Disclaimer: Naruto © Masashi Kishimoto
Story by Shizukano Aizawa
Warning: AU, OOC (sepertinya sangat), typo(s), etc.
Pair: Belum di tentukan! Bisa SasuSaku, ItaSaku, atau ObiSaku
Rate : M – untuk kata yang sedikit (banyak) mengandung unsur kedewasaan.
Karangan ini asli punya saya, please no plagiarism! Thanks!
.
.
Love and Cruelty
DLDR
Don't Like, Don't Read
.
Ini hidup, tidak semuanya sempurna seperti apa yang kita inginkan dalam cerita. Berparas cantik, punya rumah yang luar biasa mewah, kendaraan pribadi dengan supir yang tampan. Oh my... jika aku bisa menulis bagaimana kisahku dimulai, aku akan menulisnya sesempurna mungkin! Tapi tidak. Ini hidup, dan ini nyata!
Oke, mungkin aku punya satu atau dua hal sempurna yang diinginkan orang-orang. Wajah memikat dan otak cerdas. Tapi aku tidak punya rumah mewah dan mobil pribadi, oh! Dan juga supir yang super tampan. Jadi ku katakan, Tuhan itu cukup adil. Memberikan dua kesempurnaan padaku, dan memberi kesempurnaan lainnya pada orang yang tak memiliki wajah rupawan dan otak cerdas. Tapi walaupun begitu, siapa yang peduli dengan wajah cantik dan otak cerdas, jika tidak punya uang? Ini hidup, teman! Siapapun butuh uang! Karena itu, sekarang aku menjual diriku.
Oh! Tidak-tidak! Bukan menjual diri dalam artian, mereka bebas memperkosaku semau mereka! Aku ini masih punya otak yang briliant! Dan aku juga bukan gadis murahan yang akan memberikan Ms. V-ku pada orang-orang gila sex. Aku menjual diriku pada seorang pria tampan berumur 22 tahun. Jujur saja, awalnya aku benar-benar tak tertarik. Ku pikir, ia juga salah satu dari mereka yang gila sex.
Saat itu, aku baru saja keluar dari gerbang sekolah. Seperti biasa, aku melewati toko roti terkenal itu. Sejak kecil, aku selalu berharap orang tuaku akan membelikan roti itu untukku. Tapi mereka tak pernah membelikannya. Untuk makan sehari-hari saja, ayah terkadang harus meminjam uang pada para tetangga. Dan untung saja, dengan otak cerdas, aku tak membutuhkan bantuan ayah untuk membayar biaya sekolahku karena beasiswa yang ku dapatkan. Jadi, setiap pulang sekolah, aku akan pergi membantu ayah dan ibu untuk mencari uang, walau hanya dengan kerja serabutan.
Jadi siang itu, saat aku melewati toko roti, aku berhenti sejenak. Menghirup wangi roti itu saja sudah membuatku kenyang, apalagi mencicipinya. Oh, tidak! Air liurku benar-benar akan menetes!
Saat aku kembali berjalan, aku tak sengaja mendengar suara ribut beberapa orang dari gang sepi di ujung jalan. Penasaran, aku pun mendekat. Tentu saja aku tidak takut, Pengalaman mengajarkanku sulitnya hidup dan menjadi lebih kuat. Aku tidak peduli dengan sepuluh preman yang akan menghalangi jalanku. Aku kecil, lincah, dan cepat. Jadi aku punya caraku sendiri untuk meloloskan diri dari orang-orang berbadan besar dengan otak sekecil kerikil seperti mereka.
Jadi saat itu, ku putuskan untuk mendekat. Aku tidak terkejut, hanya mendesah pelan saat aku melihat seorang pria tinggi dengan pakaian mewah tengah dikelilingi tujuh orang preman bertubuh besar, dan beberapa di antaranya tidak memiliki rambut.
Aku berdiri di sana, di depan gang dengan wajah datar. Aku ingin tahu apa yang akan mereka lakukan pada pria kaya itu. Tapi aku sedikit heran, kenapa pria itu tak sedikitpun terlihat takut? Apa ia tidak ingin mereka tahu? Ah, sudahlah! Aku mulai berteriak saat seorang di antara mereka mulai bergerak mendekati pria kaya itu.
"Oh, tidak! Seseorang, tolong panggil keamanan! Seorang pria sedang dihajar preman di gang ini!"
Mereka semua menatap bersamaan ke arahku. Aku juga dapat mendengar seorang di antara preman itu mendecih padaku. Aku hanya menatap mereka datar, sampai ketujuh preman itu menghilang, meninggalkan pria kaya itu sendiri. Ia melihat ke arahku.
Aku menatapnya sekilas sebelum berbalik pergi, kembali berjalan menuju rumah. Tapi baru saja aku akan memasuki gang ke arah rumahku, seseorang menarik pergelanganku, membuatku terkejut. Dan pria kaya itu berdiri di sana.
"Apa? Kau ingin mengucapkan terima kasih? Tak perlu!" Ia menatapku datar.
"Kau tidak punya sopan santun, eh?"
"Persetan dengan sopan santun. Lepaskan! Aku harus segera bekerja."
"Berapa umurmu?"
"Shannaroo! Aku sudah menolongmu dan ini balasanmu?"
"Oh! Ku pikir kau tidak butuh kata terima kasih." Aku bisa saja melayangkan pukulan ke wajahnya, tapi aku tahu aku tak punya cukup uang untuk mengganti rugi kerusakan di wajahnya.
"Tck! Bisakah kau berhenti bermain-main dan melepaskan tanganku? Kau membuang waktuku! Itu artinya, kau membuang uangku!"
"Kau bisa saja tidak membuang uangmu jika kau bisa bersikap lebih manis, gadis kecil."
"Brengsek! Kau..."
"Aku akan memberikanmu uang berapapun yang kau minta. Tapi kau harus ikut denganku!"
"Kau membeliku, huh?"
"Ya."
"Sialan! Lepaskan aku, brengsek! Aku bukan mainanmu, atau pemuas nafsumu!"
Aku benar-bena tak dapat menahan emosiku saat ini. Tanganku hampir saja mengenai wajahnya jika ia tak segera menahan tanganku. Oh sial! Aku lupa sekarang kedua tanganku sudah ia tahan. Aku menatapnya tajam, namun tak sedikitpun raut ketakutan itu muncul di wajahnya.
"Sepertinya kau salah paham. Aku tidak tertarik pada anak kecil. Aku hanya menawarkanmu pekerjaan. Tentunya dengan biaya yang kau inginkan." Aku menatapnya bingung. Seakan tahu bahwa aku tak akan beranjak dari tempat itu, ia melepaskan kedua tanganku.
"Pekerjaan apa? Bukan menjadi seorang pelacur, 'kan?" Dia tertawa. Oh, Tuhan! Tawanya benar-benar sempurna! Suaranya yang berat, rambut raven-nya yang sedikit berantakan, dan...
Tunggu! Apa yang baru saja ku pikirkan?!
"Tidak, tidak. Tapi jika itu yang kau inginkan, sebaiknya kau menjadi pelacurku saja. Menungguku dengan setelan bunny sexy dan kuping kelinci di... Aw!"
"Berhenti berharap yang tidak tidak, brengsek!" Aku menginjak kakinya dengan keras. Setelah mengaduh beberapa saat, ia berdeham.
"Kau benar-benar bukan gadis yang lembut!"
"Maaf mengecewakanmu, Tuan!"
"Jadi, bagaimana?" Aku menatapnya tajam beberapa saat. Ia kembali berbicara saat ia mengerti maksud dari tatapanku. "Aku tidak akan menjadikanmu pelacur atau apapun itu, aku janji! Tapi sebagai gantinya, kau harus tinggal di rumahku, bersamaku!"
"Orang tuaku..."
"Orang tuamu akan mendapatkan tempat dan pekerjaan yang lebih layak. Aku menjanjikannya!" Sesaat aku terlihat ragu. Namun saat aku tidak melihat kebohongan di mata hitamnya, aku mengangguk mantap.
"Baik! Tapi kita harus mengatakan ini pada orang tuaku!" Dan ia mengangguk setuju.
Sekarang, di sinilah aku. Duduk di salah satu kursi yang di siapkan pelayan untuk kami, dan tentu saja di tempat yang selama ini hanya bisa ku impikan, toko roti itu! Pria kaya itu menyuruhku memesan apapun yang ku inginkan selagi ia ke toilet. Jadi aku memesan semua yang ada di menu dan menyuruh pelayan untuk menyiapkannya selagi aku menyantap makanan dengan biaya paling mahal. Uh! Aku benar-benar tak sabar mencicipinya!
Tapi aku kembali teringat orang tuaku. Aku benar-benar terkejut saat ayah menolak tawaran tentang pria itu yang membeliku. Ku pikir ayah akan tergiur dengan tawaran amat manis yang pria itu berikan, tapi... oh Tuhan! Aku benar-benar mencintai ayah!
"Aku tidak akan menjual putriku hanya untuk kesenangan pribadi atau kehidupan mewah, jadi lupakan saja niat busukmu!" Ayah segera menarikku ke sisinya, dan ibu segera memelukku.
"Aku juga tidak berniat melakukan hal-hal busuk seperti yang anda pikirkan. Aku tidak memiliki seorang putri ataupun seorang putra. Istriku gila saat anak pertama kami meninggal dalam kecelakaan. Aku ingin ia sembuh. Aku ingin mempekerjakan anakmu sebagai perawatnya sekaligus anak angkat kami. Mungkin saja istriku bisa sembuh."
"Oh! Aku minta maaf, aku tak bermaksud..."
"Tak apa, aku mengerti."
"Ya. Tadinya ku pikir kau ingin anakku menjadi istrimu atau hal... kau mengerti maksudku, 'kan?" Pria kaya itu mengangguk. "Cherry adalah putri kami satu-satunya. Walau kami tidak memiliki uang, tapi aku tak akan pernah berniat menjualnya."
"Ya, aku mengerti." Aku melihat ayah menatap pria itu intens. Aku benar-benar ingin tahu apa yang mereka bedua pikirkan.
"Jadi, bisakah aku membawa putrimu?" Pria itu masih tak menyerah. Setelah melepaskan rangkulan ibu, aku memegang pundak ayah, dan menatapnya.
"Aku akan baik-baik saja ayah. Lagi pula, kita juga memiliki banyak hutang dengan para tetangga. Mungkin dengan ini, kita bisa membayar lunas mereka." Ayah tampak ragu. "Aku berjanji akan datang berkunjung sesering mungkin. Lagi pula, ini rumahku. Kecuali jika ayah benar-benar menjualku, dan tidak ingin melihatku."
"Aku bukan bajingan seperti itu!" Aku tertawa.
"Ya, ya. Aku sangat mencintai ayah."
"Aku juga sayang." Ayah memelukku erat. "Jadi?" Ayah menghela napas sejenak sebelum melepaskan pelukannya padaku.
"Baiklah. Kau harus berjanji akan datang berkunjung sesering mungkin, okay?"
"Hn. Aku janji!"
"Bisa kita pergi sekarang? Masih banyak hal yang harus kita beli untuk keperluanmu." Aku menatapnya sejenak. Ia baru saja kembali dari toilet dan segera mengajakku, padahal makanannya belum sedikitpun ia sentuh.
"Terserah kau saja!" Aku melihatnya memanggil pelayan. Saat ia akan membayar dan melihat bill-nya. Pria itu memandangku terkejut.
"Apa? Aku hanya memesan sesuai keinginanku. Kau yang menyuruhku tadi!" Pria itu menghela napas sejenak sebelum mengeluarkan kartunya. Ia memberitahu pelayan itu kemana harus mengirimkan makanannya.
"Kau benar-benar bukan seorang gadis yang manis!" Dan aku hanya mengangkat bahu sebelum keluar toko untuk mengikutinya.
"Sebelum kita pulang dan melakukan banyak hal lainnya, sebaiknya kau memilih beberapa pakaian untuk kau gunakan dua minggu ke depan sebelum kita membeli perlengkapan lainnya." Aku hanya mengangguk mengikuti.
"Jadi, jika anakmu masih hidup, berapa umurnya?" Aku melihat ragu ke arahnya, takut-takut jika saja ia tiba-tiba menangis dan merengek seperti bayi besar di depan umum. Ya, bukannya aku menginginkannya. Hanya saja, bukankah orang kaya itu terkadang berlaku aneh?
"Jadi kau percaya alasan bodoh itu?"
"Ap-apa?!" Pria itu tak sedikitpun melirik ke arahku. Ia tetap berjalan dengan wajah datar di sampingku. "Tunggu! Jadi itu hanya..."
"Ya, agar orang tuamu merelakanmu."
"Apa?! Jadi apa alasanmu yang sebenarnya?!"
"Oh, tenanglah! Kau tak akan ku jadikan pelacur atau apapun itu yang kau pikirkan! Bukankah aku sudah berjanji?"
"Oh, okay!" Ia berhenti, dan aku mengikutinya. Ia menatap ke arahku sejenak sebelum melirik sebuah bangunan di belakangku.
"Cepat cari seluruh yang kau butuhkan. Ini!"Ia memberiku sebuah kartu berwarna hitam dengan tulisan emas di atasnya. Wow! Ini gila! Kartu saja terbuat dari emas, sekaya apa dia?
"Apa yang harus ku lakukan dengan kartu ini?" Tanyaku.
"Beli apapun yang kau inginkan, lalu berikan pada pelayannya saat kau akan membayar. Aku akan pergi sebentar. Jika saat kau keluar dan aku masih belum muncul, kau ikutlah dengan orang suruhanku nanti."
"Bagaimana aku bisa tahu orang itu suruhanmu?"
"Tanyakan siapa yang menyuruhnya!"
"Tapi aku tidak tahu namamu!"
"Tck! Aku sekarang benar-benar mulai membencimu!"
"Aku sudah membencimu dari awal!" Ia mengusap wajahnya dan menghela napas keras. Aku tak mengerti apa yang dia pikirkan, tapi ku rasa dia benar-benar kesal.
"Uchiha! Jika dia mengatakan nama itu, ikut dengannya!"
"Aku tidak mengerti."
"Kau tidak perlu mengerti untuk itu! Sekarang, cepat masuk dan carilah semua barang yang kau butuhkan! Aku sudah tidak punya banyak waktu!" Ia mulai meninggikan suaranya.
"Dasar orang kaya brengsek!" Dan aku hanya mendengarnya mendengus sebelum ia berjalan menjauh.
Aku baru saja berjalan keluar butik setelah membayar belanjaanku. Dan, oh Tuhan! Aku benar-benar tidak percaya pada apa yang terjadi! Aku bisa membayar apapun dengan kartu super ini! Ini menakjubkan! Apa setiap orang kaya memiliki kartu ini? Aku benar-benar tidak sabar untuk memiliki kartuku sendiri!
Aku berjalan dengan senyum sumringah. Baru saja aku akan melangkah mendekati stand es krim di seberang jalan, seseorang menghentikanku.
"Anda Nona Haruno Sakura?"
"Ha? Um, sepertinya anda salah orang. Namaku Cherry." Pria tua itu tersenyum ramah, dengan cepat mengambil alih seluruh barang yang ku bawa sebelum aku sempat protes. "Hey!"
"Tuan Uchiha menyuruhku menjemput anda. Apa masih ada yang Nona inginkan?"
"Oh! Kau suruhan si brengsek itu? Tidak. Aku sudah selesai." Pria itu hanya tersenyum mendengar ucapanku. Ia kemudian berjalan tanpa mengatakan sepatah katapun. Aku hanya mengikutinya. Dan untuk yang kesekian kalinya hari ini, aku benar-benar terkejut. Apa aku bermimpi? Atau ini semua hanya ilusi? Jika ya, tolong jangan bangunkan aku dari mimpi indah ini, Tuhan!
"Silahkan, Nona."
Okay, mungkin wajahku saat ini benar-benar terlihat konyol. Pria tua itu terkekeh. Mulutku terbuka lebar. Aku membeku di tempatku berdiri saat ini. "Limo? Apa aku bermimpi?"
Pria tua itu kembali terkekeh. "Tidak, Nona."
Siapa saja, tolong tampar aku!
"Umm..." aku bergerak kikuk menaiki kendaraan mewah ini. Sebuah meja seukuran sedang di tempatkan di tengah dengan kursi yang mengelilinginya. Di langit-langit mobil, beberapa gelas wine tergantung terbalik, dan aku sedikit terkejut saat pria tua itu berbicara lewat interkom.
"Nona bisa mencobanya jika Nona penasaran." Mencoba? Apa? Wine? Apa dia tidak tahu aku masih di bawah umur?
"Maaf, tapi apa kau punya minuman lain? Aku masih 18 tahun."
Pria itu kembali berbicara, "aku tidak bisa mendengar anda, Nona. Anda bisa menekan tombol berwarna biru untuk membuka pembatas." Aku mencari cari tombol itu. Dan ini benar-benar menakjubkan! Pembatas antara supir dan ruangan mewah ini, menghilang! Aku bisa melihat dengan jelas, jalanan di depan sana saat ini.
"Apa kalian tidak punya jus atau semacamnya? Aku masih 18 tahun."
"Ah..." pria tua itu mengangguk. Dengan cekatan, sebelah tangannya mencari dan mengobrak-abrik sebuah kantung berukuran besar yang terletak tak jauh darinya. "Ini. Tuan Uchiha memintaku untuk memberikan ini jika Nona kehausan." Aku mengangguk dan menerimanya.
"Ini bagus." Aku membuka dan meneguknya hingga menyisakan setengah. "Apa masih jauh?"
"Oh, tidak! 10 menit lagi kita sampai."
"Bagus! Aku benar-benar lelah saat ini."
"Anda bisa beristirahat. Aku akan membangunkan anda jika sudah sampai."
"Tidak perlu! Tidur 10 menit hanya akan membuat kepalaku sakit. Jadi, aku akan menunggu."
"Baiklah." Dan aku kembali meneguk minumanku sambil memfokuskan pandanganku ke jalan yang kami lalui.
Ini sudah kesekian kalinya aku mengusap mataku sendiri! Oh, tidak! Bukan karena aku mengantuk, hanya saja ini benar-benar menakjubkan! Aku baru saja sampai dan mendapati diriku sedang berhadapan dengan sebuah rumah super mewah! Halamannya begitu luas. Bahkan aku bisa melihat bermacam-macam jenis mobil di bagasinya. Ini benar-benar menakjubkan! Sebuah pohon momiji terlihat sangat rindang di halaman depan di sisi kiri. Di sisi kanan, aku melihat sebuah meja dengan tiga kursi tertata rapi di atas rumput hijau.
Oh! Apa aku benar-benar akan tinggal di rumah mewah ini? Ini benar-benar menyenangkan! Setelah memarkirkan mobil dengan sempurna, pria tua itu membawakan barang-barangku dan mengajakku masuk. Baru saja aku melangkahkan kakiku, beberapa orang tak ku kenal datang menyambut kami. Mereka semua memakai pakaian yang sama. Kemeja putih dan setelan coattail berwarna hitam. Dan aku hanya melihat dua di antara mereka adalah wanita. Aku ragu, apakah mereka pelayan di rumah ini?
"Kakashi, Shino, bawa semua barang-barang ini ke kamar yang sudah disiapkan untuk Nona Sakura. Tenten, Rin, um... Obito, kalian tahu apa yang harus kalian kerjakan, bukan?"
"Ya!"
"Segera lakukan!" Aku benar-benar tidak mengerti! Apa yang terjadi di sini?! Seseorang, jelaskan padaku!
Seorang pemuda dengan umur sekitar 20 tahun menarikku. Aku terkejut saat ia menarik lenganku pelan. Ia tersenyum manis padaku saat aku menatapnya. Astaga! Jika aku wanita murahan, mungkin aku akan menggoda semua pria di rumah ini! Mereka semua benar-benar tampan!
"Oh! Maafkan aku, Nona. Aku Obito, akan menjadi pelayan pribadimu mulai saat ini." Ia melepaskan lenganku, membungkuk hormat. Aku mendesah kecewa. Genggamannya benar-benar hangat di lenganku tadi.
"Tak perlu formal. Namaku, Cherry. Umurku 18 tahun."
"Oh, tidak-tidak! Namamu sekarang, Haruno Sakura."
"Ha?"
"Tuan Uchiha memberimu nama itu. Jadi Nona Sakura, mari ku tunjukkan beberapa hal di rumah ini yang perlu kau ketahui." Aku masih benar-benar tak percaya pada apa yang terjadi padaku.
Kami baru saja berkeliling. Obito menunjukkan seluruh ruangan padaku, termasuk beberapa ruangan yang tidak boleh ku masuki tanpa seizin pria sialan itu. Dan sekarang, kami berakhir di sini, di depan sebuah ruangan di lantai dua. Obito mengatakan padaku bahwa ruangan ini akan menjadi kamarku. Aku penasaran seperti apa kamar yang mereka siapkan untukku.
Obito baru saja memutar kuncinya dan membukakan pintu. Ia menyuruhku masuk lebih dulu. Baru saja selangkah memasuki ruangan ini, aku sudah benar-benar diam membeku di tempat.
Ruangan ini bernuansa simple namun elegan secara bersamaan. Seluruh dindingnya di cat berwarna abu-abu. Di beberapa sisi di dinding di letakkan beberapa lukisan abstrak yang ku kenal, maksudku lukisan itu di beri tahu oleh guru kesenian kami. Salah satu lukisan yang terpajang di dinding adalah lukisan Dora Maar au Chatting yang dilukis oleh Pablo Picasso pada tahun 1941. Tapi yang ku tahu, lukisan itu sudah terjual di tahun 2006 dengan harga yang sangat tinggi. Apa pembeli itu adalah pria kaya sialan ini? Ah!
"Sial! Ini benar-benar keren!" Obito terkekeh di belakangku. Ia berjalan lebih dulu menuju balkon, membuka pintu kaca yang menjadi pembatas.
"Apa anda menginginkan meja dan kursi santai di balkonmu, Nona? Aku bisa menyiapkannya sekarang."
"Um... Sakura." Ia berbalik menatapku, memandangku aneh. Sial! Mungkin ucapanku benar-benar membingungkannya. Oke, mungkin kata 'mungkin' benar-benar tak berguna. Ia terlihat bingung sekarang.
"Maksudku, panggil aku Sakura saja. Aku tidak terbiasa dengan panggilan semacam itu. Panggilan itu membuatku ingin muntah." Obito kembali terkekeh.
"Baiklah, Sakura."
"Bagus! Itu terdengar lebih baik. Lagi pula, aku lebih muda darimu."
"Oh! Apa aku terlihat tua?"
"Um, ya. Tidak! Maksudku, kau tampak 'sedikit' lebih tua. Berapa umurmu?" Obito kembali terkekeh. Oh, Tuhan! Dia benar-benar manis, dan gampang tersenyum. Ya! Dan itu benar-benar hal yang baik, karena dia akan menjadi pelayan pribadiku. Aku tidak ingin pelayan pribadiku bersikap sama sepertiku, atau si brengsek tidak tahu diri dan sopan santun yang sudah ku bantu tadi di gang. Singkatnya, Pria tua bangka sok kaya itu! Um, ya, walau dia tidak terlihat 'tua' dan 'bangka', karena jika pelayanku seperti itu, aku yakin setiap harinya aku hanya akan mencoba kabur atau bersembunyi darinya.
"Umurku 21 tahun. Setahun lebih muda dari Sasuke." Sasuke?
"Siapa itu Sasuke?"
"Ah! Ku rasa sebaiknya kau mencari tahunya sendiri. Itu akan lebih menarik." Sial! Dia mengerjaiku!
"Akan lebih menarik jika kau mengatakannya langsung, Obito!" Aku tak sabar. Kami sudah masuk ke kamarku. Aku mendudukkan diri di tempat tidur. Oh my! Ini benar-benar lembut! Berbeda dengan tempat tidurku sebelumnya. Dan sebelumnya, aku tidak pernah menyukai tempat tidurku sendiri. Jadi ku rasa, aku akan tidur nyenyak malam ini.
"Oh ya, lemari ini..." sial! Dia mengalihkan pembicaraan! Oke, sepertinya aku harus mencari tahunya sendiri. "Kau bisa masuk ke dalam sini."
"Apa? Untuk apa? Aku bukan lagi anak kecil yang akan bermain hide and seak dan bersembunyi di dalam lemari!" Ucapku kesal.
"Oh, tidak-tidak! Ini bukan lemari pakaian biasa. Ada lorong di dalam sini. Jika kau ikuti lorong ini, kau akan menemukan kamar mandimu sendiri di ujung sana." Mulutku terbuka lebar. Aku cepat-cepat berdiri, memeriksa apakah lemari pakaianku benar-benar sekeren itu? Dan, ya! Lemari pakaianku benar-benar hebat! Aku bisa masuk dengan pakaian penuh pasir, lalu keluar dengan sosok baru yang lebih anggun dan bersih. Ah! Aku benar-benar cinta kamarku!
"Jadi, apa Nona Sakura sudah siap?" Aku berbalik, menatap dua wanita tadi sudah berdiri di depan pintu kamarku.
"Siap untuk apa?"
"Membersihkan diri. Malam ini akan ada pesta penyambutan untuk Tuan Itachi."
"Itachi? Siapa lagi itu?"
"Ah! Tuan Itachi adalah kakak dari Tuan Uchiha." Jangan katakan padaku bahwa aku akan menjadi tumbal untuk di jadikan istri si Itachi itu!
"Tenang, Sakura. Semua akan baik-baik saja. Mereka tidak akan menjadikanmu makan malam." Aku mendesah lega saat Obito membisikkannya padaku. "Tidak, sebelum kau merasakan kemewahan ini."
"APA?!" Aku memekik kaget. Obito tertawa. Sialan!
"Jadi, bisakah kami membawa Nona Sakura sekarang, Tuan Obito?"
"Dengan senang hati!" Dan Obito mendorong punggungku pelan saat kedua wanita itu menarikku keluar kamar.
-To be continued
A/N :
Cuma imajinasi yang sempat mampir saat waktu senggang~ Jadi mutusin buat di tulis! BTW, ini cerita juga saya update di fb dengan original chara~ Jadi, harap makhlum kalo ada kesalahan dalam penulisan nama~
Oh! Soal judul, sebenarnya saya masih ragu, jadi maaf kalo ntar tiba-tiba judulnya bisa aja ke ganti~ Soalnya alur cerita juga saya masih ngikutin kemana niat nulis aja~ Ntah nanti bakal ke romance aja, ato bakalan jadi ke crime, saya juga ngikutin niat nulis ajaa~
Dan kalo jadi ntar ke crime, mungkin di chapter ke3 ato ke4 baru keluar deh tuh~ Soalnya di awal masih pemanasan aja~
Oke, curcolnya sampe sini dulu aja~
Please, if you don't mind, RnR?
