A/N : Hayah… aku adalah orang aneh yang tak pernah kompeten pada suatu hal. Yang pasti, jangan terlalu dianggap mengenai bagian ini. Ah… lupakan sajalah. Jadi…
Disclaimer : Masashi Kishimoto-sensei
Main pairing : SasukexNaruto
Warning : Shonen Ai/ yaoi, OOC (maybe), AU, Thriller in later Chapter (maybe)
Genre : Drama/Supernatural
Rating : T (maybe change to mature)
...
Summary :
Aku tak pernah benar-benar berpikir mengenai kehidupanku untuk masa yang akan datang, namun jika memang demikian aku berharap, jika nantinya benar-benar berpikir, aku tak ingin semua itu berakhir menyedihkan.
...
BLACK SQUADRON
Opening
21 November, 112nd Esther Century
300 years after Armageddon
Konoha States
Naruto's POV ( Point of View )
Untuk kesekian kalinya—setelah ia memutuskan untuk memejamkan mata sejenak kedua kelopak matanya—aku mendengarnya mendesah. Tenang, dalam kabut kelelahan yang sedari tadi telah menyelimutinya, menyerangnya dengan belaian rasa kantuk, kemudian membawanya ke alam mimpi yang damai.
"Ngh…"
Ia kembali mendesah. Desahan yang masih mencerminkan sifatnya yang lembut meski terbawa entah kemana, bersama dirinya yang diliputi bunga tidur. Aku tak pernah terlalu memusingkan caranya untuk tertidur atau segala hal tentang sifatnya, baik yang ia tampakkan saat tersadar atau yang tak sengaja ia tunjukkan di saat seperti ini. Bahkan beberapa hal yang coba ia tutupi kenyataannya dari diriku. karena—yah, aku memang tak pernah terlalu tertarik untuk mengetahuinya, setidaknya untuk saat ini saja.
Kini giliranku yang mendesah, mencoba mengabaikan rasa pegal yang merambati pundak kiriku, setelah beberapa lama tak bergerak karena menjadi tempat bersandarnya dalam tidur. Kepalanya terkulai lemah di sana—begitu rapuh seakan mudah pecah, pikirku setengah menyelidik. Paling tidak, pendapan sesederhana itulah yang cocok menjadi gambaranku tentang dirinya. Karena, dalam sosoknya yang selalu berdiri dengan tegar di depan mataku, aku tersadar akan hatinya yang begitu lemah dan mudah untuk terluka. Kenyataan yang ironis—padahal ia selalu mengorbankan apapun untukku. Tapi justru semua itulah—semua sifat yang dimilikinya itulah, yang sampai sekarang membuatku ingin melindunginya, paling tidak dari jurang kebencian yang bernama 'pengkhianatan'.
"Nee-chan…" bisikku ringan sembari menatap sosoknya yang tengah tertidur. Dalam cahaya temaram lampu Air Bus yang kami tumpangi, rambutnya yang biru tak terlihat seperti nyatanya—berbeda dengan ketika ia bermandikan cahaya mentari.
Oow, aku melihat kelopak matanya bergerak sedikit. Bulu matanya yang panjang menunjukannya —getaran kecil saat seseorang kembali terjaga.
Ah… sejenak aku merasakan kepanikan mulai menjalar di punggungku, merasuki pikiranku. Begitu menyesakkan—apalagi aku telah berjanji untuk tidak akan membangunkannya, bila tak ada hal yang benar-benar mendesak saat ia mulai tertidur tadi. Apa gumamanku tadi mengangkatnya dari tidurnya yang damai? Oh Kami-sama! Jika engkau benar adanya, maka selimutkanlah Nee-chan kembali dengan mimpi dan angan-angan miliknya! Jeritku dalam hati, tak mengindahkan bahwa mungkin harapannya saat ini berkebalikan dengan keinginanku.
Detik demi detik berlalu dengan sangat lambat dari sudut pandangku yang sekarang, berbeda dari konsep yang selama ini kupercaya. Kemudian aku bisa bernafas lega, ketika air mukanya kembali tenang dan tubuhnya tak lagi bergerak gelisah.
"Fuuh…" gumamku lebih lembut dalam helaan nafas yang lega. Lalu aku kembali bersandar pada jok tempatku duduk. Meletakan tangan kananku yang masih gemetar tegang pada pegangan di kursi. Meski masih ada kekhawatiran akan dirinya jika mendadak terbangun seperti tadi, aku toh kembali menatapnya. Menatap dirinya yang berbalut T-shirt ungu sederhana dan jaket tipis yang sewarna. Kemudian mawar putih yang terselip sempurna di helaian rambutnya. Jujur aku ingin membelainya yang selalu melindungiku, namun, kurasa itu bukanlah ide yang bagus—aku takut ia kembali terbangun. Apalagi terkadang ia menyikapi kehadiran diriku dengan sikap yang terlampau formal. Seakan-akan aku adalah raja—membuatku sedikit muak. Yah… lagipula kalau pun tak ada alasan seperti itu, aku juga tak akan melakukannya. Karena sampai kapan pun, dirinya akan selalu menjadi kakak perempuanku.
Aku menghela nafas, menatap kelebatan pemandangan di luar jendela sana. Semuanya terlihat bagaikan dinding-dinding pepohonan yang saling beradu satu sama lain. Kemudian sesemakan yang tumbuh liar pun sama sekali tak terlihat indahnya. Mungkin karena tak adanya penerangan yang cukup di sekitar sini. Lalu, kupikir semua itu hanya alasan pemerintah yang tak ingin buang-buang uang untuk membuat jalan yang menembus hutan menuju Central Area ini terang.
"Apa kita sudah sampai?"
Kontan aku terkejut mendengar suara yang berasal dari sebelahku. Suara yang begitu familiar dan terdengar tenang. Kemudian yang membuatku lebih terkejut, adalah jika ia sama sekali tak mengubah posisi duduknya meski terbangun juga. Kelihatannya ia masih mengantuk.
"Ah…"desahku ringan. Menatap matanya yang perlahan terbuka dan menunjukan bola matanya yang emas kecoklatan.
"Kelihatannya belum, ya?" katanya bertanya, tapi lebih terdengar seperti menyatakan.
"Ya… makanya lebih baik kau tidur lagi saja, Nee-chan."
"Tidak mau. Kau sendiri belum tidur 'kan?"tanyanya dengan nada khawatir. Payah, 'kan aku yang tadi berjanji untuk tak membangunkannya. Apa ia lupa janjiku?
"Tapi Nee-chan kau lelah 'kan? Kau yang membereskan semua hal tentang kepindahan kita!" kataku gusar. Aku sungguh tak ingin tidurnya terganggu. Terutama jika semua itu karena aku.
"Hmmm…"gumamnya, kemudian tersenyum. "Kau sudah hampir seharian ini menjagaku, bukankah sekarang giliranku?"
"Bukankah kau lebih sering menjagaku daripadaku yang menjagamu? Biarkanlah hanya kali ini aku yang menjagamu sampai kita sampai nanti!"kataku keras kepala.
Ia kembali tersenyum, masih dalam ketenangan yang sama.
"Baiklah, hanya kali ini saja kalau begitu."katanya setengah bergumam. Ia lalu memeandang lurus ke depan.
"Eh? Tapi 'kan…"
"Kau hanya bilang untuk 'kali ini' saja 'kan?"sambarnya tanpa sempat kuselesaikan kalimatku.
"Baiklah…" aku mengalah mendengar kata-katanya. Kemudian ada hal yang membuatku teringat, kenapa ia terbangun, ya?
"Nee-chan?"kataku tak sanggup menahan diri untuk bertanya.
"Apa?"
"Kenapa kau terbangun?"
"Oh… kenapa memangnya?"katanya balik bertanya.
"Jawab pertanyaanku dong!"
"Baik, entah kenapa aku mendadak ingin bangun saja."katanya menggantung. "Jangan menatapku seperti itu."lanjutnya menyadari tatapan bingungku.
"Oh…"
Setelah ia menjawab pertanyaanku ia kembali memejamkan kedua matanya. Terlihat seperti mengumpulkan kembali pecahan mimpinya yang sempat hancur ketika terbangun tadi. Ia juga terlihat seperti orang yang sangat berkonsentrasi akan sesuatu. Apa ia berkonsentrasi untuk kembali pada mimpinya? Yang benar saja—membuatku ingin tertawa.
Lalu seakan ada sesuatu yang buruk, dadaku bergemuruh. Aku yakin ini hanya perasaan tegang ketika hampir tiba di kota yang baru. Tetapi ini lebih dari itu. Aku merasa takut pada sesuatu—atau apapun itu yang ada di depan sana. Di kota di mana aku akan berusaha untuk memulai segalanya kembali dari awal.
"Uh…" gumamku berusaha menghilangkan rasa gundah yang menyusup memasuki relung hatiku. Kemudian aku kembali beralih pada pemandangan di luar sana.
Masih tak ada apapun. Apa sebaiknya aku tertidur? Atau membuka pembicaraan dangan Nee-chan? Ah, aku tak ingin Nee-chan ikut repot dengan perasaanku yang tak enak. Tapi kalau tertidur… aku juga tak ingin memilih pilihan yang itu. Aku lebih merasa takut pada pilihan yang pertama itu, dan sebisa mungkin berusaha tak mengambilnya. Terlebih akhir-akhir ini aku mengalami mimpi yang tak seharusnya berakar dalam benakku. Aku 'kan tak pernah mengalami hal yang seperti apa yang ditunjukkan mimpi itu. Atau mungkin ada sesuatu dalam ingatanku yang tak bisa kumengerti di saat ini?
Kemudian aku melayangkan pandanganku ke langit luas. Menatap bulan yang bersinar keema—ah! Kenapa warnanya kemerahan seperti itu? Ada apa sebenarnya?
Lalu badanku mulai semakin merinding dalam ketakutan. Ada… pasti ada sesuatu yang akan terjadi! Entah kapan, aku bisa merasakannya. Saat ini, di hatiku.
End of Naruto's POV ( Point of View)
"Red moon, un?" kata seseorang di balik tudung hitam. Suaranya terdengar dalam.
"Waaah, pasti akan terjadi sesuatu yang buruk." Kata orang di sebelahnya.
"Ck… mendokusei."gumam salah seorang lainnya. Ia menyimpan nada malas dari kata-katanya.
"Darimana kau mengetahui hal seperti itu?"kata yang lainnya. Ia baru saja datang bersama kelompok yang lebih besar.
"Literatur kuno yang diwariskan kelu..."
"Tenanglah… apapun itu, Black Squadron kita ini akan menghadapinya."katanya menyambar kata-kata salah seorang di sana.
Kemudian hujan turun dengan lebatnya, membasahi jubah hitam polos yang dipakai kelompok yang menyebut dirinya sendiri Black Squadron itu, sekaligus menyambut Naruto bersama kakak perempuannya—Konan yang sedang mengkhawatirkan masa depannya di kota bernama Central city.
To be Continued…
A/N : Baiklah, dengan adegan orang-orang berjubah hitam yang aneh di atas, akhirnya berakhir juga bagian Openingnya. Oh ya! Adegan Konan ma Naruto di atas jangan dianggap incest, ya? Adegan itu benar-benar cuma kasih sayang kakak-adik biasa.
R
E
V
I
E
W
