Masashi Kishimoto who has all!
Batas © Dardanella
Rate M for swearing, profanity, and violence
.
.
Gaara menyukai merah.
Warna yang menginterpretasikan keberanian. Cerminan keperkasaan dan hasrat yang bersemayam di kalbu. Kekuatan yang pekat. Seperti darah yang memercik di aspal tempat berpijak.
Dan Gaara membenci cinta.
Namun mengukir aksara cinta di dahi sebagai simbol resolusi dirinya yang baru. Iblis pecinta diri sendiri. Berikrar hidup hanya untuk dirinya sendiri.
Dia monster buas yang keji.
Rasa yang sama yang menekan geletar-geletar aneh tiap kali berada di kondisi ini. Menuangkan kebencian di satu titik ketika ia mendepak makhluk lemah yang tergolek di bawah kaki. Peduli setan jika susunan rusuk itu remuk diterjang kemurkaannya. Harusnya mereka merasakan lebih dari hantaman punggung kakinya.
Jeritan dan tangis membaur di kesenyapan senja. Di antara kesakitan, ketakutan dan permohonan, ia melirik sengit pada jemari-jemari rapuh yang melilit lengannya. Ditepisnya hingga si pemilik jatuh terjengkang ke belakang. Semestinya perempuan itu sadar semua ini terjadi karena ulahnya.
"Ga-gaara! Hentikan kumohon!"
Gaara mengabaikan. Meneruskan tendangan dan bogem mentah pada tubuh-tubuh kaku di bawah. Amis darah yang membuatnya hilang akal. Menyerang lebih brutal. Jeritan kini hanya berasal dari satu suara. Mezzo-sopran.
"Sudah! Cukup Gaara, hiks, mereka bisa mati!"
Dekapan menghentikan pergerakan Gaara yang menguapkan hawa panas tubuh. Dan insting yang lepas kendali. Deru napasnya cepat di setiap tarikan. Degup jantung yang mengetuk-ngetuk tulang rusuk. Ia beringsut menjauh melepaskan diri. Berjalan dengan getar yang menguasai seluruh tubuh.
Gadis kecil sialan! Teriakan frustrasi meluncur dari kerongkongan seraknya.
Mengusir kawanan burung gereja yang berhamburan terbang. Menyentak gadis di belakang. Isakannya belum mereda, menatap nanar pada raga dua lelaki yang tadi sempat menjarahnya. Ia tersadar, berlari mengejar punggung Gaara yang menjauh.
Lirihannya terdengar telinga Gaara. Tak acuh, ia tetap berjalan meninggalkan gadis yang susah payah mengimbangi langkahnya. Setidaknya bukan sekarang. Bukan waktu yang tepat untuk mengusir perempuan itu.
.
.
San'ya.
Sebuah kawasan di distrik Taito. Berlokasi di sekitar Yoshino-dori, di sebelah selatan persimpangan Namidabashi.
Sebuah identitas yang terlupakan di tengah hiruk-pikuk kemegahan pusat kota. Wilayah pemukiman kumuh dengan kontruksi padat. Tempat bagi buruh kelas bawah berdiam pada masa periode Edo—yang tetap bertahan di tengah pesatnya pembangunan negeri matahari terbit. Mayoritas pemukim sulit mencari pekerjaan, tak banyak dari mereka yang menggangur dan menyesaki bar-bar murah pada malam hari. Dan berakhir pada tindak kriminal yang dipicu ekonomi.
Sebuah tempat yang tak pantas bagi—, "Bocah kecil!"
Kerlingan sepasang mata hijau, warnanya benderang serupa batu nefrit di langit poros, melucuti keberanian yang tersisa secuil. Gadis itu mengeratkan pelukan di tubuhnya yang gemetar.
"Apa yang kaulakukan di tempat seperti ini, hah?!"
Mata sembabnya diusap. Jawabannya lenyap ditelan sentakan yang menggigit nyali. Ia memilih merunduk.
Tak mendapat jawaban, Gaara berdecih.
Bertemu persimpangan ia berbelok memasuki jalan ketang yang lebarnya sepuluh hasta. Barisan rumah-rumah merayap sepanjang sisi jalan. Jendela yang terbuka langsung menjebluk tertutup rapat. Di balik kaca, gorden-gordennya tersingkap sedikit. Puluhan pasanga mata yang mengintai dari dalam mengiringi langkah berderap dari si empunya. Gadis di belakang mengamati. Melirik sekeliling.
Musuh jangan di ladang, selisih jangan dicari. Ungkapan barusan adalah jawaban dari kondisi saat ini. Jangan sekali-sekali kau menantangnya bila tak ingin rugi sendiri. Badannya memang tak sepadat dan segempal kacung para Yakuza tapi melawannya bukan pilihan tepat.
Melaporkannya pada pihak berwajib? Coba saja kaulakukan, pihak keamanan enggan memilih jalan cepat ke akhirat karena berurusan dengannya. Saat ia keluar, ringannya kau akan berakhir di ranjang pesakitan. Atau parah-parah kau sudah harus siap memesan lahan untuk menaruh pusaramu.
Konklusi di atas adalah, jangan pernah berselisih dengannya.
Gadis naas di belakang menoleh pada perempuan tua renta yang mengintip di balik jendela. Nenek itu memberi tatapan iba padanya. Pandangan-pandangan memunculkan asumsi perihal penyebab hingga gadis itu berakhir di tangan pemuda seperti Gaara. Mereka tak tahu pucuk pangkalnya. Dan gadis itu juga tak tahu mengapa. Tapi dorongan aneh menuntunnya untuk tetap mengekor pada Gaara yang baru ia kenal.
Di sebuah gedung berlantai empat si gadis berhenti. Mata menyapu keseluruhan bangunan yang catnya mengelupas. Gaara melirik lewat bahunya sedetik tanpa berhenti melangkah masuk. Ia sudah mulai menaiki undakan tangga saat gadis di belakang menarik napas panjang, ia turut masuk diiringi dentum jantung yang menggebuk sisi dalam rongga dada.
Itikad baik yang ia pikirkan sepekan lalu takkan goyah karena tekanan penyesuaian diri. Dan lagi Gaara tak keberatan dengan kehadirannya. Jika ya, sedari awal lelaki itu pasti sudah mengusirnya.
Di tapakan pertamanya ia tengadah. Mencari-cari kaki-kaki Gaara yang membawa pada lantai yang ke berapakah. Flat Gaara terletak di lantai teratas sebelah kanan dari pucak tangga, dan berada di paling ujung samping beranda yang terbuka pintunya. Hari sudah gelap.
Gadis dangkar berdiri kaku di belakang Gaara yang tengah memasang kunci. Membuka pintu dengan sedikit tenaga karena pintu tersendat. Si gadis membeku menatap punggung berkaus kaus merah bata memasuki ruangan—tanpa menutup pintu.
Yang kaulakukan adalah masuk ke kandang rakun ganas karena terganggu tidurnya. Olehmu. Ambisi kolosal apa yang terbesit di otak kecilmu? Alibi karena ingin membalas budinya pekan lalu, huh? Kau tak ingat dua pria tadi berakhir seperti apa oleh lelaki itu seorang?
Iblis di benak menghasutnya untuk lari sebelum pilihan ikut masuk ke dalam ia sesali. Ia masih terbengong bodoh menatap Gaara yang sudah berbalik menghadapnya. Lelaki itu menjatuhkan duffel bag parasut ke samping sofa cokelat yang repas garmen pembungkusnya.
"Hei, bocah kecil! Jika kau tak sudi menginjakkan sepatu mahalmu di flat reyotku sebaiknya segera tutup pintunya!"
Kalimat sarkasme tadi menghapus ragu-ragu dan bayangan iblis yang tengah mengejeknya. Ia sigap melangkah masuk dan susah payah mendorong pintu nyandat yang berderit berisik.
Sampai di dalam ia kembali diam. Apa yang sebenarnya ia lakukan?
Tatapan bergulir ke penjuru ruang. Dari foyer sempit depan pintu, tempat Gaara melepaskan sepatu, lantas terhubung dengan ruang tengah serba guna yang bersisian dengan dapur kecil dengan sekat meja pantry. Ruang yang terpisah hanya ruang tidur di sebelah kiri. Gadis itu menebak kamar mandi berada di dalam kamar tidur karena bunyi keran terdengar saat Gaara masuk.
Yang menjadi objek pikirannya keluar dengan wajah lembab bertempias titik-titik air dari surai merahnya. Pakaian atasannya raib dilepas. Paras gadis memanas, ia menggulum bibir. Beranggapan dirinya tak berbeda dari hantu. Sepanjang waktu lelaki itu mengabaikannya. Gaara terus menyibukan diri. Membuka jendela dan menyulut rokok membelakanginya.
Ia lelah, ingin tidur.
Bohong! Gaara insomnia dan selalu terjaga sepanjang malam sampai fajar tiba ia baru bisa terbaring beberapa jam sebelum memulai aktivitas seperti biasa. Namun sesuatu dari gadis itu memercik perasaan familiar yang tak pernah lagi ia rasakan. Tatapan bocah lugu yang menyiratkan kemantapan dan ketakutan di saat bersamaan. Kuriositas gadis remaja dan desakan hormon yang belum stabil.
"Kau!" Gaara memanggil tanpa menoleh.
"Kau yang waktu itu. Untuk apa kau kemari?"
"A-aku ingin—"
"Ingin apa?"
Gadis itu tercekat. Mengkeret di pintu masuk yang handle-nya ia pegang kuat-kuat di belakang punggung. Gaara menyerat langkah tanpa melepas matanya dari wajah submisif gadis tersebut. Ia mengisap rokok dalam-dalam dan menghembuskannya ke samping. Wajah kembali menghadap paras elok yang lesi. Matanya melirik nametag yang tersemat di seragam.
"Hinata Hyuuga, huh?" napas panas nikotin menerjang wajah si gadis.
Kontan Hinata menutup seragam bagian dada, merematnya hingga kusut. Salahkan refleks dari tatapan yang mempreteli. Gaara mendengus.
"Langsung saja, apa tujuanmu? Ke kawasan San'ya saat petang, dijarah bandit jalanan, menangis karena mereka kupukuli, dan mengekoriku pulang. Apa maumu?"
Hinata terpekur. Kuku menggali punggung tangan hingga lecet. "Ak-aku hanya ingin—"
"Kau bahkan tidak jera setelah pekan lalu bernasib sama."
Hinata mengangkat wajah. Menantang Gaara dengan matanya yang memercik asa berapi-api. "Aku kemari ingin berterima-kasih padamu. Minggu lalu kau menolongku. A-aku ingin membalas budi." Di ujung kalimat Hinata menurunkan nada suaranya. Mengalihkan pandangan ke udara kosong.
Rokok di pegangan jemari berhenti dimainkan. Batu nefrit berkilat.
"Kau ingin membalas budiku yang minggu lalu? Lantas bagaimana dengan yang barusan, hm?"
Gaara menyorongkan badan. Meniupkan napas ke wajah di depan.
"Dengan apa? Dengan cara apa kau membalasku, hm?"
Tenggorokan Hinata menyempit, "A-aku sudah punya—ehm, apapun kau menyuruhku!"
Seulas senyum terpatri di wajah tirus, "Sesuatu yang bisa memuaskanku. Apa kau bisa?"
Hinata bergetar dengan mata melebar. Degup jantung berderap kencang di balik seragam musim gugurnya. Tak peduli Gaara mendengar kegugupannya.
Bersambung
A/N : Chapter depan bercerita awal pertemuan dan sambungan scene di atas.
Terima kasih sudah membaca.
