Naruto©Masashi Kisimoto
Cinta Dan Komitmen©Green Maple
.
.
Chapter 1
Selamat membaca
.
.
.
Mataku mengerjap-mengerjap saat secercah cahaya menembus kedua kelopak mataku. Aku tidak terbiasa tidur dengan cahaya, jadi sedikit cahaya saja dapat membuat tidurku tak nyenyak. Dan ini benar-benar menggangguku. Saat pertama kali aku membuka mata, aku melihat korden putih yang tertiup angin dan cahaya matahari yang menelusup masuk diantaranya. Sudah pagi ternyata, aku mengusap-usap mataku dan menguap lebar. Hoaamm, tidurku nyenyak sekali semalam.
Pagi ini sedikit dingin, aku jadi ingin sekali bergelung sepanjang hari di atas ranjang berseprei putih yang empuk ini. Uhhh surga dunia memang ada di atas ranjang. Tapi aku harus pergi bekerja. Oow bisakah aku berangkat kerja semauku? Jam berapapun yang aku mau? Yeah Sakura itu akan kau dapatkan jika kau sudah punya sekertaris pribadi sendiri alias pisahkan pantatmu dari ranjang sialan itu dan pergilah bekerja.
"Eenghhh..."
Ya Tuhan apa itu?!
Aku yakin itu bukan suaraku, suaraku tak seberat itu. Atau jangan-jangan seseorang sudah mencuri suaraku dan meninggalkan suara usang yang sialnya begitu serak.
Apa yang terjadi semalam? Ugh kepalaku sakit sekali. Shit. Ini pasti gara-gara aku terlalu banyak minum. Aku butuh tylenol sekarang juga atau aku akan mati di atas ranjang dengan seorang laki-laki yang bertelanjang dada.
Laki-laki bertelanjang dada?
Oh fuck !
Apa yang terjadi semalam?!
Mataku masih mengerjap-mengerjap mencoba memproses apa yang terjadi. Sial aku tidak ingat apapun. Ayo otak bekerjalah, untuk apa kau dibayar jika kejadian semalam saja kau tak ingat?
Dibayar pantatmu!
Laki-laki itu mulai terbangun, kelopak matanya terbuka. Bola matanya hitam. Hidungnya mancung. Beberapa detik kami saling bertatapan.
"Selamat pagi."
Aku melotot mendengar dua kata yang terlontar dari bibirnya. Ia mulai bergerak terlentang dan duduk menyandar di kepala ranjang saat sebelumnya mungkin semalaman ia tidur menelungkup. Tapi itu tidak mungkin. Aku melihatnya mengusap-usap wajah dan tangannya bergerak kebelakang mengusap rambut ravennya yang berantakan, dan aku masih melihatnya mengusap-usap rambut. Aku seperti orang idiot. Dan saat ia menoleh kepadaku ia sedikit menyeringai, err mungkin ia tersenyum. Atau mungkin tidak.
Tanpa pikir panjang aku bangun dari posisi tidurku dan saat itulah aku tersadar bahwa aku telanjang. Aku mengerang. Walaupun aku tak ingat apa yang terjadi semalam tapi aku tahu apa yang sudah terjadi semalam. Ya Tuhan.
Aku tak menyangka aku akan melakukan hal ini setelah sekian lama. One night stand dengan seorang pria yang entahlah aku tidak tahu siapa.
"Jam berapa ini?" Aku harus tahu sudah berapa lama aku disini. Jangan-jangan aku sudah berada disini selama lebih dari sehari.
"9.15." jawabnya.
Mati aku !
Aku sudah terlambat 15 menit, ada apa dengan alarmku? Kenapa sama sekali tidak berbunyi? Secepat kilat aku menyibak selimut dan mencari baju-bajuku yang berserakan di lantai. Benar-benar berserakan menjadi satu dengan baju laki-laki ini. Mengenakannya dengan cepat karena aku memang butuh cepat atau aku akan mati dipenggal bos ku.
Tanganku bergerak membabi buta, menyahut semua barang-barangku yang berceceran dan memasukannya asal kedalam tas.
"Hei kau mau kemana?" Aku mendengar lelaki itu bertanya namun aku masih sibuk dengan semua benda-benda sialan ini.
"Aku antar kau pulang." Aku berhenti dari memakai sepatu bootku. Mendongak melihatnya sekilas dan kembali sibuk dengan urusanku. Aku bergegas saat kurasa semuanya sudah beres dan menyampirkan tas di pundak dan segera pergi dari sini.
Aku menyahut handphoneku yang masih tergeletak di atas ranjang dan saat itulah sebuah tangan mencengkeram pergelangan tanganku.
"Aku antar kau pulang." Dia memicing, sorot matanya tajam dan seakan tak ingin dibantah. Dia begitu keras kepala. Aku hanya meliriknya dan melirik tangan besarnya yang melilit pergelangan tanganku yang kecil.
"Tidak perlu." Aku menyentak tanganku sehingga membuat cengkeramannya terlepas. Seketika aku beranjak dari kamar itu, aku masih bisa merasakan tatapannya yang menusuk punggungku saat aku mulai keluar dari ruangan tersebut.
Aku ingin amnesia sekarang juga.
.
.
Aku berlari seperti orang kesetanan di sepanjang trotoar, orang-orang mengumpat dan berteriak saat tak sengaja aku menabraknya dan aku hanya bisa meminta maaf.
Saat mataku sudah melihat Cafe tempatku bekerja, aku segera memperlambat lariku dan berbelok ke gank kecil di samping cafe. Memasuki sebuah pintu hitam yang tak terkunci dan menyelinap masuk kedalamnya.
Aku mengendap-endap berjalan pelan sebisa mungkin tak mengeluarkan suara atau nyonya Tsunade akan menendangku. Saat aku berada di dapur belakang, Kiba memergokiku dan ia menyeringai. Aku hanya memutar bola mata dan berlalu pergi ke loker karyawan untuk mengganti bajuku dengan seragam.
Kiba sudah berada di dapur meracik sebuah minuman saat aku berjalan kearahnya dan berdiri disampingnya untuk membuat secangkir kopi. Aku butuh kopi.
"Bersenang-senang Sakura?" Kiba masih menyeringai sambil masih mengaduk-aduk minuman pesanan pelanggan.
Aku meneguk kopi yang aku buat dari mesin pembuat kopi."Yeah, dan kau tak akan melewatkannya satu pun." Kiba tertawa keras saat mendengar lelucon dari mulutku. Tiba-tiba pintu dapur depan menjeblak dan seorang wanita pirang yang bawel muncul dari sana.
"Kau terlambat lagi jidat. Untung saja nyonya Tsunade sedang sibuk. Bisakah kau mendengarkanku dan menjadi gadis manis untuk sehari saja? Aku yakin itu tidak akan membunuhmu." Ino mengomel sambil tangannya sibuk mengambil pesanan pelanggan dan menaruhnya di atas nampan hitam.
Aku mengumpulkan rambutku ke belakang dan menggelungnya tinggi-tinggi, menyambar nampan Ino dan berlalu pergi dari hadapannya hanya untuk menghindar dari tetek bengek yang ia sebut nasehat. Saatnya bekerja. Ino hanya berdecak melihatnya dan ia kembali menata beberapa minuman keatas nampan lagi.
Aku keluar dari dapur dan berjalan ke meja nomor 18 saat aku melihat nyonya Tsunade di pojokan counter sedang mengomeli Lee. Kasihan sekali Rock Lee, pagi-pagi sudah mendapatkan asupan dari ibu peri."Selamat pagi nyonya Tsunade." Aku bisa melihat nyonya Tsunade melirikku sekilas dan aku bisa mendengar sahut-sahut suara nyonya Tsunade menyebutkan namaku.
Aku tidak perduli asalkan itu bukan sesuatu yang dapat memotong gajiku bulan ini. Rin menyapaku saat ia melihatku, hari ini ia berjaga di depan kasir. Dan aku hanya melempar senyuman kepadanya. Ia gadis yang manis dan ia beruntung mempunyai pacar yang tampan juga setia. Sangat beruntung.
Apa kau iri Sakura? Katakan itu pada nampan hitam kosong di tanganku.
.
.
Hari ini cafe cukup ramai kedatangan pelanggan. Semua orang sibuk termasuk aku. Berjalan kesana kemari mengantar pesanan dan menyambut kedatangan pelanggan saat bunyi lonceng cafe terdengar.
Aku sudah 3 tahun bekerja disini. Sejak lulus SMA aku memang bekerja serabutan. Maksudku aku sering bergonta-ganti pekerjaan. Karena aku adalah tipe orang yang mudah bosan dengan suasana yang itu-itu saja. Dan disinilah aku paling lama bekerja.
Bukannya aku tidak pernah bosan bekerja disini, namun mengingat umurku yang hampir menginjak 25 aku berpikir mungkin lebih baik aku harus mulai memikirkan masa depan. Sebenarnya itu semua karena Ino yang terus mengomeliku dan aku mulai memikirkan adikku setelah perceraian kedua orangtuaku.
Orangtuaku pergi meninggalkan kami berdua. Awalnya kami adalah keluarga normal layaknya keluarga yang lain. Ayah, ibu, aku dan adikku Konohamaru. Kami hidup bahagia, senyum dan kehangatan selalu mewarnai hari kami. Namun 8 tahun yang lalu semua berubah saat ibu pulang pada siang hari dan ia menangis semalaman. Aku tidak tahu kenapa dan aku tidak berani bertanya.
Itu adalah awal dari semua bencana di keluarga kami.
Setelah itu aku selalu melihat mereka bertengkar hebat, berteriak satu sama lain, memaki, menghancurkan benda-benda dan akhirnya ibuku membanting pintu depan rumah dan pergi tak pernah kembali. Ayah selalu menyalahkan kami, dan hingga pada suatu hari ayah pergi dari rumah. Menyusul ibu yang tak pernah kembali, meninggalkanku dengan adikku yang saat itu masih berumur 4 tahun.
Beberapa hari kemudian aku terusir dari rumahku karena beberapa orang yang mengaku dari bank menyita rumah kami. Aku dan adikku harus hidup menderita di jalanan selama beberapa tahun.
Dan dari situlah aku membenci yang namanya cinta dan komitmen.
.
.
Menjelang sore cafe lumayan sepi. Ini adalah saatnya jam pulang kerja karyawan jadi cafe akan sedikit sepi dan lumayan ramai lagi saat menjelang malam.
Aku sedang membersihkan meja depan kasir saat Ino mengambil tempat duduk di sampingku. Melipat kedua tangannya di atas meja dan kepalanya miring menoleh kearahku.
"Kemana saja kau?"
"Kau tidak lihat? Aku dari tadi bekerja disini." Ujarku tanpa perlu repot-repot menoleh kepadanya karena aku tahu ia mendengarku.
Ino hanya memutar bola mata bosan dan mendesis mendengar jawabanku."Kau tahu maksudku."
Sebenarnya aku malas menanggapinya namun rasa penasaranku yang tinggi memberontak keluar dan ingin sekali mengetahui jawaban dari teka-teki yang memenuhi otakku sedari pagi.
"Pig, apa yang terjadi semalam?" Aku bertanya, tanganku berhenti mengusap-usap meja dan aku menoleh kepadanya untuk menarik perhatiannya.
"Kenapa kau bertanya padaku? Seharusnya aku yang bertanya itu padamu." Perkataan Ino benar-benar nyolot. Aku hanya bisa cemberut mendengarnya.
Tidak mendengar sahutan dariku, Ino mulai tahu bahwa aku memang tidak ingat apapun saat itu."Kau mabuk semalam saat aku meninggalkanmu sebentar ke lantai dansa, dan saat aku sudah kembali aku melihatmu pergi bersama seorang lelaki. Setelah itu aku tidak tahu apa yang terjadi," aku mulai memproses perkataan Ino dan mereka ulang kejadian semalam,"aku sudah memperingatkanmu untuk tidak terlalu banyak minum. Tapi memang dasar kau keras kepala. Aku hanya membuang-buang nafasku saja." Ino mencebik dan berlalu pergi ke dapur.
"Kau ingat siapa lelaki yang bersamaku semalam?" Aku berlari kecil menyusulnya, mencoba mensejajari langkahnya.
Ino tiba-tiba saja berhenti sehingga membuatku menubruk punggungnya. Ia menoleh membuat rambut pirangnya terhempas dramatis, mata birunya memicing melihatku."Kau tidak tahu?" Aku menggeleng kaku saat mendengar pertanyaannya.
Aku mendengar Ino mengerang dan ia melanjutkan perjalanannya menuju dapur, membantu Genma membersihkan cucian."Aku bertaruh kau pasti juga tidak ingat apakah dia memakai pengaman atau tidak." Seketika aku melotot mendengarnya dan tanganku bergerak otomatis menempel pada perutku.
Ya Tuhan semoga tidak ada jabang bayi yang tumbuh dalam perutku.
"Aku tidak tahu dia siapa, hanya saja bisa kukatakan kau lumayan beruntung. Laki-laki itu tampan dan seksi,"dari sini Ino mulai tersenyum licik dan mengedipkan sebelah matanya padaku,"dan aku rasa dia orang kaya melihat dari penampilannya."
Aku mengerang keras sekali, aku benar-benar tidak ingin ada parasit dalam tubuhku. Sudah cukup dengan hidupku yang susah tidak perlu ada lagi satu mulut yang harus aku beri makan.
"Hei ada apa ini nona-nona?" Genma sudah selesai membersihkan cucian dan ia menyandarkan punggungnya di meja dapur. Ino yang melihatnya hanya terkikik geli dan berlalu pergi dari sana. Aku mencebik, cemberut saat tatapan Genma mulai beralih kepadaku. Aku mendesah dan pergi mengikuti langkah Ino, malas menjawab pertanyaan Genma.
Genma berjalan mengekoriku, ia mulai melepaskan apronnya yang basah dan meletakkannya ditumpukan cucian kotor."Sepertinya akan turun hujan, bagaimana kalau pulang kerja kita pergi makan ramen di Ichiraku?"
Kiba yang baru saja masuk dari pintu dapur bersorak saat mendengar pertanyaan Genma."Ide bagus, ayo kita bersenang-senang." Kiba nyengir, tangannya merangkul bahu Genma.
Dan saat ia melihatku, Kiba menyeringai."Sakura, kau ikut kan? Aku tidak akan melewatkan hal ini sekalipun." Aku hanya berlalu melewatinya, menuju ke lokerku dan mulai mengganti baju. Jam kerja kami sudah selesai, saatnya pulang.
Ino berdiri di sampingku, ia juga mengganti seragamnya dengan bajunya."Kau ikut kan jidat?" Aku menutup lokerku dan hanya meliriknya,"tentu kau harus ikut. Jarang sekali kita melakukan ini. Ayo." Ia mengamit lenganku dan menyeretku keluar dari ruang karyawan perempuan. Di luar Genma, Kiba dan Lee sudah berdiri menunggu kami.
"Rin kau ikut juga kan?" Ino bertanya masih mengamit lenganku. Aku masih berdiam diri di sampingnya, pasrah mau kemana ia akan membawaku.
"Maaf aku tidak bisa, aku ada acara malam ini. Lain kali saja ya teman?" Rin hanya nyengir saat mengatakan hal itu, raut mukanya mengatakan bahwa ia merasa menyesal tidak bisa ikut.
"Tidak apa. Aku tahu kau orang yang sibuk, sibuk dengan dunia asmara. Kau dengar itu jidat?" Ino menyodok perutku dengan sikunya, ia menyindirku aku tahu itu. Aku hanya bergumam malas menjawabnya.
"Kalian mau kemana?" Kami semua serempak menoleh saat mendengar suara nyonya Tsunade yang keluar dari ruangannya."Acara anak muda nyonya Tsunade. Sakura sudah mempunyai pacar baru." Telingaku berdengung saat mendengar lontaran kalimat itu, aku secepat kilat menoleh ke arah Kiba dan melotot kepadanya.
"Apa benar itu Sakura?" Nyonya Tsunade terdengar sumringah saat mengatakannya. Matanya berbinar melihatku, senyumnya begitu cerah seakan ia baru saja mendapatkan lotre 1 juta dolar.
"Ya nyonya Tsunade, tentu saja. Tunggulah nanti undangannya pasti aku kirimkan kepadamu." Aku ikut tersenyum membalasnya dan nyonya Tsunade semakin melebarkan matanya. Ia terperangah kaget.
"Benarkah? Undangan pernikahan?"
"Undangan duka karena sebentar lagi aku akan mengirimkan peti mati kerumah Kiba." Semua orang serentak tertawa keras mendengar gerutuanku. Nyonya Tsunade hanya berkedip-kedip bingung dan beberapa detik kemudian ia mendengus menyadari lelucon kami.
"Dasar. Cepat kalian pergi, aku akan menutup cafe ini." Nyonya Tsunade sudah bersiap dengan kunci ditangannya. Kami semua akhirnya keluar dari cafe setelah berpamitan dengan ibu peri.
"Lee! Ingat perkataan ku tadi pagi atau aku akan menyeretmu ke ruanganku." Nyonya Tsunade berteriak lantang saat kami sudah mulai menjauhi cafe. Rock Lee hanya mengangguk pasrah dan wajahnya terlihat menyedihkan. Kiba yang mendengar teriakan ibu peri tertawa keras dan menggeplak kepala belakang Lee. Genma menepuk pundak Lee mencoba memberi semangat kepada anak muda ini.
.
.
Kami berlima berjalan bersama-sama melintasi trotoar, menyeberang jalan dengan penuh candaan, saling mendorong satu sama lain hingga membuat pengguna jalan yang lain merasa terganggu.
Aku lupa jika aku harus menelepon Konohamaru, pasti ia mengkhawatirkanku semalaman. Bodoh kau Sakura. Aku mengobrak-abrik isi tas ku untuk mencari handphoneku, saat itu aku baru tersadar akan sesuatu.
"Dompetku!"
"Ada apa jidat?" Ino berhenti saat menyadari tiba-tiba saja aku berhenti berjalan.
Sial.
Aku menutup mataku dan mengerang keras.
"Aku meninggalkan dompetku."
Aku berharap semoga saja dompetku tertinggal di loker. Bukan tertinggal di hotel bersama pria misterius malam itu.
Bagus Sakura.
.
.
.
To be continued
