Mayonaka Forest

Sequel of The Mysterious Accident

Disclaimer : Vocaloid and the character belongs to Yamaha. Fanfic ini 1000000% milik BakArisa, si author yang stress pasca ujian!

Warnings : AU, OOC, OOT, MISSTYPO(S), TYPO(S), fanfik detektif gagal lagi buatan author, bahasa alay berantakan.

DLDR! Happy Reading!

.

.

.

.


Musim panas...

Panas...

PA-NAS

P-A-N-A-S

Yap, saat ini adalah musim panas. Sudah beberapa minggu setelah kasus 'Mysterious Accident', kelima (mantan) detektif 'VocaSky' sedang melamun di taman bermain khusus anak-anak TK.

Betul sekali, taman bermain khusus anak-anak TK. Taman bermain yang berisi ayunan, perosotan, jungkat jungkit, panjat-panjatan dan kotak pasir yang besar. Mereka berlima dengan gilanya menghabiskan waktu untuk bengong di taman tersebut sampai-sampai menutup jalan masuknya agar mereka tak terganggu. Mereka berlima mengenakan kacamata hitam dan mengoleskan sunblock ke seluruh permukaan badannya yang tak tertutup baju.

"Panas~" keluh Miku sambil membetulkan kacamatanya.

"Pengen main detektif-detektifan lagi~" Rin menimpali keluhan Miku sambil merenggangkan badannya habis goler-goleran di perosotan selama 30 menit terakhir.

Gakupo membalikkan badannya. Punggungnya kini menghadap langit cerah tak berawan dan wajahnya menghadap papan jungkat-jungkit. "Sama~" timpal Gakupo.

"Tapi, 'kan kita udah milih opsi pertama dengan taruhan jabatan detektif kita. Kalau kita melakukan detektif-detektifan tanpa izin bisa-bisa kita disalahkan." jawab Kaito.

"Izin kita dicabut, 'ya?" Len menghela napasnya, "Habis kita nggak bisa menyelesaikan kasusnya. Sudah resiko, 'kan? Kalau kita gagal, izin kita dicabut."

"Nggak apa-apa, anggap aja itu sebagai cobaan untuk kita." kata Miku.

"Huh, tumben bener," ledek Len. Kaito memberi deathglare pada Len, Len cengengesan nggak jelas di ayunan.

"Eh, aku punya saran," Miku angkat usul, "Kita camping di Mayonaka Forest!"

JDERRRR!

Terdengar suara geledek di telinga kelima remaja beda warna rambut itu, padahal nggak ada kilat.

"Mayonaka Forest?" Kaito mengeluarkan sense horrornya.

"Aku mau!" teriak Rin bersemangat.

"Uji nyali, 'ya?" kata Len sambil meletakkan jarinya di dagu, "Bolehlah, boleh,"

"Kau kenapa BaKaito takut?" Gakupo meledek Kaito.

"'Kan disana cuma ada rumor yang mengatakan disana banyak hantu," kata Miku.

"Emangnya, kalian nggak pernah denger soal perkembangan kasus kita?" Kaito balik bertanya. Dia bergantian menatap setiap pasang mata teman-temannya. Rin, Len, Gakupo, dan Miku balik menatap Kaito bingung.

"Kita mau tahu perkembangan kasus kita darimana?! Kita berempat udah nggak punya hubungan apa-apa lagi dengan kepolisian. Yang punya hubungan itu cuma ayah dan abang narsismu itu," jawab Len.

"Baiklah, akan kuceritakan sedikit." Kaito menghela napasnya, "Pada zaman dahulu~"

Gakupo langsung melempar pasir ke arah Kaito.

"Eh, kita minta cerita yang serius! Bukannya bersyair!" ucap Gakupo kesal.

"Hehe, gomen, gomen, habis kalian serius gitu," Kaito tertawa renyah.

Len, Rin, Gakupo, dan Miku melempar deathglare masing-masing pada Kaito.

"Baik, akan kuceritakan!" Kaito berdehem. "Beberapa minggu lalu, terjadi kasus mutilasi di perumahan Crypton. Dari 200 rumah yang ada di perumahan tersebut, ada lima rumah yang diserang oleh 'pembunuh misterius' itu. Kelima rumah itu adalah masing-masing milik Utane Uta a.k.a Defoko, seorang wanita blasteran Amerika-Jepang dengan nama inisial CUL, sepasang suami-istri dengan nama Yuuma dan Mizki, seorang model bernama Suzune Ring, juga seorang wanita kewarnegaraan Cina, Luo Tianyi."

"Terus apa hubungannya dengan 'Mysterious Accident'?" Rin bertanya.

"Kelima pemilik rumah yang jadi korban mutilasi itu merupakan sanak saudara anggota Perserikatan. Nekomura pada CUL, Utane pada Sonika, Yuuma dan istrinya pada Gumi, dan Luo Tianyi pada Luka dan Suzune Ring pada Haku. Bisa aja 'kan mereka ikut dalam kasus kampret itu."

"Terus apa hubungannya Mayonaka Forest?" tanya Len.

"Perumahan Crypton 'kan dekat dengan Mayonaka Forest. Waktu Jo-san, Mitsu-san, Lui-san, dan BAKaito-nii menyelidik kesana, mereka menemukan bercak darah di jalan setapak menuju Mayonaka Forest."

"Lalu kenapa Jo-san, Mitsu-san, Lui-san, dan Akaito-nii tak tuntas menyelidik Mayonaka Forest?" giliran Miku yang bertanya.

"Mereka tak punya hak untuk menyelidiki sampai sejauh itu dan sampai sekarang kasus itu menggantung seperti itu saja,"

"Nampaknya kita harus bertindak!" seru Miku sampai mangacungkan tinju ke langit. "Ayo kita bangun lagi Detektif VocaSky!"

"Yosh!" sahut Rin dan yang lainnya kompak menjawab seruan Miku.

"Sebaiknya, jangan," seseorang ikut nimbrung pembicaraan remaja detektif itu. "Kalian hanya akan membahayakan nyawa kalian."

Kelima remaja itu mengalihkan perhatian mereka ke arah sumber suara. "MEIKO-SENSEI?"

"Kon'nichiwa, minna!" sapa Meiko-sensei sambil membuka topinya. Meiko menghampiri murid-muridnya itu.

Kelima remaja itu langsung turun dari tempat malas-malasan mereka dan mengambil posisi senormal mungkin.

"Apa yang kalian lakukan disini sampai-sampai memblokir pintu masuk taman bermain untuk TK?" tanya Meiko seolah meledek kelima murid kesayangannya itu.

"Habis kami nggak punya tempat untuk nongkrong lagi. Semua tempat sudah penuh. Ya udah, kita sunbathing disini!" jawab Gakupo.

"Sama serunya dengan di pantai lho, sensei!" timpal Miku.

"Kalian.." Meiko geleng-geleng kepala atas kelakuan murid-muridnya.

"Meiko-sensei, bagaimana kondisi laboratorium rahasia milik sensei?" tanya Kaito.

"Laboratorium itu masih biasa-biasa saja. Habis jarang ada orang yang pakai sih," jawab Meiko-sensei. "Kudengar jabatan detektif lepas kalian di kepolisian dicabut."

Kelima remaja itu langsung menghela napas berat. "Ya, begitulah, sensei," jawab Len menwakili teman-temannya.

"Terus kalian mau memperbaiki reputasi kalian?"

Mereka tersentak lalu beberapa saat kemudian mereka mengangguk.

"Tugas kalian itu cuma belajar," kata Meiko-sensei.

"Habis itu sudah menjadi hobi untuk kami semua." jawab Miku.

"Hobi sih boleh tapi jangan kelewatan," Meiko menggeleng lagi. "Sudah 'ya, Sensei harus pergi. Sayonara, minna!"

"Sayonara, sensei!" balas kelimanya.

"Hati-hati di jalan, 'ya!" seru Rin.

Meiko tak membalas dan hanya memamerkan senyumnya pada kelima muridnya.

"Meiko-sensei, kalau senyum cantik, 'ya." komentar Miku. Rin mengangguk menyetujui komentar Miku.

"Jadi, Mayonaka Forest-nya?" Kaito bertanya.

"Kalau kalian semua setuju, besok siang kita kumpul di rumahku. Bagaimana?" jawab Miku.

"Setuju!" sahut Rin, Len, Kaito, dan Gakupo.

"Sudah harus bawa perlengkapan masing-masing!" tambah Miku.

"Oke, Bos!" jawab yang lainnya.

...

"Terus kita ngapain? Pulang ke rumah?" Kaito buka mulut untuk memecah suara hening di antara mereka.

"Aku mau ke perpustakaan nasional. Kalian?" Len bangkit dari ayunannya.

"Aku ikut, Len!" jawab Rin sambil melari ke arah Len.

"Aku mau ke Manga Café, ada yang mau ikut? Kita baca Aki Sora!" Kaito menatap sisa teman-temannya yaitu Gakupo dan Miku.

"Aku ikut!" Miku ikut ajakan Kaito. "Gakkun mau kemana?"

"Apel ke rumah Yukari aja deh," Gakupo membuat acara sendiri.

"Kalau gitu, jaa nee," pamit Len dan Rin pada tiga temannya.

"Kita juga harus cepetan pergi. Ayo Miku!" Kaito menarik tangan Miku. Pipi Miku merona ketika tangan Kaito menggengam tanggannya. "Jaa nee, BaKamui!"

"Jaa nee, minna!" balas Gakupo.

.

.

.

.


[SKIP TIME.

PLACE : NATIONAL LIBRARY

TIME : 11.30 A.M]


.

.

.

.

(Len POV)

.

.

.

Aku menunjukkan kartu anggotaku pada penjaga perpustakaan bernama Tone Rion itu.

"Rin, kau punya kartu nggak?" tanyaku pada Rin yang berdiri di sebelah ketika Tone-san meminta kartu milik Rin.

Rin mengeluarkan dompetnya dan mengeluarkan kartu perpustakaan lalu menyerahkannya pada Tone-san.

"Kartumu sudah kadaluwarsa. Bagaimana kalau diperpanjang lagi?" tawar Tone-san.

"Eh, ada masa berlakunya?" tanya Rin.

"Ada dong," jawab Tone-san sambil menaikkan kacamatanya, "Bagaimana?"

"Perpanjang aja deh," Rin menjawab sambil menghela napas. "Aku harus bayar berapa?"

"500 yen,"

"Baiklah," Rin mengeluarkan uang dari dompetnya dan menyerahkannya pada Tone-san.

"Tunggu sebentar, Kiiroine-san."

Tone-san memasukkan kartu milik Rin ke dalam benda mirip scanner.

"Tone-san," panggilku. "Kenapa perpustakaan ini sepi sekali?"

"Lho, kalian belum dengar apapun tentang buku akhir-akhir ini?" jawab Tone-san.

"Tentang buku? Memangnya ada apa?" aku balik bertanya.

"Saat ini polisi sedang mencari manga Aki Sora limited edition," kata Tone-san sambil merendahkan suaranya.

Kami berdua melongo. Sejak kapan polisi mau bersusah-payah mencari manga hentai itu?

"Bohong deh~ Saat ini kepolisian sedang mencari buku-buku yang dipakai Perserikatan Penyihir di semua toko buku seantero Jepang. Perpustakaan pun tak luput dari pencarian," jelas Tone-san sambil mengeluarkan kartu Rin dari alat mirip scanner itu. "Mereka mencari buku X-Files yang kau sembunyikan."

"Apa Tone-san memberitahukannya?!"

"Nggak lah,"

"Tone-san yakin?"

"Yakin sepenuhnya yakin."

"Kami mau kesana. Passwordnya nggak diganti, 'kan?"

"Passwordnya 'kan sidik jarimu."

"Hehe, aku lupa. Kami kesana dulu 'ya!" kami meninggalkan meja Tone-san.

"Jangan macam-macam dengan gadis itu, 'ya! Aku bisa mengawasimu dari sini!"

"Aku nggak akan macam-macam!"

Aku menarik tangan Rin menuju sebuah lift. Aku menekan tombol lift dan tak lama kemudian pintu lift terbuka. Kami berdua masuk ke dalam lift.

"Kau menyembunyikan buku X-Files?" tanya Rin padaku ketika lift perlahan naik ke lantai 7.

"Ya," jawabku singkat. "Keren,'kan?"

"Tapi kenapa bisa?"

"Karena aku menyumbangkan buku itu kesini. Ayahku memberikannya padaku."

"Oh, kukira kau berkonspirasi dengan Tone-san untuk menyembunyikan buku penting itu."

"Nggak mungkin lah!"

Disaat yang bersamaan pintu terbuka.

"Ayo, jangan diam disitu!" aku menarik tangan Rin.

"Kenapa ruangannya sempit sekali?" tanya Rin.

"Kau hanya tidak tahu soal ini," aku menarik bibirku, membuat sebuah seringai. Aku menekan sebuah tombol tersembunyi. Sejurus kemudian, muncul layar 10 inci.

[Input Your Password]

Aku menaruh ibu jariku ke layar dan layar tersebut memindai ibu jariku.

'Akses diterima. Kagamine Len. Detektif VocaSky. Silahkan masuk.' ucap AndroVoice buatanku (dan Kaito) itu.

Pintu pun terbuka, menampilkan sebuah ruangan luas berisi buku-buku. "Masuk Rin!" aku mengedikkan kepala isyarat masuk untuk Rin.

"Keren~" gumamnya.

"Kita akan mempelajari kasus 'Mysterious Accident' 30 tahun lalu disini." ucapku. Rin terlonjak kaget sampai-sampai pita rambutnya berdiri.

"Emang nggak bakal dimarahi?"

"Tenang saja," aku menjeda kalimatku. "Ini perpustakaan ayahku yang dihibahkan padaku."

Mata Rin berbinar menyilaukan. "Aku mau disini sampai besok!"

Aku hanya bisa mengulas senyum.

.

.

.

Entah sudah berapa jam kami berdua ada disini. Tak ada satu pun dari kami berdua yang bersuara. Hanya ada suara gesekan kertas ketika halaman dibuka satu demi satu juga suara ketukan jariku atau jari lentik Rin.

Aku sesekali mengalihkan pandanganku dari buku ke wajah Rin. Aku paling sering melihat Rin menautkan alisnya sampai dahinya berkerut, mulut yang sedikit dikerucutkan dan jari di dagunya.

"Rin," panggilku. Rin tidak bergeming. "Rinny~"

"Ap-apa?!" jawabnya kaget. "Jangan mengagetkanku Len!"

"Habis kau terlalu serius gitu," jawabku sambil terkekeh geli. Rin menggembungkan pipinya lalu membuka kembali bukunya. "Kau baca apa sih?"

"Unidentified Flying Object alias UFO." balasnya tanpa menatapku.

"Kau menyukai hal-hal seperti itu, 'ya?"

"Waktu SMP sih suka. Sekarang udah nggak gitu lagi,"

"Untung dibawa kesini."

"Ha, iya. Aku beruntung bisa baca buku langka seperti ini disini." Rin tersenyum padaku.

Aku marasakan wajahku memanas. Aku ini kenapa?

"Len, aku haus. Punya minuman nggak?" tanya Rin yang langsung membuatku kembali ke dunia nyata.

"Pu-punya tapi cuma air putih dingin. Nggak apa-apa, 'kan?"

"Nggak apa-apa."

Aku mengeluarkan botol air putih dari kulkas mini di dekat mejaku.

"Arigatou," ucap Rin ketika aku menyerahkan botol air minum tersebut. Dia meneguk air putihnya dan kembali membaca bukunya, begitu pun denganku.

"Rin," panggilku. Rin langsung menolehkan kepalanya kepadaku. "Apa?" tanyanya.

"Kita memang menghadapi sebuah X-Files."

"Maksudnya?"

"Kita menghadapi kasus paranormal,"

"Pa-paranormal?"

"E-entahlah. Jangan dulu dipikirkan, ini cuma persepsiku saja. Hehehe,"

Rin ikutan tertawa sambil menutup bukunya.

"Ehm, Len. Sebelum kita ke Mayonaka Forest, kenapa kita nggak cari tahu satu dua hal tentang korban mutilasi itu?"

"Boleh. Ayo, ikut aku. Kita pindah ke ruang komputer di bawah." aku beranjak dari kursiku dan menyimpan buku X-Filesku. Tiba-tiba Rin menarik tanganku dan mengambil buku X-Files itu.

"Boleh kufotokopi?" tanyanya meminta izinku.

"Asalkan nggak fotokopiannya nggak bocor kemana-mana sih, boleh saja." jawabku.

Rin berjalan ke mesin fotokopi dan mulai memfotokopi halaman tentang 'Mysterious Accident' 30 tahun lalu. "Kau menyimpan rahasia pada ahlinya."

Setelah Rin memfotokopi halaman X-Files tersebut, aku kembali menyembunyikan buku tersebut dan turun bersama Rin ke ruang komputer.

.

.

.

Sesampainya di ruang komputer, aku langsung menghidupkan sebuah komputer dan menghidupkan router Wi-Fi sembunyi-sembunyi.

"Jadi, bagaimana cara mencari biodatanya?" tanya Rin to the point. "Kupikir hanya si maniak es krim itu saja yang bisa melakukannya."

Len menyeringai. "Ckckck, Rin. Jangan salah sangka dulu. Kemampuan hackingku dengan kemampuan hacking Kaito hampir sama."

"Ohhh," Rin membulatkan mulutnya. "Jadi, caranya?"

"Menurutmu siapa yang harus kita cari tahu?" aku balik bertanya.

"Hmm, bagaimana kalau cewek kewarnegaraan Cina itu,"

"Siapa namanya?"

"Luo Tianyi?"

Aku merubah bahasa pengetikkan komputer dengan bahasa Cina agar bisa menulis nama Luo yang menggunakan kanji Cina.

"Kau buka..." Rin membaca nama situs yang tertampang di layar komputer. "Departemen Kependudukan. Apa nggak berbahaya?!"

Aku tertawa. "Tenang saja, ini urusan mudah kok."

Aku mengetikkan nama Luo di kolom pencarian.

"Hasil banyak. Kita butuh sesuatu yang lebih spesifik lagi." ucapku.

"Bagaimana kalau mencari nama lengkap Luo via nama Luka."

Aku menjentikkan jariku dan menghapus nama Luo dari kolom pencarian dan menggantinya dengan kata 'Megurine Luka' (aku mengembalikan kembali bahasa penulisan komputer ke bahasa Jepang).

Setelah 'searching' beberapa detik muncul sebuah kalimat yang diberi warna biru dan foto di sampingnya, data Luka telah ditemukan. Aku mengklik data tersebut.

"Eh, data luka belum direvisi? Dia 'kan sudah meninggal." tanya Rin.

"Nampaknya belum. Sekalipun sistem kependudukan disini dengan sistem online, pihak kependudukan pun pasti punya kelemahan. Salah satunya ini, telat meng-update data." jawabku panjang-lebar.

"Tapi ini 'kan sangat merugikan negara." lanjut Rin. Aku hanya menggelengkan kepala sambil mengedikkan bahu. Aku mengklik tulisan 'Data Keluarga'.

"Luo ternyata sepupunya Luka," ucapku.

"Dan namanya ditulis dalam huruf katakana," sambung Rin. "Pantas saja tadi tak ketemu."

Aku memblok nama Luo, mengcopy-nya dan menyalin ke kolom pencarian. "Bingo!" seruku setelah nama Luo tampil di layar.

"Rin, tolong nyalakan printer-nya."

"Ha'i!"

Rin bangkit dari kursinya dan menyalakan printers. Aku menekan dua buah tombol shortcut pada keyboard dan data tersbut mulai dicetak oleh printer. Sambil menunggu semua data tercetak, aku mencari data-data lain tentang korban mutilasi itu.

"Hmm, Luo datang ke Jepang untuk melanjutkan sekolah." kata Rin membaca hasil print data Luo.

"Di universitas mana?" aku bertanya sambil memutar kursiku untuk menghadap Rin.

"Tak ada data tentang dimana dia bersekolah," jawab Rin sambil menggelengkan kepala. "Lagipula, dia membeli rumah di Crypton hanya sebagai tempat singgah saja, menurutku. Tempat tinggal lainnya lumayan membuatku bingung. Ada yang di Kanto, Chiba, Minato, Tokyo, Akita, sampai Osaka pun ada. Dia pernah tercatat di hampir 8 wilayah prefektur dan 44 prefektur sub-nasional di Jepang."

"Hah? Dari 9 wilayah prefektur dan 47 prefektur sub-nasional di Jepang dia berhasil tinggal di 8 wilayah dan 44 prefektur?! Dia ini tinggal nomaden, 'ya!" seruku.

"Mungkin saja 'kan dia traveller." kata Rin sambil tertawa.

"Kalau dia masih kuliah, nggak mungkin 'kan kalau dia berhasil menjajaki 8 wilayah dan 44 prefektur?!" aku kembali ke komputerku. "Daerah mana yang tak dikunjunginya?"

"Hokkaido tak pernah diinjak. Hyougo, Tottori, dan Ouita belum dikunjungi," jawab Rin. "Sekarang kau sedang cari apa?"

"Aku sedang mencari universitas tempat Luo belajar."

"Universitas di Jepang itu banyak sekali!" Rin berseru sambil mengacung-acungkan kertas print data Luo. "dan kenapa kau mencari data sesusah itu di Google dan Yahoo!"

"Mengerjakan sesuatu itu harus se-simple mungkin," ucapku sambil menekan tombol-tombol di keyboard dengan cepat.

"Maksudnya?"

"Jika kita masih punya search engine mudah seperti Google atau Yahoo, kenapa kita harus capek-capek mencari di situs lain?"

"Lalu, apa yang akan kau kerjakan dengan dua search engine itu?"

Aku tak menjawab masih konsen dengan pekerjaanku.

"L-A-L-U?" tanya Rin lagi, kini dieja dan penuh penekanan.

"Karena Luo seorang mahasiswi, dia pasti tak akan lepas dari internet dan e-mail."

"Benar..."

"Menurut sebuah survey, seseorang bisa mengirim 2540 e-mail setahun-"

(author : Ini survey bohogan untuk kepentingan cerita! Jangan dipercaya~)

"Kau dapat survey darimana?" potong Rin sambil menopang dagu dan menatap serius padaku.

"Jangan dipotong dulu." sahutku sambil tersenyum miring.

"Gomen," dia mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya.

"Jika seseorang mengirim e-mail sebanyak 2540 dalam setahun, itu sudah dengan e-mail di diskusi dan milis, berarti dalam sebulan orang tersebut mengirim 212 e-mail dan dalam sehari bisa mengirim 7 sampai 8 e-mail," jelasku panjang lebar. Aku melirik Rin yang duduk di sebelahku sambil mengurut-ngurut pelipis. "Katakanlah orang tersebut telah menggunakan internet selama lebih dari 5 tahun.. katakanlah dari SMP sampai kuliah tingkat 4... hmm, berarti ada 10 tahun, berapa e-mail yang dikirim orang tersebut?"

Aku menghentikan kegiatanku sejenak lalu menatap Rin yang sedang menghitung di luar kepala. "Pinjam kalkulator." Akhirnya kalimat itu meluncur dari bibirnya, pertanda dia menyerah akan hitungan yang kuberikan.

"Jawabannya 25400." aku menjawab pertanyaanku sendiri sambil terkikik geli dan kembali ke pekerjaanku.

Rin mendengus sebal. "Buh, padahal aku hanya perlu menambahkan angka '0' di angka e-mail setahun!" gumamnya sebal.

"Back to work," kataku sok-sok-an dalam bahasa Inggris. "Berarti kita punya kemungkinan 25400 untuk mencari Luo di internet via e-mail."

"Itu banyak sekali, Len!" seru Rin. "Lagipula kau tak tahu e-mail Luo."

"Jangan termakan iming-iming keamanan yang diberikan sebuah situs internet terlebih jika kau tak pernah meng-update keamanan akunmu. Karena di internet tak ada ruang pribadi. Maka dari itu dimana-mana banyak hacker. Itu fakta tentang internet, kau tak tahu, 'ya?"

Rin mendengus lagi. Aku nyengir tanpa dosa sambil mengacak rambut Rin dengan tangan kiriku. Sudah berapa kali coba, aku membuat Rin mati kutu dengan pengetahuanku tentang internet?

"Sudahlah, sekarang kita hanya perlu tahu sudah berapa lama Luo disini,"

"Dan kau akan mencarinya di kantor imigrasi, 'kan?" tebak Rin sambil menusuk pipiku dengan telunjuknya.

"Haha, kini tebakanmu benar!"

Rin tersenyum senang.

Aku menjebol situs imigrasi dan mencari data Luo dan tak sampai semenit aku telah menemukan data Luo.

"Luo sudah empat tahun di Jepang." kata Rin setelah melihat data imigrasi Luo.

"Berarti kemungkinan kita mendapatkan data yang lebih spesifik tentang Luo tingaal 10160."

"Masih banyak! Sangat banyak malah!" Rin menghenyakkan diri ke kursi lagi sambil mengusap muka.

"Nggak terlalu banyak. Jumlahnya masih puluhan ribu, belum ratusan ribu." kataku enteng dan Rin menjitakku.

Aku menjalankan sebuah program yang dibuat oleh Double Shion (Shion Akaito dan Shion Kaito) dan memfilter 10160 e-mail dengan pembatas pencarian 'Luo Tianyi'.

"Sisa datanya tinggal 26!" seru Rin setelah program filter e-mail itu selesai menyaring 10160 e-mail.

"Huuah, aku capek!" aku pura-pura menguap. Rin mendorong kursiku dan mengambil alih pekerjaanku tanpa disuruh.

"Aku ambilkan minum, ya!" aku bangkit dari kursi dan berjalan menuju kulkas. Aku mengambil dua kaleng soda dan buru-buru kembali ke komputer kami.

"Dapatkan data yang banyak!" ucapku sambil meletakkan kaleng soda.

"Ha'i, Capten!"

Aku dan Rin pun tertawa bersama.

.

.

.

.

(Kaito POV)

.

.

.

Aku dan Miku berada di sebuah cafe khusus otaku di pusat kota Crypton. Yah, berhubung kami tak ada kegiatan maka kami berdua berniat akan menghabiskan waktu kami disini, sampai tokonya tutup.

Aku dan Miku menarik beberapa buah manga yang disimpan di meja lain dan menumpuknya di atas meja kami (kami sempat dimarahi manager cafe tapi entah bagaimana Miku membuat manager cafe itu diam (aku nggak mau tahu)). Kami sengaja mengambil meja di sudut cafe agar dekat dengan AC dan inilah kegiatan kami selama dua setengah jam terakhir.. membaca manga.

"Nee, Kaito~" panggil Miku sambil merenggangkan badan.

"Aku bosan," Kaito mengatakan hal yang ingin kukatakan.

"Idem."

"Terus kita ngapain? Aku udah bosan baca manga Pupa. Baca manga psychological-horror di siang bolong gini nggak cocok, 'ya?"

"Gimana kalau kita main ke Perumahan Crypton, kalau nggak salah di sana tempat tinggal kakekmu, 'kan?"

"Disana nggak ada sinyal internet." kata Kaito sambil mengembalikan komik-komik ke laci di bawah meja.

"Eh, mau mengantarku nggak?"

"Kemana?"

"Service keypad handphone kesayanganku." aku menunjukkan handphone kesayanganku.

"Kalau mau service kenapa nggak di rumahku saja?"

"Memangnya kau bisa?"

"Masalah seperti ini," Kaito mengetuk-ngetuk jarinya di keypad sambil menyeringai. "masalah cetek buatku."

"Serius?"

"Ya sudah kalau tak percaya," Kaito mengedik bahunya tak peduli. "Tanggung sendiri 'ya biaya perbaikan di tempat service itu 50000 yen."

"Apa?!"

"Kalau begitu ayo ikut! Khusus buat Miku, biaya perbaikannya gratis."

Aku dan Kaito beranjak dari meja kami lalu berjalan menuju kasir untuk membayar bill kami. Setelah itu kami keluar dari cafe.

Sedang asyik-asyiknya kami ngobrol tiba-tiba Kaito menunjuk seorang pria berambut merah yang sedang foto-foto bersama teman-temannya.

"Miku, Miku, liat deh! Laki-laki yang rambutnya merah itu narsisnya tiada tara!" teriak Kaito yang secara langsung meledek abangnya. "Liat sekarang dia sedang selfie! Aneh ya! Kameranya nggak rusak-rusak!"

Kaito tertawa binal, menghina kelakuan abangnya. Aku cuma bisa masang wajah faceplam sambil ketawa garing. Sebegitu senangnya kah Kaito meledek abangnya yang narsis?

BLETAK! Kepala Kaito dijitak oleh abangnya!

"Wah, si narsis muncul!" Kaito masih gencar meledek abangnya. Jo-san, Mitsu-san, dan Lui-san ikut tertawa bersama Kaito.

Akaito menyebarkan aura hitamnya ke seluruh penjuru jalan. Kaito masih tertawa sementara tiga detektif muda resmi kepolisian itu sudah berhenti tertawa.

"Baiklah, aniki. Aku punya satu permintaan supaya aku berhenti mentertawakanmu selamanya."

"Apa itu?"

"Berhentilah merusak nama baik keluarga Shion."

"Ah, Kaito adik kesayanganku,"

Belum beres Akaito berbicara, Kaito udah muntah duluan.

"Aku ini tidak mempermalukan nama keluarga. Justru, aku ini membuat keluarga Shion bangga. Pasalnya, aku ini anggota kepolisian terganteng di seluruh Jepang!"

Tanganku ditarik Kaito dan dia membawaku menjauh dari tempat abangnya mengumumkan kegantengannya. Jo-san, Mitsu-san dan Lui-san muntah di tempat.

"Dasar, kenapa dia bisa senarsis itu sih?!" dumel Kaito.

"Segitu sebelnya sama abangmu?"

"Tingkat kebencianku pada sifat narsisnya setinggi langit! Mana hentai pula!"

"Bukannya kau sama saja?"

"Aku cuma pernah baca manga tema hen*** doang kok, majalah aku nggak pernah koleksi!"

Aku cuma tertawa ketika Kaito menceritakan betapa narsisnya abangnya yang merupakan seorang ahli komputer di kepolisian itu.

.

.

.

.

Sesampainya di rumah Kaito, aku bertemu dengan Nyonya Shion yang sedang menyiram tanaman cabai kesayangannya.

"Tadaima~" kata Kaito sambil menutup pagar rumahnya.

"Baka! Aku masih di luar tahu!" protesku. Aku menggembungkan pipiku. Kaito membuka pintu pagarnya sambil ketawa nggak jelas dan mempersilahkanku masuk.

"Aduh, Miku-san, maaf 'ya?" kata Akaiko-san. "Anak ini emang hobi bercanda nggak jelas."

Aku menyembunyikan tawaku ketika melihat pertengkaran kecil antara ibu dan anak laki-lakinya.

"Ittai! Udah ah, malu diliat tetangga. Aku mau masuk dulu, mau memperbaiki handphone Miku. Ayo, Miku! Kita masuk!"

"Ha'i!" jawabku. "Permisi, Shion-san."

"Ah, ha'i, ha'i!"

.

.

.

Aku pertama kalinya masuk ke kamar cowok. Meskipun aku sering main ke rumah Kaito tapi aku tak pernah kepikiran soal masuk ke dalam kamarnya.

Berantakan!

Itu adalah hal pertama yang terlintas di pikiranku begitu kakiku menginjak kamar Kaito. Oke, walaupun kamarnya berantakan dengan buku pelajaran dan buku-buku lain yang ada hubungannya dengan teknologi tapi apa dia tidak kerepotan saat mencari buku yang penting?!

Aku memungut satu per satu buku yang menghalangi jalan dan menumpuknya di atas sebuah meja. Jumlah buku yang kukumpulkan mencapai 15 belas buku dengan rata-rata per satu buku bisa berisi 500 halaman. Lima belas buku belum sampai seperempat kamar. Padahal ukuran kamar Kaito itu nggak gede-gede amat. Aku baru tahu kalau dia suka baca buku.

"Mana handphone-mu?" tanya Kaito tiba-tiba.

"Ini," aku mengeluarkan ponselku. Kaito mengambil ponselku dan berjalan menuju meja belajarnya dan mulai memperbaiki ponselku.

"Miku, kau tahu tidak, kau wanita pertama yang berhasil memasuki wilayah pribadiku," kata Kaito tanpa melihatku sama sekali.

"Terus?"

"Yah, seharusnya kau bersyukur masuk ke dalam kamar seorang calon professor."

"GR lu!" ledekku sambil tertawa. Kaito ikut tertawa. Aku melirik ke koleksi CD-ROM di depanku. Ada sedikitnya 50 tumpukan.

"Isi CD-ROM itu he***i semua, 'ya?" tebakku bercanda.

"Bukanlah!" sergahnya. "Yang punya CD-ROM bokep itu cuma orang yang setahun lalu masih tidur di kamar sebelah."

"Maksudmu Akaito-nii?"

"Aku setuju jika kau memanggil aniki-ku dengan sebutan BAkaito-nii," ucap Kaito sambil memutar sekrup pada ponselku. "Dia itu brocon."

Aku diam-diam mengambil ponselku yang lain dan menelepon Akaito.

"Moshimoshi, nii-san!" sapaku. Aku memasang loudspeaker dan jawaban dari Akaito pun terdengar. Kaito meletakkan peralatannya dan memutar kursinya. Dia memelototiku dengan... nggak tahu ah! Ekspresi matanya nggak jelas!

"Akaito-nii, aku baru tahu kalau kau brocon akut," aduku sambil cekikikan. "Kata otouto-mu tersayang."

Aku meletakkan ponselku di lantai.

"KAITOOO, KAU SENDIRI YANG BROCON!" teriakan Akaito terdengar dari speaker ponselku.

"WOY, BANG! LU SENDIRI YANG BROCON! COBA NGAKU, SIAPA YANG SELAMA INI SELALU 'MOTO-IN GUE KALO GUE LAGI TIDUR, ELU, 'KAN?"

"LHO? ITU 'KAN KAU SENDIRI YANG MINTA! LU BILANG, LU PENGEN PUNYA FOTO BOKEP SENDIRI!"

"SORRY, BANG, TAPI GUE MASIH WARAS! GUE NORMAL! BUKTINYA, GUE MASIH SUKA SAMA CEWEK!"

"SIAPA? PASTI HATSUNE-SAN, 'KAN?"

"..."

Kaito diam. Aku yang sedari tadi tertawa mendengarkan keributan yang dibuat Shion bersaudara juga ikutan diam. 'Kenapa jadi bawa-bawa gue?'

"NAH, 'KAN, UDAH GUE BILANG KALAU LO HOMO! LO CUMA SUKA SAMA GUE YANG HOT INI!"

"NAH, KETAHUAN 'KAN KALO YANG BROCON ITU ELU!"

"Eh, kita bukan lagi ngeributin soal siapa yang homo, 'kan?"

"Bukanlah, Baka!" balas Kaito. "Lagian siapa yang homo diantara kita?"

"Nggak ada sih,"

"Awal pembicaraan kita itu tentang siapa yang brocon, baka! Dan elu berhasil mengakui kalo elu brocon."

"Nggak ada. Kalo gue brocon berarti gue nggak bisa jauh-jauh dari elu. Buktinya kita udah dua tahun pisah dan gue udah tunangan."

"Kapan elu tunangan, BAkaito?"

"Dua hari kemarin,"

"Selamat 'ya! Bagi duit dong~"

"Nanti dimasukkin ke ATM punyamu. Eh, BaKaito, gue lagi punya project."

'Lho, kenapa mereka tiba-tiba akur? Duh, nggak ngerti hubungan kakak-adik deh,' pikirku. 'Biarlah, mereka berdua akur dulu. Toh, pulsa gratisan.'

"Aku masih ada kerjaan." Kaito berniat menyudahi pembicaraan.

"Miku, makasih sudah menyatukan jiwa kami lagi!" Akaito berseru.

"Nggak sudi gue bersatu sama elu, brocon!"

TUT... TUTT.. TUTT..

Sambungan diputus oleh pihak Akaito.

Kaito memutar kembali kursinya dan dalam lima belas detik dia telah selesai menuntaskan pekerjaannya.

"Nih, handphone-mu sudah selesai." ucapnya sambil menyodorkan ponselku.

"Arigatou," balasku.

Dia membereskan peralatannya dan memasukkannya ke dalam sebuah lemari yang berisi perangkat-perangkat komputer lengkap. Kaito menutup pintu lemari tersebut dan tanpa dia sadari sebuah DVD jatuh. Aku buru-buru menangkapnya.

"Aku ambil camilan di bawah sebelum kita membuat rencana tentang Mayonaka Forest."

"Ha'i,"

Kaito keluar dari kamarnya.

"Kai!" panggilku. "Boleh kupakai player-mu?"

"Tentu!" serunya.

Aku menyalakan DVD player milik Kaito berikut televisinya. Pintu terbuka tapi bukan Kaito yang datang melainkan ibunya.

"Miku-chan, apa itu DVD tanpa nama?" tanya Akaiko-san sambil duduk di sebelahku. Aku mengangguk mengiyakan. Akaiko-san tersenyum, lebih tepatnya menyeringai.

Aku penasaran kenapa Akaiko-san bisa menyeringai seperti itu karena aku memperlihatkannya sebuah DVD tak bernama. Aku memasukkan DVD itu ke dalam player dan menekan tombol 'play' pada remote.


[Kaito : "Kalo udah gede aku mau kayak Nii-chan! Jago main bola!"

Akaito : "Nggak boleh! Jangan nilu-nilu bakat olang lain!]


Miku facepalm. Umur Akaito dan Kaito berbeda 2 tahun. Katakan jika di video ini Akaito berumur 6 tahun dan Kaito 4 tahun, darimana bocah-bocah ini telah mengenal kata 'bakat'? Sampai nggak boleh ditiru pula.


"Aku sayang Nii-chan,"

"Aku juga sayang Kai-chan,"

{#video : Mereka pun berpelukan#}


Aku tak kuasa menahan tawaku. Tubuhku bergetar saking tak kuatnya aku menahan tawa. Sudah lebih dari 10 kali aku mengulang video di-scene yang sama. Belum lagi, wajah imut Kaito yang membuatku nyaris mimisan. Kaito kawaii~

Aku nggak peduli jika kalian menyebutku Shota-con atau semacamnya. Persetan dengan hal itu.

Aku melirik Akaiko-san. Mata Akaiko-san begitu berbinar, mengingat masa-masa imutnya Kaito. Dia menyeka air mata di sudut matanya.

Pintu pun terbuka kembali dengan sebuah bantingan. Disitu Kaito mimisan dengan camilan di tangannya.

"Kenapa video bejad itu masih bisa diputar?" tanya Kaito dengan wajah nelangsanya.

"He, itu karena Kaa-san buat DVD itu anti-gores," jawab Akaiko-san sambil tersenyum tanpa dosa.

Kaito tersenyum miris. "Ayo, Miku, kita selidiki kasus baru kita."

"Iya," jawabku. "Bolehkah aku meng-convert video itu agar aku bisa menontonnya di ponselku?"

Kaito menatapku sinis. Aku nyengis plus masang wajah watados.

"Kaa-san, masakan Kaa-san di bawah gosong," lapor Kaito. Akaiko-san langsung berlari terbirit-birit menuju lantai bawah (mungkin sambil loncat karena ada suara gedebuk keras di lantai bawah (Shion family kok rada-rada semua, 'ya? (kecuali Shion Kaitou, sang pemimpin keluarga))).

Kaito menyalakan dua buah laptop dan memberiku satu. "Ayo, kita mulai penyidikan!"

"Ha'i!"

.

.

.

(Gakupo POV)

.

.

.

"Ano, gomen, Gaku-koi, aku harus pergi ke New York untuk belajar disana." kata Yukari sambil menggenggam tanganku.

"Emangnya nggak bisa SMA disini?" tanyaku.

Yukari menggeleng. "Aku dapat beasiswa dan aku nggak akan menyia-nyiakan kesempatan itu."

"Kalo gitu kita LDR-an?"

Yukari menggeleng lagi. "Aku nggak bisa LDR-an. Mendingan kita putus aja."

JDERRR! Masa' opening pembukaan sudut pandang gue harus acara drama putusnya gue dan Yuka-chan?!

"Kenapa harus putus?" tanyaku pelan. Genggaman tangan Yuka-chan mengendur. "Aku nggak bisa ngebayangin kalo kamu nikung di belakang aku! Pokoknya kita putus!" balas Yuka-chan sambil berlari masuk ke dalam rumahnya.

BLAM! Pintu rumahnya ditutup dengan sebuah bantingan dan suara isakan Yuka-chan terdengar.

Kok drama-sinetron banget, 'ya?

Ah, salah 'kan si author yang keracunan sinetron.

Aku menghela napasku dan berjalan pulang. Ngapain maksa-maksain Yuka-chan buat nggak mutusin gue? Cewek diajak balikan tuh susahnya minta ampun.

Aku meraih ponsel di saku celana dan menelepon Yohio, sepupuku.

"Sip, datang aja ke rumahku. Bawa sekalian kelompokmu!" kata Yohio dari seberang sana.

"Kelompok? Oh, maksudnya Len dan yang lainnya?"

"Ya iyalah. Itu 'kan genk-mu dari zaman SMP."

"Baiklah, sebentar lagi aku akan kesana. Titip salam buat IA-nee, 'ya!"

"OK!"

Sambungan pun terputus.

Aku mengaktifkan aplikasi telepon multi-receiver dan menelepon Rin, Len, Miku dan BaKaito. Sambil menunggu semua panggilan tersambung, aku menyambung earphone-ku pada handphone.


(Miku : Connected)

(Kaito : Connected)

(Rin : Can't be connected)

(Len : Can't be connected)


Lho, Rin dan Len tak bisa dihubungi.

"Check, check, BaKaito? Bisa mendengarku?" tanyaku.

"Kedengaran, BaKamui." jawab Kaito.

"Rin sama Len, nggak bisa dihubungi." laporku.

"Emangnya ada apa? Apa ada info penting?" Kaito bertanya.

"Ehm, bisa dibilang penting, bisa dibilang nggak penting juga."

"Bisa sebutkan alasan kenapa hal yang ingin kau sampaikan itu penting dan tidak penting?" giliran Miku yang bertanya.

"Penting, karena kita bisa menyelidiki Mayonaka Forest. Dan tidak penting, karena kita harus pergi ke rumah Yohio-nii."

"Kami juga sedang menyelidiki Mayonaka Forest. Kemungkinan Rin dan Len juga melakukan hal yang sama," jawab Kaito. "Akan kusambungkan kau dengan duo blonde itu."

Aku mendengar suara papan keyboard dipakai mengetik dengan kecepatan dewa.


(Rin : Connected)

(Len : Connected)


"Heh, kalian lagi dimana sih?" tanya Kaito pada Rin dan Len.

"Perpustakaan nasional. Mengumpulkan data," jawab Rin.

"Baiklah, apa kalian setuju pergi ke Mayonaka Forest hari ini?" tanyaku.

"Hari ini juga?" terdengar suara penolakan dari Miku. "Kenapa nggak besok aja? Biar hari ini kita mengumpulkan data sebanyak-banyaknya!"

"Aku setuju dengan Miku." kata Rin dan Len bersamaan.

"Yah, kita nggak boleh menjalankan misi secara asal-asalan. Terlebih jabatan kita udah dicabut." Kaito menimpali.

"Huh, terserah kalian deh. Aku akan langsung mengumpulkan info sebanyak-banyaknya dari orang-orang yang tinggal dekat Mayonaka."

"Haha, melakukan pekerjaan seperti biasanya? Terjun langsung ke lapangan." Len mengataiku sambil tertawa.

"Sudah menjadi darahku, Len," jawabku. "Baiklah, sampai ketemu besok. Jaa!"

"Jaa!"

Aku menekan tombol 'End Call' pada layar ponselku.

Aku berjalan keluar dari area perumahan Yuka-chan dan memberhentikan sebuah taxi yang kebetulan lewat.

"Perumahan Crypton." ucapku memberitahu tujuan pada supir taxi.

.

.

.

Sesampainya di rumah Yohio-nii, aku tak bisa menemukan pria berambut pirang pasir itu atau tunangannya yang berambut nyaris sama itu.

Aku sudah mengelilingi satu rumah sambil meneriaki nama mereka tapi mereka tak juga kutemukan.

Aku berdiri di atas loteng dan memandang Mayonaka Forest yang berhadapan langsung dengan loteng ini. Kenapa Yohio-nii mau tinggal disini sih? Aku menengok ke bawah, melihat halaman belakang rumah di sebelah rumah Yohio-nii. Ada pita polisi dipasang disana. Mungkin itu adalah rumah salah satu korban mutilasi itu.

Ponselku tiba-tiba berdering. Rupanya Yohio-nii memanggil. Aku menekan tombol berwarna hijau dan mendekatkan ponsel ke telingaku.

"Moshimoshi?" sapaku. "Ne, Gaku. Sudah sampai rumah?" balas wanita di seberang sana.

"IA-nee?"

"Tebakanmu tepat! Kupikir kau sudah lupa denganku!"

"Mana bisa aku melupakan orang yang telah memberiku Akushiro padaku,"

"Wah, wah, pedang kesayanganku masih disimpan."

"Aku selalu memakainya untuk latihan. Pedang ringan tapi tajam,"

"Haha, karena aku kelahiran keluarga samurai maka aku membuat pedang itu dengan tanganku sendiri. Tapi semenjak aku mengalami putus syaraf pada tangan kanan, sudah saatnya aku menghibahkan Akushiro pada orang lain dan pedang itu jatuh ke tanganmu."

"..." aku tidak tahu harus merespons apa. Masalahnya IA-nee sangat baik mau memberikan pedang kesayangannya, Akushiro, padaku yang notabenenya adalah sepupu calon suaminya.

"Ha, lupakan masalah itu," kata IA-nee memecah keheningan di telepon. "Kami sedang ada di depan Mayonaka Forest. Kau sedang ada di rumah kami, 'ya?"

"Ya."

"Bisa bawakan kamera handycam yang kusimpan di ruang tengah kemari?"

"Tentu. Aku akan melakukan apapun untuk orang yang telah memberikan Akushiro padaku."

IA-nee tertawa. "Baiklah. Cepat kesini. Akan kami tunjukkan sesuatu yang menarik."

"Oke,"

"Kututup dulu teleponnya. Jaa nee~"

"Jaa."

Sambungan pun terputus. Aku memutar badanku dan siap turun ke bawah. Tapi sesuatu yang menarik telah menarikku kembali untuk melihat rumah disampingku.

Yap, melalui jendela yang dibiarkan terbuka di rumah itu aku melihat sebuah cermin. Cermin yang sangat besar yang menutupi sebuah dinding. Aku mengambil foto cermin tersebut dari sudut yang sulit (aku mengaitkan kaki pada teralis dan memfoto cermin tersebut dari luar teralis sambil menggantung).

Baru saja aku mau memotret cermin tersebut, salah seorang penghuni perumahan menunjuk-nujukku.

"Gila, ada monyet warna ungu. Bisa selfie pula!" serunya sambil memotretiku.

"Heh, aku ini manusia. Bukan monyet! Lagi pula, siapa yang selfie?!" balasku kesal. "Lebih kau pulang sana!"

"Cih, monyetnya galak bener!" orang itu berdecih sambil melenggang pergi.

Setelah mendapat fotonya, aku segera ke posisi semula dan mengambil handycam dan cabut ke Mayonaka Forest.

.

.

.

"Yohio-nii! IA-nee!" teriakku memanggil dua manusia dengan warna rambut nyaris tapi beda tipis(?). Disitu Yohio-nii sedang mengutak-atik sebuah helikopter mini dengan remote control.

"Ini handycam-nya." ucapku sambil menyerahkan handycam pada IA-nee.

"Arigatou ne, Gaku-kun." jawab IA-nee sambil mengambil handycam itu dari tanganku dan memberikannya pada Yohio-nii.

Yohio-nii segera memasangkan sebuah alat nirkabel yang menghubungkan handycam dengan sebuah monitor kecil yang ditaruh di atas meja.

"Apa yang kalian lakukan?" tanyaku.

"Mencari sesuatu di Mayonaka Forest," jawab Yohio-nii sambil menepuk-nepuk tangannya. "IA-chan, tolong remote-nya."

"Ha'i!" IA-nee mengambil remote control dan memberikannya pada Yohio-nii.

"IA kau awasi GPS. Gakupo perhatikan monitor. Beritahu aku jika menemukan benda aneh."

"Baik!" jawabku dan IA-nee kompak.

IA-nee duduk di atas sebuah batu dan memperhatikan tablet di depannya dan aku duduk memperhatikan monitor yang menampilkan video yang terekam di handycam.

Rupanya helikopter kendali itu telah terbang sejak beberapa menit lalu.

"Yohio, geser sedikit ke sebelah kanan ke arah danau!" kata IA-nee. Yohio-nii menggerakkan tuas pada remote control.

Aku melihat sesuatu di danau itu. Aku menekan tombol 'zoom in'.

"Yohio-nii! Berhenti!" teriakku. Yohio-nii melepas dorongan jempolnya pada tuas.

"Kau melihat sesuatu?"

"Ada mayat! Bukan, ada banyak mayat di danau itu!"

Yohio-nii menarik ponselnya dan aku segera merebutnya. "Tolong jangan beritahu siapapun."

"Kenapa?"

"Biarkan aku, Len, Miku, Rin, dan Kaito yang membereskannya. Kumohon, kami hanya ingin mengembalikan reputasi kami."

Yohio-nii memalingkan wajahnya, berpikir. IA-nee menepuk pundak tunangannya itu sambil mengangguk.

"Baiklah," jawab Yohio-nii. "Tekan tombol save di monitor dan bagikan pada teman-temanmu."

Aku tersenyum. "Arigatou!"

Aku menekan tombol save pada monitor. Yohio-nii kembali ke remote-nya mengembalikan helikopter kendali itu.

Aku menyambungkan port USB handphone-ku pada monitor dan memasukkan video itu ke dalam memory eksternal.


[Video_12345_ ]

¤Share on Media Social

Send via e-mail


Aku menekan pilihan 'Kirim via e-mail' dan mengisi kolom Cc, To, dan Subject.

Aku mengirim video itu ke Rin dan yang lainnya. Baru beberapa detik, e-mailku sudah dibaca.

Sepuluh menit kemudian, sebuah VoiceMail masuk. Dari si maniak es krim.

"Temui kami di rumah Miku sekarang. Sudah dengan peralatan lengkap. Kita semua telah menemukan semua data yang kita butuhkan. Kutunggu kau paling telat jam 9 malam."

Aku menyimpan ponselku dan berpamitan pada Yohio-nii dan IA-nee.

.

.

.

Perjalanan baru akan dimulai...

.

.

.


To Be Continued!

.

.

.

Author's Line :

Haloo, author kembali dengan sequel dari TMA!

Oke, maafkan author karena telah membuat Len dkk. putus pekerjaan begitu saja. Author sengaja..

Haha, minna-san sudah bisa menebak siapa dalang di balik kasus ini? Aku lihat di review ada yang nebak benar juga ada yang nebak salah. Arigatou, karena telah memperhatikan cerita ini baik-baik.

Sequel ini masih berhubungan kasus sebelumnya lhooo..

Spoiler : Rahasia di balik Mayonaka Forest.

Arigatou buat kalian semua yang udah Fav, Follow, dan Review. Arigatou gozaimasu! m(_ _)m

A/N : Author tahu kalau fic ini begitu berantakan dan tak enak dibaca. Minna-san sebagai readers boleh memberikan saran dan kritik, bahkan flame pun saya terima sebagai author tahap permulaan. Saya mengharapkan partisipasi readers semua untuk perkembangan tulisan saya.

Mind to review? Review, please. Flame juga boleh kok! :)

.

.

.

.

Shintaro Arisa, out.