Sequel : Teleportation

Disclaimer : Yamaha Corp. dkk yang punya Vocaloid. Cerita ini seratus persen milik saya.

Warning : AU, Canon, Typo(s), misstypo(s), GaJe, Fantasy berlebihan, plot nggak jelas, kekerasan tidak jelas!

Don't Like Don't Read

Happy reading, minna-san!


.

.

.

.

Pesta kemenangan kami melawan Porthunts selesai pukul lima pagi (mulai pukul 3 sore).

Rin dan Len sudah terkapar di balkon dan aku sudah tertidur cukup lama di bangku yang sengaja di taruh di balkon. Yah, sebetulnya aku capek berpikir. Bagaimana tidak? Sekarang aku harus mencari cara untuk membuat Kaito tak membenciku.

2 tahun lalu, Tou-san meninggal. 2 tahun lalu aku diculik dan hampir mati. 2 tahun lalu, seseorang menyelamatkanku. Orang itu datang dengan baju yang berlumuran darah. Keesokan harinya, masih dalam keadaan trauma, Tou-san dikabarkan meninggal dibunuh dengan orang yang menyelamatkanku. Orang itu datang ke rumahku. Seorang remaja berumur berumur 13 tahun datang dan meminta maaf padaku tapi aku justru menyerangnya secara membabi-buta.

"AKU MEMBENCIMU! DASAR PEMBUNUH! SEHARUSNYA KAU YANG MATI BUKAN AYAHKU!" teriakku saat itu.

Kaa-san mendorong pemuda itu keluar dari rumah. Ada pandangan serba salah pada mata Kaa-san saat itu dan tatapan bingung pada pemuda itu.

Pada saat itu aku tak bisa mengenali pemuda itu karena dia mengenakan sebuah jaket kebesaran dan rambutnya ditutupi oleh perban dan tudung jaketnya. Yang aku ingat kalau mata pemuda itu agak aneh.

Setelah pemuda itu pergi, Kaa-san bercerita bahwa pemuda itu yang membunuh Tou-san dan nama pemuda itu Shion Kaito.

2 tahun berselang, aku benar-benar lupa soal 'pembunuhan' Kaito pada Tou-san. Tapi ingatanku pada nama Shion Kaito benar-benar belum hilang. Aku tak menyangka dia bisa masuk SMA yang sama denganku bahkan sekelas denganku. Tapi sudah hampir sebelas bulan aku sekelas dengannya, dia itu sulit sekali di dekati.

Aku baru bisa mendekatinya setelah aku mendengar bahwa Shion Kaiko, seorang model dan teleporter, dikabarkan meninggal akibat dibunuh Kaito. Sejak kematian Kaiko-lah, menyeruak fakta bahwa Kaito bisa teleportasi. Dan baru beberapa hari kami kenal dan mulai dekat, kami justru dihadapkan dengan sebuah perang kolosal. Melelahkan...

"... Ku.." panggil seseorang sambil mengguncang bahuku. Kok kayak kenal suaranya?

".. Miku?" panggilnya lagi. Aku membuka mataku, berkedip beberapa kali dan menengok ke arah datangnya sumber suara.

Begitu melihat siapa yang memanggilku, mataku langsung membulat sempurna dan air mata langsung menggenang.

"KAITO?!"

Aku langsung memeluknya. Kaito sekali lagi kaget karena dipeluk olehku (pertama saat perang, masih ingat?)

"Heh, kenapa hobi banget nangis sambil meluk orang lain sih?" katanya.

"Huweee... Gomenasai, Kaito-kun! Hontou ni gomenasai, Kaito-kun!" isakku.

"Eh, minta maaf buat apa?" tanyanya bingung.

"Hontou ni gomenasai!" aku terus meminta maaf tanpa menanggapi Kaito.

Kaito meletakkan kedua tangannya di masing-masing bahuku. "Oh yeah, kau membuat kemejaku basah!"

Tangisku semakin menjadi-jadi. Tiba-tiba dia memelukku. "Jika ini masalah dua tahun lalu, aku benar-benar telah melupakannya. Lagipula, aku memang disuruh Hatsune-san untuk menjagamu."

"Tou-san menyuruhmu untuk menjagaku?" aku bertanya sambil melepaskan diri dari pelukan Kaito.

"Begitulah.. Mengingatkan kau satu-satunya Hatsune yang menggunakan kekuatan bangkitan. Itu 'kan berbahaya. Jumlah kekuatannya tak bisa dikontrol." jawabnya.

"Jadi, kau memaafkanku?"

"Memang pernah buat salah? Ayolah, ini cuma skenario yang dibuat mendiang Hatsune-san."

"Jadi aku tak perlu minta maaf?"

"Sebenarnya perlu," dia menjeda kalimatnya. Alisku bertaut, bingung. "Kau harus minta maaf karena telah membuang negi-negimu di kamar inapku beberapa hari lalu."

Hm, pantas saja aku merasa kehilangan sesuatu sepulang menjenguk Kaito, pikirku.

"Hehe, gomen," ucapku sambil menunjukkan jari telunjuk dan jari tengahku.

Dia mengacak rambutku. "Kita bawa double Kagamine ini dan kita pulang."

Aku mengangguk. "Oh ya, kapan kau keluar dari rumah sakit?"

"Kemarin."

"Padahal terakhir kali aku mengunjungimu kondisimu belum mengalami perkembangan,"

"Kau berharap aku masih koma?"

"Bukan begitu, Baka!"

Dia hendak memarahiku karena telah menyebutnya 'Baka' tapi ditahan. "Hei, coba kau lihat mata kiriku."

Aku mengalihkan pandanganku pada mata kiri Kaito. Warna bola matanya agak keunguan, mungkin efek Teleportation Gate masih bersarang di mata itu. "Apa bengkak? Atau menunjukkan hal-hal aneh, seperti garis-garis aneh?"

"Cuma sedikit ungu pada irisnya. Selain itu, nggak ada hal aneh lagi." jawabku.

"Huh, jadi itu cuma ilusi saja! Takut setengah mampus aku kehilangan mata kiri!"

"Kehilangan mata kiri?"

Kaito membopong Len dan aku membopong Rin untuk turun dan kembali ke dunia nyata.

"Yah, setelah aku meledakan tabung cairan nggak jelas itu, aku merasakan bahwa mata kiriku itu menggelembung bagaikan balon dan BUUMM! meledak. Padahal, kenyataannya tidak. Awal-awal siuman, aku histeris sendiri dan mencari cermin untuk melihat mata kiriku."

Aku tertawa. Aku melihat di balik tangan jas yang dikenakan Kaito, tangan itu masih diperban. Aku mengalihkan pandanganku menuju kakiku, yah, sama saja. Masih diperban dan sedikit menunjukkan gejala mulai sembuh (rasa gatal).

Sesampainya di halaman gedung, aku melihat wanita berambut pirang sedang menunggui Rin dan Len dengan tatapan khawatir. "Kagamine-san." panggil Kaito.

Wanita itu langsung melongok ke arah kami. "Shion-kun, Hatsune-san!"

Dia berlari kecil ke arah kami. "Arigatou, karena telah membawa Rin dan Len turun. Astaga, mereka sangat merepotkan kalian."

"Daijoubu, daijoubu," balas Kaito.

Kagamine Lily, nama ibu dari Rin dan Len, membangunkan kedua anaknya dengan cara mendekatkan makanan kesukaan mereka ke hidung masing-masing anaknya.

"Hn, mikan.." igau Rin sambil mengendus-endus jeruk di depannya. "Mikan! MIKANNN!"

Dia langsung bangun dan menyambar jeruk di depannya. Begitu juga Len. Lily-san menjitak sayang kedua anaknya dan berjalan pulang. Sebelum itu, mereka berpamitan dulu sama kami.

"Terus, sekarang kita kemana?" tanya pada Kaito.

"Sekolah masih libur, aku bingung mau kemana," jawab Kaito. "Oh ya, saat pemberian gelar kau dicari-cari ibumu. Kau tak muncul-muncul jadi ibumu menitipiku lencana ini."

Dia memberikan sebuah lencana berwarna zamrud dengan tulisan 'T-bluer 3107'. "Kau sekarang anggota resmi." kata Kaito.

Aku tersenyum sambil menyematkan lencana itu di gelang kain yang selalu kupakai. Tiba-tiba aku menguap.

"Baiklah, ayo kita pulang." kata Kaito sambil menggandeng tanganku.

Aku merasakan wajahku memanas. "O-oke."

.

.

.


Sesampainya di dunia nyata, Kaito mengusap-usap mata kirinya. "Efeknya bereaksi lagi, 'ya?" tanyaku.

"Entahlah," dia kini sibuk mengusap-usap matanya. "Argh, mataku sakit lagi."

Aku meraih tangan kiri Kaito yang sibuk mengusap matanya dan menahan kelopak mata Kaito dengan jariku.

Iris keunguan itu berubah merah. Ada darah yang keluar dari sisi iris itu. "Jangan diusap! Ta-tahan!"

Aku menarik tangannya untuk berlari menuju rumahku. Sesampainya di rumah, aku membuka pagar rumah dengan bantingan begitu pula dengan pintu rumah.

"Duduk disitu! Tu-tunggu sebentar! Biar aku cari obat yang sesuai di ruang apotek!" ucapku panik. Bagaimana tidak panik, mata kiri Kaito berubah merah semua dan setengah wajahnya ditutupi darah.

"Ka-Kaa-san!" panggilku. "KAAA-SAN!"

Nampaknya Kaa-san belum pulang dari pesta. Mungkin sedang rapat bersama teleporter lain.

Aku mendobrak ruang apotek dan mencari obat penghenti pendarahan yang dibuat khusus untuk pengguna kekuatan supernatural yang dibuat oleh Kaa-san.

"Dimana obat itu!?" gumamku agak kesal sambil mengobrak-abrik laci dengan tulisan 'Mata'. Aku meraih botol setinggi 20 cm berwarna putih itu dan segera berlari menuju ruang depan.

"Kaito, arahkan matamu ke tembok itu." ucapku sambil membuka tutup botol itu. Aku menyambungkannya dengan sebuah pipet steril dan mulai meneteskannya perlahan-lahan ke mata Kaito yang mengalami pendarahan.

"Berapa tetes lagi sih, Mi..ku?" tanyanya sambil meringis.

"Sampai matamu berhenti mengeluarkan darah." jawabku sambil menahan kelopak mata Kaito agar tak berkedip.

Manik biru itu mulai terlihat. Tetesan darah yang sudah bercampur obat membasahi jas yang dikenakan Kaito. "Sabar sebentar lagi, oke? Bola matamu mulai terlihat."

Aku meneteskan obat itu untuk terakhir kalinya pada mata Kaito. Mata itu telah terbebas dari darah. Bagian irisnya yang berwarna samudra itu terlihat indah.

Aku menutup obat tersebut dan mengambil kotak P3K dan baskom berisi air untuk membersihkan wajah Kaito.


.

.

.

Aku menempelkan plester bening untuk merekatkan kassa yang melindungi mata Kaito dari ancaman-ancaman lain. Dia tertidur.

"Tadaima~" ucap Kaa-san sambil membuka pintu dengan bantingan.

"Sssttt!" desisku sambil menaruh telunjuk di depan mulutku. "Okaeri, Kaa-san."

Kaa-san meletakkan tasnya dan melepas muffler-nya. Dia meletakkan punggung tangannya pada kening Kaito.

"Untung saja, suhunya normal," kata Kaa-san sedikit panik. Dia memegang pergelangan tangan Kaito sebelah kiri. "Nadinya pun normal."

"Matanya cuma bereaksi lagi."ucapku menenangkan Kaa-san.

"Habis Kaa-san takut pelindung kekuatannnya pecah. Butuh beberapa lama untuk membangun pelindung kekuatannya." kata Kaa-san.

"Pelindung?"

"Kekuatan Shion-kun benar-benar tak bisa dibendung oleh dirinya sendiri. Banyak sekali reaksi penolakan pada tubuh Shion-kun tapi Shion-kun tak menyadarinya," jelas Kaa-san. "Karena itu Shion-kun selalu melepas kekuatannya dengan cara berteleportasi seenaknya."

'Oh, itu alasannya dia suka teleport seenak udelnya.' pikirku.

"Tapi saat perang kolosal itu kekuatannya benar-benar terlepas secara liar. Belum lagi dia sering menggunakan Teleportation Gate di dunia nyata, sehingga membuat tubuhnya semakin lemah. Kaa-san benar-benar takut jika dia mati." sambung Kaa-san.

"Aku akan menjaganya." ucapku.

"Menjaga siapa?" Kaito tiba-tiba bangun dan menatapku dan Kaa-san bergantian dengan sebelah matanya.

"A-aku mau menjagamu!" aku berkata nyaris berteriak. "Aku mau Kaito selamanya disisiku!"

Ada rona sangat tipis di wajah Kaito yang pucat. Kaa-san menyembunyikan senyumnya dengan mufflernya.

"Kaito-kun sudah berbuat banyak untukku. Biarkan aku membalas kebaikanmu!" aku merasakan wajahku memanas.

"Baiklah, jika itu maumu," jawabnya. "Aku juga akan selalu menjaga Miku."

Kaito bangkit berdiri. "Arigatou, Miku-san, Hatsune-san. Aku harus pulang. Sebentar lagi aku harus kerja sambilan."

Kaito melangkah untuk meninggalkan rumahku. Kaa-san mengejar Kaito dan menarik tangannya. "Terima kasih karena telah menyelamatkan Miku waktu itu. Terima kasih." kata Kaa-san.

"Jangan berterima kasih padaku, Hatsune-san. Sebaiknya, anda berterima kasih pada suami anda. Saya hanya menjadi cameo dalam skenario kehidupan selama ini," balas Kaito. Kaa-san mendaratkan ciuman pada pipi Kaito.

"Aku tahu Akaiko tak pernah melakukan itu padamu. Kau boleh menyebutku Kaa-san kalau kau mau."

"Kaa-san?"

Kaa-san berjingkat sambil mengusap rambut Kaito.

"Aku harus pulang," kata Kaito canggung. Kaa-san sekali lagi mendaratkan ciumnya pada pipi Kaito dan mempersilahkan Kaito pulang. "Jaa nee~"

Aku membalas lambaian tangannya sambil menutup pagar.

Bukan hal aneh jika Kaa-san selalu berbuat baik pada siapapun. Bahkan Mikuo, abangku yang super jaim, selalu dicium Kaa-san setiap harinya (dipipi, tentunya). Aku pun tak luput dari perlakuan kasihnya. Tak heran disukai banyak orang.

"Kasihan sekali, anak itu," kata Kaa-san sambil berjalan masuk ke dalam rumah. "Aku saja menangis saat 'membaca' memorinya saat di koma minggu lalu."

"Kaa-san membaca memorinya? Ceritakan padaku!"

"Aku akan menceritakannya setelah ganti baju. Kau juga ganti baju dulu."

"Oke!"

.

.

.

Mind to Review?