Ossu, reader-tachi! Ameru hadir lgi di fandom KHR!

Okey…., pertama saya ucapkan hountou ni arigatou ^w^ pada PinKrystal-san yg sdh menyumbangkan ide ttg fic reader POV. Stelah dipikir-pikir, memang jarang ad fic KHR reader POV. Dan ketika memikirkannya, terlintas di benak saya utk buat fic dng reader POV sbg seorg kakak/adik dri pada chara KHR OwO lgipula ga ad salahnya 'kan berharap jdi sodara dri KHR charas :v ?

Okey! Langsung saja!

.

.

I AM YOUR SIBLING!

Genre : Family/genre lainnya

Rate : K+ nyerempet T

Pair : VariousKHRCharasxReader

Setting : AU, Current/TYL!Verse, Reader's POV

Warnings : Typo(s) , romance nyerempet, humor gagal, fluffness, OOC nyelip, tata bahasa berantakan, de-el-el

.

.

#HappyReading!

.

.

Katekyo Hitman Reborn © Amano Akira

FanFiction © Ameru-Genjirou-Sawada

"Nee-chan, bisa membantuku, tidak?"

"Un? Boleh saja.."

.

.

Case Number 001: Case of Sawada Tsunayoshi's Sister—

.

Seperti biasanya, kaa-san membangunkan kami semua—para penghuni rumah keluarga Sawada—ketika jam menunjukkan jamnya sekolah. Dengan agak malas bercampur rasa kantuk, aku membuka mataku, menguceknya sedikit, seraya menguap lebar. Uh, hari ini dingin sekali. Padahal musim panas belum berakhir, tapi pagi-pagi sudah dingin begini.

Ketika aku melangkahkan kaki keluar dari kamar, kaa-san-lah yang masuk dalam penglihatanku.

"Ah, ohayou, kaa-san.." Sapaku diakhiri aksi menguap lagi. Sementara kaa-san menyambutku dengan senyuman mentarinya.

"Ohayou, [Name]-chan. Ah, tolong bangunkan Tsu-kun, ya!" Sahut kaa-san seraya menuruni tangga dan berbalik kembali kearah dapur. Sementara aku yang memasang muka deadpan hanya berjalan menuju kamar Tsuna.

Ya, Tsuna, adikku yang terpaut 2 tahun lebih muda dariku. Fisik dan penampilan kami tak jauh berbeda, hanya saja rambut brunette-ku tergerai hingga sebatas pinggang. Tapi namanya juga bukan saudara identik, kami memiliki perbedaan. Kalau Tsuna terkenal akan ke-dame -annya, aku disini tidak terlalu dame. Ya, tidak terlalu. Aku cukup lihai dalam bidang olahraga dan seni; terutama seni rupa dan lukis. Aku sering menghabiskan waktu senggangku dengan membuat lukisan, menggambar obyek sembarang, atau sekedar bermain lempar bola dengan Natsu—animal box Tsuna.

Hoo, tentu aku tidak semestinya tidak tahu tentang apa yang digeluti Tsuna dan tou-san saat ini. Aku tahu, kedua lelaki itu terjun dalam dunia gelap yang dimaksud dengan 'mafia' , itu ketika aku pertama kali Reborn—tutor Tsuna—pertama kali datang kekediaman kami (dengan seenak jidatnya) . Walau kaa-san terkesan tidak mengetahuinya, tapi asal tahu saja aku selalu memperhatikan perkembangan Tsuna dalam memimpin famiglia-nya saat ini, Vongola.

Ya, tentu sebagai kakak aku mendukung apa yang Tsuna lakukan. Walaupun dari luar dia terlihat pengecut, tapi aku tahu ada singa yang mengaum ganas dalam diri Tsuna. Aku tahu, suatu saat, Tsuna akan berkembang dan belajar dari itu. Tidak ada salahnya mendukungnya.

Melamun saja, tanpa kusadari aku sudah berada didepan pintu kamar Tsuna. Aku memasang indera pendengaranku. Dengkuran. Rupanya Tsuna masih belum bangun. Dengan tampang datar, kudobrak pintu kamar itu dengan kasar.

"Tsuna, bangun! Dasar kebo! Mau tidur sampai kapan?!" Hardikku pada sosok didalam selimut itu. Mendengar dobrakan itu, Tsuna terperanjat kaget hingga tidak sengaja menyandung selimutnya, dan jatuh terjerembab kelantai.

Astaga, bisakah adikku ini lebih dame lagi..?

"A—aduh, nee-chan! Jangan seenaknya mendobrak!" Keluh Tsuna dengan wajah memberengut. Heh, manis juga kalau dilihat-lihat.

Dengan masih memampang tampang teflon, kujawab, "Itu cara satu-satunya agar kau bisa bangun."

"Huuh, kau seperti Reborn.." Rutuknya. Hum, walau dia menggumam, aku masih bisa mendengarnya.

Sontak kuraih lengan kanannya dan menyeretnya kasar kekamar mandi, "Dasar dame, kau harus segera mandi, kau mau dibunuh prefek pecinta burungmu itu..?" Tanyaku dengan nada datar.

"Itte! Tapi tidak usah sampai menyeretku, dong!"

"Terserah aku. Kalau kau tidak begini, kau tidak akan beranjak mandi." Tukasku dan dengan segera kugeser pintu kamar mandi itu, lalu melempar secara tidak kemanusiaan adik manisku itu kedalamnya.

"Mou, nee-chan kejam!" Sahutnya dari dalam. Sementara aku hanya bisa menyeringai senang.

"Mandilah, Tsuna, lalu sarapan.." Ujarku lalu melangkah kearah kamar mandi dilantai bawah.

Well, aku tidak mau adikku menjadi sasaran kemarahan Hibari Kyoya.

.

.


Sarapan hari ini adalah roti panggang dengan sosis bakar. Hem, inilah menu sarapan kesukaanku. Ditemani segelas susu, menjadi menu yang paling enak. Apalagi, kaa-san yang memasaknya, wuaah, aku senang sekali..!

"Wuah, hari ini roti panggang dan sosis.." Ujarku takjub. Kaa-san yang tengah merapikan sendok dan garpu hanya terkekeh senang.

Tsuna yang sudah selesai mandi segera muncul dan bergabung dengan kami sarapan. Tou-san? Jangan tanya, dia pasti sedang menjalankan misinya sebagai ketua CEDEF.


.

.

Sebagai siswi kelas 3 yang lumayan supel, aku cukup terkenal karena keramahanku. Kalau oleh para kouhai, itu karena adanya Tsuna. Ya, sebut saja Hayato Gokudera dan Takeshi Yamamoto, dua teman terdekat Tsuna. Sebenarnya aku bersyukur Tsuna memasuki dunia mafia, karena dengan ini, ia mendapatkan banyak teman, baik dari Jepang ataupun luar Jepang. Karena mafia juga, prestasi Tsuna meningkat sedikit berkat gaya mengajar Gokudera-kun dan Reborn. Yah, aku harus berterimakasih pada mafia.

Tetap saja, sekali dame tetap dame. Walau sudah diajari Gokudera-kun dan Reborn, Tsuna tetap tidak bisa selamat dalam mata pelajaran lain. Sebut saja hitung-hitungan, seni rupa, dan olaharaga. Ah, untungnya aku cukup pandai dalam olahraga dan seni. Jadinya aku bisa mengajari Tsuna juga sedikit-sedikit.

"Aku merasa tidak enak karena nee-chan terus mengajariku yang dame ini.." Kata Tsuna padaku dalam perjalanan ke sekolah. Ck, inilah salah satu sifat Tsuna yang tidak kusukai, pesimisnya.

Berdecak kesal, "Kau ini bicara apa? Aku ini kakakmu, aku akan membantu sebisaku.." Ujarku lengkap dengan melempar tatapan sinis. Tsuna sukses bergidik.

"Ta—tapi tetap saja, aku merasa tidak enak…, kau bahkan pernah menemaniku sampai tengah malam untuk membantuku mengerjakan PR…" Kali ini Tsuna menggaruk tengkuknya canggung. Kadang aku merasa dia tidak menganggapku sebagai kakak.

"Mattaku. Itu bukan masalah, selama prestasimu dapat meningkat…" Berkat perkataanku, Tsuna sukses bungkam.

Memang agak susah menaikkan kepercayaan diri Tsuna. Sejak dulu ia selalu direndahkan oleh orang lain, tapi aku sudah bertekad dalam hati akan membuat kepercayaan dirinya itu kembali.

Kutepuk punggungnya pelan, membuat adikku itu menatap kearahku, "Tenang saja, kalau suatu waktu aku tidak dapat membantumu.., bukankah ada Gokudera-kun dan Yamamoto-kun?" Ujarku sambil melempar senyum simpatik.

"Tapi—"

"Kau beruntung punya orang-orang yang peduli padamu.." Ujarku lembut seraya menunjuk kearah depan. Tsuna yang penasaran mengarahkan pandangannya mengikuti arah jariku.

Didepan gerbang, ada Gokudera-kun, Yamamoto-kun, Sasagawa bersaudara, dan Hana-chan yang tersenyum kearah kami seraya melambaikan tangan.

Bisa kutangkap ekspresi Tsuna yang tengah tertegun. Aku tersenyum. Betapa beruntungnya Tsuna.

"Ohayou gozaimasu juudaime! Sawada-senpai!" Ucap Gokudera-kun sambil membungkukkan badannya.

"Ossu Tsuna! Sawada-senpai juga!" Yamamoto-kun menyambut kami dengan cengiran khasnya. Disusul sapaan Sasagawa bersaudara dan Kurokawa Hana-chan.

"Ohayou." Sapa kami berbarengan, "Kalau begitu, minna, aku duluan, ya.." Aku memutuskan pergi mendahului mereka. Merekapun balas melambaikan tangan padaku.

Ah, dari kejauhan kulihat ekspresi bahagia Tsuna. Sudah lama sekali, aku tidak melihat tawa bahagia Tsuna. Mau tak mau bibirku membentuk senyuman tulus melihat adikku dan kouhai-ku itu.

Bukankah menyenangkan dikelilingi keluarga, Tsuna?

.

.


Tidak terasa waktu berjalan begitu cepat. Rasanya baru beberapa menit lalu aku tertidur dipelajaran matematika, dan sekarang waktu sudah menunjukkan waktu pulang sekolah. Aku bangun dari acara tidurku dna menguap sebentar, sebelum mengemasi barang-barangku.

Aah, lagi-lagi aku tertinggal pelajaran matematika. Sudahlah, nanti aku pinjam saja catatan dari temanku. Lagipula guru matematika itu sangat menyebalkan, dan cara mengajarkan selalu membuatku mengantuk. Uh, aku memang lemah dalam pelajaran ini, nilaiku pun selalu pas-pas-an. Aku selamat saja dikarenakan pelajaran lain yang nilainya lumayan.

"Ah, nee-chan!" Aku bisa mendengar Tsuna memanggilku. Ia berdiri didepan gerbang sekolah seraya melambaikan tangannya. Aku tersenyum. Dia memang adik yang selalu menungguku.

"Nee-chan, kenapa lama sekali..?" Tanyanya padaku. Aku hanya menguap—mengusir kantuk yang masih emncoba menguasai tubuhku.

"Aku tertidur dikelas..tahu-tahu sudah pulang.." Jawabku. Tsuna tidak menjawab. Ia sepertinya menyimpan sesuatu.

Aku merilik kearahnya. Jelas dari gelagatnya, ia nampak memendam sesuatu. Bukanya apa, tapi aku bisa menebak kalau Tsuna meminta pertolonganku.

"Kau butuh bantuanku?" Yak, Tsuna mulai menegang. Ia merilikku sejenak.

"Iya, aku—"

"Pasti berhubungan dengan pelajaran.." Skak, aku bisa melihat aura gloomy dibelakang tubuhnya. Ah, Tsuna, kau memang mudah ditebak.

"Ah—"

"Tentu akan kubantu.." Potongku sambil menepuk pundaknya pelan. Lagi-lagi Tsuna memberenggut. Melihat pikirannya terbaca membuatku tersenyum kemenangan dalam hati.

"Nah, ayo cepat pulang.." Lalu aku menggandeng tangannya dan berlari kecil. Bisa kulihat semburat kemerahan disekitar pipi putih Tsuna.

.

.


"Duduk disini?" Tanyaku. Tsuna hanya mengangguk sebagai jawaban.

Saat ini aku disuruh duduk didepan teras rumah. Pintu kaca yang sengaja terbuka membuat angin masuk dan menyibakkan gorden serta helaian brunette-ku. Aku tengah mengenakan kaus tipis berwarna merah menyala serta rok sepanjang paha dengan rumbai berwarna putih. Rok itu agak melambai seiring angin yang bergerak masuk.

"Ah, Tsuna, aku—"

"Tidak ada, nee-chan sangat cantik.." Tsuna memberikanku angelic smile-nya yang mematikan. Uh, jantungku mulai berpacu tak karuan. Benar-benar adik yang manis.

Ia lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Buku gambar dan beberapa buah pensil. Ia lalu menatapku sebentar, berusaha menemukan titik yang bagus untuk menggambar. Sekarang aku mengerti, Tsuna memintaku sebagai modelnya.

"Mengapa bukan obyek yang lain..?" Tanyaku memecah keheningan. Tsuna terdiam.

"Aku mau menggambar nee-chan.." Jawabnya. Bisa kutangkap nada kepolosan dalam kalimatnya. Membuatku menaikkan sebelah alisku.

"Soalnya, " Tsuna mulai menorehkan garis pada lembar itu, "Nee-chan selalu membantuku, aku..ingin memberikan 'penghargaan' pada nee-chan, akan kubuat…gambar nee-chan yang paling bagus dan cantik.." Ucap Tsuna—masih terpau pada bukunya.

Oh my, aku tahu Tsuna itu lelaki yang lemah lembut, namun kata-katanya tadi seakan masuk dalam hatiku dan meleleh didalamnya. Such a gentle words. Aku merasa wajahku memanas. Kutarik napas dalam, berusaha mengembalikan imej-ku yang sempat runtuh.

"Kalau kau berkata seperti itu, maka kau harus mendapatkan nilai 80 dalam karyamu nanti.." Ucapku berbarengan dengan seringaiku. Tsuna sempat ber'hie' ria.

"Nee-chan jahat! Gambarku 'kan belum tentu sebagus itu!" Tolaknya dengan muka memerah. Aku terkikik gemas melihatnya.

Aku maju, lalu kucubit pipinya yang memerah itu, "Kau sudah berkata seperti itu, berarti kau sudah tidak bisa mengelak lagi.."

Sesaat Tsuna tertegun. Sebelum aku kembali mencubit pipinya keras—mengembalikannya lagi ke dunia nyata.

"Iya, iya, akan kulakukan! Ow ow ow! Itte, nee-chan, lepaskan!" Rengeknya sambil berusaha melepaskan tanganku. Aku hanya bisa tertawa kecil dan melepaskan cubitanku padanya. Tsuna hanya meringis kesakitan sambil memegangi kedua pipinya yang memerah akibat cubitanku.

Melihat Tsuna yang sekarang, aku—jujur—sangat senang. Tidak terbayangkan ucapan syukur yang bisa kupanjatkan. Tsuna, yang dahulunya malu-malu kucing, kini telah menjadi seorang singa jantan pemberani.

Sudut bibirku terangkat, mengukir seulas senyum,

Tsuna, you are now a real man…

.

.


Esoknya, hari berjalan seperti biasa. Aku menendang Tsuna keluar kamar karena sudah kuteriaki beberapa kali, ia tidak bangun juga. Ah, sepertinya aku harus menyetel alarm khusus untuk Tsuna. Lalu kami berangkat kesekolah bersama, dan bertemu dengan teman Tsuna sekaligus kouhai-ku itu. Hampir tidak ada yang istimewa hari ini. Seperti hari-hari yang biasa.

Saat istirahat, seperti biasa aku menemani Tsuna makan siang diatas atap sekolah dengan teman-temannya. Seperti biasa, Gokudera-kun dan Yamamoto-kun selalu saja beradu mulut. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihatnya.

"Nee-chan.." Panggil Tsuna saat aku hendak menyuapkan nasi kemulutku. Aku hanya diam dan menunggu anak itu melanjutkan omongannya.

"Sepulang sekolah nanti, temui aku dikelas, ya.." Pintanya. Aku terdiam. Tumben-tumbennya dia yang memintaku menuggunya. Biasanya ia yang akan menungguku didepan gerbang sekolah.

"…terserah.." Mendengar jawabanku, raut wajah Tsuna langsung cerah. Bisa kulihat ekor anjing imajiner mengibas senang dibelakangnya. Uh, Tsuna memang pintar sekali merajukku.

Bel berdentang. Aku pamit pada Tsuna dan teman-temannya dan melangkahkan kakiku menuju kelas. Sambil berjalan, aku bersenandung kecil. Pelajaran sehabis ini PKK, aku memikirkan menu apa yang akan dibuat hari ini.

.

.


Kini matahari telah bergulir ke ufuk barat. Meninggalkan semburat jingga-kemerahan yang kontras. Para burung pun kembali ke sarangnya dan bersiap menyambut datangnya purnama. Dan aku disini baru saja keluar dari kelas, sembari menenteng paper bag berisi beberapa cake yang kubuat dipelajaran PKK tadi. Aku memang sengaja membuat banyak agar bisa dinikmati Tsuna dan teman-temannya. Aku pun mempercepat langkahku menuju kelas 1-A. aku merasa aku sudah terlalu lama membuat Tsuna menunggu.

Sampailah aku dilorong kelas 1. Aku mmeperlambat jalanku, sesekali menarik napas, mencari oksigen yang mulai menipis didalam paru-paruku. Lelah juga berlari dari lantai 3 ke lantai 1. Aku bahkan sempat melompati tangga.

Manik colatku bergulir mengamati sekitar lorong. Sudah sepi, apa Tsuna masih menunggu, ya? Duh, aku jadi merasa bersalah karena terlalu lama membaca novel dikelas tadi. Aku baru akan menggeser pintu kelasnya ketika aku berhenti—

Didepan mading kelas Tsuna. Mading itu terpampang didinding kelas, memamerkan berbagai macam gambar-gambar yang dibuat murid kelas 1. Aku terkekeh. Gambar-gambar mereka sungguh lucu dan lugu. Ada beberapa juga yang bagus, namun pasti, tidak sebagus gambarku. Aku terus memperhatikan gambar-gambar itu hingga aku berhenti disuatu gambar.

Manikku melebar. Itu aku. Seratus persen aku. Itu yang Tsuna gambar kemarin. Aku yang duduk dengan meletakkan tangan diatas paha didepan teras rumah. Aku yang tersenyum, memakai kaus tipis berwarna merah dan rok pendek berwarna putih. Gambarnya, itu bukan seperti buatan Tsuna. Tampak lebih alami, dan aku yakin, Tsuna diam-diam belajar untuk menggambar.

Yang membuatku tercengang adalah tulisan yang berada dibawah gambar itu. Tipis dan kecil, namun tegas,

Untuk kakakku. Yang selalu mengajariku. Untuk kakakku. Yang selalu memberiku kebahagiaan. Sawada Tsunayoshi-1-A.

Speechless. Itu yang ada dalam benakku sekarang. Aku tidak tahu lagi harus berekpresi seperti apa. Aku hanya diam tertegun didepan papan mading itu, hingga pintu kelas itu bergeser dan menampakkan helaian brunette.

"Ah, nee-chan!" Panggilannya sontak membuatku terperanjat. Hampir saja aku tersandung kakiku sendiri dan terjatuh. Untung saja aku bisa mempertahankan sikapku. Kupandang lagi hasil karya Tsuna.

"Tsuna…" Tsuna mengikuti arah pandangku, dan seketika mukanya memerah. Aku tertawa dalam hati melihat reaksinya.

"Ba—bagaimana menurut nee-chan..?" Tanya Tsuna sambil tersipu malu. Aku tak tahan untuk tidak tersenyum. Aku berjinjit untuk menyisir surai brunette-nya lembut. Membuat adikku itu memerah malu.

"Duh, kau sudah besar…" Keluhku. Tentu saja, dulu, aku masih lebih tinggi darinya. Sekarang, dia bahkan sudah melebihiku.

Selesai mengusap kepala itu lembut, ganti aku memeluknya erat, membuat Tsuna agak meronta sambil menggumam 'sesak' .

"Bagus, " Ujarku, lalu saling menubrukkan iris kami, "Aku pasti berpikir Nerui-sensei akan memberikan penilaian tinggi untuk karyamu, terima kasih.."

Tsuna terdiam, maniknya memancarkan cahaya gembira, lalu ia balas memelukku.

"Arigatou, nee-chan, daisuki…" Aku hanya bisa tersenyum dalam pelukannya.

Adikku, walaupun pemalu dan kadang ceroboh, bodoh dalam segala hal, tapi dia memiliki tekad yang kuat dan juga semangat yang tinggi. Dan dia—

Diam-diam juga romantis.

.

.

O. M. A. K. E

"Aku tidak percaya kau bisa membuat gambar yang bagus, dengan begini, setidaknya kau tidak se-dame dulu.." Celetukku saat kami berjalan meninggalkan halaman sekolah. Tsuna hanya tertawa canggung sambil menggaruk tengkuknya.

"Hehe, ini semua berkat nee-chan..." Balasnya. Aku hanya tertawa renyah.

"Ohya, nee-chan, bungkusan apa itu..?" Tanya Tsuna seraya menunjuk paper bag yang sejak tadi kutenteng. Aku memandang sejenak paper bag itu. Ah, bagaimana bisa aku lupa..

"Oh, aku baru membuat beberapa cake saat pelajran PKK tadi, beberapa untukmu.." Kupamerkan senyumanku seraya menunjuk isi paper bag itu. Wajah Tsuna memerah senang.

"Wuah, aku mau, nee-chan!" Ujarnya senang.

"Iya, nanti sisakan untuk kaa-san, ya.."

CASE END—


Duuh, OOC berat.. -,-)a reader POV-nya jga ga kerasa, hwaaa _( :'33

Eits! Bukan brarti 'case end' maka critanya selesai! Ini baru awal, dan chapter2 selanjutnya akan menunggu, hehe :}}

Trimakasih utk yg udh review, fav, smoga crita brikutnya ga kalah absurd :'3 /lho/

Nah, sampai jumpa dichapter brikutnya!

.

.


CHAPTER 002 ON-GOING—!

CASE OF GOKUDERA HAYATO'S SISTER!