Ajin: Demi-Human © Gamon Sakurai / semi AU(?), BL, typo, OOC, tolong dibetulkan jika ada yang salah, dsb, dst.

.

Sejak saat itu, Nagai Kei tak menemukan mataharinya. Bukan pula bulan, apalagi bintang. Pandangan matanya hanya berupa hamparan kosong kanvas hitam yang tak ingin menghilang. Tolong siapa saja. Ia sering melolong tangah malam hanya untuk mengusir kesenyapan. Tapi tak ada yang datang. Cangkir dengan uap mengepul tak pernah ia temukan.

Karena dunia Nagai Kei sudah terlampau beku.

Terlalu dingin, sampai-sampai usapan tangan Kai pada punggungnya tak dapat ia rasa. Jiwanya terombang-ambing dalam distorsi tak berwujud. Transparan. Kei hanya menghabiskan waktunya dengan menatap dinding batu bata di sudut bilik miliknya, secara filosofi. Ia sering mencoba untuk melontarkan kata-kata. Bahkan terkadang berteriak keras-keras.

Namun Kai sama sekali tak meresponnya. Pemuda itu hanya membuka pintu, mencoba memasukkan potongan makanan ala kadarnya, menyodorkan minuman dengan sedotan, kemudian keluar lagi.

Sampai saat pintu terayun entah untuk ke berapa kali—percayalah, Kei tak dapat lagi berhitung. Bahkan ia tak yakin wujudnya benar-benar absolut. Kai kembali masuk, dengan langkah agak tergesah dan semangkuk cairan kental berwarna putih tulang di tangannya. Kei selalu bisa menebak. Setelah sampai di hadapannya, pemuda bersurai pirang akan memasukkan ramuan dari yang tak berwarna hingga segelap jelaga.

Kai ingin ia sembuh.

Kai ingin ia kembali.

Kai ingin ia melihat cahaya lagi.

Tetapi angan-angan itu hanya berujung buntu. Kai selalu kecewa, pada akhirnya. Sebelumnya Kei itu abadi, tak bisa mati. Sampai dua bulan lalu ia mendadak lunglai dan jatuh merosot seperti tanaman layu.

Mungkin nyawanya habis.

Atau mungkin dewa ingin menghukumnya sekarang.

"Apa kau bisa mendengarku, Kei?"

Kei tak dapat merasakan ketika mangkuk itu didekatkan ke mulutnya dan dituangkan perlahan. Masuk ke lambung dan melalui usus. Ngomong-ngomong, Kei tak tau dimana letak ususnya. Juga dimana letak pemuda pirang yang disayanginya. Ia hanya bisa merasakan kehadirannya dari balik mata yang terpejam. Mendengarkan suaranya dari balik filamen yang mungkin sudah keras dan menutupi sebagian telinganya.

"Ini lemak gajah yang kutemukan kemarin. Aku tak terlalu paham apa manfaatnya, tapi patut dicoba, 'kan?" Kai tertawa hambar. "Kuharap tak membuatmu bertambah parah."

Kei tak mungkin menjadi lebih parah dari ini.

Tangan Kai bergeser dan mulai menelusuri kulit pucat yang tak lagi hangat. Setelah mangkuk ia letakkan di atas meja yang keropos ujungnya, ia kembali berujar, "Kau mendengarku? Berikan tandanya."

Jemarinya berhenti sebentar di belahan bibir yang pucat warnanya. Kai menyunggingkan senyum samar. Hanya sebatas bernostalgia, pikirannya kembali mengulang kejadian yang telah menjadi sejarah berdebu. Kusamnya melebihi baju buluk yang ada di dasar kardus. Kai tersenyum kembali, untuk kemudian mundur beberapa langkah dan mengamati wajah yang terlelap dalam dunia dunia miliknya pribadi.

Pemuda itu terlihat menikmati kesendiriannya. Meski Kai selalu tau ...

... Kei sangat ingin melihat cahaya.

"Kau tak akan menyerah di sini bukan? Kau abadi Kei."

Cahayanya yang selalu tersenyum dan berdiri di sampingnya.

.

"Aku memang abadi."

.

"Dalam hatimu."

.

Pada akhirnya Kai selalu keluar dengan tangan kosong. Pujaan hatinya telah menyatu dengan waktu yang berhenti dua bulan lalu.

END

Note : Kei tak mungkin menjadi lebih parah dari ini = keadaan Kei udah nggak bisa ditolong lagi. Ya, intinya Kei udah mati (tapi nggak bener-bener mati, anggap aja tidur panjang) tapi Kainya bersikeras kalau Kei bisa ditolong /what?!/

Terima kasih sudah membaca ^^

VEE

20-02-16