Disclaimer: "Really... Vocaloid is not mine."

BUTTERFLY ON YOUR RIGHT SHOULDER

by CrimsonEmerald

Len x Rin

Kaito x Miku

WARNING: Disini author buat sedikit perubahan marga untuk nama Rin, menjadi Kaine Rin. Karena pastinya bakal aneh kalo nama Rin dan Len punya marga yang sama padahal di fict ini mereka bukan saudara XD

AU, Romance & Western, Rated M

.

.

.

Bulan mengintip di balik awan. Tak ada bintang. Malam itu amat suram. Sesuram kegelapan hutan yang mengapit jalan. Sebuah kereta kuda mewah dengan iring-iringan pengawal melintas perlahan. Derak roda kayu kereta seirama dengan tapak sang kuda. Surai sang kuda bergoyang, ditiup oleh segelintir angin yang menyapa melalui bawah lehernya. Sementara beberapa pengawal bersenjatakan sebilah pedang berjalan mengapit kereta. Mata-mata tajam pengawal mengamati sekitar. Memperhatikan derak ganjil yang mungkin berasal dari semak hutan. Atau gesekan aneh dari ranting pepohonan.

Di dalam kereta, duduk seorang putri dari kerajaan Kaine. Sebuah kerajaan makmur di selatan hutan. Sang puteri adalah gadis berusia 16 tahun. Berwajah cantik dan berkulit mulus. Rambutnya mencapai bahu, berwarna pirang. Sehalus warna kuning dari madu. Netra shappire-nya memandang pepohonan yang menjulang. Ia menyingkap sedikit tirai jendela kereta, dan angin malam segera menabrak wajahnya.

"Putri, tolong jangan dibuka. Anda bisa sakit sebelum hari pernikahan."

Dari sebrang tempat duduk sang putri, dayang setianya berucap memperingatkan. Gadis berambut teal panjang itu segera menutup kembali tirai jendela kereta. Di balas dengusan keras oleh sang putri yang duduk sembari melipat kedua tangannya.

"Aku tidak akan sakit semudah itu, Miku. Berhentilah mengkhawatirkanku. Aku sudah bukan anak kecil, dan kau bukan Ibuku."

Kaine Rin. Putri bungsu dari Pasangan Raja dan Ratu Kaine itu berkata dengan nada amat akrab pada Miku, pelayannya.

"Saya tidak bertindak seperti Baginda Ratu, Putri. Tapi saya melaksanakan perintah beliau untuk menjaga anda sampai Putri tiba di istana kerajaan Shion."

Miku menggeleng penuh perhatian, ia menatap Rin yang tengah melipat dada dengan wajah merajuknya. Miku memang hanya seorang pelayan. Tapi waktu yang tak singkat bersama Rin membuat gadis itu sangat mengenal watak Putri yang dilayaninya. Mereka tumbuh bersama. Tentu Rin dan Miku yang hampir seumuran sudah sangat akrab bagai sahabat.

-meski mereka berbeda status, tentu saja.

"Tidak ada seorangpun yang ingin anda sakit sebelum hari pernikahan anda, Putri. Begitu pula Raja dan Ratu. Dan Pangeran pun pasti tidak menginginkan hal itu terjadi." Miku berkata menambahkan. Rin menopang dagunya diatas tangan kanan. Ia menatap celah kecil di atas tirai kereta yang terbuka. Cahaya bulan menyeruak masuk dari sana, namun segera redup oleh awan yang menghalanginya.

"Untuk apa Pangeran mengkhawatirkan tunangan yang belum pernah dilihatnya. Lagipula pernikahan ini adalah pernikahan politik. Ayah dan Ibu menikahkanku dengan Pangeran Shion untuk melindungi kerajaan." Rin bergumam dengan nada rendah.

"Menggelikan. Aku akan menikah dengan orang yang belum pernah kutemui, apalagi kucintai. Dunia ini memang kejam. Bukan begitu, Miku?" Terselip kegetiran dibalik untaian kalimat Rin. Miku diam, tertunduk tanpa mengatakan apa-apa. Sebersit angin malam masuk ke dalam kereta, mendesirkan rambut mereka. Membawa pergi kalimat Rin hingga menghilang di balik jendela.

Rin menyandarkan punggungnya, sebelum memejamkan mata ia bergumam untuk yang terakhir kalinya.

"Apapun yang terjadi aku ingin melindungi kerajaan Kaine. Dan kuharap kau akan terus menolongku disini, Miku."

Setelah itu, kesunyianlah yang menjadi teman perjalanan mereka.

...

Rin tertidur lama, namun Miku tetap terjaga. Gadis itu sudah terbiasa, terjaga sepanjang malam bukan lagi pekerjaan yang berat bagi seorang pelayan seperti dirinya. Miku meregangkan kakinya di balik gaun berwarna hijaunya. Meski Miku seorang pelayan, ia mendapat perlakuan istimewa dari Rin. Rin-lah yang selalu berbaik hati pada Miku. Rin yang membiarkan Miku untuk mengenakan gaun-gaun indah, Rin yang membiarkan Miku untuk menggunakan sepatu-sepatu kaca, Rin pula yang membiarkan Miku untuk berdandan layaknya bangsawan. Hingga tak sedikit orang yang mereka temui dalam perjamuan istana mengira Miku adalah kakak Rin. Karena mereka sama cantik dan anggunnya.

Lagipula Rin tidak pernah membiarkan Miku meninggalkan sisinya, dan Miku dengan senang hati menemani Putri Kaine itu. Miku selalu bersyukur, atas keburuntungan yang Tuhan berkati melalui Rin. Rin adalah puteri Raja paling baik hati yang pernah dikenalnya. Setidaknya Rin lebih murah senyum dibanding kakaknya, Kaine Lenka.

Miku bahagia ia bisa bersahabat dengan Rin. Dan Miku ingin terus menemani Rin, bahkan saat gadis itu kini tengah berjuang melindungi kerajaan Kaine.

Sejak setahun belakangan, banyak terjadi peperangan. Kerajaan-kerajaan besar seperti kerajaan Shion memperluas wilayahnya hingga mencapai kerajaan Kaine. Kaine sendiri hanya sebuah kerajaan kecil, tentu tidak punya kekuatan untuk menahan gempuran kerajaan Shion. Akhirnya, Raja dan Ratu melakukan perundingan dengan pihak kerajaan Shion.

Untuk terus melindungi Kaine dari perluasan wilayah yang dilakukan kerajaan Shion, Raja memutuskan untuk menikahkan puteri bungsunya, Kaine Rin. Pada putera mahkota kerajaan Shion, yang setahu Miku bernama Kaito. Pernikahan politik itu dilakukan dengan imbalan kerajaan Shion tidak akan menyerang Kaine dan mereka menjalin hubungan politik kekeluargaan.

Rin yang bertekad akan terus melindungi kerajaannya tentu saja menerima pernikahan itu tanpa ada bantahan. Miku tahu, jauh di dalam hati Rin. Gadis itu pasti tengah keberatan. Ia bisa bayangkan Rin yang meringkuk ketakutan saat akan menikahi laki-laki yang sama sekali tidak pernah ditemuinya.

Bagaimanakah rupa pangeran itu? Apa ia sekasar kerajaannya? Apa ia berwajah serakah seperti kerajaannya? Atau mungkin Pangeran berumur jauh lebih tua dari Rin.

Sungguh, Miku tak bisa bayangkan apa yang akan terjadi di pernikahan Rin nanti.

Rin melewatinya dengan tegar, bersama Miku yang selalu berdiri di sampingnya. Bersama pengawal-pengawal dari kerajaan Kaine,rombongan kereta kuda istana itu menuju kerajaan Shion. Untuk melangsungkan pernikahan. Dan jalan menuju istana kerajaan Shion melewati setapak hutan yang mengelilingi sebuah gunung. Tak ada jalan lain selain jalan ini. Jalan yang melewati tebing curam ini akan membawa mereka ke kerajaan Shion dalam waktu satu minggu perjalanan kereta kuda.

"Nona Hatsune, katakan pada Putri Rin bahwa kita akan beristirahat di sini."

Miku dikejutkan oleh suara seorang pengawal dari balik pintu kereta. Segera gadis teal itu menyahut sebagai jawabannya.

"Ya. Nyalakan api unggun dan gelar kemah untuk Putri. Aku akan membangunkannya dan menyiapkan makan malam untuk kita semua."

...

"Ini. Silakan dimakan, Putri."

Rin menerima semangkuk bubur hangat dari Miku. Gadis honey blonde itu telah mengganti gaun merahnya dengan sebuah gaun sederhana berwarna kuning. Ia mengenakan jubah tebal untuk melindungi tubuhnya dari angin malam. Miku yang bersikeras agar Rin mengenakan jubah itu, dan Rin tidak pernah menang melawan kekeras kepalaan seorang Hatsune Miku.

"Kau jadi sangat formal padaku, Miku. Ada apa?" Tanya Rin sebelum menyendokkan sesuap bubur hangat ke dalam mulutnya. Rin, Miku dan para pengawal duduk melingkar di depan api unggun. Sebuah kemah untuk Rin telah tergelar, lengkap dengan futon tidurnya.

"Ah, saya hanya ingin membiasakan diri berkata formal ketika nanti Putri sudah bersama dengan suami anda." Miku berkata kemudian tersenyum. Pengawal di sisi-sisi mereka duduk tak memperhatikan, terlalu sibuk dengan makan malam mereka. Menanggalkan pedang di sampingnya.

"Jangan bicara tentang pernikahan lagi, Miku. Aku sudah muak mendengarnya. Tak ada yang bisa menghentikan pernikahan ini kecuali sekelompok bandit menyerang rombongan dan menculikku bersamanya." Gumam Rin menarik perhatian seluruh pengawal dan Miku yang kaget mendengarnya.

"Jangan mengatakan hal yang buruk, Putri. Kita tahu hal itu tidak akan terjadi. Pengawal disini akan melindungi kita semua. Pernikahan akan segera dilangsungkan. Dan kerajaan Kaine akan aman. Bukankah itu cita-cita anda, Putri? Melindungi Kaine apapun yang terjadi." Miku berkata dalam satu tarikan nafas. Gadis itu tanpa sadar meletakkan mangkuk buburnya. Hanya untuk berkata lebih jelas pada Rin yang sejenak terdiam mendengarnya. Miku tersengal, dan ia segera menetralkan tarikan nafasnya kembali. Para pengawal hanya diam, namun mendengarkan.

"Aku tahu. Aku tahu, Miku. Itu hanya perandaian. Kalaupun memang terjadi. Aku ingin kau yang akan menggantikanku melindungi Kaine. Tidak ada seorangpun dari kerajaan Shion yang tahu rupaku, bukan?" Rin sebenarnya berkata hanya untuk main-main. Tapi itu tidak terdengar seperti candaan bagi Miku. Gadis itu segera menanggapinya dengan serius.

"Tolong berhenti mengatakan hal itu, Putri. Tidak akan ada yang terjadi, tidak karena pernikahan anda akan berlangsung dengan aman." Tegas Miku segera kehilangan nafsu makannya. Ia meninggalkan buburnya teronggok mendingin di dalam mangkuk.

Gadis berambut teal panjang itu menatap Rin yang menyuap buburnya dengan tenang.

Matanya berkilau oleh rasa kekhawatiran. Ada hal yang begitu mengusiknya ketika mendengar kalimat Rin barusan. Meski gadis itu mungkin berkata hanya untuk main-main.

Tapi, ia seperti merasa ada hal buruk yang akan mencapai mereka semua. Tak lama lagi. Setelah ini. Entah apa hal itu.

...

Rin terlelap dalam damai. Ia menggunakan jubah tebalnya sebagai selimut, dan berbaring di atas sebuah futon tidur bersama Miku. Berbeda dengan Rin yang sudah mencapai alam mimpi, malam itu Miku justru tidak bisa memejamkan matanya lebih dari lima detik. Ada hal yang begitu mengusik benaknya hingga ia kehilangan kemampuan untuk tidur malam ini.

Menyerah, Miku kemudian memutuskan untuk keluar dari kemah. Ia mengenakan gaun berwarna biru dengan sulaman bunga. Rambutnya panjang melebihi pinggang. Dengan dua sisi rambut yang biasa membingkai wajahnya ditarik kebelakang, membentuk kepang sederhana berhias pita merah muda. Memasang jubahnya, Miku memilih untuk berjalan-jalan sebentar.

Kemah mereka didirikan cukup dekat dengan sebuah anak sungai. Hanya perlu melintasi beberapa semak dan pepohonan, Miku segera menemukan anak sungai yang dimaksud. Berbekal sebuah lilin, gadis ber-iris tosca itu mendekati sumber air. Tak jauh dari tempatnya berdiri, Miku menemukan air terjun kecil.

Permukaan sungai yang beriak dengan arus pelan. Memantulkan cahaya bulan yang keemasan. Miku tak tahu lagi apakah ini sudah masuk tengah malam atau tidak. Tapi awan hitam yang sejak tadi mengiring perjalanan mereka telah hilang entah kemana. Membuka pemandangan langit yang dihiasi bintang berkelip. Bersama bulan yang meninggikan tahtanya. Cahayanya menimpa kulit putih Miku, ketika gadis itu menjulurkan tangannya untuk meletakkan wadah lilin di atas batu tepi sungai.

Miku melepas alas kakinya. Mendengarkan melodi arus air sungai yang menenangkan batinnya. Gadis itu memutuskan untuk berpijak diatas batuan besar sungai, mulai melangkah agak ke tengah. Sesekali kakinya dijulurkan untuk menyentuh air sungai yang dingin. Hampir membekukan jari kakinya.

Miku tersenyum lebar. Ia bahkan mampu berkaca diatas permukaan air sungai. Wajahnya tercetak abstrak. Ekspresinya tak terlalu jelas akibat riak sungai yang berarus oleh air terjun. Namun Miku dapat melihat bagaimana tubuhnya yang berbalut gaun biru indah pemberian Rin berdiri di atas siraman cahaya bulan.

Srkk...srkk...

Auuuuuu~

Drap...drap...drap...

Miku menegang. Barusan ia mendengar derak berisik dari dedaunan semak di depannya. Terdengar pula lolongan serigala yang saling bersahutan. Miku segera menepi. Ia memakai alas kakinya dengan tergesa. Derap kaki terdengar lebih keras ditelinganya. Miku segera berlari, bahkan melupakan lilinnya.

Ia terus berlari, menembus semak hutan dan melewati batang kayu pepohonan. Tujuannya kini hanya satu, memastikan bahwa rombongan kemahnya dan Rin baik-baik saja.

'Tuhan, kumohon semoga semuanya baik-baik saja.'

Doa Miku dalam hati. Namun kelebatan tentang hal-hal buruk yang mungkin terjadi terus berputar dalam benaknya. Membuat langkah gadis itu sedikit terhuyung hingga mengenai semak berduri di sisi kanannya. Merobek lengan gaun Miku, lengan kanannya tergores oleh duri hingga mencucurkan darah.

Namun Miku sudah tak peduli lagi, ia harus memastikan sesuatu yang lebih penting dari ini.

...

"Auuuuuu~"

Drap...drap...drap...

"Auuuuuuu~"

Rin terbangun dari tidurnya. Tersentak, ia segera membuka matanya. Dari dalam kemah, masih terlihat remang-remang cahaya api unggung di luar. Namun bukan itu yang membangunkannya. Melainkan lolongan serigala bersahutan yang terdengar kian dekat dengan perkemahan mereka. Rin memasang jubah tidurnya. Segera keluar dari kemahnya. Dan derap langkah kian cepat bergaung mendekat.

"Semua pasukan siaga!"

Ketua pengawal rombongan berteriak pada anggotanya. Membentuk barikade pertahanan untuk melindungi Rin yang mematung di tempatnya. Pedang diacungkan. Menantang kegelapan hutan yang tak tertembus oleh cahaya bulan. Derak dedaunan yang terdengar ganjil meremangkan bulu kuduk Rin. Gadis itu mengelus lehernya pelan. Menarik tudung kepala jubahnya untuk menutupi surai pirang miliknya.

Angin berdesir agak kencang, api unggun bergoyang-goyang. Dalam suasana mencekam ini, Rin bahkan merasa bayangannya sendiri terasa menakutkan. Atmosfir bahaya di depan hampir melemaskan tubuhnya.

Brak

"Auuuuuu~"

Suara ranting patah adalah hal terakhir yang Rin dengar setelah lolongan serigala pertama mencapai mereka. Rin hampir-hampir menjatuhkan dirinya. Saat melihat seekor serigala sebesar kuda tunggangannya berdiri dengan kaki depan yang memamerkan cakar panjang. Bulunya yang kelabu berdesir oleh angin malam. Matanya yang merah berkilau oleh cahaya api unggun. Giginya yang runcing dipamerkan melalui seringai lebar. Moncong panjangnya terjulur ke depan. Dan ia menggeram rendah.

"Serang!"

Para pengawal rombongan segera menyerang serigala yang ukurannya tak lazim itu dengan pedang mereka. Ujung tajamnya berkilat di bawah rembulan, memantulkan cahaya api unggun yang merekam kengerian di wajah Rin yang tengah mematung dengan mulut terkatup rapat. Ia terduduk, akibat lutut yang terlalu lemas tak mampu menopang tubuhnya lebih lama.

Dentingan pedang dengan cakar panjang sang serigala begitu menusuk telinga, perbedaan kekuatan yang amat besar menunjukkan segalanya. Bagaimana satu-persatu pengawal rombongan tewas. Jatuh akibat luka robek besar dari cakar atau gigitan sang serigala. Seekor serigala lain datang. Yang kali ini berukuran lebih kecil, namun tetap lebih besar dari serigala normal lainnya. Bulunya seputih salju, matanya sebiru langit di pagi yang cerah. Berkilau ketika menoleh ke arah Rin yang kehilangan air mukanya. Wajah gadis itu pucat seketika. Apalagi ketika sang serigala putih mendekatkan moncongnya ke arah Rin.

Bruk

Kaine Rin segera jatuh tak sadarkan detik berikutnya.

...

Miku terlambat.

Gadis teal itu mematung menatap jasad-jasad pengawal rombongan yang bergelimpangan di atas kubangan darah yang mengaliri tanah. Api unggun telah padam, hanya tersisa arang-arang berwarna merah akibat pembakaran. Kemah milik Rin masih terpasang tegak. Dan itu sedikit memberi harapan pada Miku bahwa Rin akan baik-baik saja. Setidaknya gadis itu masih hidup karena mendapat perlindungan dari pengawal rombongan yang telah rela melindunginya dengan taruhan nyawa.

Namun ketika ia membuka pintu kemah, ia tak menemukan siapa-siapa kecuali futon tidur Rin yang kosong kehilangan penghuninya. Miku hampir saja akan jatuh saking shock nya karena gadis itu kini tak ada di mana-mana.

Kalimat Rin bukan hanya candaan belaka. Dan hal-hal yang sejak tadi mengganggu benaknya adalah sebuah firasat akan pertanda buruk. Namun Miku terlambat menyadarinya. Kini ia sendirian. Tak ada siapa-siapa. Ia harus membuat pilihan. Kembali ke kerajaan Kaine atau terus melanjutkan perjalanan hingga ke kerajaan Shion. Mengaku sebagai putri Kaine dan menjalankan peran Rin sementara sampai gadis itu ditemukan segera. Miku melepas tali kekang kuda kereta yang tertambat tak jauh dari kemah. Kuda putih betina itu tampak menggeram ketakutan. Ia begitu gelisah hingga elusan Miku di salah satu sisi wajahnya. Miku ikut bernafas lega bersama geraman rendah sang kuda yang mulai nyaman akan perlakuannya. Ia mengelus sekali lagi pipi sang kuda sebelum menaikinya.

"Aku akan ke kerajaan Shion. Karena Rin sudah memintaku untuk menggantikannya melindungi Kaine jika dia tidak ada."

Ucap Miku untuk mengingatkan dirinya sendiri. Ia mengokang tali kekangnya. Kudanya segera melaju di jalan setapak hutan. Cahaya bulan menemani perjalanannya. Angin malam mengibarkan jubah yang dikenakannya.

Miku bimbang. Apa pilihan ini benar?

...

Kaito. Putera mahkota kerajaan Shion itu baru saja akan memasuki gerbang istana usai latihan memanah di tepi hutan. Ketika kemudian derap kaki kuda yang nampak terengah datang mendekat. Kuda putih itu tampak kelelahan, seakan dipaksa berlari sepanjang malam. Penunggangnya sendiri adalah seorang gadis muda bergaun biru dengan sulaman bunga. Rambut teal nya yang panjang berkibar dari kejauhan. Kaito tak mengenal gadis penunggang kuda itu. Sebelum ia menyadari lambang bunga mawar berperisai terpasang di leher sang kuda.

Itu adalah lambang kerajaan Kaine. Kerajaan yang melakukan hubungan politik dengan kerajaan Shion. Rencananya ia akan dinikahkan dengan puteri bungsu dari Raja Kaine tiga hari lagi. Dan seharusnya rombongan kereta kuda sang Putri sampai pagi ini.

"Tuan, itu kuda dari kerajaan Kaine." Bisik salah seorang pengawal di belakang Kaito. Pemuda itu mengangguk membenarkan. Alisnya mengerut halus. Memikirkan kemungkinan apa gerangan yang membuat hanya seekor kuda yang berhasil sampai ke istana. Padahal menurut rencana, Putri akan datang bersama kereta kuda istana.

Apa sekelompok bandit menyerang kereta mereka ketika di hutan? Dan sang Putri akhirnya menyelamatkan diri dengan seekor kuda tunggangan.

Kuda putih berlambang kerajaan Kaine itu berhenti tepat di depan kuda Kaito. Sang gadis berambut teal sepanjang pinggang itu berkata dengan terengah. Sepasang iris tosca indah yang baru pertama kali Kaito temui itu terbuka dengan sayu.

"Aku, Puteri Miku dari kerajaan Kaine meminta izin untuk dapat bicara dengan Putera Mahkota."

"Akulah Putera Mahkota kerajaan Shion. Apa yang ingin anda bicarakan, Putri?" Tanya Kaito dengan wajah serius. Mengamati rupa sang Putri yang berbalut gaun biru bersulam bunga. Lengan kanan gaunnya robek, dan tangannya lecet berjejak darah kering. Kaito menatapnya khawatir, apalagi saat gadis itu tersenyum lemah. Kaito rasa gadis itu mulai goyah dari dudukannya diatas sang kuda.

"Akhirnya saya sampai ke tempat anda. Rombonganku di serang oleh sekelompok..."

Bruk

Miku jatuh sebelum sempat melanjutkan penjelasannya. Beruntung, insting Kaito yang lebih tajam dari Ksatria manapun membuat pemuda itu dengan siaga berdiri di sebelahnya. Menahan tubuh Miku agar tidak jatuh sampai ke tanah. Ia menyandarkan kepala gadis itu ke dadanya, kemudian memerintahkan anak buahnya.

"Rawat kudanya, sementara aku yang akan mengurus sang Putri."

Ucap Kaito kemudian menjalankan kudanya untuk segera memasuki istana. Kedua tangannya yang memegang tali kekang kuda mengurung tubuh Miku yang tak sadarkan diri agar tetap menyandar di dadanya.

Miku mungkin cukup meyakinkan untuk dapat memerankan peran sebagai seorang Putri. Dengan memanipulasi ketidak tahuan akan kenyataan. Ia mungkin akan terus berperan sebagai Putri palsu sampai Rin ditemukan.

Ketidak tahuan pihak kerajaan Shion akan rupa sang putri bungsu Kaine, juga hilangnya data nama sang Putri adalah keberuntungan Miku untuk dapat menjalankan perannya dengan sempurna.

Sampai manakah Miku dapat menggantikan Rin untuk melindungi Kaine?

...

"Unggg~"

Rin melenguh pelan. Sesuatu menahan pergerakan tubuhnya. Sesuatu yang hangat dan lebih besar dari tubuhnya. Gadis itu mendongak, melirik sesuatu dari atas tubuhnya yang memeluknya amat erat. Aroma citrus yang maskulin menggoda penciumannya. Dan itu membuat Rin semakin penasaran dengan sesuatu yang menahan tubuhnya.

"Aaaa-"

Rin berteriak, namun kemudian mulutnya segera dibekap oleh sebuah tangan besar. Bagaimana ia tidak berteriak. Yang sejak tadi memeluk dan menahan tubuhnya dengan erat ternyata adalah seorang pemuda berambut honey blonde panjang yang kini masih berbaring di atas tubuhnya. Dengan sebelah tangan di pinggang Rin, dan sebelah tangan lagi membekap mulut gadis itu.

Rin berhenti mencoba berteriak. Karena ia tahu itu sia-sia. Ia baru menyadari tubuh bagian atas pemuda yang menindihnya tersebut tidak mengenakan apa-apa. Memamerkan otot perut dan otot lengan yang terbentuk sempurna. Memanjakan mata wanita siapa saja yang melihatnya, termasuk Rin. Namun Rin dengan cepat sadar diri dan segera menggelengkan kepalanya berulang kali untuk menghalau pikiran-pikiran aneh tersebut. Laki-laki itu segera melepaskan bekapan tangannya dari atas bibir Rin.

Rin segera bernafas lega. Kepalanya dijulurkan segera untuk melihat kondisi tubuhnya sendiri.

-dan wajahnya pucat seketika saat ia menyadari tubuhnya pun tak mengenakan apa-apa. Tubuhnya yang telanjang ditindih langsung oleh pemuda tanpa busana di atasnya. Selimut tebal pun hanya digunakan dari pinggang sampai ke bawah. Dan Rin tidak berani memeriksa bagian bawah tubuhnya karena ia sudah bisa menebak sendiri jawabannya.

"Kau sudah menyadarinya, Putri?"

Rin mendongak takut-takut. Beradu pandang dengan iris shappire sang pemuda yang mengingatkan Rin dengan mata birunya sendiri. Pemuda itu beringsut pelan menyejajarkan wajahnya dengan wajah Rin yang telah memucat di pembaringannya. Rin membatu seketika saat pemuda itu menggigit lembut cuping telinganya.

Rin merasa geli. Ada gejolak aneh yang membuatnya ingin mendesah. Namun gadis itu menahan gejolak itu mati-matian. Rin menggigit bibir bawahnya. Menatap pemuda yang kini sedang menyeringai di hadapannya. Pemuda itu menarik pinggang Rin untuk lebih mendekat dengan tubuhnya. Menyentuhkan dada Rin pada dada bidangnya. Rin tercekat. Ia tak bisa bergerak dan tak bisa berteriak.

Semua sensasi aneh yang dilakukan oleh pemuda itu baru pertama kali dirasakannya.

Wajah pemuda itu kembali mendekat, hampir mencium Rin sebelum ia ternyata mendekati telinga Rin dan berbisik tepat di depannya.

"Selamat datang di kastil Kagamine."

Dan Rin bergidik geli mendengarnya, menggesek secara langsung dadanya dengan sang pemuda.

Sementara lelaki honey blonde itu menyeringai lebih lebar karenanya.

_TO BE CONTINUE_

Apa adegan LenRin yang terakhir? Wahahahaha XD itu kayaknya ngebet banget bikinnya. Tapi adegannya di tunda dulu ampe chapter berikutnya :p hehe gimana ceritanya? Apa kalian bisa memahami ceritanya? Jika tidak mungkin akan lebih di detail chapter mendatang. :D

.

.

.

So, REVIEW or DELETE?