Lighting, Scream and Hug?

Disclamer Kyoto Animation

Story by ShokunDAYO

Cast: Makoto Tachibana x YOU!

Rated: T

Warning: Typos, OOC, Semi-canon, abal-desu dan sederet kecacatan lainnya.

DLDR yaaa~ udah diwarning.

.

.

.

Melangkahkan kakiku pada ubin kayu yang berderit, aku menyeret selimut biru bergambar piyo-piyo yang berkibar menyapu lantai. Masih mengusap pipiku yang basah karena air mata, aku berjalan dalam kegelapan berharap semua ini cepat berakhir.

"Kaa-chan, Tou-chaaan!" Isakku kecil memanggil-manggil orang tuaku yang entah ada dimana.

Hari ini peringatan hari kematian kakekku, dimana orang tuaku mengajak aku untuk mengunjungi nenekku didesa. Sesampainya disana, orang tuaku meninggalkanku bersama sepupuku-ah iya, aku punya seorang sepupu laki-laki yang berumur satu tahun diatasku- dirumah nenek sedangkan mereka, nenek, paman dan bibi pergi untuk berziarah.

Memang sih, tadi orang tuaku sudah menelepon bahwa akan terlambat pulang kerumah karena kemacetan yang disebabkan oleh hujan besar yang turun dimusim panas ini. Tapi aku tak menyangka akan sampai malam begini, bahkan saat jam menunjukkan angka 10, tidak ada tanda-tanda mereka akan cepat pulang.

Pssst! Ctaaaaar!

"Kyaaaaaa!" Menutup telingaku dengan kedua tangan, aku membungkuk mendengar suara petir yang tiba-tiba menyambar. Oh Kami-sama! Aku takut sendirian, aku takut petir. Kaa-chan! Tou-chan! Cepatlah pulang!

"Kau tidak apa-apa?" Menenggok kearah belakang dimana aku merasakan pundakku ditepuk. Aku melihat sepupuku-Makoto- berdiri menggunakan piyama hijau bermotif mobil merah sembari mengucek matanya yang masih mengerjap pelan. Ah, jangan-jangan jeritanku membangunkannya, aku jadi merasa tidak enak.

"Makoto-nii!" Menghambur dalam pelukannya, aku menenggelamkan wajahku pada dadanya. "A-aku takuuut!" Cicitku menunjuk jendela yang menampilkan pemandangan spektakuler petir yang terlukis dilangit gelap.

"Takut petir?"

Aku mengangguk.

"Baiklah, bagaimana kalau tidur bareng nii-san saja?" Tawarnya tersenyum kalem mengelusi rambutku dengan lembut.

Kali ini aku mengangguk penuh antusias mengiyakan sarannya. Aku tidak banyak bicara saat tangannya mengenggam tanganku dan mengajakku kekamar yang akan kami tiduri. Sesampainya disana, dengan cepat Makoto-nii masuk kedalam selimutnya, bergeser sedikit kemudian menepuk sisi yang kosong disebelahnya.

"Sini!" Ajaknya.

Awalnya aku sempat ragu, hingga akhirnya dengan muka tersipu malu aku turut merapatkan badan mungilku pada tubuhnya yang masih belum terlalu jauh berbeda tingginya denganku. Menarik selimut hampir menutupi setengah wajahku. Aku menoleh ketika mendengar kekehan tawa yang sangat jelas datang dari arahnya.

"Makoto-nii?" Tanyaku penasaran mendapati dirinya yang masih tertawa. Tapi aku tak dapat melihat wajahnya dengan jelas, disamping lampu kamar yang memang padam tangannya juga turut memblokir akses lensa mataku untuk menangkap raut wajahnya yang sedang tertawa.

"Ah tidak-" Balasnya masih tersenggal. "Kau lucu." Sambungnya lagi-lagi menepuk kepalaku pelan. "Tidurlah, ada nii-san disini."

"Ta-"

Pssst! CTAAAAAR!

"Kyaaaa!" Menjerit mendengar suatu petir yang kembali menggelegar. Aku refleks mencengkram piyama milik Makoto-nii dan meringkuk memeluk dirinya. Mengelusi punggungku yang menegang karena takut, Makoto-nii mulai mendendangkan lagu nina bobo, berharap dapat mengusir ketakutanku sampai aku tertidur pulas masih dengan posisi memeluknya erat-erat.

.

.

.

Itu sih kejadian waktu masih kecil.

Tapi-

.

.

.

"Bagaimana kalau tidur dengan nii-san saja?"

DEJAVU!

Hampir menyemburkan susu coklat hangat yang sedang kuminum. Aku terbatuk-batuk dengan tangan terjulur mengambil tissu terdekat. Menyeka mulutku yang kotor, aku melayangkan tatapan horor pada pria yang notabane-nya berstatus sebagai sepupuku itu.

"Serius?" Tanyaku tak percaya padanya yang masih mencoba mengeringkan rambutnya dengan handuk yang tersampir dibahunya.

"Dua-rius deh!" Jawabnya bercanda membuatku melayangkan pukulan telak dibahunya.

Membuka kulkas untuk mengambil susu kotak berperisa vanilla yang langsung tandas diteguknya. Makoto-nii membuatku berdecak kesal kala air dirambutnya yang basah menetes membasahi lantai.

"Makoto-nii! Rambutmu!" Teriakku memperingatinya.

"Hmm-yah gampang." Balasnya melempar kotak susu yang kosong kearah tempat sampah disampingku.

Menggumam tak terima, akhirnya aku menarik Makoto-nii kesofa terdekat. Mendorong tubuh besarnya untuk segera duduk-yang kadang membuatku tak percaya kalau masa pertumbuhan remaja membuat tinggiku dan tingginya yang awalnya tak jauh berbeda menjadi jomplang beberapa centi kebawah- aku mengambil handuk yang teronggok sia-sia dibahunya dan mulai mengeringkan rambutnya.

"Bisa geger kalau kusebarkan pada dunia Makoto-nii orangnya manja seperti ini." Ancamku padanya. Yah, jarang loh lihat Makoto-nii seperti ini, sebagai anak pertama dalam keluarga dan memiliki jarak umur yang sedikit jauh dari kedua adik kembarnya. Tentunya akan membentuk seorang Makoto-nii menjadi lebih dewasa, mengayomi, dan dihormati oleh orang-orang sekitarnya.

Oh iya, membahas itu jadi teringat Kou-chan, Nagisa-senpai, Rei-senpai dan Haruka-senpai teman sekolah Makoto-nii sekaligus satu anggota klub yang sama. Tidak tahu mengapa dimataku Makoto-nii lebih terlihat seperti pengurus mereka daripada teman mereka. Duh lucu, memikirkannya saja membuatku ingin tertawa.

"Kenapa tertawa?"

Eh? Sepertinya kata ingin aku tarik kembali, karena aku sudah kelepasan tertawa hingga bisa didengar baik oleh Makoto-nii.

"Tidak, aku teringat dengan teman-teman Makoto-nii. Kalau aku beberkan pada mereka kalau ternyata nii-san orangnya manja seperti ini percaya tidak ya?" Godaku sok-sokan berpikir dengan mengetukkan satu jari didaguku.

"Tentu tidak." Jawabnya kalem penuh percaya diri.

"Kunyuk!" Aku mengumpat kesal mengacak-acak handuk yang kugunakan untuk mengeringkan kepalanya hingga dia mengaduh-aduh meminta ampun untuk dilepaskan disertai tawa renyah garing kriuk-kriuk, jadi lapar.

Hingga akhirnya tawa lepas itu terhenti saat langit berkilap putih menandakan guntur yang menyusul petir. Suara gelegar keras menghantarkanku terlonjak beberapa centi ke udara sebelum akhirnya merangkul bahu lebar yang ada didepanku.

"Ampun! Setiap musim panas kenapa petirnya ganas begitu sih!" Gerutuku melepas dekapan spontan hingga Makoto-nii bisa kembali bernafas normal-oh iya, tadi aku hampir mencekiknya-

Berputar sejenak, aku mengambil posisi duduk disebelahnya. Menekuk lututku didepan dada, aku merapatkan tubuhku padanya. Eh, tunggu ada yang salah disini!

"Makoto-nii?"

"Hn?" Balasnya mengambil ponselnya yang tergeletak dimeja, mengecek beberapa sms yang masuk saat dirinya mandi.

"Kok nggak pakai baju?"

Krik. Krik.

"Nanti saja. Panas."

Nanti saja? Nanti saja katanya? Oh, Kami-sama berikan aku kekuatan untuk menahan laju overload darah yang mulai jebol dihidungku melihat badannya yang bagai patung Yunani tanpa cela itu. Melirik sedikit-okay, aku tidak terlalu munafik untuk mengakui bahwa aku juga menikmati pemandangan didepanku. Ucapkan selamat pada Kou-chan yang sukses mencuciotakku-, aku menggeser sedikit tempat dudukku, canggung. Setelah beberapa detik dilewati dalam diam, aku mencoba berdehem membuat kembali topik pembicaraan.

"Ya-yang lain kapan pulang?" Tanyaku mengambil bantal merah disamping untuk menutupi wajahku yang sama merahnya.

"Seminggu lagi."

A-apa dia bilang? Seminggu la-lagi?

"Jangan bilang kalau kau tak memperhatikannya kemarin? Mereka mau mengantarkan Ren dan Ran mengikuti summer camp sekalian mengunjungi nenek." Hebat! Sekarang Makoto-nii bisa mendengar suara hatiku.

"O-Ooh."

"Aku tinggal disini karena menemanimu melihat sekolahanmu yang baru. Jadi tak ikut." Lanjutnya sembari mendesah tak rela.

"Gomenne-gomenne-" Ucapku berulang-ulang sembari membungkukkan punggung ditempat.

Oh apa? Ah-gomenne, harusnya setting dijelaskan diawal ya? Tidak-tidak itu mainstream. Aku kurang suka cerita yang mainstream. Jadi begini, mengambil tempat di rumah Makoto-nii, aku akan memulai semester dua kelas satuku yang dipindah-paksa- oleh orang tuaku menjadi satu tempat belajar dengan Makoto-nii setelah liburan musim panas ini. Alasannya? Tou-san bilang agar pendidikanku lebih bagus. Maklum, beberapa minggu kedepan Tou-san akan dipindah kerjakan ke daerah terpencil jadi yah begitulah. Hingga akhirnya aku menghabiskan musim panasku dirumah Makoto-nii sedangkan orang tuaku sedang bersiap-siap untuk pindah.

Jadi, jeng-jeng-jeng! Tinggalah aku berdua dengan Makoto-nii, karena paman dan bibi mengantarkan Ren dan Ran untuk melewati Summer campnya. Mampus kepalang basah, tega benar paman dan bibi meninggalkan dua remaja berbeda spesies dalam satu atap yang sama. Bukan, bukan karena aku takut Makoto-nii akan berbuat macam-macam padaku. Malah sebaliknya, harusnya dia yang takut padaku-eh?

"Nggak apa sih. Aku juga ada kegiatan club. Musim semi nanti ada pertandingan, makanya harus mempersiapkan diri dari sekarang."

Hmm-yah angguk-angguk aja deh, aku sudah selesai berdebatnya. Kalau ada kamera didepanku mungkin aku sudah melambaikan tanganku menyerah. Lagipula, oh ayolah, mana tahan berdekatan dengan orang yang disukai dalam keadaan seperti ini. Aku serang sih iya. Sabar-sabar-lepas-dunia lalaland menungguku.

"Kok diam?" Menjentikkan dari didepanku yang pikirannya lagi melalangbuana menuju lalaland dimana penuh dengan imajinasi yang butuh sensor sana-sini. Makoto-nii membuatku tersentak mengerjapkan mata lucu sebelum menghela nafas karena imajinasi 'liar'ku sedikit terinterupsi.

"Hhhaaah~teganya." Keluhku melenggos bertumpang dagu. Mengangkat satu alisnya naik, Makoto-nii mempertanyakan tingkahku yang mendadak autis.

Tanpa peringatan, Makoto-nii menarik daguku. Menatapku dengan manik matanya yang berkilat akibat cahaya lampu yang berpendar. Tiba-tiba Makoto-nii mengecup pelipisku, sontak saja hal itu membuatku membelalakanku lebar-lebar. Shock akan perlakuannya yang tiba-tiba.

"Apa yang kau pikirkan? Pikirkan saja aku-"

"Ap-" Yang kupikirkan memang DIA!

Psssst! CTAAAAAR! Klik!

PELUK MAKOTO-NII! Itu yang pertama kali aku lakukan saat tiba-tiba kilat menyambar, guntur menggelegar plus lampu yang tiba-tiba padam. Demi Tuhan! Aku tidak mau kalau cerita ini berubah menjadi genre crime atau mystery. Masa bodoh akan kulitnya yang bersentuhan langsung dengan kulitku, atau cetakan sixpack perutnya yang menempel didadaku. Rasa takutku mengalahkan rasa maluku.

"Baru dibilang-" Menepuk pundakku yang menggigil ketakutan-bukan karena kedinginan-, Makoto-nii akhirnya memelukku dan kembali menawarkan kerjasama yang menguntungkan-baginya-.

"Jadi bagaimana?"

"Hmm-apa?" Jawabku angin-anginan mulai nyaman nemplok didadanya.

"Bagaimana kalau tidur bareng nii-san saja?"

Bergumam tanda keberatan, akhirnya aku menganggukan kepala mengiyakan ajakannya. Terpaksa loh terpaksa, daripada aku terjaga sepanjang malam meringkuk menyedihkan disudut kamar.

"Ta-tapi jangan macam-macam!" Ancamku mengancungkan jari telunjuk didepannya melihat kilatan nakal yang ku tangkap sejenak dimatanya.

Hening, hanya ada dua anak manusia yang terdiam dalam posisinya masing-masing sampai sang pria memecah keheningan dengan senyuman manisnya. Ada toa-nggak? Aku mau teriak, 'Emak ada bidadara jatuh dihadapanku. Ea-ea-ea'.

"Kau menyuruhku tidak macam-macam sama pacarmu sendiri-" Oh, akhirnya dia menanggapi. Jeda sejenak, aku yakin jawabannya bukan jawaban yang ingin kudengar. "Mustahil!"

MAMPUS! Malam ini sama aja nggak bisa tidur.

.

.

.

Ah iya, satu setting lagi yang belum aku jelaskan.

Selain sepupu aku juga-

Pacarnya.

.

.

.

FIN

.

.

.

MAKOTO-NII! I heart you!

Lagi demen sama si Makoto ini, bener-bener tipe cowok idaman. Dandy gimana gitu. Emang sih fanbase paling besar ya si Nanase, tapi tetap tak bisa membuat diriku berpaling dari abang Makoto.

Fanfic ini diilhami dari piku yang nemu di pixiv, based from otoge piku itu sukses buat Shokun kejang-kejang, bukan karena mau dijemput maut. Tapi karena tak kuasa menahan kokoro. Ah iya, piku itu juga yang jadi cover ff ini, credit to the owner ya, bukan punya Shokun.

So, mind to RnR guys?

Yang ngefangirling Makoto disini ayo buat MakotoxYou bersamaaaaa~ kirim-kirim linknya ke Shokuuun~

With Love, Shokun.