Read slowly, there may be sections that will make it difficult for you to understand the storyline

Kisah ini masuk ke dalam Dark-Romance; if you want a Happy Ending, please leave this story. I, don't guarantee a Happy Ending.

Kapel/Chapel: adalah sebuah bangunan yang digunakan sebagai tempat untuk persekutuan dan ibadah bagi orang Kristen.


Udara Jepang sangat panas, memasuki beberapa celsius dan itu cukup menyengat badan.

Sinar matahari tidak bersahabat, tetapi tak menghambat orang-orang untuk beraktifitas. Sebagian mungkin mengurangi, atau malah tidak sama-sekali melakukan kegiatan selain berada di depan kipas angin, ataupun berada di bawah pendingin ruangan.

Beruntung bila Sasuke Uchiha tidak berada di lapangan, seperti mereka yang rela demi uang untuk bersengat-sengat dengan matahari di atas langit

"Presdir," panggilan itu terasa mengganggu konsentrasi, setelah dia memutuskan untuk bekerja tanpa henti siang hingga malam hari.

Ketukan-ketukan itu apalagi semakin gila terdengar. Seseorang di luar sana berusaha dalam menyadarkan si workaholic yang telanjur masuk ke dalam pekerjaan. Sebuah dunia yang menenggelamkan dia ke dalam berton-ton pasir kokaina dalam bentuk digital.

"Apa yang membuatmu mengetuk pintu itu?" seseorang itu masuk—wanita tinggi dengan hem putih dan rok span abu-abu. "Ada apa? Istirahat sudah selesai satu jam lalu. Dan, aku tidak butuh kopi."

"Bukan itu, tapi ada panggilan dari kakak Anda, yang masuk ke dalam ponsel saya." Ponsel di sampingnya mungkin lagi-lagi mati. Menggunakan alasan lupa dalam mengisi daya, hingga membuat panggilan yang seharusnya masuk ke dalam ponsel tersebut terpaksa mereka mengalihkannya di nomor seorang sekretaris.

Sasuke mendengkus sebentar, lalu dia menarik ponsel di depannya cukup kasar. "Halo?" sapaan pertama yang ia ucapkan untuk seseorang di seberang sana, kakaknya menyapa hangat dengan gelak tawa khasnya. "Apa maumu?" Sasuke melirik sebentar ke depan. Hingga pada akhirnya, sang sekretarisnya pun mengambil langkah mundur tiga langkah ke belakang. "Aku akan kirim ke nomor rekening biasanya." Dan kembali berdiri tegak sembari tetap mempertahankan senyuman manis tak terbaca apa-apa.

"Aku berharap kau tidak pernah menyentuh Jepang. Apalagi keluarga ini. Kau sudah berjanji, dan aku akan memenuhi segala apa yang kau inginkan." Tidak menunggu lama lagi, sampai Sasuke melempar ponsel tersebut ke depan, dan sekretarisnya siap menerima dengan lemparan tinggi sekalipun.

"Kirimkan uang dengan nominal seperti biasa pada rekening Itachi."

"Baik, Presdir." Setelah berhasil menangkap ponsel itu, sang sekretaris pun kemudian berpamitan, berjalan secara teratur tanpa menimbulkan suara tergesa-gesa.

Pintu kemudian ditutup secara perlahan, sedangkan Sasuke memutuskan bangkit dari kursi kerjanya.

Dia menerawang ke samping kiri, dia menerawang ke samping kanan—menggunakan pandangan super gelisah. Ia menjadi sulit dan tak tertarik lagi berada di dalam keadaan tergila-gilanya dalam bekerja.

Kemudian, ia memutuskan keluar dari mejanya setelah dirasa, keadaan buruk akan menerpa jauh menjengkelkan dari suhu panas di luar.

Ia pun berjalan mendekati jendela kaca ruang kantornya. Matahari masih tinggi padahal sore akan tergantikan gelap yang menyajikan udara sama seperti waktu-waktu sebelumnya. Tak ada angin yang terasa menerpa selain hawa panas seperti letupan magma gunung merapi.

Pendingin ruangan bahkan tidak terasa nyaman di tubuhnya. Dan, yang terus ia pikirkan secara dalam, apakah kakaknya mampu ia percayai sampai akhir hidupnya?

"—bahkan, hingga akhir dari hidup kami, aku ataupun Sakura Haruno?"


Tubicontinut

12.06.2018