasuke maupun universitas Naruto dijadikan pilihan utama yang langsung disetujui kedua belah pihak. Dari universitas Sasuke, hanya perlu sekali ganti kereta dan sedikit jalan kaki. Sedangkan dari universitas Naruto, perlu dua kali naik kereta dan tidak perlu jalan kaki terlalu banyak karena universitas ada tepat di seberang stasiun. Stasiun terdekat ditempuh dengan lima menit berjalan kaki, dan supermarket yang cukup besar ada di depan stasiun persis. Tempat yang lumayan strategis, bukan?
Orangtua Sasuke dan Naruto yang ada di luar Konoha pun mendukung-mendukung saja. Mereka sudah tahu segalanya karena hubungan anak-anak mereka sangatlah terbuka. Fakta bahwa keduanya merupakan kaum minoritas yang bisa saja mendapatkan celaan dari masyarakat tidaklah membuat para orangtua itu membenci anaknya. Bahkan mereka pun terkadang singgah di apartemen Sasuke dan Naruto sewaktu mereka berkunjung ke Konoha. Tapi tentu saja di balik semua itu, awalnya Naruto dan Sasuke dengan tanpa menyerah berjuang untuk meyakinkan kedua kepala keluarga Uchiha dan Namikaze kalau mereka menjalin hubungan yang benar-benar serius. Hubungan mereka dari awal bukanlah sekedar coba-coba, tapi mereka berdua langsung memiliki pandangan akan masa depan yang sama.
Tidak masalah kalau memang belum ada yang bisa benar-benar melegalkan mereka, toh walau tidak terikat hubungan secara hukum, mereka sudah seperti sebuah keluarga kecil yang akan menapaki kehidupan bersama.
Semua memang berjalan dengan sangat baik, sampai akhirnya tiba saat dimana Sasuke harus merelakan kepergian Naruto. Bukan untuk selamanya, hanya selama tiga bulan saja. Mereka yang biasanya selalu bersama akhirnya mau tidak mau belajar untuk terpisah sementara karena Naruto mendapat kesempatan untuk mengikuti program pertukaran sepanjang musim gugur di negara lain, tepatnya di kota Kumo. Sementara Sasuke yang dengan semena-menanya mengatakan akan menyusulnya, ternyata harus tetap tinggal di Konoha karena masih harus tetap kuliah. Program pertukaran baru akan dapat dia jalani pada semester depan. Tentu saja tidak ada gunanya, bukan?
Naruto sendiri berangkat dengan hati yang gelisah. Dia senang mendapat kesempatan untuk berkunjung ke Kumo dan mengamati pendidikan disana. Namun hatinya entah kenapa merasa tidak rela meninggalkan Sasuke sendirian. Karena itulah, akhirnya dia memutuskan untuk tidak berlama-lama disana. Dua minggu sebelum murid pertukaran lainnya pulang ke negara masing-masing, Naruto telah undur diri dari Kumo dan cepat-cepat pulang ke apartemen yang dia tinggali bersama Sasuke. Tentu saja dia membuat surprise untuk kekasihnya itu dengan tidak mengabarinya.
Sesampainya di apartemen, Naruto menyingkirkan semua bukti yang menunjukkan bahwa dia telah pulang. Dia sendiri lalu bersembunyi di kamar Sasuke, kamar yang terkadang dia tempati bersamanya. Jangan berpikiran kotor dulu. Mereka hanya tidur di kasur yang sama. Sudah ada perjanjian antara Naruto dan Sasuke kalau Naruto tidak ingin disentuh sebelum umur dua puluh tahun, yang artinya Sasuke harus menunggu sampai tahun depan, karena Naruto baru saja berulangtahun ke-19. Sasuke setuju saja. Selama dia bisa bersama dengan orang yang dia cintai itu, tentu saja nafsu pun bisa dia tahan, bukan?
Kamar dikunci dari dalam oleh Naruto setelah memastikan bahwa di luar tidak ada tanda-tanda bahwa ruangan baru saja dimasuki orang. Pintu pun sudah dia kunci lagi agar Sasuke tidak curiga nantinya. Dia tidak sabar menanti seperti apa reaksi Sasuke waktu pulang nanti. Mungkin satu jam lagi? Ah, tidak apa-apa, toh, Naruto bisa tidur sejenak di kasur kekasihnya itu.
Namun ternyata dia ketiduran sampai hampir dua jam. Tidak ada tanda-tanda bahwa Sasuke telah memasuki kamar. Namun yang membangunkannya sendiri adalah suara sang kekasih…
… yang sedang bersuara berat dan menyebut sebuah nama yang cukup familiar bagi Naruto.
Ditambah dengan suara lain yang bisa disangkutpautkan dengan nama yang familiar tadi.
Setelah hening selama beberapa detik sambil menetralkan pandangan matanya, Naruto menempelkan telinganya di pintu untuk memastikan dia tidak salah dengar. Yakin dengan pendengaran dan tebakannya, Naruto dengan cepat membuka pintu dengan kuncinya dan berjalan selangkah agar dapat melihat dengan lebih jelas apa yang sedang terjadi di ruang tengah apartemen tersebut.
Dua sosok yang familiar sedang bergelut di atas sofa. Seseorang yang dia kenal sedang berada di bawah tubuh kekasihnya tanpa sehelai benang pun. Kakinya diangkat oleh kekasihnya dan diletakkan di atas pundak kiri kekasihnya. Kekasihnya sendiri hanya mengenakan celana yang telah melorot. Sekilas, Naruto dapat melihat cairan putih kental yang mengalir di selangkangan seseorang tersebut serta membasahi celana kekasihnya. Kelihatannya dua orang tersebut terburu nafsu sehingga mereka langsung melakukannya tanpa perlu ranjang. Mata Naruto menatap intens kedua orang tersebut.
Sasuke Uchiha dan…
Menma Uzumaki.
Teman sekelasnya sewaktu SMA, sekaligus sepupu jauhnya dari pihak sang ibu. Sempat dijauhi oleh murid-murid setelah rahasianya akan tubuhnya yang sedikit berbeda dari para lelaki lainnya diketahui oleh para murid. Beruntung, SMA tersebut memiliki ketua OSIS yang disegani dan tidak mentolerir bullying bernama Sasuke Uchiha. Kisah cinta seorang Menma lalu dimulai dari adegan penyelamatannya oleh Sasuke. Kisah cinta yang akhirnya berakhir tragis karena dia harus patah hati sebelum sempat menyatakan cinta, sang Uchiha telah dimiliki oleh orang lain. Walau cinta tersebut tak terbalas, sudah jadi rahasia umum kalau seorang Menma tetap memendam rasa pada seorang Sasuke.
Dan kali ini nampaknya terjadi perubahan plot mendadak, dimana cerita tragedi tersebut berakhir bahagia. Namun, nampaknya cerita ini akan menjadi sebuah tragedi bagi pihak lain.
(눈_눈)(눈_눈)(눈_눈)
"Aku tidak ingin memaksamu untuk mendengar penjelasanku, Naruto."
"Dan aku tidak pernah memaksamu untuk menjelaskan, Sasuke."
Situasi yang sangat canggung, dimana Sasuke Uchiha masih bertelanjang dada dengan Menma Uzumaki di sebelahnya, mengenakan pakaian acak-acakan karena dipakai terburu-buru. Sedangkan Naruto Namikaze yang berlabel sebagai kekasih- ah, tunangannya, malah duduk di hadapan mereka.
"Mataku telah melihat semuanya. Cukup jelas kejadian apa yang sedang terjadi di sini."
"Silakan tampar aku, pukul aku sekeras yang kau mau." Dengan yakin Sasuke malah menyediakan dirinya untuk disiksa oleh Naruto. Toh memang dialah pihak yang bersalah di sini. Namun Naruto tak bergeming sedikit pun. Yang lebih menyiksa adalah tatapan matanya yang terus menghujam ke arahnya dan sosok yang sedang ketakutan di sampingnya.
"Untuk apa lagi aku menampar dan memukulmu? Toh tamparan dan pukulan tidak akan melenyapkan fakta kalau kau bercinta dengan orang lain yang bukan tunanganmu," sahut Naruto dengan tenang, namun sinis.
"Bagaimana bisa aku bercinta dengan tunanganku kalau dia saja menolak disetubuhi?" balas Sasuke dengan tenangnya.
"Dan karena itu kau mencari pelampiasan lain, pelampiasan nafsumu? Melibatkan Menma untuk melakukannya denganmu meski tanpa ada rasa cinta darimu kepadanya?" Setiap ucapan yang dilontarkan Naruto diucapkan dengan tenangnya, seakan tidak terjadi sesuatu yang menghebohkan.
"Aku tahu dia mencintaiku." Sasuke berucap. "Kita sudah pernah berjanji ingin suatu hubungan yang terbuka satu sama lain. Karena itu aku akan mengatakan dengan jujur kalau bukannya tidak ada cinta sama sekali untuk Menma."
Keheningan melanda ruangan tersebut selepas satu kalimat itu meluncur dari mulut seorang Sasuke. Naruto tidaklah bodoh. Meski pun dia bukanlah murid unggulan yang pintar, dia sangat bisa menganalisa situasi dan kata-kata. Kalimat yang barusan dikeluarkan Sasuke merupakan sebuah kalimat berisi pernyataan negasi. Negasi dari pernyataan bahwa Sasuke tidak memiliki rasa cinta ke Menma.
"Menma hamil. Sekitar satu setengah bulan."
Awal dari rasa cinta yang tumbuh di dalam hati Menma kepada Sasuke adalah ketika Sasuke membelanya saat dia, seorang hermaprodit, di-bully oleh para siswa lain yang merasa risih dengan keberadaannya. Sekarang, status hermaprodit yang dimiliki Menma jugalah yang membuat cintanya yang selama ini bertepuk sebelah tangan menjadi bersambut.
"Aku frustasi setelah kau tinggalkan." Sasuke memulai ceritanya, sementara tidak ada pergerakan berarti dari dua orang lain yang ada di sana. "Aku lalu diajak oleh Suigetsu pergi ke acara perkumpulan dengan anak-anak komunitas sulapnya. Kukira itu akan jadi sebuah perkumpulan biasa dengan sulap sebagai bahasannya. Ternyata Menma juga sedang ada disana karena teman baiknya adalah anggota komunitas tersebut. Akhirnya sementara mereka bercakap-cakap, kami juga bercakap-cakap." Sasuke sedikit mengambil interval untuk mengambil udara. "Ternyata kami dilibatkan di acara minum-minum…"
Dari sini Naruto mulai paham akan alur yang mungkin akan dikeluarkan oleh Sasuke sebagai alasannya.
"Melihat tatapanmu itu, tampaknya kau sudah bisa menebaknya." Sasuke mengulas senyum tipis. Namun Naruto tetap terdiam, menunggu semua jawaban keluar dari mulut Sasuke sendiri. "Kami mabuk, terbawa nafsu. Saat itu jujur saja aku sedang tidak bisa menahan diriku sendiri. Mungkin aku lelah menunggu kesediaanmu untuk kusentuh, Naruto. Kita sudah lama berpacaran, tapi yang terjauh yang kita lakukan hanyalah saling memberi tanda di leher."
Seorang Menma yang notabene bukanlah seorang Naruto Namikaze pun bisa merasakan kalau kalimat-kalimat terakhir Sasuke tadi sungguh menusuk dan rasanya terkesan memojokkan. Namun target yang dituju oleh kalimat-kalimat tersebut malah tetap memasang ekspresi yang sama dengan sebelumnya. Dia bahkan tidak menampik maupun membantah dan membalas kalimat Sasuke tadi. Siapa sangka kalimat panjang yang bisa dikeluarkan Sasuke malah terkesan menyerangnya seperti itu?
Melihat sang tunangan tidak merespon, Sasuke melanjutkan penjelasannya. "Seperti yang dapat diduga, kami akhirnya bercinta," ungkapnya frontal. "Setelah itu, kami masih saling bertemu dan terkadang melampiaskan nafsu kami, sampai akhirnya kurang lebih seminggu lalu Menma memberitahuku bahwa dia hamil. Aku telah menemaninya pergi ke dokter dan mendapatkan bukti yang kuat kalau ucapannya memang benar. Menma mengandung anakku. Usianya sekarang sekitar satu setengah bulan."
Kali ini barulah Sasuke dan Menma dapat melihat kalau Naruto bereaksi. Tangannya yang dia taruh di atas lututnya mengepal, seperti sedang menahan emosi. Namun ekspresinya tidak berubah sama sekali. Bibir tipis itu pun akhirnya membuka lagi.
"Lalu kau memutuskan untuk menjalin hubungan dengan Menma, bertanggung jawab atasnya dan janin yang dikandungnya," tebak Naruto dengan suara tenang.
"Aku selalu bertanggung jawab atas apa yang kuperbuat, Naruto," sahut Sasuke. Matanya tidak lepas dari manik biru yang sedari tadi masih menatapnya.
"Lalu kau mulai mencintai Menma dan calon anak kalian…," tebaknya lagi.
"Benar."
Pembicaraan masih saja mengalir dengan tenang, seakan orang-orang yang disana bukanlah membahas tentang perselingkuhan, namun tentang rencana festival di kampus masing-masing.
"Apa berarti ini semua sebenarnya adalah salahku karena aku tidak ingin melakukan hubungan badan sebelum umur 20 tahun?"
"Aku tidak berkata seperti itu. Kau hanya lupa fakta bahwa aku adalah pria normal yang masih memiliki libido dan nafsu. Itu saja."
"Kau menyesali perbuatanmu?" tanya Naruto pada akhirnya. "Apa kau menyesal telah menghamili Menma? Apa kau menyesal telah berselingkuh di belakangku?"
Terdapat keheningan sejenak sebelum Sasuke menjawabnya. "…awalnya aku menyesal. Namun mengetahui kehamilan Menma membuatku merasa senang. Jadi dengan jujur kukatakan, aku tidak menyesal. Namun aku tetap merasa bersalah karena telah berselingkuh di belakangmu, Naruto."
"Kau masih mencintaiku, Sasuke?"
"Masih."
"Tapi kau juga mencintai Menma."
"Benar."
Suatu kejujuran memang hal yang baik dalam menjalin sebuah hubungan. Banyak orang berkata, semakin jujur seorang kepada yang lain, semakin bagus hubungan mereka akan berkembang. Namun sayangnya, kejujuran yang terungkap kali ini nampaknya akan mengakhiri hubungan Sasuke dan Naruto yang telah terajut sejak lama. Ambil sisi positifnya, Naruto senang Sasuke menepati janjinya untuk berkata jujur pada Naruto. Namun ia telah mengambil keputusan. Kelihatannya Sasuke pun telah memiliki keputusannya sendiri.
"Kau ingat apa yang pernah kukatakan tentang cinta?" tanya Naruto. Kini tatapannya telah tertuju pada tangannya sendiri yang masih berada di atas lututnya. "Seseorang tidak akan bisa mencintai dua orang lain dalam waktu yang bersamaan. Di antara mereka, pasti akan ada satu yang menerima cinta yang lebih besar dibanding yang lainnya itu. Saat itulah akan ketahuan siapa yang sebenarnya dicintai, siapa yang sebenarnya mulai kehilangan cinta. Akan ketahuan siapa yang sebenarnya lebih diinginkan, dan siapa yang harus pergi menjauh," lanjutnya tanpa menunggu jawaban dari Sasuke.
"…"
"Malam ini aku akan berada di luar."
Dengan cepat Naruto bangkit berdiri, mengambil tas ranselnya yang masih berada di kamar Sasuke, lalu berjalan keluar dengan cepat. Kopernya dia tinggalkan begitu saja disana. Toh, kuncinya juga masih ada di dompet Naruto.
Menma sempat memanggil namanya waktu Naruto telah terlihat menuju ke pintu apartemen mereka, namun tidak ada balasan dari Naruto. DIa merasa sangat tidak nyaman sekarang. Dari tadi dia tidak sekali pun menjelaskan kepada teman SMA sekaligus sepupu jauhnya itu dan membiarkan Sasuke yang mengambil alih semuanya. Namun sekalipun bisa membuka mulut, apa yang harus dia katakan kepada Naruto?
"Jangan cemas." Suara Sasuke menahannya untuk melangkah keluar. "Naruto tidak akan benar-benar berada di luar. Mungkin dia akan pergi ke rumah temannya. Dia paling tidak tahan dengan udara yang terlalu dingin."
"Tapi… kita tidak bisa membiarkannya begitu saja!" seru Menma. Dia merasa dirinya mulai gila. Sudah beruntung dia tidak diamuk oleh Naruto karena merebut tunangannya, malahan sekarang Naruto sendiri yang meninggalkan rumahnya.
"Dia perlu waktu untuk mengubah cara pandangnya, Menma." Sasuke berkata dengan yakin. "Aku tahu aku bisa mencintai kalian berdua secara adil. Aku tidak ingin Naruto pergi dari sisiku. Tapi aku juga tidak ingin kau dan calon anak kita meninggalkanku," lanjutnya. "Mungkin besok dia sudah akan kembali. Aku tahu dia masih mencintaiku."
Saat itu Menma akhirnya sadar, mungkin dia sudah jatuh cinta dengan orang yang mengerikan.
(눈_눈)(눈_눈)(눈_눈)
Malam itu Shikamaru Nara telah mandi dan menggosok badannya dengan bersih. Besok dia dan kekasihnya, Kiba Inuzuka yang sekampus dengan Naruto, akan masuk siang. Itu tandanya dia bisa menghabiskan sepanjang malam dengan Kiba di ranjang kesayangan mereka berdua. Kiba memperbolehkan Shikamaru meminta jatahnya hanya jika mereka mendapat kuliah siang atau libur keesokan harinya. Kiba tidak ingin mengambil risiko terlambat kuliah pagi dengan jalan terseok-seok karena sakit di pantatnya serta mata yang setengah menutup karena mengantuk.
Si pemuda pecinta anjing kini sedang ada di ruang tengah sambil menonton televisi. Saluran televisi yang menampilkan segala sesuatu yang berkaitan dengan hewan itu akan menjadi referensinya dalam menekuni mata kuliahnya di fakultas kedokteran hewan.
Baru saja dia akan mengisi ulang gelasnya di dapur, bel pintu apartemen mereka ditekan seseorang. Kiba berjalan dengan cepat dan mengintip di lubang pintu apartemennya. Surai pirang yang tertangkap matanya membuat Kiba lekas mundur dan membuka pintu bagi tamu malamnya.
"Naruto! Kau sudah pulang dari Kumo?" serunya senang, masih belum paham dengan kondisi Naruto saat ini. Sebelah tangan Kiba merangkul Naruto dan menggiringnya masuk ke dalam apartemennya. "Tumben sekali kau kesini malam-malam! Mana Sasuke?" tanya Kiba dengan hebohnya setelah menutup pintu apartemen dan menguncinya.
Namun tidak juga ada balasan maupun respon dari pemuda di depannya itu. Mau tidak mau, Kiba merasa agak curiga. Ia menundukkan badannya untuk melihat wajah Naruto yang sedari tadi tertekuk.
"Naruto?"
Bukan reaksi berupa kalimat jawaban yang diterima oleh Kiba. Kedua lengan mungil Naruto mendadak memeluknya erat. Perlahan, suara isakan yang seumur hidup belum pernah dia dengar keluar dari mulut seorang Naruto Namikaze mengalun, memenuhi ruangan tersebut.
Di tengah kepanikan Kiba menghadapi Naruto yang mendadak bertingkah aneh itu, satu sosok yang mungkin akan bisa menyelamatkannya akhirnya muncul.
"Hei, Kiba, siapa yang datang? Kau menangis?" Kalimat tanya yang agak menyiratkan kekhawatiran terdengar begitu Shikamaru yang barusan keluar dari kamar mandi mendengar suara isakan dari arah tempat Kiba berdiri. Sosok Naruto rupanya tertutup oleh tubuh Kiba. Namun begitu melihat ada dua lengan yang sedang memeluk Kiba, Shikamaru mengernyitkan dahinya.
"Shi-shika!" Kiba, sambil terus mengusap punggung Naruto, menoleh dan menatap Shikamaru dengan mata yang ikut berkaca-kaca. Dengan cepat Shikamaru mendatangi mereka berdua.
"Naruto!?" serunya kaget. Tentu saja dia kaget. Selama dia mengenal Naruto dari SD, belum pernah dia mendengar mantan pemuda urakan itu menangis dengan isakan yang sekeras ini.
Sementara kedua teman karibnya itu panik, Naruto menikmati setiap usapan yang mampir di punggungnya. Jangan lupa bahwa dia juga adalah manusia biasa yang hatinya bisa terluka. Sedatar dan sekuat apa pun ekspresi yang dia pajang, hatinya tidak akan bisa berlaku sama. Siapa yang tidak sakit hati mendapati tunanganmu sendiri berselingkuh sampai menghamili orang lain? Walau Sasuke tidak mengakuinya, namun seakan-akan dia telah menyalahkan Naruto atas semua ini. Naruto yang tidak mau disentuh menyebabkan Sasuke harus menahan nafsunya mati-matian sampai akhirnya dia tidak tahan dan melampiaskannya ke orang lain, yang akhirnya berujung pada retaknya hubungan Sasuke dan Naruto.
Kalau dipikir secara jujur dan logika, Naruto mengaku kalau itu semua berasal darinya. Sebagai seorang tunangan, dia sudah bersikap terlalu egois, mungkin? Tapi dia bukanlah satu-satunya pihak yang harus disalahkan. Sasuke telah berselingkuh. Satu kalimat itu saja telah mencakup semuanya. Bukankah mereka juga telah sama-sama punya kesepakatan kalau memang Sasuke akan menghormati pilihan Naruto? Tapi lihat apa yang sedang terjadi saat ini. Bahkan Sasuke sama sekali tidak terlihat mencegah kepergian Naruto. Padahal, pertengkaran kali ini bukanlah pertengkaran biasa dimana kedua pihak bisa berdamai mengulang segalanya dari awal. Mana bisa waktu diulang sampai ke titik dimana Sasuke tidak menghamili Menma?
Sasuke sudah tidak memerlukannya.
Hubungan ini mungkin memang sudah mencapai batasnya.
(눈_눈)(눈_눈)(눈_눈)
Sasuke ingat betul saat Kiba diputuskan oleh Shino Aburame, senpai-nya di komunitas pecinta hewan, karena Shino jatuh hati kepada orang lain. Saat itu, Sasuke yang akan memasuki ruang kelas Naruto sepulang rapat OSIS untuk mengambilkan notes Naruto yang tertinggal di sana, secara tidak sengaja malah jadi saksi mata dari perseteruan Kiba dan Shino.
Kiba rupanya memergoki saat Shino dan murid lain berciuman di depan kamar apartemen Shino. Rupanya gosip yang selama ini dia dengar dari teman-temannya bahwa Shino berselingkuh dengan orang lain memang benar. Shino tidak menampik semua yang dituduhkan Kiba padanya. Dia hanya bisa mengaku kalau dia memang sudah jatuh cinta pada orang lain.
Air mata Kiba turun bersamaan dengan tamparan yang dilakukan oleh Kiba pada Shino. Merasa kurang puas, dengan kerasnya dia meninju pipi Shino sebelum akhirnya memutuskan hubungan mereka dan meninggalkan ruangan, melewati Sasuke yang saat itu berdiri di dekat pintu.
Dengan kejadian itu, Sasuke merekam dalam ingatannya kalau mungkin itulah reaksi wajar orang yang dikecewakan oleh kekasihnya. Menangis, marah, tamparan atau pukulan, pemutusan hubungan.
Namun kali ini dia menemukan sesuatu yang berbeda dari Naruto
Pulang kuliah ini, Sasuke berharap akan menemukan Naruto yang telah kembali ke apartemen mereka dan bersedia dirinya dimadu dengan Menma. Sasuke sendiri telah berencana akan menikahi mereka berdua secara bersamaan jika memang kedua belah pihak setuju. Menma sendiri telah setuju. Toh, mau bagaimana pun, dia sangat mencintai Sasuke. Mana mungkin dia akan melepasnya begitu saja ketika Sasuke sudah mengatakan mulai mencintainya?
Kalau dipikir, kelihatannya tingkah Sasuke kali ini sudah sangat keterlaluan. Meminta tunangannya untuk menyetujui perselingkuhannya dan memintanya bersedia dimadu. Hei, Sasuke juga masih manusia biasa! Dia ingin bertindak sedikit egois kali ini. Dia harus bertanggung jawab pada Menma. Di luar rasa tanggung jawab tersebut, dia tidak menampik kenyataan bahwa dia sendiri mulai menaruh rasa sayang pada Menma, juga pada calon bayinya di dalam perut Menma. Sedangkan dengan Naruto? Sasuke masih mencintainya. Sampai sekarang. Tapi dia tidak bisa melepaskan Menma.
Sebut saja Sasuke yang biasanya terkenal mutlak itu sebagai plin-plan. Biar saja, toh, mana bisa manusia mengalahkan perasaannya yang sebenarnya? Rasa cinta tidak mengenal siapa yang mutlak dan siapa yang dari dasarnya sudah plin-plan. Cinta dapat membuat semua orang menjadi plin-plan.
Kalau misalkan Naruto tidak bisa langsung menerimanya sekarang, Sasuke bersedia memberikan waktu untuknya sebentar lagi, untuk bisa berpikir masak-masak dan mengiyakan permintaannya. Hanya sebentar saja. Sasuke tidak bisa terlalu lama lagi berpisah dari Naruto.
Secarik kertaslah yang ditemuinya ketika dia dengan cepat masuk ke dalam apartemennya itu. Ditempel persis di dinding genkan*.
'Sasuke, aku telah memutuskan. Kebersamaan lima tahun ini bukanlah hal kecil bagiku. Kau kekasih pertamaku, orang pertama selain keluargaku yang mengenalku sangat dalam dan yang benar-benar kucintai. Tapi aku akan tetap berpegang pada keyakinan bahwa seseorang tidak bisa mencintai dua orang dalam waktu bersamaan. Aku tahu aku tidak akan bisa memintamu meninggalkan Menma.
Karena itu, aku memilih pergi. Aku akan berusaha melupakan apa yang telah kau lakukan padaku. Termasuk melupakanmu sendiri.
Aku tidak ingin mengganggu jalannya hubunganmu dan Menma setelah ini. Kau telah memiliki keluarga kecilmu sendiri. Jadi lupakanlah segala tentang hubungan kita. Termasuk pertunangan kita. Aku tidak berharap akan bisa bertemu denganmu lagi. Kalau pun kita bertemu kembali, saat itu kita akan menjadi sebatas orang asing. Tidak ada lagi Naruto Namikaze yang mantan tunangan Sasuke Uchiha, maupun sebaliknya. Saat itu anggaplah aku telah melupakanmu. Termasuk keberadaanmu dalam hidupku. Terima kasih atas kejujuranmu kemarin.
Sayonara
Naruto Namikaze'
Sasuke merasa hatinya seperti berhenti berdetak untuk sejenak. Bukan ini yang dia harapkan dari Naruto. Dia siap jika Naruto menamparnya atau memukulnya seperti apa yang telah Kiba lakukan pada Shino dulu. Yang jelas, asal Naruto tidak meninggalkannya.
Dengan cepat Sasuke membuka rak sepatu dan melihat bahwa yang ada disana hanya tinggal sepatunya saja. Sepatu, sandal, boots Naruto sudah tidak ada. Setengah berlari seperti kesetanan ke kamar yang ditempati Naruto, dia akhirnya menemukan kamar itu benar-benar kosong. Sudah tidak ada lagi jejak bahwa kamar itu ditempati seseorang. Dia berlari lagi ke kamarnya dan menemukan bahwa koper yang kemarin ditinggalkan begitu saja oleh Naruto di kamarnya juga sudah lenyap. Dicari ke seluruh bagian rumah pun, jejak Naruto sudah tidak ada. Yang ada hanyalah Sasuke beserta barang-barangnya saja. Oh, jangan lupakan beberapa barang milik Menma yang ternyata tertinggal di apartemennya.
Merasakan firasat lebih buruk lagi, Sasuke mencoba membuka kotak pos di pintunya. Di dalamnya, dia menemukan benda yang dia takutkan akan dikembalikan oleh Naruto. Kunci apartemen. Beserta sejumlah uang untuk membayar sewa apartemen bagiannya. Naruto telah memilih untuk tidak kembali lagi ke apartemen ini.
Marah? Cemas? Kecewa? Takut?
Tidak ada waktu untuk memikirkan hal tersebut. Hal pertama yang harus dilakukan adalah merogoh kembali kunci mobilnya dari dalam tas dan langsung menuju ke kediaman teman yang dia pastikan menjadi tempat tujuan Naruto untuk menginap.
"Kalau kau mencari Naruto, dia tidak ada disini."
Suara yang terkesan dingin langsung menyapanya ketika Sasuke turun dari mobilnya di depan apartemen Kiba dan Shikamaru.
"Ada disini pun aku tidak akan membiarkannya bertemu dengan pengkhianat sepertimu yang menghamili orang lain selain tunanganmu."
Mata Sasuke berkilat tajam, merasa tidak suka dengan perkataan orang yang mendadak menghadangnya ini. Benar rupanya Naruto sempat kesini. Nyatanya Shikamaru sudah tahu apa yang sedang terjadi.
Shikamaru, yang tidak sengaja melihat mobil Sasuke saat dia akan memasuki apartemen sepulang belanja di konbini, meluangkan waktu berharganya itu agar pria yang dijuluki genius itu tidak usah repot-repot masuk ke apartemennya.
"Kau pasti tahu dimana Naruto. Harusnya dia masih ada di sekitar sini." Sasuke memilih untuk tidak menggubris perkataan Shikamaru dan mencari Naruto-nya terlebih dahulu.
"Kau mau mencarinya sampai ke dalam lemariku pun, kau tidak akan menemukan Naruto," sahut Shikamaru. "Coba saja."
"Lalu katakan dia dimana sekarang." Sasuke berucap dengan nada memerintah.
"Di tempat yang cukup aman sehingga kau pun tidak akan bisa menjangkaunya."
"Shikamaru…" bisiknya dengan nada mengancam. "Kau mau menghalangiku menemui tunanganku sendiri?"
"Tunangan, huh?" Shikamaru mendengus. "Bukankah calon istrimu dan calon anakmu sedang berada di tempat lain yang harusnya kau ketahui?" sindirnya. "Kalau kau sudah memiliki keluarga seperti itu, bukankah seharusnya kau tidak mencari Naruto lagi? Atau kau ingin mencarinya agar dia bisa menjadi saksi pernikahanmu dengan calon istrimu?"
Dalam situasi biasa, Sasuke pasti sudah akan menghajar orang yang berani membantah dan menyindirnya itu habis-habisan. Tapi kali ini dia punya prioritas sendiri.
"Tak masalah. Kiba pasti tahu. Dan aku jamin dia PASTI AKAN MEMBERITAHUKU," ucap Sasuke dengan penekanan. Matanya menatap Shikamaru tajam, menyiratkan bahwa dia akan melakukan sesuatu untuk membuat Kiba memberitahunya keberadaan Naruto. "Orang luar sepertimu harusnya memang tidak ikut campur masalah kami."
Mendengar nama kekasihnya disebut, Shikamaru sedikit berjengit. Sasuke selalu serius dengan ucapannya, dan ini cukup berbahaya. "Huh… Kiba tidak tahu kemana Naruto pergi karena hanya akulah yang mengantarnya." Akhirnya dia mengaku juga. Dia tidak bisa melibatkan kekasih tercintanya juga. Tapi ia juga tidak bisa mengorbankan temannya sendiri. "Dan orang luar, kau bilang? Jangan membuatku tertawa, Sasuke… Bukankah Naruto sudah memutuskan segala hubungannya denganmu dan tidak berniat untuk mengenalmu lagi?"
Dugaan Sasuke adalah Shikamaru jugalah yang membantu Naruto untuk membereskan barang-barang di apartemennya.
"Kemana Naruto pergi?" Lagi-lagi Sasuke menanyakan keberadaan Naruto pada orang yang sama, dan dibalas dengan jawaban sinis lagi.
"Sudah kubilang, ke tempat dimana kau takkan mengganggu hidupnya lagi." Kesabaran Shikamaru perlahan juga mulai habis. Emosi yang dia tahan-tahan sedari kemarin sudah menumpuk dan hampir mencapai batasnya saat ini. "Dengar, Sasuke! Kau mau memukuliku sampai bagaimana pun, aku takkan bisa mengembalikan Naruto padamu. Naruto tidak memberitahuku kemana dia akan pergi. Dia hanya mau kuantar sampai ke bandara. Lagi pula renungkanlah sendiri kenapa Naruto memilih pergi darimu! Kau takkan bisa mengharap seorang pemuda biasa seperti Naruto untuk berlaku sebagai malaikat dan menerima hubunganmu begitu saja dengan Menma!" serunya setengah berteriak. "Naruto masih punya hidup yang harus dia jalankan, dan DIA BERHAK MENDAPATKAN ORANG YANG MENCINTAINYA LEBIH DARI APA PUN SEHINGGA DIA TIDAK DAPAT MELIHAT ORANG LAIN SELAIN NARUTO SENDIRI!"
Kalau dapat diumpamakan sebagai sebuah gunung berapi, mungkin lava yang dikeluarkan Shikamaru sudah meluber kemana-mana. Meski sangat pemalas, dia akan berubah kalau masalahnya sudah menyangkut ke orang-orang terdekatnya. Dia menyayangi Naruto, sahabatnya itu. Saat pertama kali mengetahui kalau Naruto berpacaran dengan Sasuke yang sangat posesif padanya, untuk sesaat Shikamaru sempat cemas. Dia takut kalau Sasuke yang tidak bisa dibilang murid biasa-biasa saja itu mempermainkan Naruto. Namun seiring berjalannya waktu, banyak hal yang dia bisa lihat dari seorang Sasuke Uchiha yang akhirnya membuat Shikamaru menyerahkan sahabatnya itu sepenuhnya pada Sasuke. Dia tahu, bahwa selama menjadi milik Sasuke, Naruto akan baik-baik saja.
Atau tidak. Sasuke berkhianat. Bahkan ketika dia telah berstatus sebagai tunangan Naruto.
"Kau tahu, Sasuke, dosa paling besar yang pernah kulakukan ke Naruto adalah memasrahkannya kepada seseorang sepertimu," sinis Shikamaru sebelum dia berjalan memasuki apartemennya, membiarkan Sasuke begitu saja tanpa berbasa-basi lagi.
(눈_눈)(눈_눈)(눈_눈)
"Selamat sore. Dengan kediaman Namikaze di sini."
Suara yang lembut itu langsung terdengar setelah bunyi nada tunggu telepon berakhir. Sasuke memutuskan untuk segera menelepon kediaman mantan calon mertuanya begitu sadar bahwa dia takkan mungkin mendapat informasi lain dari Shikamaru.
"Kushina-san?" sahut Sasuke. Dia berusaha agar nada suaranya tidak terdengar mencurigakan.
"Oh, Sasuke-kun? Ada apa, tumben kau menelepon kemari?"
Kata gugup sebenarnya tidak ada dalam kamus Sasuke Uchiha. Hanya saja dalam kasus kali ini, dia sedang berbicara dengan orang yang sangat berhak atas Naruto Namikaze yang telah dia kecewakan.
"Mmm… Apa Naruto hari ini pulang ke sana?"
"Eh? Naruto?" Suara sang ibu dari Naruto Namikaze tersebut terdengar kaget. "Kurasa tidak. Tidak ada kabar apa pun dari Naruto. Bukankah dia sedang ada di Konoha bersamamu? Katanya dia akan memberimu kejutan dengan langsung ke apartemennya setelah pulang dari Kumo."
Entah Sasuke harus beralasan apa lagi. "Sebenarnya iya, Kushina-san. Hanya saja kami sedikit bertengkar dan dia pergi dari sini. Shikamaru mengantarnya ke bandara. Kurasa dia pergi ke rumah."
"Ah, begitukah? Anak itu memang suka seenaknya begitu saja. Tapi jangan khawatir. Dia anak yang bisa mengendalikan dirinya untuk tidak merepotkan orang lain dan membuat kami cemas. Mungkin dia memang kesini jika telah pergi menggunakan pesawat. Aku akan menghubungimu jika dia sudah sampai."
"Apa aku perlu menunggunya disana juga, Kushina-san?"
"Ah, tidak usah. Kami akan memberimu kabar kalau dia sudah sampai kemari saja. Lagi pula mana mungkin Naruto suka mendengar berita bahwa Sasuke-kun bolos kuliah untuk datang kemari? Sasuke-kun pastinya masih ada kelas besok, 'kan?"
"Benar… Kalau begitu, aku akan coba menghubungi teman yang lain dulu, siapa tahu Naruto malah pergi ke tempat mereka. Tolong kabari aku kalau Naruto ke sana, ya, Kushina-san. Terima kasih."
"Sama-sama, Sasuke-kun."
Telepon diputuskan oleh kedua belah pihak. Di tengah kepanikannya, Sasuke sampai-sampai tidak menyadari nada dari Kushina yang terlampau tenang untuk ukuran seorang ibu yang anaknya mendadak pergi tanpa memberitahu apa-apa.
Di meja makan dekat telepon diletakkan, seorang pemuda masih menutup wajahnya menggunakan kedua lengannya.
"Tidak apa-apa kalau jadinya seperti ini? Sasuke-kun ternyata mencarimu sampai kemana-mana." Sang ibu dengan lembut membelai surai putranya tersebut. Sejak mendadak muncul di depan pintu rumah sejam yang lalu, belum sekali pun ada senyuman di wajah Naruto.
"Kami sudah tidak punya hubungan apa-apa. Buat apa dia mencariku segala?" sahut Naruto dengan wajah yang masih terbenam di kedua lengannya.
Sang ibu sudah mendengar cerita singkat dari anaknya yang begitu pulang langsung menubruknya sambil menangis tersebut. Sembari bercerita pun, air mata tak henti-hentinya mengalir di kedua pipinya. Baru sekitar 15 menit lalu dia berhenti menangis.
"Tapi kau masih tahu, 'kan, kalau dia akan mencarimu?" balas sang ibu lembut. Naruto sendiri yang tadi berpesan pada ibunya, kalau Sasuke menelepon atau mencarinya, bilang saja mereka tidak tahu apa-apa.
"Bu, jangan memprovokasiku."
Sang ibu mengulas senyum tipis sebelum duduk di kursi sebelah Naruto. Tangannya masih terus mengelus surai halus itu. Dia tak menyangka anaknya akan menjadi seperti ini. Hubungan anaknya tersebut dengan Sasuke bisa dibilang mulus. Bahkan sudah ada rencana kalau mereka akan membicarakan tentang pernikahan sepulangnya Naruto dari Kumo. Namun siapa sangka kepulangan Naruto dari Kumo juga berarti berakhirnya hubungan pertunangan Naruto dengan Sasuke?
Ibu mana yang tidak sedih melihat kesedihan putranya?
"Bagaimana kalau Sasuke-kun benar-benar menginginkanmu kembali dan memilihmu dibanding Menma-kun?"
Terdengar desahan napas lelah dari Naruto. Sambil menikmati belaian lembut dari ibunya, dia menjawab. "Itu berarti dia memang brengsek, bu. Dengan enaknya menghamili, lalu meninggalkan orang yang dihamilinya? Lagi pula aku sendiri tahu aku takkan mungkin menang dari sesuatu bernama kehamilan dan bayi. Hal tersebut bisa mengikat dua orang lebih dalam dari yang mereka tahu." Naruto kini mengangkat wajahnya, membuat sang ibu menghentikan belaiannya ke surai sang anak. "Cita-citaku adalah menjadi seorang guru TK. Apa ibu pikir seorang guru TK yang bahkan membuat seorang anak mempunyai keluarga yang tak lengkap itu adalah guru TK yang baik? Calon bayi yang dikandung Menma pun suatu saat akan tumbuh jadi anak TK. Siapa yang tahu mungkin malah kami dipermainkan takdir, dipertemukan sebagai guru dan murid. Kalau Sasuke memilih untuk tetap bersamaku dan aku menerimanya kembali, apa nanti aku harus memperkenalkan diri seperti 'Halo, aku guru TK-mu yang sudah merebut ayahmu dari ibumu!', begitu?"
Sang anak memang dulunya urakan. Dia memang terkadang bersikap seenaknya sendiri, sampai dulu Kushina sering dipanggil ke sekolah waktu zaman Naruto masih bersekolah, untuk mendapat keluhan dari para guru yang menjadi korban Naruto. Namun dia tidak pernah gagal membuat sang ibu merasa bersyukur punya anak seperti Naruto Namikaze. Hatinya sungguh berbanding terbalik dengan kecilnya eksistensinya di antara orang-orang.
"Lagi pula aku sudah menetapkan kalau masa kami memang telah berakhir, bu." Naruto menghela napas. "Sasuke Uchiha sudah tidak ada hubungannya lagi dengan hidup yang akan kujalani dari sekarang ini."
Kaki kecil itu tak henti-hentinya mengayun ke depan dan ke belakang. Tanpa adanya gerakan seperti tadi, ayunan yang sedang ia duduki takkan bergerak seperti yang ia harapkan. Tidak seperti anak lain yang bermain ayunan dengan suara yang luar biasa cemprengnya, si kecil Nagato hanya terdiam, melamun. Punya ayah yang luar biasa seperti Sasuke Uchiha memang membuatnya sangat senang. Siapa yang tidak senang kalau ayahmu serba bisa, juga memiliki wajah dan kekayaan yang membuat para wanita bertekuk lutut? Meski pun begitu, sang ayah tidak pernah tergoda untuk menjamah wanita-wanita yang Nagato sempat lihat menggoda ayahnya di beberapa acara maupun pesta. Dia lebih memilih menghabiskan waktu dengan Nagato jika dia bisa. Sempurna, bukan?
Namun sesempurnanya sosok seorang ayah, rasanya tidaklah akan lengkap dengan keberadaan seorang ibu. Ya, ayah dan ibu Nagato telah berpisah sekarang. Nagato masihlah seorang anak kecil yang butuh kasih sayang seorang ibu. Tapi bukanlah rasa kesedihan yang membuat Nagato termenung seperti sekarang. Pembicaraan sebelum tidur dengan ayahnyalah yang membuatnya melamun.
Malam lalu, seperti biasanya, Sasuke membacakan cerita pengantar tidur untuk Nagato. Dalam cerita tersebut, seorang anak kecil yang gagah berani menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah sesudah tumbuh besar. Melalui pertarungan dengan monster-monster, pemuda itu menyelamatkan seorang putri yang diculik oleh raja monster, kemudian akhirnya bisa menikahi putri tersebut.
"Nagato mau jadi kuat seperti tokoh ini, terus menikahi Naru-sensei!" Seperti itulah kalimat yang diucapkan Nagato begitu Sasuke selesai membacakan cerita. Waktu ditanya oleh sang ayah kenapa ia memilih Naruto untuk dinikahi, Nagato menunjuk tokoh sang putri dalam ilustrasi buku tersebut, dimana sang putri mempunyai rambut panjang pirang dan mata yang berwarna sama dengan Naruto. Selain itu, menurut Nagato, Naruto manis dan baik hati. Pantas untuk dijadikan istri masa depan.
Sungguh bocah keturunan Sasuke Uchiha.
Namun sang ayah tidaklah mau kalah. Sambil menutup buku, dia melirik anaknya disertai seringaian tipis.
"Tidak bisa, nak, sayang sekali. Naruto akan kujadikan istriku, yang berarti dia akan menjadi ibumu. Tak mungkin, 'kan, kau menikahi calon ibumu sendiri?"
Nagato makin bingung. Kenapa sang ayah yang biasanya hanya bersikap acuh kepada orang yang tak terlalu dia kenal atau tidak menguntungkannya, sekarang malah terlihat sangat menginginkan guru barunya yang dia sendiri saja baru kenal seminggu? Ayahnya pun baru bertemu gurunya itu kemarin, bukan? Dengar, 'kan, kalau mereka bilang 'salam kenal'?
Dari tadi pagi Nagato terus menatap Naruto, mencari tahu sekaligus mengingat-ingat jangan-jangan mereka pernah bertemu sebelumnya, hanya saja Nagato yang tidak ingat? Tapi Nagato tidak merasa pernah bertemu dengan Naruto. Apa Naruto jangan-jangan teman ayahnya? Kalau mereka memang benar teman, bukankah harusnya mereka saling mengobrol dengan akrab? Kenapa malah mereka berlaku seakan mereka memang tidak kenal satu sama lain, kalau keduanya memang benar adalah teman?
Dan kenapa ayahnya ingin menikahi guru barunya itu?
Hei, Nagato yang notabene baru saja berumur lima tahun tidak benar-benar berpikir sedalam itu. Sebenarnya dia mau tidak mau membayangkan kalau Naruto adalah ibunya. Bagaimana jadinya, ya, kalau rumah besarnya itu ketambahan seorang Naruto untuk tinggal bersama mereka?
Surai raven yang muncul dan masuk ke area sekolah membuat Nagato menghentikan lamunannya.
"Papa!" Dia menghentikan ayunan dan langsung berlari menyambut sang ayah yang sudah tersenyum padanya.
"Selamat siang, Uchiha-san. Terima kasih telah mempertimbangkan saran untuk menjemput Nagato-kun."
Surai pirang itu menunduk, bersikap profesional walau hatinya sedikit merutuk juga kenapa harus dia yang menyapa para penjemput anak-anak.
"Kupikir memang seharusnya aku menjemput anakku sendiri, Sensei." Sikap profesional sama-sama ditunjukkan oleh pihak kedua. Namun ditambah dengan bonusan tatapan mata yang sangat lekat di Naruto.
"Kalau begitu, Nagato-kun, sampai jumpa be-"
"Maaf, Nagato, bisakah kau main ayunan dulu lagi? Sebentar saja." Sasuke seenaknya memotong ucapan Naruto. "Papa ada perlu dengan gurumu ini."
Naruto tersentak kecil. "Maaf, Uchiha-san, tapi saya harus menjalankan tugas saya untuk mengantar anak-anak sampai pada penjemputnya."
Sasuke hanya melirik sepintas surai pirang yang sekarang menampakkan ekspresi tidak sukanya itu. Tanpa berkata macam-macam, dia malah mendekat ke sang kepala sekolah yang sedari tadi mengawasi anak-anak yang bermain dari jauh. Mata Naruto memicing, memandang tidak suka. Dia tahu bahwa si raven itu pasti sedang melakukan sesuatu yang berujung pada kesialan Naruto.
Bingo.
Sasuke datang kembali ke tempat Naruto bersama dengan ibu kepala sekolah TK yang tersenyum dengan lembut. Tampak jelas kalau Sasuke berhasil mengambil hati sang wanita berusia 40-an itu.
"Namikaze-sensei…," panggil sang kepala sekolah. "Uchiha-san ingin berkonsultasi sebentar denganmu mengenai Nagato-kun. Karena sepertinya Nagato-kun dekat denganmu dan menyukaimu, mungkin dia akan bisa lebih terbuka denganmu. Uchiha-san mempunyai sedikit masalah dengan Nagato-kun, dan aku berharap kau bisa membantu mereka."
Senyum yang ditunjukkan sang kepala sekolah sangatlah kontras dengan seulas seringai yang baru saja ditunjukkan oleh Sasuke. Naruto yakin saking cepatnya seringai itu lenyap dari wajah tampan sang pria yang dijuluki genius Uchiha tersebut, yang melihat pun akan merasa hanya berhalusinasi.
"Mohon bantuannya, ya!" tambah sang kepala sekolah, membuat Naruto dengan sangat berat hati menganggukkan kepalanya. "Kau bisa memakai kelas kosong kalau perlu."
Sekali lagi Naruto dapat sekilas melihat seringai Sasuke yang nampaknya makin seram saja. Tolong saja, Naruto tidak akan suka berduaan dengan Sasuke, apalagi di kelas kosong. Ini TK yang suci. Tidak boleh dinodai macam-macam, terlebih dinodai pikiran kotor Sasuke.
Tunggu. Sebenarnya yang berpikiran kotor itu Naruto atau Sasuke?
"Mungkin di dekat sini saja tidak apa, Kouchou-sensei*." Ucapan Sasuke menyiratkan kalau dia melihat ekspresi tidak suka yang langsung tergambarkan dengan jelas di wajah mantan tunangannya itu. "Lagi pula saya harus tetap memerhatikan Nagato agar dia tetap bermain di tempatnya." Matanya melirik ke arah anak kecil yang sedang diajak berbincang dengan teman lain yang belum dijemput.
"Baiklah kalau begitu. Sampai berjumpa lagi, Uchiha-san."
Dengan anggunnya sang kepala sekolah berjalan meninggalkan Sasuke dan Naruto, membuat hati Naruto semakin menciut saja.
"Baiklah, dob- Namikaze-sensei. Mari kita berbincang disana saja." Sasuke menunjuk ke arah area yang lumayan tertutup oleh pepohonan dan tidak terlalu jauh dari sana, namun cukup privat untuk berbicara berdua.
Si pemilik mata safir hanya diam saja dan memilih mengikuti lelaki di depannya itu tanpa suara. Begitu langkah Sasuke berhenti, Naruto juga menghentikan langkahnya.
Badan Sasuke berbalik menghadap Naruto. Naruto sendiri sama sekali enggan menatap yang bersangkutan. Dia memilih menatap tanaman di dekat bangunan, seakan tanaman itu lebih tampan dan lebih sempurna dari sosok seorang Sasuke Uchiha.
"Langsung saja, Naruto. Sebagai seorang guru yang juga mengajar di kelas Nagato, tentunya kau tahu kalau Nagato hanya tinggal bersamaku sekarang."
"Benar, Uchiha-san. Saya dengar Anda dan 'istri' Anda telah berpisah setahun yang lalu." Naruto menanggapi tanpa melihat Sasuke sama sekali.
"Sebagai seorang anak, tentu saja Nagato membutuhkan sosok seorang ibu. Nah, dobe, aku menginginkanmu untuk bersedia kunikahi dan menjadi ibu bagi Nagato."
Langsung ke inti. Tanpa basa-basi berlebihan. Sungguh khas Sasuke Uchiha.
Manik safir yang biasanya datar-datar saja itu kini benar-benar menunjukkan suatu bulatan sempurna, hasil dari kekagetan yang diciptakan oleh orang yang suka seenaknya itu. Namun bulatan tersebut mulai kembali mengecil, menyisakan tatapan seakan tak terjadi apa-apa.
"Maaf, Uchiha-san. Tampaknya flu saya menyebabkan telinga saya sedikit berkurang pendengarannya dan-"
"Jangan mencoba memainkan drama, dobe," potong Sasuke-cepat. "Jelas-jelas kau mendengar niatku menikahimu." Kali ini diucapkan langsung ke intinya.
"Dan Anda mengatakannya kepada orang yang sama sekali tidak dekat dengan Anda?" Naruto menatap Sasuke dengan datar. Tapi dapat terlihat kilat emosi di matanya.
"Sudah kubilang aku tidak ingin drama, Naruto." Sasuke mempertajam tatapannya. "Kau tunanganku dan hilangkan kata 'tidak' dari kalimatmu."
"Kita tidak lagi mengenal satu sama lain, Uchiha-san," balas Naruto. "Sudah saya putuskan sejak hari itu bahwa saya tidak lagi mengenal sosok Anda." Naruto bersikeras tetap menggunakan bahasa formal pada Sasuke.
Dengusan lelah keluar dari hidung Sasuke. "Mau bagaimana pun, kau tetaplah tunanganku. Hal tersebut kau putuskan sendiri, bukan? Sedang keputusan bukan hanya ada di tanganmu," tukasnya. "Sudah akhirnya aku menemukanmu, mana bisa kulepaskan lagi begitu saja? Kita akan menikah bulan depan."
Jika warna darah bisa terlihat jelas di kulit, mungkin seluruh kepala Naruto sudah berhiaskan warna merah. Bukan karena malu, tapi karena emosi yang berlebihan.
"Terserah apa yang mau kau bilang, Uchiha-san. Yang jelas, saya sudah mengambil keputusan saya sendiri dan tidak peduli apa keputusan Uchiha-san. Toh, Uchiha-san bukanlah siapa-siapa saya," ucap Naruto menahan emosi yang berlebihan. Ini adalah TK, bukan rumah salah satu dari mereka, bukan tempat pertengkaran.
"Hoo… Setidaknya kau pasti mengakui kalau aku adalah orangtua dari satu anak didikmu yang meminta tolong padamu, bukan?" jebak Sasuke. "Dan saat ini aku meminta tolong padamu untuk menjadi ibu dari Nagato. Mau bagaimana pun juga, lebih baik jika Nagato dibesarkan dengan kasih sayang seorang ibu, bukan? Kurasa kau yang guru TK pasti paham hal ini."
Naruto terdiam. Memang apa yang sedang dikatakan Sasuke benar. Sejenak dia biarkan keheningan menyelimuti mereka berdua.
"Kalau begitu saya ingin menjelaskan beberapa hal, Uchiha-san." Naruto menghela napas, mencoba menetralkan emosi dirinya sendiri. "Dan saya juga punya hak untuk berbicara tanpa harus dipotong."
Maniknya menatap tajam manik onyx Sasuke, menunjukkan bahwa dia memang sedang serius.
"Baiklah."
"Saya menolak," ucap Naruto tegas. "Anda berbicara seakan-akan Nagato-kun sudah tidak mempunyai orangtua yang lengkap saja. Bukankah 'istri' Anda masih hidup? Walau telah berpisah, tapi bukan berarti Nagato-kun sudah tidak mempunyai ibu, 'kan? Anda tidak sopan kepada 'istri' Anda sendiri. Selain itu kalau memang Anda memikirkan Nagato-kun dan benar-benar ingin dia tumbuh bersama seorang ibu, kenapa Anda tidak kembali pada 'istri' Anda lagi?"
Sasuke masih diam, membiarkan Naruto berbicara.
"Lalu saya ini laki-laki. Kalau Anda ngotot ingin mencari istri baru dan ibu baru untuk Nagato-kun, lebih baik Anda memilih perempuan tulen saja. Oh, tadi Anda bilang guru TK pasti paham, 'kan? Dan melihat bahwa Anda memang tidak keberatan melamar orang asing demi putra Anda, saya sarankan Anda coba berkonsultasi atau meminta tolong pada Yamanaka-sensei dari kelas sebelah. Dia masih lajang, dan kemarin saya dengar dia memuji ketampanan Anda. Dia mungkin akan dengan senang hati membantu Anda."
Kilatan tajam mulai terlihat di mata Sasuke, namun dia tetap menutup mulutnya.
"Secara personal, saya tidak berniat sama sekali untuk menjadi orangtua dari anak yang bukan darah daging saya sendiri. Atau paling tidak, anak itu haruslah anak dari orang yang benar-benar saya cintai," lanjut Naruto, memberikan penekanan di kalimat akhirnya. Dia ingin menegaskan kalau benar-benar sudah tidak ada rasa yang tersisa bagi Sasuke di hatinya. "Bayangkan saja jika seorang wanita hamil mendadak meminta Anda bertanggung jawab dengan menikahinya, padahal pelaku yang membuatnya hamil bukanlah Anda, bahkan Anda tidak mengenal wanita itu."
Sungguh tajam ucapan Naruto ini. Mungkinkah dia telah banyak belajar dalam beberapa tahun ini untuk menjadi manusia yang sadis?
"Jadi cukup jelas, bukan, jawaban dan penjelasan saya?" tegas Naruto.
Suara derap kaki telah terdengar bahkan sebelum Sasuke sempat membalas Naruto.
"Papa! Kenapa lama?" Seruan yang mengiringi derap kaki itu membuat Sasuke menelan lagi kata-kata yang akan diucapkannya. Dia mengelus rambut putranya itu begitu Nagato tiba dan memeluk kaki Sasuke.
"Nagato tidak sabaran," tukas Sasuke tanpa menjawab pertanyaan Nagato.
Tentu saja ini merupakan kesempatan yang bagus bagi Naruto. "Kalau begitu saya mundur diri dulu. Saya masih harus menyambut penjemput yang lain. Sampai ketemu besok, Nagato-kun." Walau menghadapi anak-anak, Naruto membungkukkan badannya sekilas, lalu berlalu dari tempat itu.
Si kecil Nagato hanya menatap punggung Naruto yang menjauh.
"Papa ada urusan apa sama Naru-sensei?" tanyanya.
Dengan lembut, Sasuke menatap surai anaknya. "Naru-sensei menantang papa." Dia menyeringai. "Dan kau datang saat papa akan membalas tantangannya."
Merasa terkejut, Nagato mendongak dan menatap mata ayahnya. "Eeeh? Kenapa?" serunya heran. "Bukankah kata papa, Naru-sensei akan papa jadikan is-hmmpph!"
Tangan Sasuke telah menutupi mulut Nagato sebelum mulut mungil itu berkoar-koar tentang rencana Sasuke pada Naruto. "Nagato, papa minta hal itu jangan diumbar-umbar, oke? Itu rahasia kita saja. Setuju?"
Kedua tangan Nagato refleks menutup mulutnya dengan tegang. Ia lalu mengangguk cepat-cepat.
"Kalau rahasia ini tersebar, nanti Naru-sensei tahu rencana papa, lalu bisa mencari cara agar papa gagal. Kau tidak ingin, 'kan, papa kalah dalam tantangan dari Naru-sensei?" Tidak banyak karyawan di perusahaan Sasuke yang dapat melihat sisi lembut seorang Sasuke seperti ini. Dia memang bersikap sangat lembut jika sudah berhadapan dengan putra semata wayangnya.
"Kalau begitu, papa harus bisa kalahkan Naru-sensei, ya!" Nagato kini berbisik-bisik sambil dengan cemas melihat sekitar. Takut kalau ada yang mencuri dengar. "Biar papa bisa jadikan Naru-sensei istri!"
"Tentu saja." Sasuke menyeringai. Buruan yang sudah tertangkap mata, mana mungkin akan dia biarkan lepas?
"Eh, tapi kalau tidak juga tidak apa-apa! Biar aku saja yang menjadikan Naru-sensei jadi istri- aduh!"
Pipi Nagato yang tembem itu ternyata sudah dicubit oleh Sasuke. "Berani berniat melamar calon istri papa, heh?"
Nagato yang tadinya meringis kemudian malah tertawa. Cubitan papanya ini bukanlah cubitan yang menyakitkan. Dia senang sekali bisa bercengkrama dengan ayahnya siang-siang seperti ini. Biasanya, dia hanya akan punya waktu di hari-hari tertentu, atau di malam hari saja. Sudah dua hari ini sang ayah menjemputnya, dan walau waktunya tidaklah begitu banyak, namun Nagato sudah sangat senang.
Dari kejauhan, Naruto dapat menangkap sosok Nagato yang melompat-lompat ingin ganti mencubit pipi sang ayah, sementara gelak tawa terdengar. Dia tersenyum tipis. Masa lalu yang terjadi antara dirinya dan kedua orangtua Nagato tidaklah akan mengubah sikapnya terhadap Nagato. Bocah itu adalah anak didiknya. Itu saja cukup. Melihat senyuman dan tawa tulusnya pun bisa membuat Naruto merasa bahagia.
"Nagato-kun terlihat sangat senang."
Bukan hanya Naruto saja, namun ternyata ibu kepala sekolah juga berpikiran sama.
"Kouchou-sensei hafal semua nama murid?" tanya Naruto. Sungguh pertanyaan yang tak diduga sang kepala sekolah.
Dia menggeleng pelan. "Waktu hujan beberapa bulan lalu, asisten Uchiha-san sempat terlambat menjemput Nagato-kun." Sang kepala sekolah memandang ke arah Nagato yang entah sedang merajuk apa pada ayahnya. "Nagato-kun adalah murid terakhir yang dijemput, dan aku telah meminta para guru untuk pulang duluan karena memang harusnya sudah waktunya mereka pulang. Aku saat itu mengamati Nagato-kun yang sedang serius mewarnai bukunya di lorong. Waktu itu aku memang berdiri cukup lama di depan pintu gedung karena ingin memastikan sendiri waktu jemputan Nagato-kun datang. Setelah jemputannya datang, aku segera memanggil Nagato-kun, dan dia dipayungi oleh asisten Uchiha-san sampai ke mobil. Namun mendadak dia kembali sambil membawa dua payung. Satu yang sedang dipakainya, satu dia berikan padaku. Katanya, dari tadi dia melihatku hanya berdiri di depan pintu. Dia lalu berasumsi bahwa aku ingin pulang seperti yang lain, tapi tidak bisa karena tidak membawa payung." Sang kepala sekolah terkekeh.
Mendengar cerita itu, mau tidak mau lengkungan terbentuk di bibir Naruto.
"Sungguh anak yang mengagumkan, bukan? Kepeduliannya terhadap sekitar sungguhlah besar." Sang kepala sekolah menghela napas sambil tersenyum. "Mana mungkin aku tidak bisa mengingat nama murid yang mengagumkan seperti itu?"
Memang sungguh mengagumkan. Nagato membuat Naruto teringat pada sosok Menma yang selama masa SMA sungguh menunjukkan kepekaannya terhadap sekelilingnya, salah satunya adalah mengantar Naruto ke Ruang Kesehatan ketika Naruto sakit dan tidak ada orang lain yang sadar. Rupanya sifat yang seperti ini telah menurun ke Nagato.
Jadi, bagaimana mungkin Naruto tega mendadak masuk ke dalam kehidupan Sasuke dan Nagato, lalu merusak kebahagiaan anak yang sungguh baik hati itu?
TBC
Notes:
Karena fic ini mengambil setting AU modern, Konoha, Suna, Iwa, Kumo, dan desa-desa tersembunyi lainnya digambarkan sebagai kota besar di negaranya masing-masing.
Karena digambarkan Minato Namikaze masih hidup, Naruto di sini menggunakan nama belakang Namikaze, sedangkan Menma menggunakan Uzumaki.
*Genkan: Area kecil seperti teras indoor di belakang pintu masuk. Biasanya sepatu dilepas di sini dan diganti dengan sandal rumahan.
*Kouchou-sensei: Kepala sekolah.
Ohisashiburi!
Saya hiatus cukup lama juga. Banyak yang terjadi dan saya memang sedang bisa terlalu aktif di fandom ini. Masih gagal move-on? Iya, bener. :p
Senang rasanya masih ada aja yang ngefavorite-in fic2 saya sama review. Bahkan review di chap 3 All Grown Up belum saya balas. Mohon maaf atas ketidaknyamanan ini (._.)
Saya sudah nggak bisa internetan lewat laptop sejak beberapa bulan terakhir ini dan saya benci ngetik di handphone. Makanya agak terhambat kalau mau ngeupdate macam-macam.
Maaf, ya, cerita lain belum kelar, malah sudah bawa cerita baru. (._.) Saya moody. Dan ini sebenernya bukan cerita buat fandom ini. Mungkin bakal saya post di fandom asalnya juga. Entah kapan.
Terima kasih sudah meluangkan waktu melihat page ini!
chiimao13
