Kadang-kadang, Grimmjow berkhayal rutinitas hariannya sebagai eksekutif muda di sebuah perusahaan otomotif, satu hari saja digantikan oleh suatu kejadian yang tidak pernah diduganya, atau apapun itu yang bisa membuatnya tidak bosan menjalani pekerjaannya.

Sambil menarik napas panjang, Grimmjow mengikuti ketua penyelenggaraan pameran mobil bersama para rekan kerjanya di sebuah mall besar yang terkenal di Tokyo. Pria berumur tiga puluhan tahun itu tampak antusias menjelaskan beberapa merek mobil yang ada di pameran itu.

Gadis-gadis cantik yang berprofesi sebagai SPG—yang berdiri di samping mobil-mobil mewah dan mahal itu—terlihat berusaha menarik perhatian Grimmjow, begitu pria tampan itu melewati mobil yang dijaga oleh mereka. Yang tentu saja tidak dilirik oleh Grimmjow, sedikitpun.

Grimmjow melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Melihat sudah berapa lama ia berada di pameran mobil ini agar bisa pergi untuk makan siang, lalu kembali ke kantornya. Tapi, begitu ia mengangkat wajahnya, kedua matanya tanpa sengaja tertuju pada seorang pria mungil berwajah manis yang sedang berdiri bersama para pengunjung lainnya di depan sebuah mobil Zenvo ST1 berwarna putih—yang hanya diproduksi 15 unit di dunia itu.

Tanpa sadar Grimmjow tak berkedip menatap pria mungil itu. Bibir itu mengembang tersenyum kepada orang-orang yang berdiri di sekitar, sebelum ia berbalik dan berjalan pergi.

.

.


Semua karakter yang dipakai dalam fanfiksi ini bukanlah milik saya. Mereka adalah milik Tite Kubo. Namun karya fanfiksi ini adalah sepenuhnya milik saya.

.

Alternate Universe

M-rated

3k+ words

Drama/Romance

Oneshot

.

~a GrimmHitsu story~

.

Peringatan: Fanfiksi ini bertema Boys Love dan Yaoi, yang menampilkan cerita tentang hubungan antara pria dan pria. Rating M untuk adegan yang menjurus ke lemon. Crack-pairing. Possible Out Of Characters. Tidak menerima apresiasi negatif atas semua hal yang sudah saya peringatkan.

.

Terinspirasi dari komik Cyber Idol Mink karya Megumi Tachikawa, komik Princess-Princess vol. 2 karya Mikiyo Tsuda, dan komik serial misteri karya Kanon Iguchi.

.

Sebuah spin-off dari fanfiksi 'Kekasih Gelap'.

Di fanfiksi ini akan menceritakan pertemuan Grimmjow dan Toushiro hingga mereka pacaran. ^^

.

Jeanne's present...

.

#

.

Kaulah Segalanya


.

.

Toushiro melangkahkan kakinya masuk ke dalam toko CD dan langsung menuju ke bagian film-film action. Sambil bersenandung pelan mengikuti suara musik yang diputar di toko itu, kedua matanya menatap satu per satu kaset CD yang yang dilewatinya. Selesai kuliah tadi, ia memang sudah berencana langsung menuju mall ini untuk refreshing.

Tiba-tiba kejadian yang tidak diduga Toushiro terjadi. Begitu ia akan menuju ke bagian film-film horor, seorang wanita gendut tidak sengaja menabrak bahunya. Toushiro yang kehilangan keseimbangan langsung termundur beberapa langkah hingga ia menabrak sebuah pilar pajangan yang di sekelilingnya terpajang kaset-kaset CD.

Toushiro membelalak begitu ia mendongak dan melihat kaset-kaset CD itu berjatuhan akan menimpanya. Kedua lengannya refleks membuat tanda silang di depan wajahnya—untuk menghalau benda-benda itu melukai wajahnya—namun Toushiro tiba-tiba merasa seseorang menyambar pinggangnya, dan membalik tubuhnya hingga orang itulah yang merasakan benda-benda yang berjatuhan itu. Bunyi benda-benda jatuh dan pecah terdengar sebelum Toushiro mendongak untuk melihat siapa yang sudah menolongnya. Ternyata yang menolongnya adalah seorang pria berjas abu-abu—yang Toushiro perkirakan berumur tiga tahun di atasnya.

"Kau tidak apa-apa?" Suara berat itu membuat jantung Toushiro berdegup tidak wajar.

"Tuan, Anda tidak apa-apa?" tanya salah satu pria yang bekerja di toko CD itu sambil berjalan mendekat dengan wajah khawatir. Pria yang ditanya itu menoleh dan mengangguk.

"Kaset-kaset CD yang jatuh dan pecah ini biar aku yang ganti," katanya sambil mengambil dompetnya dan mengeluarkan salah satu kartu kreditnya. Pria itu mengangguk dan menerima kartu kredit itu, sebelum ia berlalu pergi ke meja kasir yang dijaga oleh temannya yang berjaga.

Toushiro menunduk dan melihat kaset-kaset CD yang jatuh itu sambil menggigit bibir bawahnya. Perkiraannya ada sekitar dua puluhan yang pecah. Para pengunjung yang ada di toko itu juga kembali berlalu setelah sempat tercengang melihat kejadian itu.

"Kau melakukannya tidak sengaja karena tadi kulihat kau ditabrak oleh wanita bertubuh gendut yang sudah keluar dari toko ini," kata pria yang menyelamatkannya.

Toushiro menoleh. Ia sedang berpikir bagaimana cara untuk mengganti uang pria di depannya ini. "A, itu—"

"Tidak usah diganti," potong pria itu sebelum Toushiro sempat menyelesaikan kalimatnya.

"T-Tapi—"

"Kau tidak keberatan jika kuajak makan siang sekarang?" potongnya lagi. Toushiro berkedip dua kali. Pria ini... padahal sudah mengganti kerugiannya, dan sekarang malah mengajaknya makan siang?

Merasa tidak enak untuk menolaknya, Toushiro akhirnya mengangguk mengiyakan. "Hitsugaya Toushiro."

"Grimmjow Jeagerjaques." Pria itu membalas jabatan tangan Toushiro sambil tersenyum.

.

.

Toushiro berusaha untuk duduk nyaman di kursinya yang berhadapan dengan Grimmjow begitu pria itu mengajaknya masuk di sebuah restoran mahal.

"Apa kita pergi ke restoran yang lain saja?" tanya Grimmjow begitu melihat Toushiro duduk dengan tidak nyaman di depannya.

Toushiro menoleh dan menggeleng, "A, tidak apa-apa."

"Tapi dari raut wajahmu kau kelihatan tidak nyaman."

"A, itu," Toushiro menggigit bibir bawahnya sekilas, sebelum ia melanjutkan, "Baru kali ini aku masuk di restoran mahal seperti ini, makanya aku sedikit tidak nyaman." Kedua pipi bulatnya langsung diselimuti rona merah karena malu.

Grimmjow mengulum senyum, tangan kanannya terulur, dan membelai pipi kiri Toushiro. "Kau benar-benar manis."

Rona merah di pipi Toushiro langsung menjalar ke seluruh wajahnya hingga kedua telinganya. Ia bahkan sampai menunduk dan menggigit bibir bawahnya. "Karena memiliki wajah manis seperti ini, aku sering dikira seorang wanita," katanya, nyaris berbisik. Untunglah meja makan mereka ada di sebuah ruangan VIP, hingga mereka tidak perlu jadi tontonan.

Grimmjow menarik tangannya begitu seorang pelayan pria akhirnya datang, dan mendorong meja beroda yang di atasnya ada makanan pesan mereka. Begitu semua makanan di meja beroda itu sudah diletakkan di meja makan mereka, pelayan pria itu membungkuk hormat, dan berbalik pergi sambil mendorong kembali meja beroda itu.

"Apa kau sekarang masih berkuliah?" tanya Grimmjow begitu mereka mulai menyantap makanan di atas meja. Toushiro mengangguk.

"Ya, aku berada di semester enam."

"Di universitas mana? Jurusan?"

"Universitas Tokyo, jurusan hukum."

"Wow," kedua alis Grimmjow terangkat. "Itu salah satu universitas yang terkenal di negara kita ini. Dan setahuku banyak anak-anak pejabat yang berkuliah di sana."

"Mm—sebenarnya aku bukan salah satu anak pejabat di sana," kedua mata Toushiro menatap makanan di depannya. "Aku hanya... mendapat beasiswa, makanya bisa berkuliah di sana."

Grimmjow berhenti mengunyah. Jika pria mungil ini berhasil mendapat beasiswa berarti dia—dari kalangan bawah?

Toushiro yang seolah-olah bisa membaca pikiran Grimmjow, jadi merasa semakin kecil. "Aku memang dari keluarga yang tidak berada, lebih tepatnya aku ditampung oleh paman dan bibi dari keluargaku."

"Ditampung?" Grimmjow mengerut, "ke mana kedua orangtuamu?"

Toushiro meletakkan sendok dan garpu di piringnya, sebelum ia menatap Grimmjow. "Sudah meninggal karena kecelakaan mobil saat aku masih kelas tiga SD."

Grimmjow terpana.

"Aku datang dari desa kecil. Karena tidak mau merepotkan paman dan bibiku lagi, aku berusaha mendapat beasiswa itu dan tinggal di Tokyo ini." Toushiro tersenyum kecil.

Pembicaraan keduanya kemudian berputar ke arah lain, ke hal-hal yang ringan, hingga membuat mereka tersenyum-senyum. Dari situlah Grimmjow tahu pria mungil yang duduk di depannya ini sangat mandiri meski kedua orangtuanya sudah tiada. Tidak seperti dirinya yang bergantung karena pekerjaan yang diberikan kakeknya. Ia jadi mendapat pelajaran untuk bersyukur dengan kehidupannya yang serba ada sekarang.

"Boleh kutahu nomor teleponmu?" tanya Grimmjow begitu sekarang mereka berdua sudah duduk di dalam mobilnya. Pria mungil yang duduk di sampingnya ini juga akhirnya mau diantar pulang setelah tadi sempat sedikit ia paksa.

Toushiro menggeleng, "A-Aku tidak punya ponsel. Biasanya aku menelepon paman dan bibiku dari telepon rumah di kos-ku. Maaf..."

Untuk yang kesekian kalinya, Grimmjow terpana. Padahal di zaman yang serba modern ini orang-orang selalu memamerkan ponsel baru dan bermerk yang mereka miliki, tapi pria mungil ini—

Grimmjow meraih tangan Toushiro dan meletakkan ponselnya di telapak tangan pria mungil itu. "Kau bisa pakai ponselku ini untuk sementara waktu."

"Eh, t-tapi—"

"Aku ingin mendengar suaramu begitu aku sampai di rumahku nanti."

Toushiro menggigit bibir bawahnya begitu kedua pipinya langsung merona. "Umm, baiklah."

Mobil Grimmjow akhirnya berhenti. Setelah mengucapkan terima kasih, pria manis itu melangkah turun. Ia terus menatap mobil Grimmjow hingga menghilang dari pandangannya, sebelum berbalik masuk ke tempat kos-nya.

.

.

Matahari sudah naik semakin tinggi di atas kepala begitu Toushiro duduk di atas karpet yang tadi digelarkan ia dan teman-teman kos-nya. Hari Minggu memang sudah jadi jadwal pikniknya bersama teman-temannya untuk ke pantai. Namun Toushiro lebih suka duduk mendengar lagu dari iPod salah satu temannya, ketimbang berenang bersama teman-temannya.

Suasana pantai mulai sepi dengan pengunjung karena ada yang sudah hengkang dari tempatnya untuk mencari makan siang. Toushiro merangkak dan duduk di bawah payung besar yang ditancapkan di pasir—di samping karpet yang didudukinya—begitu terik matahari sudah sampai di tempatnya duduk tadi.

Meski sudah duduk di bawah payung, tapi Toushiro masih saja merasakan sengatan matahari. Sepertinya ia harus mencari minuman dingin untuk meredakan rasa mualnya karena berada lumayan lama di tempat panas seperti ini. Tapi, baru saja ia akan bergerak berdiri, tiga orang pria asing—yang sudah sejak tadi mengawasinya dari jauh—tiba-tiba mendekatinya, dan berdiri di sekitar Toushiro.

Toushiro mendongak begitu salah satu pria berkulit cokelat mengulurkan tangan ke arahnya. "Mau ikut kami? Kebetulan ada restoran di sekitar pantai ini. Aku dan dua temanku akan mentraktirmu, Manis."

Toushiro menggeleng dengan wajah yang mulai pucat karena rasa mualnya. "A, tidak usah. Aku datang bersama teman-temanku," katanya, sembari menunjuk teman-temannya yang sedang berenang di pantai.

Ketiga pria itu saling berpandangan. Seperti sedang memberi kode lewat isyarat mata. Tiba-tiba kedua orang pria menarik tangan Toushiro hingga pria manis itu berdiri.

"Ayolah, ikut saja dengan kami," kata salah satu pria yang menarik tangannya.

"Lupakan saja teman-temanmu itu, kita akan bersenang-senang," sahut pria yang lain.

Toushiro menggeleng-geleng. "Lepaskan, lepaskan aku!" Ia baru sadar kalau ketiga pria asing ini berbahaya. Namun karena rasa pusing dan mual yang dirasakannya, Toushiro semakin lemah untuk melepaskan diri.

"Lepaskan dia." Suara berat yang terdengar mengancam itu seketika membuat ketiga pria itu dan Toushiro menoleh. Grimmjow berjalan mendekat dengan kedua mata tajam. Dua pria yang menarik tangan Toushiro sontak melepaskan pria mungil itu.

Toushiro terhuyung-huyung dan nyaris jatuh, jika saja Grimmjow tidak cepat menangkapnya, dan membawanya ke dalam pelukan. Ia menarik napas lega karena Grimmjow lagi-lagi menolongnya, tapi juga bingung dari mana pria ini bisa tahu ia ada di pantai ini.

Ketiga pria asing itu langsung terburu-buru pergi begitu kedua mata Grimmjow masih menatap mereka. Sorot mata tajam itu seperti mengatakan 'Dia milikku. Cepat pergi sebelum kubunuh kalian!'.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Grimmjow begitu ia merasa tubuh Toushiro melemas dalam pelukannya. Pria mungil itu mengangguk tanpa menoleh.

Grimmjow akhirnya membopong tubuh Toushiro ke arah mobilnya. Dan begitu ia menyandarkan tubuh Toushiro, ia menghapus keringat di wajah pucat itu. Pria mungil ini pasti kurang darah karena berada lama di bawah sengatan matahari.

"Ini, minumlah dulu." Setelah menuangkan cocktail dingin yang berkadar alkohol hanya empat persen di sebuah gelas tinggi, ia mengulurkannya ke arah Toushiro.

"Arigato." Toushiro menerima gelas itu meneguknya sedikit demi sedikit. Rasa mual yang dirasakannya mulai menghilang setelah beberapa menit. Namun rasa pusing yang dirasakannya masih ada.

"Kau pasti belum makan siang, kan? Kita cari makan dulu."

Toushiro mengangguk. Tanpa sadar menyamankan kepalanya di dada Grimmjow begitu pria itu menarik kepalanya untuk bersandar.

.

.

Matahari sudah hampir tenggelam di ufuk barat begitu Grimmjow dan Toushiro berjalan beriringan di pinggir pantai, setelah tadi mereka makan di restoran. Deburan ombak terdengar lembut mengisi keheningan di antara kedua pria itu. Langkah kaki Grimmjow akhirnya berhenti dan pria itu duduk di pasir pantai.

"Duduklah." Ia menunjuk tempat kosong di samping kirinya begitu menoleh ke arah Toushiro.

Begitu Toushiro sudah duduk di sampingnya, keduanya menatap matahari yang perlahan-lahan mulai tenggelam. Toushiro menoleh dan menatap pria di sampingnya. Berada di samping Grimmjow seperti ini membuat ia jadi merasa tenang dan nyaman.

"Arigato, sudah menolongku lagi tadi," bisiknya. Grimmjow menoleh dan tersenyum. "Entah apa jadinya jika ketiga pria tadi—" kalimat Toushiro tak sempat selesai karena tiba-tiba Grimmjow menempelkan bibirnya. Kedua mata Toushiro membulat.

Grimmjow melepaskan bibir merah itu dan menatapnya dengan jarak yang hanya tiga ruas jari. "Karena kau sangat berharga bagiku," ia berkata di depan bibir Toushiro. "Karena itu... maukah kau jadi kekasihku?"

Wajah Toushiro langsung memerah seperti kepiting rebus. Sambil menggigit bibir bawahnya, ia mengangguk kecil, "Ya, aku mau."

Satu jawaban itu langsung membuat bibir Grimmjow mengembang tersenyum. Kedua tangannya langsung menarik Toushiro dalam pelukan, yang dibalas pria mungil itu.

.

.

Grimmjow jadi ikut tersenyum tanpa sadar begitu sore itu ia menjemput Toushiro yang baru selesai kuliah. Pucuk hidung Toushiro terlihat memerah karena udara yang dingin.

"Kau sudah lama menungguku?" tanya Grimmjow begitu kekasihnya itu duduk di sampingnya. Toushiro sengaja tak menjawab. Ia meraih kedua tangan Grimmjow dan menangkup pipinya. Grimmjow tersentak begitu merasa kedua pipi bulat itu terasa dingin. Pria mungil ini sudah lama menunggunya. "Maaf, tadi ada kemacetan di jalan," katanya.

Toushiro menggeleng, "Tidak apa-apa," ujarnya tanpa membuka mata. Masih merasakan kedua telapak tangan Grimmjow yang hangat di pipinya. Kedua matanya baru terbuka begitu merasa dahinya dikecup sang kekasih.

"Bodyguard-mu yang selalu menjagaku di kampus pasti menyampaikan apa yang dilihatnya, kan? Hingga kau membelikanku laptop kemarin malam?" Bibir merah itu pura-pura cemberut. Sebenarnya ia sangat berterima kasih karena Grimmjow membelikannya laptop. Skripsinya jadi bisa dikerjakannya di kamar kos-nya, karena selama ini ia sering mengetik di komputer yang ada di kampusnya.

"Tentu saja. Karena itulah kerjaannya, mengawasimu, dan menjagamu selagi aku tidak ada di sampingmu," Grimmjow mengecup bibir semerah mawar itu, sebelum ia melanjutkan, "Apa perlu kubeli laptop yang baru lagi untukmu, Sayang?"

Tangan kanan Toushiro yang mengepal langsung memukul pelan dada kekasihnya, "Satu saja sudah cukup!" serunya dengan suara gemas. Grimmjow tertawa tanpa suara. "A, ya, sebenarnya aku tidak nyaman karena dijaga oleh bodyguard-mu itu," jari telunjuk Toushiro berputar-putar membentuk lingkaran kecil di dada Grimmjow. "Karena teman-temanku selalu bertanya kenapa aku harus dijaga bodyguard-mu itu. Karena itu—"

"Meski kau memohon, aku tidak akan mengabulkannya," potong Grimmjow, begitu bisa membaca apa yang diinginkan kekasihnya itu. "Karena aku tidak mau orang-orang yang tidak jelas melakukan hal yang buruk padamu seperti di kejadian pantai itu."

Bibir Toushiro mengerucut maju beberapa senti, "Dasar posesif."

"Hanya padamu, Sayang," bisik Grimmjow di depan telinga, sebelum ia memanggut bibir merah Toushiro.

.

.

Tidak terasa hubungan mereka sudah berjalan satu tahun lebih. Saling pengertian dan percaya adalah kunci dari hubungan keduanya yang semakin erat dan penuh cinta. Kadang kesalahpahaman kecil karena rasa cemburu muncul di antara mereka, tapi hal itu tidak berlangsung lama karena keduanya langsung menyelesaikannya saat itu juga.

Kedua mata Toushiro menoleh dari layar laptopnya begitu ia melihat jam yang menempel di dinding. Sudah jam lima sore lewat, sebentar lagi Grimmjow pulang di apartemen ini. Ia memang sering datang ke apartemen kekasihnya ini khusus di hari Sabtu dan Minggu, karena di dua hari itulah ia tidak ada jadwal kuliah. Sambil menunggu kepulangan Grimmjow, biasanya ia akan mengetik skripsinya yang sudah sampai di bab tiga.

Setelah membuat laptopnya menjadi stand by, Toushiro berdiri, dan berjalan ke dapur untuk menyiapkan makanan. Ia sempat berdiri lama di depan lemari es untuk memutuskan membuat makanan apa dari bahan-bahan yang dilihatnya.

Tak lama kemudian, pintu apartemen terbuka, dan Grimmjow melangkah masuk. Pria itu bisa mencium aroma masakan yang dibuat Toushiro dari depan pintu. Setelah meletakkan jas dan tas kerjanya di sofa, ia berjalan menuju dapur. Dengan seringaian jahil, ia mendekati Toushiro dari belakang dengan langkah mengendap-endap, dan memeluk kekasihnya itu dari bekakang.

"Hyaaa!" Toushiro menjerit kaget dan nyaris melempar spatula di tangannya. Grimmjow terkekeh geli begitu Toushiro berbalik dengan kedua pipi mengembung. "Kau mengagetkanku tahu!"

Satu kecupan mesra diberikan Grimmjow, sebelum ia menatap masakan yang dibuat kekasihnya. "Kare?"

"Hu-um." Toushiro mengangguk, sembari berbalik untuk kembali memasak. Pembicaraan ringan terjadi di antara keduanya hingga masakan Toushiro selesai, dan diletakkan di atas meja makan.

"Hmm, enak," kata Grimmjow begitu ia menyuapkan sesendok ke dalam mulutnya. Perpaduan rasa gurih, manis, dan pedas terasa di indera pengecapnya. Toushiro tersenyum.

Setelah acara makan mereka selesai, Grimmjow berlalu ke dalam kamar. Toushiro mengikuti ke kamar Grimmjow, begitu ia selesai mencuci piring-piring kotor. Ia melihat Grimmjow sedang berbicara di telepon sambil berdiri di depan pintu balkon.

"Ada apa?" tanya Grimmjow dengan dua alis terangkat begitu ia selesai menelepon, dan melihat Toushiro yang duduk di pinggir tempat tidur.

"Mengambil pakaian kotormu itu untuk kumasukkan ke dalam mesin cuci," jawab Toushiro sambil menunjuk baju kerja yang masih melekat di tubuh Grimmjow.

Grimmjow tersenyum penuh makna dan mendekati kekasihnya itu. Ia berhenti dan berdiri di hadapan Toushiro. "Buka sendiri, Sayang."

Toushiro merenggut. Namun akhirnya ia berdiri dan membuka satu per satu kancing kemeja Grimmjow. Tepat begitu semua kancing kemeja Grimmjow terbuka, pria itu langsung menyambar pinggang Toushiro dengan kedua lengannya. Begitu dada mereka menempel, ia memanggut bibir merah Toushiro.

Kedua mata Toushiro terpejam begitu ciuman Grimmjow semakin dalam. Tanpa melepaskan ciumannya, Grimmjow mendorong tubuh Toushiro hingga tertidur di atas tempat tidur. Beberapa detik kemudian, Grimmjow melepaskan bibir merah lembut yang sudah menjadi candu baginya itu dan menatap wajah Toushiro.

"Kau siap?" Suara berat itu berbisik di depan wajah Toushiro.

Toushiro mengangguk dengan wajah yang memerah, "Ya."

.

.

Tangan kanan Toushiro yang baru saja terulur untuk mengambil buku di rak di depannya langsung urung begitu ponselnya di saku depan celananya berdering sambil bergetar. Ia tahu yang meneleponnya sekarang adalah Grimmjow, karena ia sengaja membuat dering khusus untuk kekasihnya itu.

"Halo?"

/"Kau di mana, Sayang? Aku sudah sampai."/

Toushiro tersentak. "Ah, posisimu di mana?" ia mengangguk-angguk mendengar penjelasan Grimmjow. "Aku akan segera ke sana. Tunggu saja di situ, ya!"

/"Oke."/ Grimmjow tersenyum.

Setelah pembicaraan itu berakhir, Toushiro langsung berbalik keluar dari toko buku yang menjual buku-buku tua—yang didatanginya dua jam yang lalu. Karena letak toko buku itu ada di gang yang hanya bisa dilalui oleh orang-orang, kendaraan beroda empat memang tidak bisa masuk.

Setelah hampir sepuluh menit, Toushiro akhirnya menemukan Grimmjow sedang berdiri di dekat sebuah bangunan yang lumayan jauh dari jalan besar. Toushiro sempat tertegun melihat penampilan Grimmjow yang tidak biasa. Pria yang sehari-hari selalu dilihatnya berpakaian jas formal itu sekarang sedang memakai jaket hitam dengan celana jins yang berwarna sama. Menunggunya sambil berdiri dan melipat kedua tangannya di depan dada.

Bibir Grimmjow langsung mengembang tersenyum begitu ia melihat Toushiro berjalan mendekatinya. "Kau ini benar-benar nakal, karena sudah menyuruh bodyguard yang menjagamu di kampus tadi untuk tidak mengikutimu ke tempat seperti ini!"

Toushiro meringis dan menatap Grimmjow dengan kedua mata membulat, "Forgive me?"

Melihat ekspresi menggemaskan itu, Grimmjow tidak tega untuk memarahi kekasihnya itu. "Baik, baiklah. Permintaan maaf dimaafkan." Ia menghembuskan napas lewat mulut dan menggandeng Toushiro menuju mobil Zenvo ST1 berwarna putihnya.

Toushiro berkedip dua kali. Mobil mewah dan mahal itu yang dilihatnya di pameran mobil dulu. "Tumben sekali kau tidak naik mobilmu yang menggunakan jasa supir pribadimu?"

Grimmjow menoleh. "Jadi, kau lupa hari ini aku akan membawamu berkencan?"

"Oh, iya!" Toushiro menepuk dahinya. "Hehehe, aku lupa. Maaf."

Grimmjow menggeleng, "Kau akan mendapat 'hukuman' begitu kita pulang di apartemenku nanti, Sayang."

"Uuu... aku takut." Toushiro memasang wajah pura-pura takut, lalu tertawa geli.

.

.

Sambil mencengkram kepalanya dengan sebelah tangan, Toushiro menekan angka-angka di tombol yang ada di samping pintu apartemen Grimmjow. Begitu pintu terbuka, ia melangkah masuk, dan terkejut begitu melihat Grimmjow sudah duduk di sofa panjang sambil menonton televisi.

"Kenapa kepalamu?" tanya Grimmjow dengan suara dan wajah khawatir. Toushiro meletakkan tas sampingnya dan berjalan menuju dapur.

"Sakit kepala. Kau punya obat?" Ia bertanya tanpa menoleh.

"Sepertinya tidak ada," jawab Grimmjow, sembari berdiri dari sofa yang didudukinya dan mendekati kekasihnya.

Toushiro menarik napas panjang, "Kalau begitu aku pergi beli obat dulu di apotik dekat apartemenmu ini saja," katanya sambil berbalik. Namun Grimmjow dengan cepat menahan sebelah lengannya.

"Kau tidak perlu obat. Akan kuhilangkan sakit kepalamu itu."

"Eh?" Kedua alis Toushiro terangkat, "Bagaimana caranya?"

Dengan bibir tersenyum penuh maksud, Grimmjow mendorong tubuh Toushiro hingga setengah terbaring di atas konter dapur yang terbuat dari stainless steel. Pria itu menjatuhkan keranjang yang berisi buah-buahan di atas kepala Toushiro ke lantai, kemudian menarik turun restleting jaket Toushiro. "Dengan melakukan seks," jawabnya akhirnya.

.

.

"Sakit kepalamu sudah hilang, kan?" tanya Grimmjow begitu sekarang keduanya sudah tidur bersebelahan di atas tempat tidur.

Toushiro mengangkat kepalanya yang bersandar di dada kiri Grimmjow dan mengangguk. "Dari mana kau tahu dengan melakukan seks bisa menghilangkan sakit kepala?" Ia balas bertanya setelah menopang dagunya dengan kedua tangannya yang terlipat di dada Grimmjow.

"Dari artikel di internet." Grimmjow tersenyum. Kemudian menarik belakang kepala kekasihnya dan mengecup bibir merah itu beberapa kali.

"Di acara wisudaku nanti kau harus datang, ya?"

Grimmjow mengangguk, "Tentu, Sayang. Kau mau apa sebagai hadiah kelulusanmu nanti?"

"Hmm..." Toushiro memasang wajah pura-pura berpikir. Bibir merah itu mengembang tersenyum begitu ia menjawab, "Kau, Grimmjow."

Grimmjow terkekeh pelan sambil menggeleng.

.

.

"Jadi, kau akan tinggal saja di kos yang direkomendasikan temanmu itu, Sayang?" Grimmjow bertanya untuk yang kesekian kalinya begitu hari ini ia mengantar kekasihnya itu.

Toushiro mengangguk. "Kau masih ingat kan dosen yang dulu kuceritakan memintaku jadi asistennya di kampus? Dia menawariku setelah wisudaku sebulan lalu untuk bekerja sebagai asisten notarisnya. Dan karena kata temanku tempat kosku yang baru ini lumayan dekat dengan tempat kerja dosen itu, makanya aku mau."

Grimmjow menarik napas panjang. Ia mengalah dengan kemauan kekasihnya ini yang bekerja sebagai asisten notaris. "Baiklah."

Bibir Toushiro mengembang tersenyum. Untunglah semenjak mereka berpacaran, sifat arogan dan keras kepala Grimmjow semakin mudah dijinakkannya. Dipeluknya lengan Grimmjow dan menyandarkan kepalanya. "Kau yang terbaik."

Grimmjow sempat tertegun, sebelum ia tersenyum lembut. "Kaulah segalanya, Sayang," balasnya sambil mengecup dahi Toushiro.

.

.

.


Selesai