Disclaimer : Hironobu Sakaguchi, Squaresoft
warning : mature content, crime, kekerasan, sex content
Adakalanya sesuatu yang kita inginkan tidak mudah untuk didapatkan. Terutama bagi orang-orang yang sering menyepelekan hal-hal yang ia miliki dan memilih untuk mengejar hal-hal yang tidak ia miliki. Manusia itu serakah.
Tifa Lockheart. Kami seperti Beauty and The Beast.
Tentu saja, akulah si beast itu. Aku menembak kepala ibuku sendiri karena terlalu banyak mengomel. Kutinggalkan jasadnya begitu saja dan tidak butuh waktu lama bagi polisi untuk menyadari bahwa aku pembunuh ibuku sendiri. Aku kabur ke ibukota, merusak wajahku sendiri dengan pisau agar tidak dikenali. Aku membunuh orang untuk membuatku tetap hidup, aku seorang pembunuh bayaran. Aku mengerjakan tugas kotor yang dibutuhkan oleh tikus-tikus berdasi. Kurasa itu pekerjaan cocok bagiku yang hidup dalam bayang-bayang dan menyembunyikan eksistensiku. Zack Fair sudah mati. Yang tersisa hanyalah pembunuh yang dipanggil dengan kode; Sephiroth.
Ketika aku menemukan anggur memabukkan itu, aku sedang iseng melihat sebuah klab malam. Ia memiliki rambut panjang yang lebat, indah terawat turut mempercantik wajahnya yang klasik. Tubuhnya yang padat dan kencang bergerak molek hanya dengan balutan kain tipis yang dengan mudah dapat kurobek sekali tarik. Matanya yang kelam dan jernih itu menatapku lekat, sambil menyembunyikan senyum nakalnya di balik sehelai kain. Ia terus menggoyangkan pinggulnya, kemudian membelai tubuhnya sendiri dengan sedemikian sensual seakan seseorang tengah memanasinya dengan hasrat. Sambil memejamkan matanya, ia mendongak memperlihatkan otot lehernya yang jenjang, lekuk-lekuknya terlihat pas dengan bibirku. Ia menatapku lagi, tersenyum puas menyadari aku masih memandanginya seperti pemangsa di alam liar.
Ia melemparkan selendang putihnya ke wajahku, hanya mendapatkan reaksi kosong dariku. Namun aroma tubuhnya yang tersisa di selendang itu, merasuk ke dalam indera penciumanku, menggoda hatiku, mencoba untuk membiusku. Ia menghilang ke tengah-tengah lantai dansa di mana tubuh-tubuh berkeringat sedang berkelonjotan dengan pasangan masing-masing.
Kumatikan rokokku dan kuambil selendang putih itu lalu mencarinya di tengah lantai dansa. Ia sedang ada di sana, melingkarkan kedua lengannya memeluk leher seorang lelaki berambut licin yang sedang mengendus telinganya sementara tangan lelaki itu mengusap perut dan pinggangnya. Melihatku muncul, ia tersenyum. Segera meninggalkan pasangan dansanya untuk berpaling padaku. Sementara ia bergerak meraba tubuhku, aku hanya terdiam menilainya tanpa menyimpulkan apapun.
Kutangkap tubuhnya dan kudekap dia dengan kuat. Wajah kami begitu dekat, ia tersenyum lagi, matanya tidak sabar ingin merasakan tubuhku. Namun kulepaskan dia dan kutinggalkan begitu saja. Aku pergi meninggalkan klab malam itu, menyadari sepenuhnya betapa kecewa perempuan itu. Bukan karena aku merasa sayang dia harus berhubungan dengan pembunuh sepertiku, tapi karena perempuan seperti itu sudah terbiasa mendapatkan apa yang dia mau. Dan aku tidak sudi dijadikan salah satu produk yang ia inginkan ketika belanja di mall. Dan tentu saja, bukan karena aku tidak tertarik pada wanita.
Kami bertemu lagi ketika Rufus Shinra menghampiriku di bioskop film lama dan memberiku order langsung untuk membunuh seorang mafia yang mengganggu bisnisnya; Don Corneo. Aku tersenyum. Sudah lama aku ingin membunuh babi ini.
Kuiikat rambut perakku di belakang, dan kugunakan topi kupluk beserta jaket tebal. Tidak lupa sepatu kulit dan sarung tangan untuk meminimalisir tertangkapnya wajahku pada kamera pengintai yang tidak diharapkan. Ini rumah seorang mafia, tentunya dia punya uang untuk membeli benda semacam itu. Dia bahkan tega membakar uang kertas untuk menyalakan rokok.
Rufus telah membuat plot; dengan kata lain, dia telah menulis naskah drama reality show yang harus kumainkan dengan sempurna. Dan dengan kata lain, aku bekerja dengan sekelompok orang. Tidak banyak. Hanya seorang pemuda berambut merah dan seorang pria berkepala botak. Mereka menyebutkan nama tapi aku tidak peduli, untuk apa kuingat? Selain mereka berdua, ada satu orang pemain lagi, seorang aktris.
Begitu melihatku, ia tersenyum seakan masih mengenaliku dengan baik sejak pertemuan pertama kita. "Hai, tak kusangka akan bertemu lagi denganmu, pria besar."
Kutatap dia dari kepala hingga kaki kemudian kembali lagi ke kepala. Tanpa reaksi, aku kembali berpaling pada dua orang tolol yang harus menjadi partnerku malam ini, "apa yang akan dia lakukan nanti? Striping?"
Awalnya mereka berdua saling lirik, namun kemudian berandalan dengan rambut merah itu tertawa keras. "Ya, apa lagi yang bisa dilakukan perempuan sih?"
Mendengar pernyataan bernada sexist itu, Tifa merasa sedikit tersinggung, "Oh, kau tentunya masih ingat ketika terakhir kau kalah bertaruh. Jangan remehkan kelemahan kaum kalian."
Lelaki berambut merah itu berhenti tertawa dan wajahnya terlihat marah. Kelihatannya ia kehilangan nafsu untuk membahasnya lebih lanjut. Kami masuk ke dalam mobil dan sepanjang jalan selama si botak mengendarai mobil, si rambut merah memberikan sedikit intermezo singkat mengenai situasi drama. Rupanya Tifa telah cukup dekat dengan Don Corneo belakangan ini. Don Corneo cukup menyukainya dan mereka berkencan setiap malam.
Kulirik reaksi Tifa, ia merokok dalam damai.
Malam ini harus menjadi malam terakhir Don Corneo. Ketika ia berada dalam keadaan lemah, aku harus menyelesaikan segalanya. Rufus tidak ingin membunuh dengan racun, itu akan membuat polisi mencurigai Tifa dan apa yang dibalik panggung akan terbongkar keluar. Ia butuh seseorang untuk membunuhnya secara langsung, dan memanipulasinya seakan sebuah perampokan. Ada tugas ganda untukku malam ini.
"Don Corneo suka pemanasan di dalam limonya. Di jalan Gavriello, babak ke dua akan dimulai dan berakhir. Semua tergantung kalian, bila limo sudah mencapai kediaman Don Corneo, …" Tifa melirik padaku sambil mengepulkan asap rokok dari paru-parunya ke wajahku. "… game over."
