Pemuda bersurai merah bergradasi hitam itu tahu—dia paham. Dia tidak mempunyai hak untuk melakukan hal-hal lain bersama teman dim bersurai navy blue itu. Dia paham, bahwa dia hanya sebatas teman saja. Dia paham, bahwa pemuda di depannya ini bukanlah siapa-siapanya lagi.

.

.

Disclaimer

Kuroko's Basketball © Tadatoshi Fujimaki

This Story © Mine

No bash chara, OK?

Bila ada kesamaan plot, saya mohon maaf. Karna ini bukan plot milik orang lain—murni milik saya. Ini juga terjadi pada saya—setelah berbagai banyak perubahan tentunya. Nah, enjoy the story please? ;)

.

.

Pemuda bersurai merah pekat dengan degradasi hitam di bagian bawah itu terlihat lesu. Dia melangkahkan kakinya lunglai tak bertenaga. Setelah beberapa lama berjalan, dia lalu masuk ke dalam apartemen yang ditempatinya. Setelah masuk, dia mengunci pintu apartemen itu lagi dan menghempaskan tubuhnya ke atas kasur. Tanpa dia sadari, airmata perlahan mengucur di matanya—ia menangis.

.

.

Kita kembali ke masa dimana sebelum pemuda bersurai merah gradasi hitam itu berjalan lunglai—tepatnya, setengah jam sebelum itu. Dimana dia baru saja selesai dari pertandingan one-on-one nya dengan pemuda bersurai navy blue dan berwarna kulit remang.

"Ano, Kagami.." panggil pemuda bersurai navy blue itu—rival sekaligus teman dekat dan juga kekasihnya.

"Ya? Ada apa Aomine?" jawab yang dipanggil—Kagami, tepatnya Kagami Taiga.

Aomine menjadi gugup, dia lalu duduk di samping Kagami yang sedang meneguk air mineral karna kelelahan setelah bermain basket.

"Aku ingin putus." Ucap Aomine tiba-tiba, hampir membuat Kagami tersedak. Namun apa daya, Kagami terlalu baik. Dia pikir Aomine memang menginginkan mereka putus. Mungkin Aomine memang sudah tidak menyukainya lagi—walau Kagami ragu Aomine menyukainya atau tidak.

"Yah, kalau itu keinginanmu sih aku tidak bisa menolak." Begitu ucap Kagami, dia berusaha tegar. Dia tahu, setiap pertemuan akan ada perpisahan. Tapi dia sungguh tidak ingin secepat ini—usia pacaran mereka bahkan baru tiga bulan. Dan, Kagami sedang dalam mode penuh cinta untuk Aomine. Mungkin, cinta Aomine sudah habis terkuras.

"Y..Ya sudah.. Aku pulang dulu ya." Ucap Aomine sambil mengambil tasnya, lalu melenggang pulang. Menahan rasa sakit di dadanya, merasa kecewa karna di dalam hatinya dia ingin sekali Kagami mempertahankannya—namun Kagami tidak melakukannya.

Kagami pun mengambil tasnya, setelah merenung hampir lima menit dia lalu bangun. Dia tidak ingin terlihat menyedihkan—setidaknya dia akan menangis jika sudah di apartemen. Kagami bangkit, berjalan menuju apartemennya.

.

.

Setelah merasa lelah menangis, Kagami lalu bangun dan mencuci mukanya. Serta memasak untuk makan malamnya. Dia pikir memasak akan mengurangi kesedihannya, tetapi rekaman adegan itu terulang lagi—ketika Aomine pertama kali menginap di rumahnya.

"Oy, Bakagami!" panggil pemuda dim yang sekarang ada di kamarnya, memanggil pemuda yang satunya untuk mendekat ke arahnya—yang tadinya sedang menonton TV.

"Apa?" tanya Kagami—pemuda yang dipanggil tadi—kepada Aomine, yang memanggil hanya cengengesan sambil memegang perut.

"Aku lapar, hehe.."

"Baiklah, akan ku buatkan makanan." Ucap Kagami. Aomine lalu mengangguk, Kagami segera menuju ke dapur. Setelah menyiapkan bahan makanan dan akan menyalakan kompor, Kagami dikagetkan lagi oleh Aomine yang memeluknya dari belakang.

"Ahomine! Apa yang kau lakukan hah?"

"Tidak apa-apa, aku hanya kedinginan." Ucap Aomine. Wajah Kagami memerah, dan Aomine mengelus pipinya.

"Maaf deh kalo aku ganggu. Yaudah aku tunggu di kamar ya." Aomine lalu mengacak surai merah Kagami dan meninggalkannya di dapur sendirian dengan wajah yang merona.

"Aho!" gumam Kagami lalu melanjutkan masaknya.

Kagami sakit, rasa sakit di dadanya menjalar kemana-mana—seluruh tubuhnya. Dia mengangkat kepalanya, memandang ke jam dinding yang bertengger disana. Sudah jam 7 malam, sebaiknya dia segera melanjutkan masaknya dan makan malam.

.

.

Seminggu sejak kejadian diputusnya Kagami oleh Aomine, dia menjadi sangat sedih. Setiap hari hanya menangisi si Aho dakian itu. Untung sekarang libur musim dingin, tetapi tetap saja. Kuroko sebagai temannya merasa resah, kasihan dan dia juga khawatir terhadap kondisi tubuh rekan setimnya itu.

"Kagami-kun, apa kau mau makan?" tanya Kuroko kepada Kagami yang masih bergelung dengan selimutnya.

Kagami hanya menggeleng. Tunggu—Bagaimana bisa Kuroko masuk ke dalam apartemen Kagami?

"Aku punya kunci apartemenmu, Kagami-kun."

Oh begitu.

.

Salju turun dengan derasnya—walau tanpa badai. Kagami ingin pergi keluar, melihat-lihat. Dia lalu berjalan ke taman di dekat apartemennya. Kagami melihat ke angkasa dan menemukan ribuan es lembut sedang bergantian turun untuk memenuhi bumi yang dia pijak. Rasanya Kagami ingin menangis, dan membiarkan air matanya menyatu dengan salju putih yang suci itu.

[Falling falling snow, i want you to cover and hide me

I watch your back going away from me and held in my tears

The falling snow swallows, my word and my love

Until the pain in my chest heals

Melt away in the white]

Sebuah backsound lagu menggema di telinganya, sebuah lirik dengan cerita sang pemuda ditinggal pergi sang gadis pada saat hujan salju. Setidaknya, itu menambah keinginan Kagami untuk menangis. Tanpa ia perintah terlebih dahulu, air matanya sudah tumpah membasahi wajahnya.

"Kagami-kun" panggil seorang pemuda bersurai babyblue mengganggu acara tangis-tangisan Kagami.

"K..Kuroko! Muncullah dengan normal! Aho!" Kagami mengusap mata dan pipinya, menyembunyikan saksi bisu kesesakan hatinya.

"Tapi Kagami-kun, aku ingin bertemu denganmu di apartemen. Dan aku melihatmu disini, jadi ku dekati saja Kagami-kun."

"Hah, sudahlah. Ayo masuk! Akan ku buatkan sup tofu." Ucap Kagami. Kuroko lalu mengangguk dan mengikuti Kagami.

.

.

Berbulan-bulan telah berlalu, sejak tanggal 12 Desember yang lalu, kini sudah tanggal 12 Mei. Kagami mulai terlihat ceria lagi, dia sedikit demi sedikit melupakan rasa sakit yang ditimbulkan karna ditinggal Aomine. Kagami juga terlihat lebih sering bersama Kuroko—mungkin mereka sekarang pasangan.

"Kagami, apa kau sudah berpacaran dengan Kuroko?"

"Y—yang benar saja!"

"Ayolah, mengaku saja!"

"Ah, err.. Iya."

Dan sebuah senyuman merekah dengan malu-malu di bibir Kuroko.

.

.

Kagami—entah mengapa, sekarang lebih sering terlihat memainkan ponselnya, entah sedang berchatting ria dengan siapa.

"Kagami-kun." Panggil kekasihnya tercinta.

"Ah ya, ada apa Kuroko?" tanya Kagami sambil menyimpan ponselnya di saku.

"Maaf, tapi bisakah kau berkonsentrasi saat berlatih?" tanya—ralat, pinta Kuroko. Kagami lalu salah tingkah.

"A—ah, sumimasen!" Kagami menggaruk belakang kepalanya. Dia lalu berlatih dengan baik—tanpa melihat ponselnya yang sedari tadi berbunyi.

.

.

12 Juni, tepat enam bulan saat Aomine meminta Kagami putus. Kagami terlihat berseri-seri ketika membuka e-mail dari yang dia chat sedari kemarin. Hari itu Kuroko pulang terlebih dahulu, mungkin keki dengan sikap Kagami. Tidak apalah.

Ternyata Kagami sedang sibuk ber-email ria dengan Aomine Daiki, mantan kekasihnya. Katanya, mantan kekasihnya itu mau berkunjung ke apartemen Kagami. Tentu Kagami senang bukan main.

.

Jam 5 sore, bel apartemen Kagami berbunyi. Menandakan ada orang yang ingin bertamu. Dengan wajah berseri-seri Kagami membukakan pintu, dan terlihatlah seorang pemuda bersurai navy blue dengan kemeja coklat dan celana jeans panjang menunggu pintu dibuka.

"Yo!" sapa Aomine, Kagami sungguh tak bisa menahan senyumnya. Dia tidak bisa berhenti tersenyum ketika melihat Aomine yang masih mengingatnya.

"Aku merindukanmu, aho!" ucap Kagami sambil memukul pundak pemuda dim itu.

"Baka, aku juga merindukanmu!" ucap Aomine sambil memeluk Kagami, sontak Kagami kaget dan blushing. Lalu dia mendekap pemuda yang masih dia sayang ini. Dia tidak ingin kehilangannya. Setelah beberapa lama, keduanya tersadar dan melepas pelukan mereka.

"Ah ya, silahkan duduk. Aku akan membuatkan teh." Ucap Kagami kepada Aomine. Aomine yang canggung itu lalu duduk dan mengangguk. Kagami segera membuatkan teh untuk Aomine.

Suasana berubah sangat canggung, Aomine merasa tidak enak—begitu juga Kagami. Mereka belum terbiasa akrab di dunia nyata—walaupun di e-mail mereka terlihat sangat akrab, tapi oh ayolah.

"K—Kagami.." panggil Aomine. Kagami menengok, mengalihkan pandangannya yang daritadi tersita pada teh di depannya kepada pemuda bersurai navy blue di sampingnya.

"Aku ingin memberitahu satu hal padamu."

"Apa?"

"Aku sudah punya kekasih..."

Hening, Kagami belum merespon.

"Ah, aku sudah tahu kok! Ikemen pirang itu kan?" tanya Kagami. Aomine hanya menelan ludah.

"Haha, ternyata kau sudah tahu. Aku juga tahu kau sudah punya kekasih kan? Kau berpacaran dengan Tetsu kan?"

"Ehe, yaa.. Begitulah.. Aku tidak bisa melupakanmu, dan Kuroko datang. Dia mewarnai hidupku." Kagami menunduk.

"Hmm yeah Kise juga begitu."

"Apa kau sudah melupakan kenangan kita, Aomine?"

"Tidak sepenuhnya, aku masih bisa mengingat beberapa. Maaf."

"Tidak apa-apa, hehe.."

"Nee, Kagami lihat aku."

Kagami menengok, lalu wajahnya dikunci oleh tangan Aomine dan Aomine semakin mendekatkan dirinya kepada Kagami, menghapus jarak yang ada—sekecil apapun.

Setelah jarak yang dihapuskan kurang dua sentimeter, Kagami menutup matanya. Tiba-tiba dia mengingat wajah Kuroko dan Kise. Satu sentimeter, Kagami menolehkan wajahnya ke kiri. Aomine kaget, dia lalu menarik dirinya ke belakang. Melepaskan wajah Kagami dari pegangan tangannya.

"Kenapa?" tanya Aomine. Dia tahu Kagami masih menyukainya, tetapi kenapa Kagami tak mau dicium olehnya?

"Maaf, aku tidak bisa." Kagami menunduk. Aomine menggenggam tangan Kagami.

"Tidak bisa kenapa?"

"Tidak apa-apa, sebaiknya kau pulang sekarang Aomine. Ini sudah malam." Ucap Kagami. Aomine sontak terkaget, lalu mengangguk.

"Baiklah, aku akan pulang." Ucap Aomine. Lalu berjalan menuju ke pintu keluar dan meninggalkan Kagami sendirian.

Kagami berusaha untuk tidak menangis, bagaimanapun dia tidak ingin hati yang telah dia tambal kembali berlubang.

.

.

Alasan kenapa Kagami menolak ciuman yang sebenarnya dia rindukan, hanya satu. Kagami tidak ingin menyakiti siapapun lagi. Dia tahu, jika dia membiarkan Aomine menciumnya maka dia akan mengharapkan Aomine lagi. Dia tahu, jika dia membiarkan Aomine menciumnya maka Kuroko akan sakit hati dan membencinya. Dia tahu, jika dia membiarkan Aomine menciumnya maka Kise akan sakit hati dan sangat sedih. Dia tahu, jika dia membiarkan Aomine menciumnya maka hatinya yang telah dia tata sedemikian rupa selama berbulan-bulan lebih akan kembali hancur.

Dia tahu, dia paham, bagaimana kerugian dibanding keuntungannya terlihat tidak seimbang. Sehingga dia harus menolak ciuman dari Aomine yang masih dia cinta, yang masih dia sayangi bahkan sampai saat ini.

.

.

Owari~

.

.

Bacotan Authir(author kenthir):

Yak! Minna-san! Ahhh saya sungguh lelah mengetik fic ini. Karna, karna, karna, saya mengetik fic ini malem-malem di bulan puasa /yaterus

Kokoro ini sakit, ketika ehemmantanehem saya dateng ke kosan terus mau nyosor saya padahal kita sudah punya kekasih masing-masing *sobs*

Wkwk abaikan paragraf di atas :3 Nah,, minna-san.. Gimana ceritanya? Ini genrenya apa yah sungguh ironis -_-" Ahh sudahlah, mind to review minna-san?