Hetalia: Axis Powers © Hidekaz Himaruya.

saya tidak mengambil keuntungan materiil dalam bentuk apa pun dari pembuatan fanfiksi ini.


hari apa hari ini?

"Ludwig."

"Hm." Yang dipanggil bahkan tidak perlu mengangkat kepala dari buku bacaan untuk mengesahkan eksistensi Feliciano. "Apa." Kata yang digunakan untuk menyambung reaksi sebelumnya bahkan tak diakhiri dengan tanda baca yang benar.

"Lupa hari ini hari apa?"

Ludwig mengerutkan kening. Ia mengangkat kepala, menatap lawan bicara yang duduk di seberangnya, mengamati matanya lekat-lekat. Tak pernah Ludwig serius melingkari tanggalan di kalender (memangnya perlu, ya?) karena yang ia tahu hanyalah bangun di pagi hari, mengamati orang-orang datang dan pergi (hidup dan mati), lalu melakukan rutinitas yang entah akan ia sesali atau tidak, tapi toh kata esok selalu datang lagi. Memangnya hari ini hari apa?

Di sebelahnya, Kiku berdeham, sedikit canggung. Ludwig jelas mendengarnya, tapi sekadar dehaman saja bukan berarti otaknya sepintar itu untuk bisa menafsirkannya menjadi jawaban, 'kan?

"Aku saja tahu," Wang Yao malah memanas-manasi, membuatnya dapat hadiah pelototan dari Ludwig.

"Senin." Di sebelah Feliciano, Arthur menyahut, membalikkan buku bacaannya.

Francis yang duduk di sebelah Arthur memutar bola mata. "Jelas semua tahu itu, Arthie," ia mengatakannya setengah mendesis karena ia sendiri tak mengharapkan balasan dari celetukan barusan. Ia sekadar berkata saja, apa pun, agar semua setidaknya tahu ia di sini, ia menyimak, ia ada.

Mereka memang sedang berkumpul untuk pertemuan rutin, tapi karena Alfred belum datang, jadi, dengan sangat terpaksanya, perkumpulan ini belum bisa dimulai juga. Akhirnya melalui komunikasi non-verbal, mereka sepakat untuk menunggu sambil membaca. Kebanyakan tidak seperti Arthur dan Ludwig yang memang membawa buku bacaan, sehingga yang lain hanya setengah-setengah menyambar surat kabar lama di loker meja dan membentangkannya tanpa niat.

"Bukan, maksudku, yang berkaitan dengan perayaan." Feliciano bersikeras.

"Aku lupa," Ludwig menggelengkan kepalanya. "Baru kemarin aku menemani para ilmuwanku untuk mengenang meninggalnya fisikawan peraih Penghargaan Nobel, dan kemarin lusanya kamu mengingatkanku soal Aliansi Tiga dengan Roderich dan Elizabeta. Hari ini apa?"

Arthur terusik dengan pembicaraan itu. "Tunggu," selanya tiba-tiba, "seharusnya tanggal meninggalnya James Franck bertepatan dengan meninggalnya Henry VI, dan kalau kemarin adalah hari itu, berarti hari ini adalah hari …?"

"Penandatanganan Pakta Baja, astaga, Ludwig!" Feliciano mengacak kepalanya, ia melipat kembali surat kabar di tangan. "Pakta Persahabatan dan Aliansi kita!"

"Untukmu kebanyakan Arthur," Francis menepuk sebelah pundak kanan Arthur yang masih dalam jangkauan tangannya, sebagai satu-satunya yang cepat sadar bahwa kalimat Feliciano yang memotong pertanyaan Arthur barusan benar-benar tidak nyambung, "kamu tak perlu berusaha mengingatnya—"

"Oh," Ludwig seketika menyesal telah melupakannya, sekelebat rasa bersalah menyelimuti tapi ia tak tahu berbuat apa. Diliriknya Kiku yang setelah dehaman beberapa saat yang lalu mulai berlagak tidak ada di tempat itu. "Aku lupa."

Suara yang menyambung kemudian, yang membuat seisi ruangan hening seketika, adalah derit kursi Arthur yang berbunyi karena gesekan mundur antara kaki kursi dengan lantai. Arthur berdiri tiba-tiba, buku bacaan segera ia tutup dan dimasukkan ke dalam tas selempang cokelat yang ia kenakan.

"Aku lupa," mengulang perkataan Ludwig, hanya saja Arthur mengucapkannya seolah setelah habis berlari dua belas putaran mengelilingi padang rumput tanpa berhenti. Napasnya memburu. "Aku lupa."

"Lupa apa?"

Susah-payah, Arthur seperti berusaha mencari celah untuk bisa mengeluarkan serentetan kata dengan tenang, di sela napasnya yang tersengal-sengal. "Ada yang harus kulakukan."

Kali ini tak ada yang berani bertanya lebih lanjut, sekalipun mereka belum mendapat kejelasan juga akan hal itu. Tanpa menunggu persetujuan (karena memang tidak ada yang merasa berhak memberinya persetujuan) Arthur berjalan menuju pintu besar satu-satunya di ruangan.

"Kalau hal kayak begini saja kamu ingat …," Francis menyeletuk, "apalagi kalau peringatan yang besok, ya?"

"…"

Arthur menghentikan langkah.

Berhenti tepat di depan pintu ruangan. Lalu memutar badan beberapa derajat, hanya sepertiga wajahnya saja yang terlihat dan sisanya tertutup bayangan—tapi Francis terlalu tahu bahwa pandangan kedua mata itu ditujukan untuknya. Lama ... mungkin sekitar enam hitungan, sebelum Arthur kembali menghadap depan, membuka pintu, dan menutupnya tanpa suara.

Sayup-sayup terdengar suara Alfred di luar, "Arth, hai! Mmm, dan kamu mau ke …?" tapi percakapan di antara mereka tidak kentara terdengar, toh selain itu semua yang di dalam ruangan sudah serempak menoleh ke arah Francis, meminta penjelasan.

"Hari ini dimulainya Perang Mawar," Francis mengatakannya sambil mengerlingkan mata, dengan gaya bicara yang biasa. "Kalian tahulah ceritanya. Perang antarkeluarga. Arthur biasanya membeli bunga mawar untuk lalu diberikan padaku besoknya."

Pintu terbuka, hanya Alfred sendiri yang masuk. Semua kepala tertoleh padanya, namun pemuda itu hanya menatap Francis. "Memangnya besok ada peringatan apa?"

"Oh, jadi kamu menguping sejak kapan?" untuk kali pertama Ivan angkat suara.

Alfred mengangkat bahu, mengabaikan nada bicara Ivan yang berakhir dengan tandas. "Sejak Feliciano memanggil Ludwig barangkali." Kenyataannya, ia memang sudah sejak lama berada di luar. Tangannya baru hendak menggapai pegangan pintu saat mendengar percakapan terjalin di dalam ruangan yang dimulai oleh Feliciano. Rasanya sayang kalau ia merusak atmosfer dengan masuk tiba-tiba, jadi dibiarkannya saja dirinya menunggu sedikit lebih lama.

"Jadi, mawar merah yang selalu kaubawa ke mana-mana itu dari Arthur?" Ludwig memastikan.

"Exacte!" Francis menjentikkan jarinya.

"Tapi, bunga mawar merah itu tanda … ci-ci-cinta," Kiku susah-payah ikut menyambung. Berusaha bersikap tenang di luar seperti penampilannya biasa, namun sebenarnya tubuhnya di dalam sudah disko hebat. Maksudnya apa, pemuda memberi bunga pada seseorang yang kebetulan pemuda juga; mawar merah pula? Sesama laki-laki?

Francis menggelengkan kepalanya. "Nyaris," ia bertopang dagu. "Yang kubawa ke mana-mana memang selalu bunga mawar yang merah. Tapi Arthur selalu memberiku dua bunga; mawar merah dan mawar putih. Dan dalam bahasa bunga, artinya jadi lain sama sekali."

Mulut Kiku membulat. "Permintaan maaf." Ia ahlinya dalam hal seperti ini, omong-omong.

Francis menjentikkan jarinya lagi. "Correct."

"Atas dasar?" Alfred masih belum beranjak, percakapan yang terlempar ke sana kemari membuatnya terpaku berdiri di ambang pintu. Setengah perasaannya sudah menebak ke arah kisah tragis Joan of Arc, tapi kalau tak salah, bukannya meninggalnya si Gadis Orleans itu tanggal 30 Mei, ya?

"Maju beberapa hari, Al," seolah bisa membaca pikiran Alfred, Francis mengulum senyum. "Saat ditangkapnya Jeanne oleh tangan-tangan Inggris."


[1] Yang dimaksud Ludwig adalah James Franck, fisikawan asal Jerman peraih Penghargaan Nobel bidang Fisika yang meninggal pada 21 Mei 1964.
[2] Aliansi Tiga, atau Triple Alliance, dibentuk pada 20 Mei 1882 antara Kekaisaran Jerman, Austria-Hongaria, dan Italia.
[3] Pakta Baja, atau Pact of Steel, aliansi militer dan politik antara Kerajaan Italia dan Jerman yang ditandatangani pada 22 Mei 1939 oleh Fasis Italia dan Jerman Nazi.
[4] Perang Mawar, atau the Wars of the Roses, perang saudara memperebutkan tahta Inggris selama tiga puluh tahun yang dimulai pada 22 Mei 1455.
[5] Joan of Arc tertangkap pasukan Burgundi yang bersekutu dengan Inggris saat ke Compiègne pada 23 Mei 1430.