All the characters here are Masashi Kishimoto's (except Kento and Kaiya), but the plot is mine. Terinspirasi dari beberapa kisah namun tidak plagiat. Jika ada kesamaan plot, sungguh bukan hal yang disengaja. No bash, just for fun. If you don't like this story just go back and don't read. I've warned you. Happy reading, everyone :)

.

Pagi, pukul 03.00.

Suasana masih hening, tenang, dan waktu yang sangat tepat untuk beristirahat. Satu-satunya suara yang terdengar hanyalah hembusan napas yang teratur dan beriringan dari dua orang yang sedang berbaring berpelukan di sebuah ranjang di tengah kamar. Namun kini tidak lagi.

DRRT DRRT DRRT

Satu suara baru muncul dari atas nakas di sebelah ranjang berukuran King Size itu. Sebuah ponsel menyala, menampilkan panggilan masuk dari sebuah nomor tanpa nama kontak, nomor tak dikenal. Sesaat kemudian getar dari ponsel berhenti, namun sepuluh detik kemudian bergetar lagi.

Seseorang bergerak di atas ranjang, menggeliat tak nyaman. Ia sadar itu ponselnya yang bergetar. Ia melirik jam dinding di atas pintu kamar, siapa pula yang menelpon di pagi buta seperti ini. Ia menggerutu pelan, takut membangunkan seseorang di pelukannya yang ternyata tidak terjaga, syukurlah. Perlahan, tangannya yang bebas terulur ke samping untuk meraih ponsel yang bergetar tersebut di atas nakas. Matanya menyipit saat melihat layar yang terang, kontras dengan suasana kamar yang gelap tanpa penerangan. Ia tidak kenal nomor itu, namun panggilan yang dilakukan di jam seperti ini biasanya sesuatu yang penting. Mungkin ia harus mengangkatnya walau sempat terpikir untuk mengabaikan panggilan itu.

"Halo," sapanya dengan suara parau.

"Sasuke?" jawab seseorang di seberang.

Sasuke membelalakkan mata, dan berakhir dengan tak bisa kembali tidur.

.

"Kento, Kaiya, habiskan sarapan kalian. Nanti bisa telat ke sekolah."

"Baik, Ibu!" balas Kento dan Kaiya bersamaan namun tetap saling meledek satu sama lain.

Sasuke turun dari lantai dua, lalu berhenti sebentar di ujung tangga sambil memperhatikan keluarga kecilnya di dapur. Istrinya sedang menyiapkan bekal makan siang untuknya dan untuk kedua anak mereka, Kento dan Kaiya. Kento adalah bocah laki-laki berusia delapan tahun sedangkan Kaiya, bocah perempuan berusia enam tahun. Keduanya memiliki bola mata berwarna hitam yang diwarisi dari ayahnya, namun warna rambut keduanya diwarisi dari ibunya. Sedangkan wajah anak-anak itu hampir sama seperti anak-anak yang lain, Kento lebih mirip dengan ibunya sedangkan Kaiya lebih mirip ayahnya. Ini adalah keluarga kecil yang bahagia, pikir Sasuke. Tak lama kemudian lamunannya terhenti.

"Oh, Sayang, kau sudah siap?" tanya istri Sasuke dari arah dapur ketika melihat suaminya sudah berada di lantai bawah.

"Ya, sudah," jawab Sasuke kemudian beranjak ke dapur dan bergabung bersama dua anak kesayangannya.

Istrinya kemudian membawakan sarapan ke hadapannya dan menuangkan kopi serta air putih ke dalam gelas.

"Ayo cepat habiskan sarapan kalian atau Ayah akan meninggalkan kalian." Istri Sasuke kembali mengingatkan.

Kedua bocah itu kini terburu-buru menghabiskan sarapan mereka yang masih ada separuh. Sasuke mau tak mau tertawa melihat ulah keduanya. Meja dekat mangkuk sereal keduanya kotor akibat cipratan susu karena gerakan sendok yang tak teratur. Tapi istri Sasuke tak pernah mempermasalahkan soal itu. Anak-anak masih kecil, tidak perlu terlalu keras kepada mereka. Itu yang sering diucapkan istrinya padanya jika Sasuke merasa ulah kedua anaknya sudah mulai merepotkan istrinya. Itu juga sebabnya Sasuke tidak mengizinkan istrinya untuk bekerja. Mengurus keperluan dirinya, anak-anak dan juga rumah sudah cukup menyita waktunya. Sasuke tidak ingin istrinya kelelahan.

"Ayo, anak-anak! Saatnya berangkat ke sekolah," ajak Sasuke.

Kedua anak itu kini meninggalkan mangkuk sereal mereka yang sudah habis dan berlari menuju ibunya. Setelah masing-masing mengecup kedua pipi ibunya dan menerima bekal makan siang, mereka berlarian menuju mobil yang terparkir di luar rumah. Setiap pagi setelah bangun Sasuke selalu mengeluarkan mobilnya dari garasi dan sudah menyiapkan mobil itu untuk berangkat sebelum anak-anak bangun.

Kini tinggal Sasuke berdua saja dengan istrinya. Ia mengambil bekal makan siangnya dan pamit dengan istrinya.

"Aku akan pulang seperti biasa dan akan makan malam di rumah. Jika ada apa-apa jangan lupa menelepon." Pesan yang sama disampaikan Sasuke setiap hari sebelum berangkat kerja. Terkadang ia juga memberitahukan jika harus pulang telat atau ada jadwal makan malam di luar bersama teman kerjanya.

"Apa aku baru boleh menelepon jika terjadi apa-apa?" tanya istrinya seraya merapikan kemeja suaminya.

Sasuke tampak berpikir. "Telpon aku jika kau rindu," jawabnya sambil tersenyum menggoda ke arah istrinya. Pemandangan yang selalu Sasuke senangi saat pipi istrinya merona jika Sasuke menggodanya, dan itu terjadi juga saat ini. Ia mengecup kening istrinya, "Aku dan anak-anak berangkat dulu."

Istrinya mengangguk dan mengantar Sasuke hingga ke mobil. Anak-anak melambai-lambaikan tangan padanya dengan girang sambil berpamitan.

"Hati-hati di jalan sayang-sayangku," ucapnya kepada suami dan kedua anaknya.

Mobil pun melaju keluar dari halaman rumah dan menuju jalan ke arah sekolah anak-anak berada. Setelah itu Sasuke akan melanjutkan perjalanan ke rumah sakit tempatnya bekerja hingga sore tiba.

.

"Gejala apa yang Anda rasakan, Nona?"

"Aku sering merasa gelisah setiap malam, lalu kemudian susah tidur. Nafsu makan juga menurun."

"Apa Anda menderita sakit di daerah tubuh tertentu?"

"Ada, di sini."

Sasuke sedang mendiagnosa gejala penyakit seorang pasien wanita yang sudah menunggunya sejak pagi. Setelah mengantar anak-anak ke sekolah dan yakin mereka sudah memasuki kelasnya masing-masing, Sasuke kemudian berangkat ke rumah sakit. Beberapa pasien ternyata sudah menungguinya di depan ruangannya. Mereka duduk berjejer dengan rapi dan dari mimik wajah mereka Sasuke tahu mereka datang ke tempat yang tepat.

Yang sedang berada di hadapan Sasuke sekarang adalah pasien keempat. Seorang wanita muda berambut merah yang setahu Sasuke terlalu sering mengunjungi rumah sakit. Dalam sebulan ini saja sudah lima kali dia kemari. Penyakit yang dikeluhkannya selalu sepele, sampai-sampai Sasuke merasa bahwa sebenarnya dengan istirahat yang cukup dan pola makan teratur pasien tersebut bisa kembali pulih. Tapi tidak, dia tetap ngotot datang ke rumah sakit.

Hari ini dia mengeluhkan gejala yang belum pernah didengar oleh Sasuke, yang mana menurut Sasuke keluhan kali ini lebih masuk akal daripada kunjungan-kunjungan wanita itu sebelumnya. Namun baru saja Sasuke berpikir seperti itu, ia sudah menghela napas dengan sabar dan mencoba tetap tenang saat ia tahu dimana tangan wanita itu berhenti. Hati, wanita itu menunjuk hatinya.

"Apa Anda benar-benar sakit, Nona Karin?" tanya Sasuke memastikan.

"Aku rasa tidak. Aku merindukan seseorang. Tapi kenapa dia tidak pernah mau bertemu denganku jika aku kemari. Kenapa dia selalu menghindar. Bahkan hari ini aku diharuskan berkonsultasi dengan Anda, bukan dengan dia," jelas si pasien.

Sasuke kembali menghela napas. "Begini saja, Nona Karin. Saya akan mencoba berbicara dengannya tentang Anda. Semoga dia mau mendengarkan dan bisa mengerti. Saya masih punya banyak pasien lagi di luar, dan tampaknya penyakit mereka lebih serius."

Karin mengangguk paham. Mau tak mau ia pun meninggalkan ruang konsultasi Sasuke dengan hati mencelos. Oh, Sasuke benar-benar tidak paham bahwa rasa rindu jauh lebih menyakitkan dari penyakit manapun di dunia ini. Meski ia ingin menjelaskan, akhirnya ia tetap pergi.

Sasuke mempersilakannya keluar kemudian memanggil pasien yang lain.

Pasien terakhir selesai berkonsultasi tepat saat jam makan siang tiba. Sasuke meluruskan punggung sebelum bangkit berdiri dan berjalan keluar. Ia kemudian menyusuri koridor dan berhenti di depan sebuah pintu bertuliskan 'dr. Sabaku Gaara' lalu tanpa mengetuk langsung membuka pintu tersebut. Ia melihat dr. Gaara duduk di kursinya sambil memegang sebuah bungkusan makanan dan menatap layar televisi. Ia sedang menonton siaran ulang sebuah pertandingan sepak bola. Sasuke tahu, pertandingan itu tayang pukul 02.00 pagi dan Gaara tidak akan mengambil resiko bangun kesiangan dan terlambat bekerja hanya demi menonton siaran sepak bola dini hari.

"Harusnya kau yang menangani dia," kata Sasuke tanpa basa basi.

"GOL!" teriak Gaara saat seorang striker menendang bola lurus ke arah gawang. Namun raut wajahnya berubah kecewa karena ternyata bola hanya mengenai tiang gawang. Ia memutar kursinya lalu menghadap Sasuke, "Aku tidak ingin membahas masalah ini." Sasuke bahkan sudah menebak inilah yang akan dikatakan Gaara.

Ia meletakkan bungkusan makanan lalu menghampiri Sasuke. Saatnya makan siang. Mereka berdua berjalan keluar menuju kantin yang berada di lantai bawah rumah sakit, sedangkan ruangan konsultasi mereka berada di lantai dua.

"Sampai kapan kau mau melajang?" tanya Sasuke sambil mencari tempat duduk yang kosong.

"Aku tidak yakin bisa hidup dengan komitmen seumur hidup seperti itu," jawab Gaara sekenanya.

Usia mereka kini sudah hampir mencapai kepala empat. Sasuke sudah punya istri dan dua orang anak. Sedangkan Gaara, pacar pun tidak punya. Tidak, bukannya dia tidak laku. Dia justru pernah mengencani beberapa wanita, namun masing-masing hanya berumur tiga bulan. Dia malah lebih sering kelihatan sendiri daripada ditemani seorang gadis. Aku baru akan menikah jika sudah bertemu wanita seperti istrimu. Kalimat yang selalu ia ucapkan kepada Sasuke bagaikan mantera jika Sasuke sudah menyinggung soal menikah. Lalu mau bagaimana, istri Sasuke harus dibelah menjadi dua?

"Bukankah Karin cukup berkesan untukmu?" tanya Sasuke lagi sambil menyuapkan bekal yang disiapkan oleh istrinya.

"Entahlah," jawab Gaara seraya menerawang keluar jendela. "Agaknya dia posesif. Dia tidak perlu takut aku selingkuh, karena aku bisa menjaga perasaannya. Aku hanya… lelah meladeni kecemburuannya."

Sasuke paham sekarang kenapa Gaara begitu ingin bertemu wanita seperti istrinya. Istrinya itu begitu… penyabar dan maklum dengan segala hal. Dokter merupakan pekerjaan yang mewajibkan Sasuke melayani semua orang yang ingin berkonsultasi padanya, baik itu muda, tua, pria, wanita, cantik, biasa saja, dan sebagainya. Namun seingat Sasuke belum pernah sekalipun ia bertengkar dengan istrinya karena cemburu dengan wanita lain, setidaknya dengan pasien wanita Sasuke. Ia sangat mensyukuri hal itu.

"Suatu saat kau pasti akan bertemu dengan wanita yang kau inginkan," ucap Sasuke tulus.

Gaara tersenyum, "Semoga."

.

Sasuke baru saja berbaring di ranjang saat istrinya memasuki kamar tidur mereka.

"Anak-anak baru saja tidur," kata istrinya. Ia kemudian ikut bergabung di ranjang bersama Sasuke. "Bagaimana hari ini?"

Sasuke tersenyum geli dan membuat istrinya penasaran.

"Ada apa, sih?" tanyanya yang ikut tersenyum.

"Gaara… dan Karin," jawab Sasuke.

Istrinya paham. Hal ini sudah beberapa kali diceritakan oleh Sasuke menjelang tidur. Sejak sepuluh tahun yang lalu saat pertama kali mereka tidur bersama setelah mengucap janji suci pernikahan, ia meminta kepada Sasuke agar mereka selalu mengobrol beberapa menit sebelum pergi tidur. Biasanya ia akan menceritakan apa saja yang dialaminya dalam sehari dan Sasuke juga akan menceritakan hal yang sama. Belum pernah sekalipun mereka melewatkan ritual ini. Bahkan jika sudah kelelahan setelah piknik atau liburan bersama anak-anak, mereka tetap akan mengobrol sampai ketiduran.

"Ia ke rumah sakit lagi?" Sasuke mengangguk mengiyakan pertanyaan istrinya. "Dan Gaara menghindar lagi?" Kali ini Sasuke tertawa.

"Ia baru akan menikah jika sudah bertemu dengan wanita seperti Uchiha Hinata," kata Sasuke memperagakan ucapan Gaara.

Hinata, istri Sasuke, hanya diam tak menanggapi. Ia memandang dirinya, mencari sesuatu yang spesial dan tidak menemukannya. Karena Gaara berteman dekat dengan Sasuke maka Hinata pun mengenalnya dengan baik. Jika menghadiri pesta teman-teman mereka yang lain, atau ketika Gaara datang berkunjung ke rumah mereka, Hinata juga akan bertemu dengan wanita-wanita yang dikencani Gaara. Jujur mereka semua cantik, pintar berdandan, cerdas, bahkan bertubuh indah. Hinata bahkan tidak mengerti kenapa Gaara malah ingin mencari wanita yang biasa-biasa saja seperti dirinya. Ia bahkan sering merasa hidupnya penuh berkah karena bisa menikah dengan pria tampan seperti Sasuke. Setiap hari yang dijalaninya selalu berasa seperti mimpi.

"Sedikit berlebihan," timpal Hinata.

Sasuke menatap istrinya. "Butuh wanita cantik untuk menjadi kekasih, tapi diperlukan wanita baik untuk menjadi istri. Aku yakin itu yang dilihat Gaara darimu, Sayang."

Sasuke mengulurkan tangan dan menampakkan dadanya yang kosong untuk disandari oleh istrinya. Hinata menurut, meletakkan kepalanya di dada bidang Sasuke.

"Hari ini anak-anak tidak menyusahkanmu, kan?" tanya Sasuke.

"Tidak, mereka tidak pernah menyusahkan, sungguh."

Sasuke percaya. Kedua anaknya bagai mewarisi sifat lemah lembut ibu mereka. Sasuke selalu berharap mereka akan selalu seperti itu dan tidak berubah ketika menginjak remaja. Ia baru saja ingin menanyakan hal yang lain ketika ia menyadari Hinata sudah terlelap. Ia mematikan lampu di atas nakas lalu menyusul Hinata menuju dunia mimpi.

.

"Hari ini aku akan pulang terlambat," kata Sasuke pada Hinata saat berpamitan.

"Kau tidak akan makan malam di rumah?" tanya Hinata.

Sasuke menggeleng, "Maaf, ya."

Giliran Hinata menggeleng sambil tersenyum, "Tidak apa-apa. Sudah lama sejak terakhir kali kau makan malam bersama teman-temanmu."

Sasuke hanya diam, membuat Hinata mengernyit heran.

"Tidak apa-apa," kata Sasuke seperti menyadari keheranan istrinya. "Aku dan anak-anak pergi dulu. Telpon aku jika ada sesuatu, oke?"

Hinata mengangguk kemudian mengecup pipi suaminya. Ia juga mendapatkan kecupan di keningnya. Seperti biasa Hinata mengantar suaminya menuju mobil dan melambaikan tangan kepada kedua anaknya yang balas melambai dengan senang dari dalam mobil. Setiap hari selalu seperti ini. Sebuah anugerah yang siapapun rela menukarnya demi apa saja agar bisa merasakan momen seperti ini dalam hidup mereka. Hinata merasa beruntung, sangat-sangat beruntung. Ia tersenyum sekali lagi sebelum masuk kembali ke dalam rumah dan melakukan tugasnya sebagai ibu rumah tangga.

Sasuke menyetir dengan tenang, ekspresi wajahnya tenang, tapi tidak dengan hatinya. Sudah sejak kemarin malam pikirannya teralihkan meski sampai sekarang ia masih mampu mengontrolnya. Seperti biasa setelah tiba di sekolah, ia akan mengantarkan anaknya masing-masing ke dalam kelas. Jika bertemu dengan guru anak-anaknya, Sasuke selalu menyempatkan diri untuk mengobrol bersaa mereka. Menanyakan bagaimana perilaku kedua anaknya di kelas, apakah mereka belajar dengan baik, apakah mereka pernah bertengkar dengan temannya, apakah kedua anaknya menyusahkan gurunya, dan sebagainya. Sampai sekarang jawaban yang diterima Sasuke dari guru kedua anaknya selalu memuaskan. Anak-anaknya bukan hanya berperilaku baik di rumah namun juga sekolah. Sasuke mendesah lega. Ia bisa melanjutkan perjalanan dengan tenang.

Tapi setibanya di mobil, ketenangan itu sirna bagaikan debu yang dihembus ke udara. Ia berusaha tetap fokus memandangi jalan walau sesekali pikirannya kembali ke malam saat ia menerima telpon jam tiga pagi. Setidaknya dugaannya benar, itu memang bukan telpon iseng. Itu memang sebuah telpon penting yang membuatnya tidak bisa kembali tidur. Bukan karena Sasuke berbicara selama berjam-jam. Percakapan itu hanya berlangsung selama sepuluh menit, namun kesan yang ditinggalkan setelah percakapan itu berbekas hingga sekarang. Sasuke bingung harus bagaimana.

Ia terus mencoba bersikap biasa di depan istri dan anak-anaknya. Mereka tidak boleh menyadari kegundahan Sasuke. Di rumah sakit juga seperti itu. Ia berusaha agar konsentrasinya tidak terpecah saat melayani konsultasi pasien. Salah diagnosa dan dosis obat bisa berakibat fatal. Sasuke sadar ia tidak boleh mencampur adukkan masalah pribadi dengan pekerjaan. Saat bertengkar dengan Hinata di malam hari, keesokan paginya mereka pasti sudah akan berbaikan. Dia akan meminta maaf lebih dulu, dan beberapa kali Hinata yang duluan meminta maaf. Ia dan Hinata sadar permasalahan pribadi akan menghancurkan pekerjaan. Ia harus professional namun ia juga hanya manusia biasa seperti para pasiennya.

Saat ruangannya kosong Sasuke akan mengecek sebuah pesan di ponselnya. Setelah percakapan itu berakhir, Sasuke menerima sebuah pesan dari orang yang sama. Sebenarnya isi dari pesan itu sama seperti yang sudah mereka bicarakan semenit sebelumnya. Tapi Sasuke merasa pesan itu dijadikan sebagai pengingat. Pengingat bahwa Sasuke harus melakukan apa yang tertulis dalam pesan tersebut. Ia meletakkan ponselnya dan menghela napas dengan berat sambil menangkupkan tangan ke wajahnya. Memikirkan hal ini membuatnya lebih lelah dari pekerjaannya sendiri.

"Apa yang harus kulakukan," gumamnya pelan.

Tak lama kemudian pintu ruangannya diketuk. Sasuke kembali ke penampilan terbaiknya, sang dokter profesional.

"Masuk," perintahnya.

Kepala Gaara muncul dari balik pintu. "Aku lihat di sini sepi, makanya aku berpikiran kau sedang tidak ada pasien."

"Masuklah," kata Sasuke.

Gaara masuk dan menutup pintu di belakangnya lalu duduk di hadapan Sasuke, di kursi para pasien selalu berkonsultasi.

"Kau kelihatan lelah. Apa ada pasien yang sakit parah?" tanya Gaara setelah memperhatikan Sasuke.

Sasuke tidak bisa berbohong dari temannya ini. Mereka sudah terlalu lama bersama, bahkan ia lebih dulu mengenal Gaara ketimbang istrinya. Mereka mengambil kuliah kedokteran bersama dan tidak jarang mereka akan menghabiskan malam bersama untuk mengerjakan tugas kuliah hingga pagi. Gaara pasti selalu tahu jika ada yang aneh dengan Sasuke.

"Maaf, tapi soal yang satu ini aku tidak bisa cerita," jawab Sasuke.

"Hmm, masalah pribadi. Kau bertengkar dengan Hinata?" tanya Gaara tak menggubris jawaban Sasuke yang sudah jelas-jelas mengatakan tak bisa menceritakan apapun padanya.

"Tidak, bukan tentang Hinata. Kami baik-baik saja," jawab Sasuke.

Gaara menyipit, seakan-akan dengan cara begitu ia bisa memindai kebohongan pada kata-kata Sasuke.

"Kau seorang dokter, bukan Sherlock Holmes. Kau tidak akan bisa menyelidiki aku," celetuk Sasuke.

Gaara menyeringai, "Aku yakin sekali ada sesuatu. Kau pasti akan cerita padaku, nanti." Gaara bangkit dari duduknya kemudian berjalan keluar ruangan sambil bersiul. Sebelum keluar ia berdiri di ambang pintu dan berkata, "Jangan sia-siakan istrimu atau aku akan merebutnya."

Sasuke tahu Gaara hanya bercanda namun entah mengapa tangannya meraih sebuah pena kemudian melemparnya ke arah Gaara. Telat, Gaara sudah menutup pintu namun Sasuke masih bisa mendengar suara tawanya di balik dinding.

Sial. Entah mengapa perkataan Gaara tadi terngiang-ngiang di pikirannya yang memang sudah berkabut. Jangan sia-siakan istrimu. Kata-kata ini menjadi alarm baru menyaingi pesan dalam ponsel Sasuke. Sebenarnya keduanya tidak kontras, justru yang satu akan memicu yang lain. Sasuke makin bingung. Ia melihat jam, waktu berpikirnya tidak sampai tujuh jam lagi.

.

Hinata mengenakan celemek berjalan mondar-mandir dari ruangan satu ke ruangan lain. Suara vacuum cleaner mengambang di udara. Di saat seperti inilah dia bisa membersihkan rumah dan kegaduhan yang dibuat anak-anak. Mainan mereka berantakan di sudut ruangan, terlihat tergesa-gesa saat dirapikan. Hinata merapikan mainan anak-anak lebih dulu sebelum membersihkan lantai dan ranjang mereka. Karena keduanya masih berusia enam dan delapan tahun maka mereka masih tidur di kamar yang sama meski keduanya berbeda jenis kelamin. Ia dan Sasuke sepakat akan memisahkan kamar tidur anak-anak ketika Kento sudah berusia sepuluh tahun. Masih ada waktu dua tahun lagi untuk menyiapkan kamar Kaiya. Namun ia sudah punya permintaan seluruh dinding kamar harus dicat dengan warna pink, warna kesukaannya.

Ia juga membersihkan kamar tidurnya dengan Sasuke. Hinata tidak pernah repot dalam hal membersihkan kamar mereka. Sasuke adalah suami yang cukup perhatian. Sepulang bekerja ia akan memasukkan pakaian kotornya ke wadah yang sudah Hinata siapkan di sudut kamar. Jam tangan diletakkan di atas nakas di samping ranjang dan sepatu juga akan diletakkan di rak sepatu. Peralatannya yang lain juga ia letakkan di satu tempat, mempermudahnya untuk mencarinya lagi.

Buku-buku kedokteran dikumpulkan dalam satu rak besar di ruang baca. Buku baca anak-anak juga ditempatkan di ruang yang sama namun berbeda rak. Setiap selesai membaca Sasuke pasti akan mengembalikan buku tersebut ke tempat dimana ia mengambilnya. Ia juga mengajarkan anak-anak untuk melakukan hal yang sama ketika selesai membaca. Semua buku tak pernah berdebu, begitu juga raknya karena Hinata mampu membersihkan dan merawatnya dengan baik.

Selesai membersihkan rumah Hinata membersihkan diri. Kemudian ia beranjak ke dapur untuk menyiapkan makan malam. Sasuke tidak makan malam di rumah, berarti ia harus mengurangi sedikit porsi masakannya. Anak-anak tidak terlalu banyak makan. Di usia seperti mereka sangat sulit untuk menyuruh mereka makan karena mereka lebih suka jajan. Alhasil Hinata memasak sendiri kudapan sehat yang akan disukai anak-anak. Setidaknya itu cukup efektif menekan keinginan anak-anak untuk membeli jajanan yang Hinata yakini lebih banyak yang tidak sehat untuk dikonsumsi.

"Hari ini masak apa, ya," gumamnya lebih ke diri sendiri. Ia membolik-balik buku resep masakan yang baru ia beli saat belanja bulanan bersama Sasuke. Buku itu sangat sakral menurut Sasuke. Karena dari buku-buku resep itulah Sasuke merasakan banyak jenis makanan yang dulu belum pernah ia coba saat belum menikah.

Hinata masih memandangi buku resep saat satu tangannya meraih sebuah gelas yang tersusun di atas meja makan tanpa melihatnya. Gelas itu berhasil ia ambil, namun entah mengapa tiba-tiba gelas itu seakan tergelincir dari tangan Hinata dan jatuh ke lantai hingga pecah. Hinata tersentak kaget. Perhatiannya langsung teralihkan kepada gelas yang sudah tak berbentuk itu. Dengan cepat ia turun dan mengambil sapu untuk membersihkan pecahan kaca di lantai. Setelah membuang puing-puing kaca ke tempat sampah Hinata kembali duduk di kursi makan. Ia melamun, kehilangan selera untuk bereksperimen memasak makanan yang belum pernah dibuatnya. Mungkin ia akan masak telur gulung saja untuk malam ini.

.

Jam empat sore, waktu bekerja Sasuke telah habis. Ia merapikan mejanya kemudian berjalan menuju pintu. Saat memegang gagang pintu ia terdiam, kemudian kembali duduk di kursinya. Ia melihat jam, lalu membaca sebuah pesan di ponselnya. Sasuke bimbang bukan main. Ia harus berangkat sekarang jika tak ingin terlambat, tapi ia juga tak tahu apakah harus datang atau tidak. Ia kembali menimbang-nimbang. Pergi tidak pergi tidak. Ia sudah menggenggam kunci mobilnya dan memainkannya. Seakan-akan kunci itu bisa memberikannya jawaban.

Ia berdiri dan berjalan keluar. Terus berjalan turun ke lantai bawah lalu ke parkiran. Sasuke kemudian masuk ke dalam mobilnya namun tak langsung menyalakannya. Ia kembali diam memandang keluar melewati kaca depan. Saat menyetir kita fokus memandang ke depan, cukup sesekali memandang ke belakang melalui kaca spion. Begitulah juga hidupnya. Harusnya Sasuke fokus menuju masa depan, bukannya kembali mengingat-ingat masa lalu.

Ia menyalakan mobil, memasukkan persneling dan menginjak pedal gas. Mobil melaju meninggalkan pelataran parkir rumah sakit. Sasuke terus-terusan meyakinkan diri agar tidak menyesali keputusannya ini. Ia masih bisa berbelok menuju rumahnya dan muncul di hadapan istrinya kemudian menciumnya. Istrinya akan heran karena dia pulang seperti biasa sedangkan ia tidak memasak makan malam untuknya. Sasuke bisa berkilah itu adalah kejutan untuk mengajak istrinya makan malam di luar dan menitipkan anak-anak sementara ke tetangga sebelah. Ya, itu konsep yang masuk di akal. Tapi entah mengapa Sasuke terus menginjak pedal gas dan tak jadi berubah pikiran.

Ia terus menyetir saat sebuah pesan masuk ke ponselnya. Ia tahu berbahaya jika menggunakan ponsel saat berkendara, karena tidak sedikit pasien kecelakaan yang ditanganinya karena menggunakan ponsel ketika menyetir. Sasuke menyalakan lampu sein lalu meminggirkan mobilnya. Ia membuka pesan tersebut lalu membacanya. Tangannya mengambang di udara saat ia membaca kata demi kata dalam pesan tersebut. Aku sudah tiba dan sedang menunggumu. Hanya itu, namun detak jantung Sasuke meningkat saat membacanya berkali-kali. Ia tidak membalas pesan tersebut. Ia mengunci layar ponselnya lalu kembali berkendara.

Masih ada waktu untuk berubah pikiran, katanya pada diri sendiri. Kemudian dia merasa sudah terlambat untuk berubah pikiran. Dia sudah berjalan sejauh ini dan mungkin akan menyelesaikan masalah ini. Ya, cukup sekali ini saja dan Sasuke akan menyelesaikan segalanya. Besok-besok ia tak perlu melakukan ini lagi dan akan kembali ke kehidupannya yang semula. Dia akan kembali hidup tenang tanpa beban.

"Baiklah, sepuluh menit dan aku akan pulang," gumam Sasuke. Ia menambah laju kecepatan kendaraannya, berharap cepat sampai agar masalah ini juga cepat selesai.

Sasuke memarkirkan mobilnya di salah satu sudut taman, tempat janji bertemunya dengan orang yang sudah menelponnya jam tiga pagi dan mengiriminya pesan dua kali. Ia mematikan mesin mobilnya, mencabut kunci dan bersiap untuk keluar. Sasuke kembali ragu dan berpikir, masih ada waktu jika ingin berubah pikiran. Tapi terlambat, sepertinya orang itu sudah menyadari kedatangan Sasuke. Sasuke menelan ludah susah payah. Ia pun keluar dari mobil dan berjalan pelan menuju bangku teman tempat orang tersebut menunggunya.

Benar saja, saat melihat Sasuke berjalan menghampirinya ia langsung berdiri dan tersenyum menyambut Sasuke. Dunia Sasuke seakan jungkir balik ketika melihat betapa orang tersebut tidak banyak berubah. Senyumnya masih seperti dulu, tatapannya juga masih sehangat dulu. Bahkan tanpa riasan wajah itu sudah terlihat sangat bercahaya, sangat cantik, sangat menawan. Sungguh tidak ada yang berubah selain umurnya yang menua, tapi itupun tidak terlalu terlihat dari wajahnya. Ia seakan awet muda.

"Sasuke," sapanya saat Sasuke sudah tiba di hadapannya.

Lama mereka saling bertatapan dalam diam, seakan membangkitkan kembali semua kenangan yang sudah mereka simpan rapat di dalam hati masing-masing. Tidak ada kata-kata yang keluar, namun tatapan mereka menyiratkan segalanya. Kerinduan, pengharapan, rasa sakit, cinta, kasih sayang, dan masih banyak perasaan yang lainnya. Sasuke tak kuasa bahkan untuk menyebut namanya. Ini sungguh di luar perkiraannya. Bahwa ia kira dengan hanya menjumpainya saja sudah cukup. Ternyata tidak cukup. Ia haus akan segala hal tentang seseorang di depannya ini. Dua belas tahun, bukan waktu yang singkat namun entah mengapa rasanya baru terjadi kemarin. Mereka seperti berdiri di sini dua belas tahun yang lalu, ketika mereka memutuskan untuk berpisah. Setidaknya, orang di depan Sasuke lah yang memutuskan secara sepihak mereka harus berpisah.

"Sasuke," sapanya lagi seraya tersenyum.

Akhirnya Sasuke menemukan kembali suaranya yang sempat tersendat di tenggorokannya. Dengan susah payah ia coba menyebutkan nama itu.

"Sakura…"

.

To be continued…

.

Terima kasih sudah membaca. Jika berkenan silakan tinggalkan komentar di kolom review. Segala macam kritik membangun akan sangat bermanfaat bagi perkembangan cerita ini nantinya :)