"Sakura, tolong buka pintunya!"

"Iya, okaa-san, sebentar!"

Sakura membuka pintu rumahnya dan mendapati seorang laki-laki berambut blonde dengan kumis aneh di wajahnya tersenyum di hadapannya, "Hajimashite. Ore wa Uzumaki Naruto, baru pindah ke rumah sebelah hari ini."

"Tetangga baru?"

UNCOMMON CASE OF UZUMAKI NARUTO

Summary: AU. Sakura, cewek yang tidak percaya takhayul, bertemu tetangga baru bernama Naruto yang menurutnya mesum, jahil dan 'aneh', yang dengan keanehannya telah mengubah cara berpikirnya! NaruSaku fic+supernatural events!

Disclaimer: Bukan milik saya, milik mutlak Masashi Kishimoto

Warning: OOC, OC, AU, surprise pairings! Jangan baca kalau ga kuat baca ._.

Chapter 1: A WOMAN'S MISERY

'Tetangga baru?' pikir Sakura bingung, 'Hanya cowok itu sendiri yang pindah ke rumah sebelah?'

TING TONG.

"Tunggu sebentar!"

KRIIIET.

"Oh, kau Sakura-chan dari keluarga Haruno, kan?" seseorang berambut blonde dengan cengiran yang khas di wajahnya membukakan Sakura pintu, "Ada apa datang ke sini?" Tanya Naruto, nama anak laki-laki itu.

"Etto, ibuku menyuruhku datang ke sini membawakanmu makanan. Ia mengira kalau kau tidak sempat makan saat sedang mengurus semua barangmu ke sini," kata Sakura sambil menyerahkan sekotak bento pada Naruto.

"Whoa, arigatou, Sakura-chan! Bilang terima kasih juga pada ibumu sudah membuatkanku bento!" seru Naruto senang. Sakura hanya tersenyum mendengarnya. Lalu Naruto kembali menatap Sakura, "Bagaimana kalau kau masuk dulu? Aku bisa membuatkanmu teh, kebetulan semua alat-alat pemanas teh dan kopi sudah dikeluarkan dari kardus."

"Eh?" Sakura membelalakkan matanya, "Boleh? Apa aku tidak mengganggu?"

"Kebetulan aku sedang tidak membereskan barang-barangku. Masuklah. Di dalam memang agak berantakan," Naruto hanya cengar-cengir.

Sakura tidak dapat menolak. Kebetulan gadis berambut pink ini tertarik sekali dengan rumah yang sudah bertahun-tahun tidak dihuni ini, rumah mewah bergaya Eropa. Ia penasaran seperti apa di dalamnya. Banyak sekali orang-orang di sekitar tempat ia tinggal mengatakan bahwa rumah yang ditempati Naruto sekarang ini berhantu, dihantui oleh para pemiliknya sebelumnya yang telah meninggal karena suatu kasus misterius. Untungnya, Sakura lebih berpikir rasional dan menganggap bahwa cerita itu hanya dikarang oleh orang-orang kolot sehingga tidak mempercayainya—apalagi ia tidak pernah melihat hal-hal aneh di rumah itu.

"Rumah yang bagus," kata Sakura sambil menerima secangkir teh yang diberikan Naruto, "Kau tinggal sendirian?"

"Ya. Orang tuaku sudah lama meninggal, jadi aku hidup sendirian dari warisan orang tuaku dan bantuan beberapa orang saudara," jelas Naruto.

Sakura tersedak, "G-gomennasai. Aku tidak tahu-"

"Tidak apa-apa. Kau, 'kan tidak tahu," Naruto hanya tersenyum lebar padanya.

Sakura berusaha mengganti topik pembicaraan setelah hening beberapa lama, "Umm, kau senang membaca buku, ya?" katanya sambil menunjuk pada rak buku yang penuh dengan buku-buku tebal.

"Ya, kebanyakan buku novel misteri dan buku tentang urban legends dan sejenisnya," ujar Naruto, "Edgar Allan Poe merupakan penulis favoritku."

"Oh, ya? Tapi kau juga tertarik dengan urban legends?"

"Sangat tertarik. Aku menyenangi hal-hal yang tidak masuk di akal manusia, tetapi sebenarnya memang terjadi di antara kita. Seperti misalnya legenda tentang Kuchisake Onna dan sejenisnya, yang benar-benar ada."

"Itu cuma cerita karang-"

"Dulu pernah terjadi kemunculan Kuchisake Onna di beberapa wilayah Jepang, meski dalam versi masing-masing."

"Tapi Kuchisake Onna benar-benar tidak ada," debat Sakura. Tiba-tiba ia menurunkan suaranya, "Err, gomen sekali lagi…"

Naruto tertawa, "Tidak apa-apa. Aku senang bisa berbicara dengan cewek cantik sepertimu, kesempatan sekali seumur hidup."

"Err… arigatou?" gumam Sakura tak yakin—rona merah menghiasi wajahnya, "Ah. Aku harus segera pulang. Terima kasih tehnya, Naruto!"

Sakura buru-buru meninggalkan rumah Naruto.

XXX

Sakura mengomeli dirinya sendiri ketika malamnya ia disuruh kembali oleh ibunya mengantarkan Naruto makan malam. Gara-gara ia menceritakan soal Naruto yang seorang yatim piatu pada ibunya, Mebuki memaksa Sakura untuk membawakannya makanan, 'Kamu tidak tahu perasaan anak yatim piatu yang tidak punya ibu untuk memasakkannya makanan?' kata ibunya sambil mengusap air mata.

Sakura menggerutu, "Ya, ya. Aku tahu, kaa-san." Ia bersiap-siap membunyikan bel ketika ia menyadari bahwa pintu rumah Naruto tidak tertutup dengan benar. Sakura dengan hati-hati membuka pintu, "Ojamashimasu… Naruto? Aku membawakan makanan-"

"Jadi kau tewas karena keracunan gas? Begitu, makanya kau tidak ingin lekas-lekas meninggalkan tempat ini, ya…"

Sakura memasang wajah bingung ketika ia melihat Naruto berdiri di dekat pintu dapur. Naruto berbicara sendirian?

"Jika aku bisa membantumu untuk kembali ke tempatmu yang seharusnya, kau ingin memintaku melakukan apa?" hening sejenak, "Baiklah. Serahkan saja semua padaku, aku akan mencarikan barang yang kau mau."

BRAAKK.

Naruto memalingkan wajahnya dan melihat Sakura jatuh terduduk di depan pintu masuk. Ia langsung berlari menuju Sakura, "Kau tidak apa-apa, Sakura-chan?"

"E-eh, a-aku hanya terpeleset," sahut Sakura cepat, menerima uluran tangan Naruto.

"Whoa, sepertinya lain kali kau harus memakai celana. Celana dalammu terlihat karena rokmu tersingkap tadi," kata Naruto masih dengan senyuman polosnya.

"Hiiyaaa!" teriak Sakura kaget sambil buru-buru memegang roknya, "K-kau melihatnya, ya? Dasar ecchi, baka! Padahal aku datang ke sini membawakanmu makanan!" ia benar-benar kesal dengan Naruto. Baru beberapa jam ia berkenalan dengannya, orang ini sudah berani melihat celana dalamnya! (Meski keseluruhan merupakan kesalahan Sakura sendiri)

"Gomen ne, hehe," Naruto masih cengar cengir, "Oh? Makan malam? Arigatou…"

Sakura masih menatap Naruto tajam, "Tadi… kau berbicara dengan siapa?"

"Eh?" Naruto balas menatap Sakura dengan bingung. Ia tampak berpikir beberapa saat, "…aku menerima telepon, dari penjual rumah ini," ia menunjukkan ponsel yang digenggamnya.

"O-oh."

"Kau mau langsung pulang?"

"Awalnya aku berniat begitu, sih," Sakura tiba-tiba penasaran dengan orang yang di hadapannya ini, "Tapi kurasa kau butuh teman untuk diajak berbicara saat makan malam."

Gadis berambut pink itu sedikit menyesali perbuatannya ketika menyadari bahwa Naruto sama cerewetnya dengan dirinya. Cowok itu bercerita mengenai hidupnya sebelum pindah ke rumahnya yang sekarang. Sakura juga baru mengetahui bahwa Naruto seusia dengannya, kelas 11 dan sekarang berniat sekolah di sekolah yang sama dengan Sakura. Ditambah lagi sikap Naruto yang mirip om-om mesum, beberapa kali ia menebak ukuran dada Sakura, 'A-cup, ya?' yang langsung dijawab Sakura dengan tonjokan ke kepala—tersinggung karena dadanya memang kecil. Dan juga kemisteriusan sikap Naruto dibalik semua lelucon dan sifat mesum-cerewetnya, yang membuat Sakura tidak bisa berhenti mendengar semua omongannya.

"Jadi… menurutmu hantu itu ada, Sakura-chan?"

"Hantu? Hah, tentu saja tidak ada."

"Karena kau tidak bisa melihatnya, maka kau tidak mempercayainya, bukan?"

"Maksudmu?"

"Jika aku bilang bahwa ada sesuatu yang saat ini sedang berdiri di sampingmu, apa yang akan kau lakukan?"

Sakura nyaris loncat dari kursinya sambil menjatuhkan cangkir yang dipegangnya, "Ini tidak lucu, Naruto. Aku tidak melihat siapa pun di sekitarku selain kau."

Sekilas wajah Naruto tampak heran, "…baiklah. Aku hanya bercanda."

Sakura mengerutkan kening. Ia mengambil cangkir yang dijatuhkannya, "Sepertinya aku harus pulang. Besok kita bertemu lagi di sekolahmu yang baru," ia terhenti ketika Naruto membantunya mengambil cangkir plastik yang dijatuhkannya. Wajahnya memerah ketika ia melihat wajah Naruto dari dekat, "I-ini tugasku karena sudah menjatuhkan cangkirmu, jadi biarkan aku yang mengambilnya."

"Gadis cantik sepertimu tidak boleh melakukannya selama masih ada seorang pria," kata Naruto, "Itu yang kudengar di TV, sih."

"Baka," gerutu Sakura. Ia buru-buru bangun, "Terima kasih tehnya. Aku pulang dulu!"

Ia meninggalkan Naruto dan meyakinkan dirinya telah menutup pintu dengan benar.

Sementara Naruto berdiri dengan wajah sedikit bingung dan heran, "Dia benar-benar tidak mempercayaiku. Padahal kau jelas-jelas berdiri di sampingnya. Sepertinya ini jadinya kalau di dunia ini hanya satu orang yang bisa melihat hantu, tidak akan dipercaya orang."

Cangkir yang Sakura gunakan tiba-tiba bergerak meluncur pelan mendekati kotak bento Naruto.

XXX

Sakura membuka tirai jendela kamarnya, melihat ke rumah di sebelah rumahnya. Ia penasaran dengan sikap Naruto, dan juga saat Naruto berbicara sendirian di depan pintu dapur. Ia jelas-jelas melihat Naruto tidak menggunakan ponselnya! Sakura menghela nafas, Tidak ada gunanya aku pikirkan, lebih baik aku tidur saja.

Ia hendak menutup tirai jendelanya ketika melihat lampu di jendela dekat pekarangan rumah Naruto mati dan nyala berulang kali. Seolah-olah ada seseorang yang memainkan saklarnya, "Ck, Naruto apa-apan, sih! Dia tidak tahu apa kalau memainkan saklar begitu bisa membuat lampu rusak!" katanya pada dirinya sendiri. Ia menarik tirainya dan langsung tidur di atas ranjang, tertidur pulas beberapa saat kemudian—tidak memedulikan suara tangisan bayi yang terdengar di kejauhan.

XXX

"Ohayou, Sakura-chan."

Sakura nyaris menjatuhkan tasnya, "N-Naruto! Kenapa kau bisa ada di sini?"

"Otou-san mengajaknya sarapan bersama kita. Ia juga berpikir bahwa setidaknya kita harus bersikap baik pada Naruto karena dia baru pindah ke sini, Sakura," jelas Mebuki sambil berkecak pinggang.

Sakura mengambil roti panggang di meja dan berlalu pergi, "…Aku berangkat dulu-"

"Sarapan, dulu, Sakura! Tidak sopan meninggalkan sarapan! Apalagi ada Naruto begitu!" seru Mebuki pada putrinya.

"Kaa-san…"

Kizashi berdeham ketika ia melihat istrinya melotot padanya, "Kau tahu, Sakura, ibumu ada benarnya. Sekarang duduk dan mari kita sarapan."

Sakura duduk dengan suara keras di samping Naruto.

"Gomen, Sakura-chan. Tapi aku juga tidak tahu di mana alamat sekolah kita."

Gadis berambut pink itu hanya menjawab dengan suara gigitan pada biscuit di hadapannya.

XXX

"Kenapa kau diam begitu, Sakura-chan? Apa aku berbuat salah?"

"Tidak sama sekali," sahut Sakura.

Naruto hanya berkeringat dingin ketika ia melihat urat nadi di dahi Sakura, "Aku… kau marah karena aku banyak merepotkanmu, ya…"

"Tidak, kok. Aku marah karena tadi pagi dilarang ibuku untuk berangkat duluan saja."

"Atau karena aku berbicara soal hantu kemarin malam?"

Sakura menoleh cepat ke arah Naruto, "Dengar, Naruto. Aku memang tidak percaya soal hantu, tapi aku tidak marah padamu karena soal itu, oke? Aku hanya kesal karena sikap ibuku, kok."

"Ta-"

Naruto berhenti melangkah ketika ia melihat Sakura berhenti di depannya.

"Itachi, jangan menangis terus. Jangan buat mama susah, oke?"

"Sasuke, jangan berlama-lama. Kau harus berangkat."

"Kau tidak apa-apa, Hinata? Sudah beberapa minggu kau tidak tidur dengan benar. Jika kau tidak kuat, telepon ibuku saja."

"Aku baik-baik saja. Berangkatlah," Hinata; wanita cantik berambut gelap panjang itu mencium pria berambut raven di hadapannya, "Hati-hati."

Sasuke—nama pria itu, melambaikan tangan pada istrinya dan berjalan pergi. Ia menatap Sakura sekilas ketika gadis itu lewat di hadapannya, "Sakura."

"Sasuke-oniichan!" seru gadis itu, "O-ohayou."

"Ohayou, Sakura." Sasuke menatap Naruto, "Siapa bocah ini?"

Sakura hendak menjawab ketika Naruto menjawab Sasuke dengan kesal, "Uzumaki Naruto. Aku baru pindah ke rumah di sebelah sana. Maaf saja, tapi aku ini bukan bo- ooow!" Sakura mencubit lengan Naruto keras-keras.

"Maafkan dia, Sasuke-oniichan. Dia memang begitu. Naruto, dia ini Uchiha Sasuke, guru lesku ketika SMP. Sopanlah sedikit padanya!"

"…tidak apa-apa. Sepertinya bocah ini menyukaimu."

"Hey!"

"Onii-chan! Tidak seperti itu, kok! Kami kan baru berkenalan! Umm… Nii-chan mau berangkat kerja?"

"Hai. Err, Sakura," Sasuke tampak ragu sesaat, "…maukah kau menolong istriku, menjaga Itachi? Beberapa hari ini ia tidak bisa tidur dengan benar karena menjaga Itachi. Itachi terus menangis beberapa minggu ini. Untungnya karena rumah kami agak jauh dari tetangga tidak ada tetangga yang complain, tapi tetap saja Hinata jadi kena akibatnya."

"Memangnya Itachi kenapa, nii-chan?"

Sasuke menggeleng pelan, "Entahlah, mungkin ia sedang tumbuh gigi. Dan akhir-akhir ini aku mengkhawatirkan keadaan Hinata. Ia mengaku sering mendengar suara misterius dan seorang wanita di kamar Itachi. Mungkin karena kelelahan," wajahnya berubah khawatir. Sasuke melirik jam tangannya, "Ah, aku jalan duluan, ya, Sakura dan-," lalu ia melirik Naruto sambil tersenyum kecil, "…Naruto… Dobe."

"Dobe?" Sakura menarik kedua bahu Naruto agar cowok itu tidak lari mengejar Sasuke, "Sakura-chan, dia itu siapa, sih? Kenapa dia tidak sopan sekali padaku? Dan aku tidak suka sifatnya! Berani-beraninya dia menggodamu, padahal dia sudah berkeluarga!"

BUGH.

"Dia tidak menggodaku, baka!"

"Jadi kau menyukainya?"

Raut wajah Sakura berubah sedih, "…bukan urusanmu." Ia berjalan meninggalkan Naruto dan berjalan menuju Hinata yang sedang sibuk membawa bayinya yang berusia 6 bulan ke rumah, "Hinata-neechan."

Hinata menoleh, "Oh. Sakura-chan," katanya gembira, meski wajahnya tampak pucat dari biasanya dan ada kantung mata di bawah matanya. Sakura bisa menebak Hinata kelelahan karena kurang tidur beberapa hari ini, "Mau berangkat sekolah, ya? Yang di sampingmu itu siapa?"

"Err, dia ini warga baru di sini dan akan bersekolah di tempat yang sama denganku."

"Uzumaki Naruto senang berkenalan denganmu, Hinata-chan."

BUGH.

Sakura memukul kepala Naruto, "Yang sopan sedikit, baka! Maafkan dia, nee-chan."

Hinata tertawa, membetulkan posisi anaknya, "Tidak apa-apa, kok. Dia lucu sekali. Kalau aku seumuran dengan kalian, mungkin aku langsung menyukaimu, Naruto-kun."

"Wah, benarkah? Kalau begitu sayang sekali Hinata-chan lebih tua dari pada kami! Tapi wajah Hinata-chan terlihat seperti baru seusia kami," kata Naruto sambil tersenyum lebar, sementara Sakura menggembungkan pipinya dengan tidak senang.

"Nee-chan tampak pucat. Apa nee-chan sudah tidur dengan pulas beberapa hari ini?" Tanya Sakura khawatir, "Kalau bisa kapan-kapan aku akan menjaga Itachi. Mungkin sepulang sekolah juga!"

"Aku berterima kasih atas bantuannya, Sakura-chan. Mungkin aku memang membutuhkannya, tapi Itachi butuh banyak sekali perhatian. Beberapa minggu ini ia terus menangis dan seminggu ini ia terus menangis sepanjang malam. Padahal ia tidak sedang tumbuh gigi," jelas Hinata sambil berusaha tersenyum. Ia mulai mengguncang-guncang tubuh Itachi ketika bayi itu mulai menangis, "Aku masuk ke dalam, ya, Sakura-chan. Sepertinya Itachi butuh sarapan."

Sakura menatap Hinata dengan khawatir saat melihat wanita itu berlari masuk ke dalam rumah sambil membawa anaknya yang menangis.

"Bukan sarapan, tapi karena anaknya melihat seorang wanita di balkon."

"Apa?" Sakura menoleh pada Naruto.

"…ah bukan apa-apa. Aku hanya bergumam. Ayo kita berangkat."

Sakura meragukan ucapan Naruto.

XXX

Sakura menggerutu kesal ketika sepulang sekolah hampir seluruh teman sekelasnya melambaikan tangan mereka pada cowok blonde itu. Pada hari pertama ia masuk, Naruto sudah banyak membuat masalah dengan guru yang juga membuatnya terkenal di kalangan teman-temannya. Tapi entah kenapa, Sakura kurang menyukainya. Apalagi ketika Ino, sahabatnya, bilang, 'Sejak kapan kau punya pacar seperti dia, Sakura?' dan pertanyaan itu juga dilontarkan oleh teman-teman sekelasnya setelah ia menunjukkan 'kedekatannya' dengan Naruto gara-gara selalu memukulnya apabila cowok itu mulai berbuat hal konyol.

Masalahnya, dia bukan pacar Naruto!

"Sakura-chan… kau marah lagi padaku…"

"Hmpph. Tidak, tuh."

"Tapi kau mendiamiku terus sedari pulang sekolah tadi…"

"Memangnya aku harus bilang apa?"

"…tentang dirimu mungkin. Atau soal ukuran dadamu-"

PLAK.

"ECCHI!"

"Huweee, Sakura-chan! Kenapa memukulku terus? Aku kan hanya bercanda…" Naruto mendongakkan kepalanya di hadapan rumah keluarga Uchiha—mendengar suara tangisan bayi yang tak lain adalah Itachi dari dalam. Sakura yang penasaran dengan sikapnya ikut berhenti berjalan.

"Ada apa, Naruto?"

"…rumah ini sepi, ya, selain suara anak bayinya. Kau tidak melihat keadaan Hinata-chan, Sakura-chan?"

"Umm. Ide bagus. Ayo," Sakura mengetuk pintu, "Hinata-neechan. Kami datang?"

"Oh. Sakura-chan…" sahut Hinata sambil setengah menguap. Ia menimang-nimang Itachi, "Kenapa tumben kau datang? Aku tidak punya makanan…"

"Nee-chan harus istirahat," paksa Sakura sambil meraih Itachi dari gendongan Hinata, "Itachi terus menangis dan nee-chan hampir tidak sadar sedang menggendongnya. Aku akan menjaga Itachi bersama Naruto…" Sakura menjitak kepala Naruto ketika cowok itu memasang wajah aneh yang membuat Itachi menangis makin keras, "Aku sudah bilang pada kaa-san untuk tinggal di sini. Aku juga bisa membuatkan makan malam."

"Tapi…"

"Ayo, Hinata-chan, biar aku antar," Naruto meraih pundak Hinata dan menuntunnya ke kamar tidurnya.

Sakura mendengus kesal, "…baka. Baka. Baka. Ssh, Itachi, jangan nangis. Sudah makan malam, kan?" Sakura mengambil botol berisi susu (sepertinya Hinata-neechan terlalu lelah untuk menyusui anaknya sendiri dengan ASI, pikirnya). Tetapi Itachi tetap menolak diberi minum dan menangis semakin keras, matanya terus melihat ke arah yang sama, "Aduh. Kau tidak mengompol. Kenapa, ya?"

Tiba-tiba Sakura mendengar suara pintu terbuka dan mengira Sasuke sudah pulang, "Onii-chan?"

Tidak ada siapa pun.

Sakura mengerutkan dahinya dengan heran dan mendapati pintu menuju dapur terbuka lebar. Padahal saat ia datang ke sini pintu itu tertutup rapat, "…angin?" pikirnya, "Ssh. Jangan menangis. Kita lihat tv saja, yuk."

"Itachi masih menangis?"

"Hyaa!" Sakura memekik kaget, "Naruto! Kau mengagetkanku!" ia mendesah ketika melihat Naruto hanya nyengir lebar, "Iya. Itachi masih menangis. Padahal sepertinya ia baru meminum susunya dan popoknya tidak bau. Atau mungkin karena kurang tidur, ya?"

"Dia menangis karena hal lain," kata Naruto, "Ada sesuatu di rumah ini… yang membuatnya tidak tenang."

"Jangan sembarangan, Naruto," Sakura memandang Naruto dengan tatapan sebal. Tiba-tiba ia merasakan bulu kuduknya berdiri dan menoleh, "Angin lagi?" Naruto meraih lengan Sakura dan menariknya ke ruang TV.

"Mungkin sebaiknya kita harus banyak bergerak di sekitar rumah ini."

"Kenapa? Kita menonton TV saja."

"Ya. Ide bagus. Untuk mengalihkan perhatian Itachi."

Sakura menatap Naruto, tidak mengerti dengan sikapnya.

XXX

Tapi benar seperti kata Naruto dan dugaannya, Itachi berhenti menangis saat menonton TV. Sesekali ia juga tertawa melihat Naruto memasang wajah aneh—padahal sebelumnya ia menangis gara-gara cowok itu memasang wajah jelek.

"Dia imut kalau diam begini."

"Dia kan memang masih bayi, kalau sudah besar, ya, pasti akan merepotkan," kata Naruto.

Sakura mencubit lengannya, "Dasar jahat! Baka!"

"Hei, itu, kan memang kenyataannya, Sakura-chan…"

Tiba-tiba layar TV mati dengan sendirinya. Sakura memekik kaget, "K-kenapa tiba-tiba TVnya mati? Aduh, apa rusak, ya… Gawat…"

Naruto memeluk Itachi erat-erat, "Lebih baik kita menidurkan Itachi."

Matanya terus menatap dengan tatapan tajam pada pojokan ruang TV. Sakura hanya bisa mengikuti perkataannya. Mereka membawa Itachi ke sebelah ruang tidur pasangan Uchiha di lantai atas. Hinata ternyata sudah terpulas, tidak terbangun ketika mereka menaiki tangga yang berderik tiap kali dinaiki. Sesampainya di kamar Itachi, Naruto menidurkannya. Ia meminta Sakura menyanyikan lagu nina bobok—yang pada awalnya ditolak oleh Sakura dengan malu sementara Naruto menggoyang-goyangkan ranjang bayinya.

Itachi menguap sambil berguling di atas ranjangnya, membuat Sakura menggumam pelan, "Dia mulai tidur. Astaga, lucunya… lihat wajahnya!"

"Mau punya anak denganku?"

Sakura kali ini menjewer telinga Naruto, "Jangan sembarangan, baka!"

"Iya, duh, aku bercanda…"

"Nggak lucu!"

"Sst! Sakura-chan, lihat, tuh, Itachi nanti terbangun!"

"Uh. Gomen."

Setelah mereka yakin Itachi sudah terlelap cukup lama, Sakura mengajak Naruto ke bawah untuk menunggui Sasuke pulang. Tetapi saat Naruto menoleh, Sakura melihatnya tampak terkejut. Cowok itu langsung berlari menuju ranjang Itachi.

"Naruto, kenapa?"

"Tidak. Bukan apa-apa. Kau duluan saja turunnya."

Sakura mengendikkan bahunya mendengar ucapan Naruto. Saat ia hendak meninggalkan kamar, ia melihat sesosok wanita berdiri di samping ranjang Itachi. Wajahnya menunduk, menatap Itachi. Sakura mengedip-ngedipkan matanya dan melihat ruangan itu hanya ada Naruto dan Itachi yang tengah tertidur.

XXX

'Apa itu?'

Sakura menuruni tangga dengan pikiran yang terus melayang. Ia mengira bahwa pikirannya sedang bermain-main dengannya, tetapi ia seperti benar-benar melihat wanita aneh di kamar Itachi tadi. Wanita itu menatap Itachi dan tidak bergerak sama sekali. Sakura menggelengkan kepalanya, 'Cuma imajinasiku yang berlebihan…'

KLEK. KRIEET.

"Tadaima, Hinata. Hinata?"

"Onii-chan!"

"Sakura? Sedang apa kau di sini?" Sasuke menatap Sakura dengan bingung, "Hinata dan Itachi mana?"

"Nee-chan sedang tertidur dan sekarang ini Naruto sedang bersama Itachi, menemaninya tidur."

Sasuke menaiki tangga yang diikuti oleh Sakura. Sakura bisa mendengar suara Naruto yang sedang bernyanyi nina bobo sambil berkata di sela-sela nyanyiannya, "Jangan. Jangan bangun."

"Naruto?"

"Oh! Kalian…"

"Itachi sudah tertidur? Syukurlah," Sasuke menghampiri anaknya yang masih bayi.

"Karena dia sudah pergi."

"Eh?"

"Ah, ie. Bukan apa-apa," kata Naruto buru-buru sambil melambaikan tangannya. Sakura menatapnya dengan curiga.

"Kalian pasti belum makan, kan? Aku akan membuatkan makanan-"

"Tidak usah, onii-chan! Biar aku yang membuatkannya! Ayo, Naruto," Sakura menarik lengan Naruto, "Nii-chan ganti pakaian dulu saja, sekalian mengecek keadaan nee-chan."

XXX

"Sebenarnya pasangan Uchiha ini sudah lama pindah ke sini?" Tanya Naruto saat Sakura sedang memasak.

"Umm… saat Itachi baru usia 3 sampai 4 bulan mereka baru pindah ke sini. Dulunya rumah ini juga kosong seperti rumahmu, hanya saja baru kosong setelah ditinggalkan pemiliknya saat aku SD, kalau tak salah. Kenapa?"

"Tidak… aku hanya penasaran saja," Naruto mencomot tempura yang baru matang dan langsung menerima pukulan di tangannya, "Kira-kira siapa yang sebelumnya tinggal di sini, Sakura-chan? Apa kau tahu?"

"Ada keluarga yang sebelumnya tinggal di sini—terdiri dari sepasang suami istri dan anak bayi mereka, tapi aku tidak kenal mereka," cerita Sakura, "Seingatku keluarga itu tidak banyak bersosialisasi setelah membangun rumah ini. Lalu istrinya tiba-tiba menghilang dan akhirnya suaminya memutuskan untuk menjual rumah ini. Sepertinya istrinya menghilang saat malam hari, karena keesokan paginya aku melihat ada beberapa mobil polisi dan garis polisi di sekitar sana. Dan juga… mobil rumah sakit…" Sakura tiba-tiba terhenti dan menoleh pada Naruto, "Apa yang kau pikirkan?"

"Apa istrinya belum ditemukan?"

"Entahlah. Tapi ada rumor kalau suaminya membunuh istrinya, anehnya sekarang suaminya tinggal bersama anaknya seolah tidak ada apa-apa. Kadang aku suka melihatnya mengamati rumah ini lalu pergi begitu saja."

"Hmm," Naruto tampak berpikir.

"Apa yang kau pikirkan, Naruto?"

Ekspresi Naruto tidak terbaca, "Tidak. Tidak ada."

Dan Sakura terus memikirkan ekspresi Naruto yang terlintas di pikirannya malam itu.

XXX

Keesokan paginya Sakura berhenti melakukan jogging pagi di depan kediaman Uchiha ketika ia melihat seorang pria berkulit pucat yang sedang mengamati rumah tersebut. Pria itu menggandeng seorang anak laki-laki berambut hitam. Sakura mengenalinya sebagai Sai, pemilik rumah yang sebelumnya. Ketika Sai menyadari bahwa dirinya tertangkap Sakura sedang mengamati rumah itu, ia hanya melemparkan senyum kecil sebelum akhirnya berjalan meninggalkan tempat ia berdiri bersama anaknya.

'Kenapa ia selalu begitu?' batin Sakura. Mengamati rumah yang dulu pernah dihuninya lalu pergi begitu saja.

Tiba-tiba terdengar suara teriakan dari dalam disertai suara tangisan Itachi.

"Suara Hinata-neechan!" Sakura berjalan memasuki rumah Uchiha—yang anehnya tidak dikunci, "Hinata-neechan? Ada apa?" ia melihat Hinata sedang memeluk Itachi sambil berlari menuruni tangga. Wajahnya tampak ketakutan.

"S-Sakura-chan… A-ada wanita di rumah ini…"

"Nani?"

"Hinata? Ada apa?" Sasuke tiba-tiba muncul dari dapur. Ia berlari menuju istrinya dan memeluknya untuk menenangkannya, "Ssh…"

"A-ada seorang wanita berdiri di ranjang bayi Itachi…" kata Hinata, suara terdengar bergetar, "D-dia hendak mengambil Itachi-chan!"

"Hinata, tidak ada siapa-siapa…"

"Tapi aku melihatnya, Sasuke!"

"Kau hanya kelelahan. Sekarang biar aku yang menggendong Itachi dan sarapanlah. Aku tadi sudah sarapan duluan," kata Sasuke sambil meraih Itachi yang masih menangis dari gendongan istrinya. Ia melirik Sakura dan menatapnya dengan heran, "Sakura? Dari mana kau masuk…"

Sakura meringis, "Err, pintunya tidak dikunci, nii-chan. Karena aku mendengar suara teriakan Hinata-neechan, jadinya aku langsung masuk begitu tahu pintunya tidak dikunci…"

Sasuke mengerutkan dahi, "…Aku belum membuka kuncinya. Aneh, sepertinya pintu ini sudah rusak. Nanti aku akan panggil tukang untuk membetulkannya. Kau mau ikut sarapan bersama kami?"

"Ti-tidak usah!" tolak Sakura cepat, "Aku ingin jogging, hehe." Ia berlari keluar dari kediaman Uchiha. Gadis berambut pink itu memegang kuduknya ketika ia merasa ada seseorang berjalan di belakangnya. Sakura menoleh dan mendapati Sasuke baru memasuki dapur. Ia bergidik, 'Angin, cuma angin. Aku sudah terpengaruh Naruto.'

XXX

Hinata menghela nafas panjang ketika ia menurunkan Itachi ke atas meja kamar mandi. Hari ini ia tidak terlalu lelah, tetapi ia meragukan pikirannya. Tadi pagi ia melihat seorang wanita berambut blonde panjang di samping ranjang Itachi dan membuatnya ketakutan, tetapi ternyata itu hanya imajinasinya saja. Anehnya, ia sudah melihat hal-hal aneh di rumahnya beberapa kali, meski baru kali ini ia seperti melihat seorang wanita asing di dalam rumahnya dengan jelas—dalam imajinasinya. Tapi Hinata meragukan bahwa ia hanya berimajinasi. Ia seperti benar-benar melihat wanita itu berdiri di samping ranjang Itachi, mengulurkan tangannya pada Itachi sambil mengeluarkan suara, 'Anakku… anakku yang malang…'

Suara telepon yang berdering mengejutkan Hinata. "Tunggu sebentar," gumamnya. Ia menurunkan Itachi ke kursi bayi yang terletak di depan pintu kamar mandi lalu berlari menuju dapur.

Saat Hinata keluar dari kamar mandi, tiba-tiba kursi mungil Itachi bergerak dengan sendirinya. Itachi mulai merengek saat tubuhnya yang mungil dibawa oleh tangan yang tak terlihat keluar dari kursinya menuju bath tub yang terletak tidak jauh dari pintu masuk kamar mandi.

Sementara itu Hinata masih menelepon, "Tidak apa-apa, kaa-san. Aku bisa menjaga diri. Iya, aku mengerti-" ia langsung terhenti ketika mendengar suara Itachi mulai menangis, "Tunggu sebentar kaa-san. Itachi menangis lagi," setelah menaruh telepon, Hinata langsung berlari ke kamar mandi. "Itachi-chan? Itachi-chan?" Ia panik ketika mendapati Itachi tidak ada di kursinya, "Itachi-chan?"

HOWEEEE.

Hinata mendengar tangisan anaknya yang semakin keras lalu menoleh ke arah bath tub dan mendapati Itachi nyaris terbenam di dalamnya. Hinata langsung berlari ke bath tub dan mengangkat anaknya, berusaha menenangkan anaknya meski ia sendiri merasa panik. Ia menoleh dan melihat seorang wanita di sebelahnya, wanita berwajah pucat menatapnya dengan tatapan marah, warna mata yang sama dengannya. Darah segar mengalir dari pergelangan tangan wanita itu dan darahnya mulai memenuhi bath tub.

"Ja... ngan… ganggu anakku… yang malang…" desis wanita itu.

Hinata memekik ketakutan dan berlari meninggalkan kamar mandi.

Mimpi. Ini hanya mimpi.

Tetapi Hinata masih melihat wanita itu merangkak ke arahnya dengan tangan yang berlumuran darah. Dan kini wajah wanita itu sangat dekat dengan wajahnya, sehingga Hinata bisa merasakan aura dingin di wajahnya.

Selanjutnya ia hanya mendengar tangisan Itachi dan tidak sadarkan diri.

XXX

"Itachi masih menangis," kata Naruto pada Sakura ketika mereka melewati kediaman Uchiha.

"Hmm, kasihan sekali Hinata-neechan, harus mengurus anaknya yang terus menangis tiba-tiba."

"Anak itu merasa tidak nyaman di dalam rumah ini."

"Aduh, jangan mulai lagi, Naruto."

"Ssh," Naruto meletakkan jari telunjuknya ke bibir Sakura, "Apa kau tidak aneh mendengar suara Itachi terus seperti itu? Dia terus menangis dan tidak terdengar suara Hinata-chan dari dalam."

"Mau memeriksanya?"

"Ide bagus. Ayo kita masuk."

Sakura membuka pintu rumah Uchiha dan hanya disambut oleh kesunyian dan suara tangisan Itachi, "Hinata-neechan…?" ia memekik kaget ketika menemukan Hinata tergeletak di pintu masuk tidak sadarkan diri, "Nee-chan? Bangun!" ia semakin panik ketika Hinata tidak merespons. Akhirnya Naruto dan Sakura membawa Hinata ke sofa di ruang keluarga.

Suara tangisan Itachi semakin keras, "Suaranya dari arah belakang sana," kata Naruto. Ia berlari menuju ruangan belakang diikuti oleh Sakura. Mereka berhenti di depan pintu kamar mandi di dekat dapur.

Jantung Naruto dan Sakura seperti berhenti berdetak ketika mereka melihat seorang wanita sedang berjongkok di dekat bath tub sambil memasukkan Itachi yang masih menangis ke dalam bath tub berisikan darah segar. Sakura menutup mulutnya—ketakutan dan mual. Ia tidak bisa menahan teriakan ketika wanita itu menoleh padanya, dengan wajah pucat pasi dan darah mengalir dari matanya.

"Anakku… yang malang…"

"Siapa kau? Kenapa kau melakukan ini?" Tanya Naruto.

Wanita itu tidak menjawab, ia mengelus kepala Itachi dan berkata, "…anakku yang malang… kelaparan…"

"S-siapa dia, Naruto?"

"…hantu…"

"Kau bercan-"

Tiba-tiba wanita itu menenggelamkan Itachi dalam bath tub yang berlumuran darah, membuat Naruto dan Sakura berteriak kaget. Cowok blonde itu langsung berlari menuju Itachi dan berusaha mengambil Itachi. Tetapi sebuah kekuatan magis mencekiknya.

"Tidak boleh ada yang mengganggu anakku!"

"Naruto!"

"Kh… Kau… ternyata kau yang membunuh anakmu sendiri lalu bunuh diri… karena kau mati dalam penderitaan setelah membunuh… Ukh, anakmu… Kh," Naruto berusaha mengendurkan cekikannya, "Dan kau menghantui rumah ini… dan malah… berusaha membunuh anak orang lain…"

"Aku belum mati!" geram wanita itu, "Aku tidak membunuh anakku! Aku hanya mengakhiri penderitaannya daripada dia harus mati kelaparan!"

Sakura jatuh lemas, "N-Naruto…"

XXX

Sasuke mendapati seorang pria berkulit pucat berdiri di depan rumahnya sambil menggandeng seorang anak kecil.

"Kau siapa?"

"Eh, oh," pria itu menoleh pada Sasuke, "Ah, maafkan aku. Aku tidak bermaksud jahat, hanya melihat-lihat rumahmu."

Sasuke tiba-tiba mengenalinya, "Kau Sai, pemilik rumah yang sebelumnya bukan? Apa yang kau lakukan di sini?"

"Oh, ya. Kau Uchiha Sasuke penghuni rumah yang sekarang, bukan?" Sai tersenyum ramah, "Yah, aku hanya ingin melihat sebentar rumah ini. Mengingatkanku pada mendiang istriku sebelum ia meninggal."

Sasuke mengerut heran, "Ah. Kukira istrimu menghilang."

Sai tersenyum sedih, "Sebenarnya tidak. Mungkin ini bersifat pribadi, tapi aku harus menceritakannya padamu," ia menoleh pada anaknya, "Shin, kau mau ke supermarket di dekat sana untuk membeli es krim?"

"Ya, papa," anaknya menyahut dengan antusias, "Papa mau membelikanku?"

"Kau bisa membelinya sendiri, kan? Ini uangnya. Hati-hati, ya, segera kembali."

Sasuke melihat Sai melambai pada anaknya, "Putramu mirip sekali denganmu. Berapa usianya?"

"Tahun ini dia enam tahun. Matanya yang indah ia warisi dari anaknya," kata Sai bangga, "Jika aku melihat istrimu, aku jadi teringat istriku dulu," ia tertawa ketika ia melihat ekspresi aneh di wajah Sasuke, "Tenang. Aku tidak mengincar istrimu. Yah, kau tahu, mungkin penduduk sini mengira aku telah membunuh istriku atau istriku kabur entah ke mana. Tapi kenyataannya, ia bunuh diri ketika putra kami mungkin masih seusia putramu."

"…bunuh diri?"

Sai menatap ke bawah, "Ya. Saat aku gagal memamerkan lukisanku di Tokyo, keluargaku jatuh miskin karena aku hanya bergantung nasib lewat lukisan yang kubuat. Akibatnya, keluargaku kelaparan. Aku bertengkar dengan istriku. Saat aku pulang dari sebuah pameran lukisan, aku menemukan istriku sudah bersimbah darah di bath tub—dengan pergelangan tangan yang teriris. Sementara putraku nyaris tenggelam di dalam bath tub," air mata Sai mulai menetes.

"Kau tidak apa-apa?" Sasuke menepuk pundak Sai, "Seharusnya kau tidak perlu bercerita padaku soal ini."

"Tidak, aku ingin menceritakan ini pada seseorang dan aku percaya kau bisa menyimpan rahasia ini," kata Sai, "Kadang aku masih menganggap istriku masih marah padaku karena telah membuatnya menderita. Dan alasanku bercerita padamu, aku harap kau bisa membahagiakan keluargamu."

"Papa!" Shin menarik baju ayahnya. Sai tersenyum lembut pada putranya dan menggendongnya, "Aku sudah beli es krimnya. Sekarang kita mau ke mana?"

"Kau ingin ke mana?"

"Pulang dan makan es krim!"

Sasuke tersenyum melihat hubungan keduanya, "Kau tahu, Sai. Kurasa jika istrimu melihat ini, mungkin ia akan bahagia dan bangga padamu."

"Menurutmu begitu?"

Sasuke hanya mengangguk pelan, "Bagaimana kalau kau masuk ke rumah kami sebentar?"

XXX

"…kau tahu, putramu masih hidup…" kata Sakura pada sosok di hadapannya, masih terduduk lemas.

Wanita itu menoleh pada Sakura, "Apa kau bilang? Putraku… aku sedang menenggelamkannya di sini…"

"Dia bukan putramu!" seru Sakura, "Aku, aku melihat putramu, bersama suamimu! Dan mereka kelihatan bahagia!"

Cekikan di leher Naruto mulai menghilang, "Bukan… putraku?"

"Sai, suamimu, dan Shin, putramu, aku melihat mereka di depan rumah ini. Mereka kelihatan bahagia," kata Sakura, "Jika putramu sudah bahagia—tidak kelaparan lagi sekarang, kenapa kau harus melemparkan penderitaanmu pada anak orang lain?"

Ketika Naruto berhasil menyelamatkan Itachi, wanita itu tidak menyadarinya. Ia masih terfokus pada Sakura, "…kau tidak memiliki buktinya…"

Sakura tampak kebingungan, "Etto, memang, sih. Tapi…"

"Hinata, aku pulang. Ada tamu."

"Ojamashimasu."

Wanita itu tiba-tiba terdiam ketika mendengar suara seseorang memasuki rumah bersama Sasuke. Mulutnya bergerak pelan, "…Sai?"

"Ojamashimasu~"

"…itu…"

Sakura tersenyum kecil, "Ya, itu suara putramu. Kini ia sudah tumbuh besar. Kau tidak ingin melihatnya?"

Sosok wanita yang tadinya menakutkan dan berlumuran darah kini berubah sosoknya menjadi seorang wanita cantik berambut blonde panjang dan mata berwarna lavender—sosoknya mirip Hinata dengan rambut blonde. Air mata mengalir di pipinya, "Shin…"

Ia berjalan keluar dari kamar mandi seolah-olah masih hidup seperti manusia biasa. Sakura dan Naruto berjalan mengikutinya. Lalu ia melihat Sasuke bersama Sai dan putranya berdiri di depan pintu masuk.

"Naruto, Sakura? Hinata mana?"

"Err, tertidur di sofa?" sahut Sakura cepat.

"Lalu, kenapa Itachi basah begitu?" Sasuke mengerutkan dahi—berlari mengambil anaknya dari gendongan Naruto, "Naruto. Dobe. Kau tidak berbuat apa-apa pada putraku, kan?"

"Apa?" seru Naruto, "Hei, kau Teme, anakmu ini kami temukan tercebur di bath tub-" Sakura sudah menutup mulutnya.

"Konnichiwa, Sai-san," sapa Sakura pada Sai. Sai hanya mengangguk sambil tersenyum. Wajahnya sedikit kaget ketika Sakura tiba-tiba menyapa putranya, "Dan kau juga, Shin-kun."

"Kenapa kau bisa tahu nama putraku?" Sai tampak heran.

"Istrimu yang member- umpfh!" tangan Sakura kembali menutup mulut Naruto.

"Shion? Tapi istri-"

"Dia ada di sebelah putramu," kata Naruto tidak dapat menahan dirinya sambil menyingkirkan tangan Sakura, "Katanya ia ingin sekali melihat putranya," ia tetap melanjutkan ketika Sai dan Sasuke menatapnya dengan tatapan yang mengatakan bahwa dirinya orang gila, "Katanya ia tumbuh seperti dirimu dan… ia terharu melihat kau sekarang hidup bahagia bersama Shin, tanpa kelaparan."

"Papa, apa yang onii-chan ini katakan?" Shin menarik tubuh Sai.

"Jangan dengarkan dia, Shin. Dia hanya ber-"

"Ia minta maaf karena tidak mempercayaimu. Ia menyesal telah berusaha menyakiti Shin di dalam bath tub dan mengakhiri nyawanya. Jika ia tahu bahwa kau akan sukses, dia tidak akan pergi seperti ini," ujar Naruto; berusaha mengucapkan kembali apa yang Shion katakan.

Sai membuka mulutnya, "Kau… bercanda, kan? Shion…"

"Katanya sekarang sudah saatnya ia pergi. Ia sudah bahagia melihat kalian hidup bahagia," kata Naruto lagi, "Ia berharap kau masih menyimpan hadiah pernikahan kalian dan memberikannya pada Shin jika ia sudah dewasa."

Shin menoleh ketika ia merasa ada seseorang yang mengelus kepalanya. Ia merangkul kaki ayahnya semakin erat, "Papa?"

Sai menangis, "…aku sungguh menyesal, Shion. Tolong maafkan aku, tidak pernah bisa membahagiakanmu. Aishiteru, yo."

"Ia bilang kau telah membagiakannya karena telah membuatnya melahirkan seorang putra. Dan ia juga bilang bahwa ia juga mencintaimu, Sai-san, dan juga Shin," Naruto melirik pada Shion yang memeluk tubuh putra dan suaminya. Ia melihat Sai memegangi bibirnya dan Shin yang memegangi dahinya ketika Shion mencium keduanya. Shion menatap Naruto dengan berlinang air mata, "…kau sudah bisa pergi sekarang, kan?"

Shion mengangguk, "Ya. Arigatou, Naruto. Sakura."

Lalu perlahan ia menghilang ketika angin bertiup pelan, meninggalkan senyuman pada Naruto dan Sakura.

Sasuke memegang kuduknya, tiba-tiba merasa merinding"…kalian tidak bercanda, kan? Berbicara seolah-olah ada hantu di rumahku. Ini sandiwara buatan kalian…"

Sai tertawa pelan, "Aku tak peduli kau bilang kami berbohong atau tidak, tapi yang jelas aku tidak kenal anak ini," ia menunjuk pada Naruto yang sedang tersenyum lebar, "Dan juga anak ini telah mengatakan hal yang seharusnya hanya diketahui olehku dan polisi. Kecuali jika dia memang sudah lama mengintai rumah ini."

"…aku harus segera mengeringkan Itachi sebelum dia masuk angin," Sasuke hanya bergumam pelan, "Naruto, Sakura, Sai. Kalian bisa duduk di ruang tamu. Aku akan kembali beberapa menit dengan teh…"

"Uhh… Sasuke?" tiba-tiba Hinata muncul dari ruang keluarga. Wajahnya tampak lusuh, "Itachi-chan mana? Rasanya aku baru melihat wanita aneh-"

"Kau hanya kelelahan, Hinata. Dan jangan bilang begitu saat kita kedatagan tamu."

XXX

"Sekarang kau percaya dengan hantu, kan, Sakura-chan?"

"Uuh, jangan ungkit-ungkit hal itu lagi," gerutu Sakura, "Sosok Shion ketika ia masih arwah gentayangan menyeramkan sekali! Ya, ya, jangan tertawa padaku, Naruto-baka!" ia menampar wajah Naruto pelan ketika cowok itu tertawa padanya, "Sekarang aku percaya adanya hantu. Puas?"

"Ya," jawab Naruto bersemangat, "Mungkin kau juga akan percaya bahwa aku berbicara dengan hantu di malam kau mengantarkanku makan malam," ia melihat Sakura mendengus kesal, "Sayangnya Shion mungkin akan menjadi hantu yang terakhir kau lihat?"

"…kenapa?" Sakura tampak penasaran, "Tapi syukurlah kalau begitu. Oh kami-sama…"

"Karena Shion memang sengaja menampakkan dirinya sebagai arwah jahat. Arwah jahat bisa dilihat oleh orang umum ketika mereka memang ingin menampakkan diri," jelas Naruto. Ia terhenti di seberang kediaman Uchiha ketika melihat keluarga tersebut tampak bermain-main dengan putra mereka, "Hey, Sakura-chan," kata Naruto padanya, "Kau tahu siapa pria berambut panjang sebahu dan gelap dengan tanda aneh di wajahnya? Agak mirip Teme-'niisan'…"

Sakura memandangnya dengan heran, "Hah? Kau tidak bercanda, kan? Kau seperti mendeskripsikan Itachi-niichan, kakaknya Sasuke-niichan. Itachi dinamakan dari nama mendiang kakak Sasuke-niichan. Kau tahu dia dari mana soal dia? Dia sudah meninggal beberapa tahun lalu," tiba-tiba Sakura teringat sesuatu, "…tunggu. Kau tidak bermaksud mengatakan…"

Naruto hanya tersenyum padanya, "Itachi-san sedang berdiri di dekat Itachi-chan. Kalau kau mengerti maksudku."

Dan Sakura hanya menggembungkan pipinya.

Naruto, cowok ini memang aneh. Kira-kira, dia ini sebenarnya siapa?

END OF CHAPTER

a/n: maaf dengan ceritanya yang terlalu berat dan kebanyakan dialog, saya ga bakat bikin fic pendek OTL saya juga tahu alurnya aneh, ngablu D: tapi saya harap ada yang mau memperbaiki kesalahan pada cerita saya, mistypo misalnya. Kritik dan saran sangat saya terima dan begitu pula review (XD) Ada yang tau kira-kira cerita selanjutnya tentang apa? Review dulu bro dan ses ;) *kabur*