137darkpinku Present

KYUMIN FANFICTION

.

Eloquent Silence

.

Warning : Genderswitch , Typo(s) , kosa kata yang berantakan

Disclaimer : Remake Novel karya Sandra Brown dengan judul yang sama.

.

Don't Like? Just Don't Read ^^

.

.

enjoy it !

.


BAB 1

"Menurutmu, suamimu tahu tentang hubungan kita, Sayang?" Pria itu mengecup kening kekasihnya sambil memeluknya dengan penuh kerinduan.

"Kalaupun dia tahu, aku tidak peduli," seru wanita itu.

"Aku lelah harus sembunyi-sembunyi. Aku ingin memberitahu semua orang tentang cinta kita."

"Oh, cintaku, cintaku." Pria itu menunduk. Hidungnya bertabrakan dengan hidung si wanita dengan cara yang sama sekali tidak romantis.

"Cut!"

Lee Sungmin terlonjak mendengar perintah bernada kesal dari pengeras suara.

"Ada apa dengan kalian? Mengapa tidak bisa melakukan semua adegan dengan benar? Sudah satu setengah jam kita membuat adegan sialan ini." Suasana hening, para artis dan kru jadi salah tingkah. "Aku akan turun."

Sungmin mengamati dengan penuh minat waktu si aktris menoleh ke arah pemeran utama pria dan berkata sengit, "Aku yang seharusnya menghadap ke Kamera Satu, Guixian. Bukan kau."

"Kalau begitu sebaiknya kau belajar berhitung dulu. Itu Kamera Tiga. Lagi pula, apa kau tidak takut Kamera Satu akan menampakkan bekas operasi plastik wajahmu?"

"Brengsek," desis si aktris sambil menerobos para juru kamera yang tersenyum geli dan melangkah cepat melintasi lantai beton studio televisi ke arah ruang ganti pakaian.

Seluruh kejadian tadi menggelitik rasa tertarik Lee Sungmin, yang takjub ketika mendapati dirinya berada di lokasi syuting The Heart's Answer, sinetron siang yang populer. Dia tidak pernah menonton televisi siang hari, karena dia selalu bekerja, tapi semua orang di Korea Selatan tahu tentang acara ini. Banyak wanita karier sengaja mengatur jam makan siang mereka bertepatan dengan jam tayang drama ini supaya bisa tetap mengikuti petualangan seksual dan krisis pribadi Dr. Marcuss.

Beberapa hari yang lalu, Dr. Park Jung Soo, pendiri sekolah untuk tuna rungu, tempat Sungmin jadi guru, memberinya tawaran pekerjaan menjadi tutor pribadi.

Flashback

"Kita punya siswa di sini, Cho Minhyun, yang ingin dikeluarkan ayahnya dari sekolah."

"Saya tahu siapa Minhyun," kata Sungmin. "Dia hanya menderita tuli parsial, tapi sama sekali tidak mau berkomunikasi."

"Karena alasan itu ayahnya sangat prihatin."

"Ayah? Tidak ada ibu?"

Dr. Park ragu-ragu sebentar sebelum berkata, "Tidak, ibunya sudah meninggal. Pekerjaan ayahnya tidak biasa. Pria itu terpaksa menitipkan Minhyun pada kita sejak masih kecil. Anak itu tidak bisa menyesuaikan diri. Sekarang si ayah ingin mempekerjakan tutor pribadi untuk tinggal bersamanya di rumah. Kupikir kau mungkin berminat, Sungmin."

Sungmin mengerutkan sedikit alisnya. "Entahlah. Bisakah Anda menjelaskannya dengan lebih spesifik?"

Wanita itu mengamati gurunya yang penuh dedikasi. "Saat ini tidak. Aku bisa memberitahumu bahwa Tuan Cho ingin si tutor membawa Minhyun ke Mokpo dan tinggal di sana. Dia punya rumah di sana." Dr. Park tersenyum lembut. "Aku tahu kau ingin meninggalkan Seoul. Dan kau jelas memenuhi syarat untuk menangani pekerjaan seperti ini."

Sungmin tertawa pelan. "Karena besar di Ilsan, saya menganggap Seoul agak sesak dan ramai. Sudah delapan tahun saya di sini, tapi tetap saja saya merindukan tempat-tempat terbuka yang luas." Dia menyibakkan seuntai rambutnya yang jatuh di kening. "Menurut pendapat saya, Tuan Cho seperti mengelak dari kewajibannya mengurus anaknya sendiri. Apakah dia termasuk jenis orangtua yang membenci anaknya karena tuli?"

Dr. Park menatap tangannya yang terawat rapi, yang saling menggenggam di permukaan meja kerjanya. "Jangan terlalu cepat menghakimi, Sungmin." dia menegur halus. Kadang-kadang pegawainya ini membiarkan dirinya termakan emosi. Lee Sungmin hanya punya satu kelemahan, yaitu terlalu cepat menarik kesimpulan.

"Seperti kataku tadi, situasinya tidak biasa."

Dia berdiri, menandakan pertemuan telah selesai. "Kau tidak harus memutuskan hari ini, Sungmin. Aku ingin kau mengamati Minhyun selama beberapa hari. Bertemanlah dengan dia. Setelah itu, kalau ada kesempatan, kurasa sebaiknya kau dan Tuan Cho bertemu dan bicara."

"Saya akan berpartisipasi sebanyak mungkin, Dokter Park."

Ketika Sungmin sampai di pintu kaca buram, Dr. Park menghentikannya. "Sungmin, seandainya kau ingin tahu, uang bukanlah masalah baginya."

Sungmin menanggapi dengan jujur. "Dokter Park, kalau saya menerima tugas mengajar privat, itu karena menurut saya itulah yang dibutuhkan si anak."

"Sudah kuduga," jawab Dr. Park, tersenyum.

Tadi pagi Dr. Park memberinya sepotong kertas berisi sebuah alamat dan berkata, "Pergilah ke alamat ini pukul tiga nanti. Cari orang bernama Tuan Cho Kyuhyun. Dia akan menunggu kedatanganmu."

Sungmin terkejut waktu sopir taksi berhenti di alamat yang diberikannya dan dia melihat tempat itu berupa gedung berisi studio-studio untuk sebuah jaringan televisi.

Dia memasuki gedung itu dengan perasaan penasaran tentang Tuan Cho yang misterius. Ketika memberitahu resepsionis dia ingin bertemu pria itu, wanita muda yang cantik itu tampak bingung sebentar lalu mengikik ketika berkata, "Lantai tiga."

Sungmin berjalan ke lift namun gadis tadi berkata, "Tunggu sebentar. Siapa nama Anda?" Sungmin memberitahunya.

Resepsionis itu menyusuri daftar yang diketik, lalu berkata, "Ini dia. Nona Lee Sungmin. Anda bisa langsung naik, tapi jangan berisik. Mereka masih mengambil gambar."

Sungmin keluar dari lift dan mendapati dirinya berada di studio televisi luas. Dia terpesona melihat perlengkapan dan aktivitas di sana.

Studio yang seperti lumbung itu dibagi menjadi berbagai setting untuk sinetron itu. Satu setting dilengkapi dengan tempat tidur rumah sakit dan peralatan medis palsu. Setting yang lain berupa ruang tamu. Setting dapur mungil terletak cuma empat kaki dari situ. Dia berjalan ke sana kemari di studio, mengintip semua setting dengan rasa ingin tahu, berusaha tidak tersandung bermil-mil kabel yang terulur di lantai dan bergulung di sekitar kamera-kamera dan monitor-monitor studio.

"Hei, manis, mencari siapa?" tanya seorang juru kamera bercelana jins ketat dengan riang.

Karena kaget Sungmin menjawab tergagap, "Saya... uh... ya.. Tuan Cho? Saya ingin bertemu dia."

"Tuan Cho?" tiru juru kamera itu seolah Sungmin mengucapkan sesuatu yang lucu. "Hebat. Kau sudah ditanyai di bawah?" Sungmin mengangguk. "Kalau begitu kau boleh menemuinya. Bisa kau menunggu sampai kami menyelesaikan adegan ini?" "Saya... ya," kata Sungmin.

"Tunggulah di sana, jangan mengeluarkan bunyi apa pun dan jangan menyentuh apa pun," juru kamera itu memperingatkan.

Sungmin berdiri di belakang kamera-kamera yang difokuskan pada setting yang menurutnya tampak seperti ruang duduk rumah sakit.

Flashback End

Sekarang, selama jeda tak direncanakan ini, Sungmin mengamati aktor pujaan jutaan wanita di Korea Selatan itu. Pria itu duduk santai di salah satu meja setting, sambil memakan apel yang diambilnya dari keranjang di meja itu.

Sungmin ingin tahu apakah para penggemarnya akan tetap terpikat padanya kalau mereka mendengar Chao Guixian bicara begitu kasar pada sesama pemain. Tapi bukankah sikap kasar merupakan bagian dari daya tariknya? Dia adalah dokter macho yang bersikap seenaknya pada semua orang di rumah sakit fiktif itu. Tapi ia membuat setiap wanita bertekuk lutut dengan sikap dominan dan penampilannya yang seksi.

Sungmin berpikir objektif, yah, wanita sebanyak itu tak mungkin salah. Pria itu memang memiliki daya tarik karena macho-nya-kalau kau suka tipe seperti itu.

Penampilan fisiknya langsung menarik perhatian.

Dari tempat pengamatannya di luar lingkaran lampu studio yang terang benderang, Sungmin memandangi Chao Guixian ketika pria itu berdiri, menggeliat seperti kucing malas, dan melemparkan sisa apel ke keranjang sampah dengan jitu.

Sungmin mencemooh kostumnya. Ia ragu dokter yang memakai celana panjang seketat itu bisa sigap mengobati orang sakit. Pakaian bedah berwarna hijaunya dibuat khusus untuk tubuhnya yang jangkung dan langsing. Mana mungkin pakaian seperti itu diizinkan di ruang operasi! pikir Sungmin.

Mendengar suara orang sedang menghibur rekannya di belakangnya, Sungmin berbalik. Pria yang diduganya tadi berbicara dari ruang kontrol sedang berjalan menuju setting sambil merangkul si aktris yang sakit hati.

"Dia tidak mau diarahkan," keluhnya. "Dia tahu masalah blocking, tapi begitu kamera dinyalakan, dia berbuat seenak perutnya."

"Aku tahu, aku tahu. Tidak bisakah kau menahan diri dan mentolerirnya demi aku?" tanya si sutradara dengan nada simpatik. "Mari kita selesaikan jadwal hari ini, lalu kita bicarakan persoalannya sambil minum-minum. Aku akan bicara dengan Guixian. Oke? Nah. Sekarang coba tunjukkan senyum manismu."

Rayuan gombal, Sungmin mengomel dalam hati.

Temperamen artis. Ia tahu sekali soal itu. Katakan pada mereka apa yang ingin mereka dengar dan redakan paranoid mereka sampai mereka kumat lagi.

Kedua orang itu bergabung dengan Chao Guixian di setting, dan mereka bertiga berdiskusi singkat. Kru, yang menikmati jeda dengan merokok, membaca majalah, atau mengobrol, kembali ke posisi mereka di balik kamera dengan mulai memasang headphone. Dari alat inilah masing-masing menerima instruksi dari sutradara di ruang kontrol.

"Sebelum aku kembali ke atas, mari kita latih adegannya sekali lagi. Cium dia dengan mesra, Guixian. Dia kekasihmu, ingat?"

"Pernahkah kekasihmu memakan pizza anchovy?"

Si aktris menjerit kesal.

Kru tertawa terbahak-bahak. Sang sutradara berhasil menenangkannya lagi. Kemudian dia berkata, "Mulai."

Salah satu kamera pindah ke posisi baru yang menutupi pandangan Sungmin. Meskipun semula ia tidak suka, ternyata sekarang dia tertarik pada sesi pengambilan gambar ini. Ia mengambil tempat yang pas agar dapat melihat dan mendengar dengan jelas. Kali ini setelah dialog hambar mereka selesai, Chao Guixian memeluk Si aktris dan menciumnya.

Jantung Sungmin berdebar-debar ketika ia menatap bibir pria itu menutupi bibir si aktris. Orang yang melihat seperti bisa merasakan ciuman itu, seperti bisa membayangkan...

Sungmin bersandar di meja setting supaya pemandangannya lebih jelas. Suara benda pecah mengalihkan pandangan semua orang dari para aktor di setting. Mereka semua memandanginya!

Sungmin melompat kaget, ketakutan karena telah menarik perhatian. Dia tadi tidak melihat vas kaca tinggi di meja.

Sekarang benda itu pecah be-rantakan di lantai studio.

"Brengsek!" teriak Chao Guixian. "Apa lagi sekarang?" Dia mendorong si aktris dan melintasi lantai studio dalam tiga langkah panjang dan mantap. Sutradara mengikutinya, kesabarannya habis, tapi ia tetap tenang.

Si aktor memelototi Sungmin dan wanita itu mengeret melihatnya.

"Siapa-"

"Dia kemari untuk menemui Tuan Cho," potong juru kamera yang tadi bicara dengan Sungmin.

Mata Chao Guixian yang gelap kini berkilat-kilat membuat Sungmin terpaku. Mata pria itu melebar karena ingin tahu. "Tuan Cho, heh?" Terdengar kru tertawa pelan. "Aku tidak tahu kau mulai mengizinkan pramuka mengunjungi setting untuk acara jalan-jalan mereka." Ucapnya kepada sang sutradara. Kali ini kru tertawa keras.

Sungmin tidak terkesan dengan selera humor Chao Guixian dan marah besar karena dia jadi objek leluconnya.

Wajahnya memerah dan matanya memandang pria itu sementara dia merasa kemarahannya memuncak.

"Maaf saya telah mengganggu-kegiatan Anda," kata Sungmin angkuh. Dia tidak tahu istilah untuk sesi pengambilan gambar ini, dan dia tidak peduli. Dia berpaling dari tatapan sinis Chao Guixian dan bicara pada sutradara yang tampaknya sopan. "Saya Lee Sungmin dan saya diminta menemui Tuan Cho di sini pada pukul 15.00. Saya minta maaf atas penundaan yang saya sebabkan."

"Cuma satu dari sekian banyak penundaan hari ini," kata pria itu, menghela napas berat. Lalu sambil sembunyi-sembunyi melirik Guixian, ia berkata, "Tuan Cho sedang sibuk. Maukah kau menunggunya di kantorku? Tidak lama lagi dia akan menemuimu."

"Ya, terima kasih," jawab Sungmin. "Biar vas ini saya ganti dengan uang."

"Lupakan saja. Pergilah ke atas dan lewati ruang kontrol. Kantorku persis di seberang koridor."

"Terima kasih," ulang Sungmin sebelum berputar dan, menyadari bahwa semua mata di studio memandangnya, menaiki tangga putar.

Sungmin sebetulnya ingin berhenti dan melihat-lihat panel kontrol-komputer yang menarik dan rumit. Berbagai monitor yang dipasang di atasnya membuat sutradara dapat melihat bagian mana yang disorot kamera-kamera, dan dia melihat wajah Guixian. Ingin sekali rasanya dia menjulurkan lidah pada pria itu.

Sungmin menjatuhkan diri ke satu-satunya kursi yang tersedia di kantor itu selain yang terbuat dari vinil pecah-pecah di balik meja kerja berantakan. Dia memandangi foto-foto berdebu di dinding yang menampakkan wajah si sutradara bersama berbagai aktris, sutradara lain, dan orang penting.

Siapa sih sebetulnya si Tuan Cho ini? Apakah dia eksekutif jaringan televisi? Teknisi? Bukan. Dia pasti orang berduit.

Bermenit-menit berlalu, dan Sungmin sudah mulai tak sabar ketika mendengar pintu dibuka di belakangnya.

Guixian berjalan masuk dan menutup pintu dengan tenang.

Sungmin langsung berdiri. "Saya akan menemui-"

"Aku Cho Kyuhyun, ayah Minhyun."

Sungmin merasa bibirnya membentuk huruf O kecil. Dia memandangi Kyuhyun sementara pria itu bersandar di pintu. Kyuhyun sudah berganti pakaian. Sekarang dia mengenakan jins dan sweater panjang. Lengannya yang longgar ditarik sampai siku.

"Kau tampak terkejut."

Sungmin mengangguk.

"Dokter Park tidak memberitahukan nama profesionalku padamu." Itu bukan pertanyaan. Pria itu tak sadar menggaruk telinganya. "Tidak, kurasa dia takkan berbuat begitu. Pantas saja dia takut kau punya kesan salah tentang aku. Aktor memiliki reputasi buruk, kau tahu." Sudut-sudut mulutnya naik seolah dia akan tersenyum, tapi gerakan itu lenyap secepat timbulnya.

"Terutama kalau semua yang kau baca di majalah penggemar benar. Tahukah kau bahwa aku memaksa pacarku yang sekarang, untuk melakukan aborsi minggu lalu? Setidaknya begitulah yang kubaca," katanya sinis.

Sungmin masih terlalu kaget untuk bicara. Dengan masam dia memikirkan guru-guru lain di sekolah dan apa yang akan mereka katakan kalau tahu dia seruangan dengan Dr. Marcuss/Chao Guixian.

Sungmin selalu tenang dan kompeten-kecuali kalau emosinya sedang tinggi. Kalau begitu, kenapa dia berdiri di sini dengan tangan berkeringat yang saling menggenggam? Dia belum bergerak sejak pria itu memperkenalkan diri. Lidahnya seakan melekat di langit-langit mulutnya.

"Siapa tahu kau akan merasa senang, Nona Lee, kuberitahu kau bahwa kau pun tidak sesuai dengan gambaranku." Dia maju dari pintu dan Sungmin secara refleks mundur selangkah.

Pria itu melontarkan senyum. Dia tahu Sungmin merasa canggung berduaan dengannya di kantor kecil ini. Sungmin jadi kesal: Memangnya dia siapa? Dia tak mau terpesona bagai seorang penggemar fanatik di hadapan bintang rock idola dan tergagap-gagap seperti idiot.

"Nama saya Lee Sungmin."

Pria itu mengangkat sebelah alisnya dengan geli dan bergumam, "Mestinya aku sudah tahu." Sikap soknya membuat Sungmin jengkel.

Dia berkata dengan suara paling profesional, "Dokter Park mengutus saya kemari untuk membicarakan masalah Minhyun, Tuan Cho."

"Panggil Kyuhyun saja. Kau ingin minum kopi?" Dia menunjuk mesin pembuat kopi tempat seteko kopi sehitam dan sepekat malam sedang dihangatkan.

Sungmin sebetulnya tidak mau, tapi sadar bahwa kalau memegang cangkir kopi, dia jadi tidak bisa meremas-remas tangannya sendiri.

"Ya, tolong."

Pria itu berjalan ke meja kecil dan dengan sangsi memandang cangkir yang kebersihannya diragukan. Dia menuangkan kopi dan mengangkat alis sambil bertanya,

"Krim? Gula?"

"Krim."

Dia menambahkan produk berbentuk bubuk itu ke dalam kopi dan mengaduknya dengan sendok plastik bernoda yang jelas sudah pernah digunakan untuk tujuan itu. Disodorkannya cangkir itu. Sungmin menerimanya. Mula-mula dia tidak melepaskannya, melainkan terus memegangi cangkir sampai Sungmin mendongak memandangnya. Sungmin menelan ludah ketika untuk pertama kalinya menatap mata onyx yang sekarang memantulkan bayangannya sendiri.

"Belum pernah aku melihat orang yang warna matanya sama dengan rambutnya," kata pria itu.

Terima kasih tidak bisa dibilang respons yang tepat untuk pernyataannya barusan, karena itu bukanlah pujian sungguhan. Sungmin cuma tersenyum lemah dan berusaha lebih keras untuk menarik cangkir kopi dari tangan Kyuhyun. Pria itu menyerah dan berbalik untuk menuangkan kopi bagi dirinya sendiri.

"Ceritakan tentang putriku, Nona Lee," katanya, menekankan bentuk panggilan itu dengan sarkasme. Dia pergi ke balik meja kerja, duduk di kursi yang berderit-derit, dan menaikkan kaki ke meja.

Sungmin duduk kaku dan tegak di kursi di hadapan pria itu. Dia menyesap kopi. Rasanya seburuk yang diduganya.

Kyuhyun terkekeh melihatnya mengernyit. "Aku minta maaf untuk kualitasnya."

"Tidak apa-apa, Tuan Gui… Cho."

Sungmin menatap cangkir kopi dan, waktu pria itu tidak mengatakan apa-apa, mendongak ke arahnya. Dia kaget waktu melihat Kyuhyun memakai bahasa isyarat untuk mengeja namanya. K-Y-U-H-Y-U-N. Alis berwarna gelap pria itu berkerut di atas matanya, yang tampak berkeras agar Sungmin menggunakan nama itu.

Sungmin menjilat bibir dengan gugup, tersenyum sedikit, lalu menggunakan bahasa isyarat untuk mengucapkan "SUNGMIN". Pria itu menurunkan kaki, mencondongkan tubuh ke depan, menumpukan siku di meja, dan bertopang dagu.

Sungmin memutuskan sekaranglah saat yang tepat untuk menguji keahlian Kyuhyun dalam bahasa isyarat.

Menggunakan gerakan perlahan dan jelas, Sungmin bertanya padanya dalam bahasa isyarat, 'Apakah kau menggunakan bahasa isyarat dengan Minhyun?'

"Aku tahu Minhyun, itu saja," katanya ketika Sungmin berhenti.

Sungmin mencoba lagi dan bertanya dalam bahasa isyarat, 'Berapa umur putrimu?'

Pria itu sama sekali tak bereaksi. Dia cuma duduk memandanginya dengan mata yang tiba-tiba tanpa ekspresi.

Sungmin memberi isyarat, 'Apa warna rambutnya?' Nihil. 'Apakah kau menyayangi Minhyun?'

"Minhyun lagi. Maaf aku tidak tahu yang selebihnya. Kurasa ini artinya menyayangi." Dia menyilangkan lengan di dada seperti Sungmin tadi.

"Ya, benar, Kyuhyun. Mulai sekarang, ini akan jadi namamu supaya kau tidak perlu mengejanya terus."

Dia membuat isyarat untuk huruf 'D' dan menyentuhkannya ke tengah kening. "Ini Daddy," katanya, menyentuh kening dengan ibu jari, jari-jari yang lain mengembang. "Kita kombinasikan keduanya. Mengerti?"

Pria itu mengangguk.

"Ini Sungmin." Sungmin membuat huruf S dan mengelus bagian samping wajahnya dari tulang pipi sampai dagu. "Ini gadis" katanya, mengelus pipinya dengan ibu jari sementara tangannya mengepal longgar.

"Kau lihat bagaimana kita mengkombinasi dua isyarat untuk membentuk nama seseorang?"

"Yeah," kata Kyuhyun dengan nada bersemangat. "Untuk kita membuat huruf M dengan tiga jari, lalu isyarat ikal untuk menunjukkan rambut ikalnya."

"Persis!" Mereka saling tersenyum, dan sesaat mata mereka bertemu. Sungmin merasa jauh di dalam tubuhnya ada perasaan menggelitik yang aneh namun menyenangkan. Sedetik dia tahu bagaimana perasaan wanita-wanita lain ketika menonton wajah tampan ini di layar televisi mereka tiap siang. Kyuhyun memang karismatik dan pria itu mengetahuinya, Jika dia tidak berhati-hati, Kyuhyun bisa menghalanginya mengatakan hal-hal yang ingin disampaikannya.

"Kyuhyun," dia menggunakan bahasa isyarat terus sekarang, bahkan sambil mengucapkannya, kebiasaan para guru yang mengajar para penderita tuna rungu.

"Dokter Park memintaku untuk mengevaluasi kemajuan Minhyun. Aku sudah mengamatinya selama beberapa hari. Aku merasa pendapatku bersifat akademis, tapi hanya itu, sekadar pendapat. Biarpun demikian, aku akan berterus terang sepenuhnya padamu."

"Aku ingin kau begitu. Aku yakin kau sangat menganggap rendah ayah yang mengasramakan anaknya selama hampir tiga tahun, tapi aku menyayanginya. Dan aku ingin melakukan yang terbaik untuknya." Dia berdiri dan berjalan ke jendela.

Memunggungi Sungmin, dia memandang ke balik kaca kotor itu.

"Tolong lihat aku menggunakan bahasa isyarat, Kyuhyun. Itu akan membantumu mempelajarinya." Pria itu menghadapnya lagi seolah akan membantah, namun ternyata dia hanya mengangkat bahu dan kembali ke kursi.

Sungmin melanjutkan dengan tenang. "Kau beruntung Minhyun tidak seratus persen tuli. Aku yakin kau sekarang sudah tahu bahwa ketuliannya adalah tipe saraf sensorik yang, pada saat ini, tidak bisa diobati. Dia dapat mendengar beberapa suara keras. Misalnya dia dapat membedakan suara helikopter dan siulan." Dia berhenti sejenak untuk melihat apakah pria itu akan berkomentar. Ternyata tidak, jadi dia meneruskan, "Sayangnya dia tidak tahu nama untuk siulan atau helikopter. Atau mungkin dia tahu dan cuma tidak memberitahu kita bahwa dia tahu. Dia hampir sama sekali tidak responsif terhadap komunikasi apa pun."

Garis-garis di kedua sisi mulut Kyuhyun menegang.

"Maksudmu dia terbelakang?"

"Tidak, sama sekali tidak," Sungmin menekankan. "Dia luar biasa pintar. Aku berpendapat bahwa dia kurang dalam hal...Hmm, ada anak yang perlu diajar secara privat. Aku pribadi merasa pengasramaan Minhyun merusak kemampuannya. Dia butuh berada di lingkungan rumah di mana dia secara terus-menerus ditemani seseorang yang... yang..." suaranya menghilang, dia tidak ingin mengatakan apa yang menurutnya mungkin akan menyinggung perasaan Kyuhyun.

"Yang menyayanginya? Itukah yang sulit kaukatakan? Sudah kubilang aku menyayanginya. Aku memasukkannya ke asrama sekolah bukan karena malu padanya."

"Aku tidak bermaksud-"

"Tentu saja iya!" bentak Kyuhyun. "Karena kau begitu pandai, coba beritahu aku apa yang harus dilakukan seorang duda terhadap anaknya yang masih kecil? Terutama kalau si anak tuna rungu, hah? Sekolah mewahmu itu mahal, kau tahu. Aku harus banting tulang untuk membayarnya. Dan tagihan-tagihan medis setelah puluhan tes yang tidak memberitahumu apa-apa selain bahwa gadis kecilmu tuli, fakta yang sudah kau ketahui, karena kalau belum kau takkan menyuruhnya menjalani tes-tes mengerikan itu."

Dia berhenti untuk menarik napas, mata berkilat menyeramkan. "Paling tidak kita menyepakati satu hal. Minhyun perlu diajar secara privat."

Dia tiba-tiba berdiri, membuat kursi berdecit-decit meluncur ke belakang. "Tapi gurunya bukan kau."

Ia menyerbu dari balik meja dan menumpukan lengannya yang kuat di kedua sisi kursi Sungmin, membuatnya terperangkap di situ.

"Aku memberitahu Dokter Park kalau aku menginginkan orang yang bertanggung jawab. Aku mencari tipe guru yang keibuan yang memakai sweater longgar berkantong besar-bukan wanita yang memakai setelan buatan desainer." Matanya menyusuri tubuh Sungmin dengan pandangan melecehkan. "Orang yang rambut berubannya disanggul rapi, bukan rambut hitam legam dengan berpotongan canggih yang melambai-lambai. Orang yang agak gemuk dengan tubuh gempal, keibuan, bukan payudara kecil menantang dan bokong yang kencang."

Sungmin merah padam karena marah dan malu.

Berani-beraninya dia!

"Tutor Minhyun seharusnya memiliki pergelangan kaki besar dan memakai sepatu datar, bukan-" Ia menunjuk betis Sungmin yang ramping, terbungkus stocking tipis, dan sandal tali berhak tinggi yang dipakainya. "Kau tidak kelihatan seperti tutor untuk anak tuna rungu. Kau kelihatan seperti gadis yang membagikan contoh parfum."

Pria itu makin mencondongkan tubuh sampai kepala mereka nyaris bersentuhan. Sebelum Sungmin sempat bereaksi, pria itu membenamkan wajahnya di rambut lembut di belakang telinga Sungmin. "Kau juga wangi seperti mereka," ia berbisik serak.

Sesaat Sungmin tak bisa bernapas. Tapi ketika dia akhirnya bisa, aroma Kyuhyun menyelimutinya. Aroma itu bersih, khas, dan jantan. Kenapa dia ini? Dia menyentakkan kepala dari pria itu.

"Kau! Biarkan aku bangkit sekarang juga," perintahnya, mendorong dada Kyuhyun. Pria itu menegakkan tubuh dan menjauh dari kursi yang langsung ditinggalkan Sungmin. Ia menarik napas dalam-dalam beberapa kali untuk menenangkan diri sebelum berkata, "Mungkin aku memang tidak sesuai harapanmu, tapi kau jelas sesuai dengan dugaanku, Tuan Cho." Dia mengucapkan nama pria itu dengan nada mengejek.

"Kau tidak pantas memiliki putrimu. Dia cantik, pintar, dan manis. Tapi dia menderita. Kau dengar aku? Dia menderita secara emosional karena satu-satunya orangtuanya tidak mau berusaha mempelajari bahasa yang dia mengerti, apalagi berusaha mengajarkan bahasa itu padanya. Orangtua seperti kaulah yang membuat pendidikan tuna rungu kembali ke zaman Helen Keller. Aku guru-"

"Kau jangan berpura-pura tidak suka aku menyentuhmu. Aku lebih tahu. Bagaimana aku tahu bahwa kalau aku mempekerjakanmu di Mokpo sana, kau takkan kabur dengan bujangan pertama yang mendekatimu? Itu kan yang sebenarnya diinginkan semua gadis karier liberal? Suami?"

Sungmin bisa merasakan amarahnya menyala sampai ke akar rambutnya. "Aku pernah bersuami. Pernikahanku tidak terlalu bahagia."

"Kau bercerai?"

"Dia meninggal."

"Kebetulan sekali."

Dia berbalik dari pria itu sebelum melontarkan omongan yang belakangan mungkin akan disesalinya.

Lagi pula, Dr. Park menyuruhnya melakukan misi ini dan akan mengharapkan laporan darinya. Di pintu dia berputar untuk melihat pria itu bersandar di meja dengan bersilang kaki. Perasaan sok dan puasnya tampak jelas di matanya yang mengejek, cara berdirinya yang kurang ajar, dan bibirnya yang menyeringai.

Perlahan-lahan Sungmin berkata, "Kau orang paling sombong, biadab, dan menyebalkan. Dasar-" Ia mengucapkan kata terakhir dalam bahasa isyarat.

"Apa artinya itu?" bentak Kyuhyun, sambil dengan marah meninggalkan meja.

"Tebak saja sendiri, Tuan Cho."

Dia membanting pintu.


.

.

.

To Be Continued

.

.

.


Hallo ^^

Saya datang membawa FF baru !

FF yang lama aja belum tuntas, udah bawa yang baru !

Iya, saya tau /? u.u

Btw, kira-kira cerita ini udah ada yang me-remake belum? Saya cuma nemu yang versi pairing lain, tapi yang versi KyuMin belum nemu.

Tolong infonya ya ^^

Kalau misalkan udah ada yang remake, saya akan hapus ff ini.

Terima kasih ^^