Holaa, ini fic kedua saya yang saya rasa sama abalnya sama fic pertama saya.
Mungkin ide-ide atau imajinasi saya yang terlalu aneh ini seakan nyuruh saya untuk kembali nyampah disini.
Jadi, yuk mari deh…
.
.
.
.
Dan seakan waktu menyuruhku untuk bercermin
Melihat diriku yang selama ini terlalu menegakkan kepalaku dan lupa akan bumi
Waktu merelakan dirinya untuk berbalik mundur
Agar aku mengerti
Bahwa kesempatan yang diberikan oleh waktu
Adalah yang pertama dan juga terakhir
Pilihannya hanya ada dua:
Belajarlah, atau menyesal-lah.
.
.
.
.
Banyak typo menari-nari. Cerita gak jelas, alur kecepetan, aneh, abal, dan sangat membosankan.
Disclaimer: Vocaloid bukan milik author amatiran ini.
"Selamat pagi Rin-sama."
"Selamat pagi nona muda."
"Selamat pagi nona muda Rin."
Sapaan para maid yang berjejer rapi menyambut seorang gadis cantik berambut honey blonde yang kini tengah menuruni tangga menuju meja makan.
Wajahnya terlihat dingin dan sama sekali tidak menolehkan kepala untuk sekedar tersenyum untuk membalas sapaan pelayan-pelayan yang bekerja untuk keluarganya itu.
Dengan langkah sedang yang terkesan anggun, gadis itu kemudian menempati sebuah bangku dari puluhan bangku yang mengitari meja makan panjang berlapis kaca ini.
Matanya seakan sudah terbiasa dengan pemandangan bangku-bangku kosong disekelilingnya, dan dia pun lebih memilih menikmati sarapan paginya daripada harus memikirkan bahwa hanya dirinyalah yang berada diruangan ini.
Dari sekian banyak makanan yang tersaji, bahkan memenuhi meja makan itu, hanya dua tangkup roti dengan selai jeruk yang berpindah ke perutnya. Sebagai penutup sarapannya pagi ini, gadis itu mengambil lima buah jeruk yang tersedia disana, mengupas satu buah lalu memakannya sambil berjalan menuju mobil pribadinya yang sudah siaga mengantarnya sekolah. Sedangkan empat buah lainnya dimasukkan kedalam tas selempang putih dengan pita besar ditengahnya yang sama seperti pita yang menghiasi kepalanya.
"Selamat pagi, nona. Pagi ini cerah sekali ya." Seorang pria dengan umur berkisar dua puluh tahun sedang berdiri disamping mobil mewah Aston Martin 77 berwarna silver yang terparkir dihalaman yang sangat luas itu.
Pria dengan rambut abu-abu dan mata merah itu terlihat tampan dan formal dengan balutan jas hitam serta celana panjang hitam yang melekat rapi ditubuhnya.
Tubuh tegapnya reflek membuka pintu belakang mobil mewah itu ketika dilihatnya nona muda manisnya tengah berjalan kearahnya.
Tak ada sapaan, tak ada lirikan mata dari pemilik mata biru sapphire itu. Hanya pandangan lurus dan wajah dingin yang diperlihatkannya hingga tubuh mungil itu masuk dan pria bernama Dell itu menutup pintunya.
Sudah terbiasa.
Dell memang sudah terbiasa dengan sikap nona mudanya itu, walau sebenarnya pemuda itu tahu bahwa sikap nona mudanya itu terbentuk karena lingkungan sekitarnya yang merupakan keluarga terhormat dengan gelar bangsawan yang disandangnya.
Maka mau tidak mau, gadis manis itu harus mengikuti seluruh aturan serta cara bersikap yang sudah harus diterimanya bahkan sejak ia lahir.
Mata merah Dell melirik sekilas kearah kaca depan yang berada diatas tempat kemudinya, dari pantulan cermin itu dapat dilihatnya gadis berpita itu tengah memandang keluar jendela mobil yang sedang dikemudikannya.
Tatapannya kosong, raut dingin tak kunjung lepas dari wajah manis itu, hanya saja kali ini Dell bisa menangkap raut kesedihan yang mendalam. Tetapi yang membuat pria abu-abu itu menghela nafas panjang adalah rasa kesepian yang mendominasi nona mungilnya itu, entah sampai kapan Dell akan melihat kekosongan nona mudanya itu.
Sudah terlalu lama kesepian itu mengisi hari-hari sang nona muda. Terlalu lama hingga tak ada yang menyadari sejak kapan rasa kesepian itu hadir. Dan tubuh mungil itu tetap bertahan dalam sampul dingin dirinya, menjaga agar kesepian itu tidak menghancurkannya.
Tapi perlahan, dengan langkah pasti, rasa sepi itu kemudian menjalar mengubah pribadi hangat itu menjadi semakin dingin dan semakin dingin. Dan siapa tahu akan menjadi beku nantinya.
Vocaloid International High School
"R-rin, ki-kita se-sekelompok k-kan?" Tanya seorang gadis berambut kuning panjang bernama Neru. Suaranya bergetar dan kepalanya terus menunduk disamping bangku yang diduduki oleh Rin.
Pandangan Neru terus kebawah, melihat ujung-ujung sepatu hitamnya, dia tidak berani menatap Rin langsung. Reaksinya menandakan bahwa gadis itu takut berhadapan dengan gadis berpita yang kini sedang memandangnya dingin. Reaksi yang sama yang diberikan hampir seluruh penghuni kelas unggulan itu kepada Rin.
"Kelompok apa?" Rin bertanya datar.
"I-itu, se-sejarah." Neru tetap menundukkan kepalanya. Demi Kami-sama, dia lebih memilih dijemur di tengah lapangan seminggu penuh daripada harus sekelompok dengan gadis es ini.
"Tugasnya?" Rin bertanya kembali. Ayolah Rin, untuk apa kau datang ke sekolah setiap hari jika tetap saja tidak tahu tugas-tugas apa saja yang diberikan?
"Me-mengambil satu p-peristiwa lalu ki-kita b-bandingkan dengan masalah se-serupa sekarang." Neru mencoba menenangkan dirinya, tapi usahanya itu malah membuatnya semakin gugup.
"Kapan batas waktunya?" Rin menyilangkan kedua tangannya didepan dadanya, matanya terus menatap Neru dingin.
"Du-dua hari lagi." Kata Neru.
"Dua hari lagi? Sesingkat itu?" Rin kini memandang tajam Neru.
Neru merasakan bulu kuduknya berdiri. Rin, kau menakutkan ya?
"Se-sebenarnya itu tu-tugas se-seminggu yang lalu." Neru berkata sangat pelan. Detak jantungnya kian terpacu, berdetak lebih kencang dari sebelumnya.
"Lalu kenapa kau baru memberitahuku sekarang?" Rin berkata dengan nada yang lebih tinggi.
"A-ano, aku kira R-rin sudah tahu." Kata Neru semakin menundukkan kepalanya.
"Lalu kalau aku sudah tahu, kenapa? Kau menyuruhku yang menghampirimu?" Kata Rin ketus.
Hening.
Seketika seisi kelas terdiam. Mereka melihat kearah depan, tepatnya kearah tempat duduk Rin. Sepertinya mereka tahu si nona muda itu akan mengamuk kembali, dan kali ini mereka hanya bisa melihat Neru dengan rasa simpati, mereka tidak bisa berbuat apa-apa.
Neru tidak bisa berkata apa-apa. Dia menahan isakannya agar tidak terdengar. Air mata kini berkumpul di pelupuk matanya. Pandangannya terus kebawah, sama sekali tidak mempunyai keberanian untuk mendongakkan kepalanya.
"Kau tahu? Sebenarnya aku tidak punya waktu untuk meladenimu, aku sudah terlalu pusing untuk memikirkan tugas sekolah dan kali ini kau memperburuknya. Dua hari? Waktu sesingkat itu kau pikir cukup? Hari ini aku ada tamu penting yang harus kutemui, itu berarti hanya tersisa satu hari kan? Kau ini idiot atau apa? Kau tahu kau sekelompok dengan orang sesibuk diriku yang sudah mempunyai jadwal disetiap jamnya. Dan memasukkan agenda baru dengan mengerjakan tugas denganmu bukan merupakan prioritasku. Paham?" Rin tak sanggup menahan emosinya. Dengan tangan terkepal dia berusaha agar tangannya tidak menjambak rambut panjang yang tergerai indah dihadapannya itu.
Kali ini air mata Neru jatuh. Jujur saja, baru kali ini dia dibentak seperti itu, apalagi oleh teman sekelasnya. Neru adalah gadis yang sangat lembut, wajar saja dia menangis hanya karena dibentak oleh Rin.
"Ma-maaf R-rin, aku, aku, a-aku."
"APA?" Rin sungguh kesal dengan gadis itu.
'Bicara saja gagap begitu, lamban. Bagaimana bisa aku sekelompok dengan gadis payah ini? Menyebalkan.' Pikir Rin.
"." Neru berkata cepat, dia jelas kaget dengan bentakkan Rin dan itu membuatnya reflek berbicara tanpa jeda.
"Aku tidak mau! Aku ingin kita mengerjakannya dari awal. Aku tidak ingin nilaiku hancur dengan membiarkanmu mengerjakan setengahnya itu. Gadis bodoh sepertimu tak bisa kupercaya." Nada bicara Rin kali ini lebih rendah, tapi tetap saja ketus.
"L-lalu b-bagaimana?" Kata Neru.
Rin tidak menjawab, dia lalu mengambil smartphone miliknya, menekan-nekan keypad dan mencari sebuah nama dari sederet kontak yang ada disana, lalu menekan tombol calling.
Kurang dari sepuluh detik, nada sambungan yang Rin dengar berubah menjadi suara berat diujung sana.
"Ya, nona?"
"Dell, nanti aku tidak usah kau jemput." Kata Rin.
"Loh, kenapa nona?"
"Aku ingin mengerjakan tugas kelompok, dan masalah pertemuan itu, bisa kau atur lagi Dell? Atau jika memang tidak bisa, suruh Rinto untuk menggantikanku." Ucap Rin tegas.
"Bagaimana kalau kuantar nona? Untuk pertemuan itu, nanti akan kusuruh Rinto yang menggantikan anda."
"Tidak usah Dell, nanti aku akan memintamu menjemputku saja." Rin lalu memandang Neru yang masih saja berdiri mematung didepannya.
"Baiklah nona, hati-hati."
Rin lalu memutuskan sambungan teleponnya tanpa mengalihkan pandangannya dari Neru.
"Kau dengar sendiri kan?" Tanya Rin.
Neru langsung menganggukkan kepalanya tanda ia mengerti.
"Nanti dirumahmu." Kata Rin lagi.
"I-iya." Jawab Neru.
"Aku ingin tugas itu selesai, jadi mungkin akan lama. Dan, dimana rumahmu?" Tanya Rin.
"Se-sekitar lima ra-ratus m-meter dari se-sekolah, k-kau ingin na-naik taksi atau jalan k-kaki saja?" Neru kali ini memberanikan diri mendongakkan kepalanya, mencoba mlihat Rin walau ia hanya berani memandang wajahnya sekilas.
"Jalan kaki saja." Kata Rin singkat.
"Ba-baiklah."
"Siapa namamu?" Rin menatap Neru dengan pandangan aneh.
"Neru, A-akita N-neru." Neru yang mendapat tatapam itu kemudian kemnali menundukkan kepalanya.
"Neru, berhubung nanti aku akan menghabiskan waktuku bersamamu, bisakah kau bicara lancar? Aku sungguh risih dengan nada gagapmu itu." Rin kemudian mengambil sebuah jeruk dari tasnya dan mengupasnya.
" I-iya Rin."
Rin memutar kedua bola matanya, 'apanya yang iya?' pikir Rin.
Neru tetap berdiri dihadapan Rin masih dengan kepalanya yang menunduk, sedangkan Rin masih dengan tatapan anehnya yang semakin tajam memandang Neru.
"Kau mau apalagi?" Rin akhirnya jengah dengan gadis itu yang masih saja diam ditempatnya.
"Tidak ada. Permisi Rin." Neru langsung melangkahkan kakinya cepat ke tempat duduknya, menghindari tatapan prihatin dari teman-temannya.
"Kau sabar ya Neru, mungkin hari ini kau sedang sial saja. Dan kuatkanlah dirimu untuk bersamanya sepulang sekolah nanti." Gadis berambut merah disamping Neru mengelus punggung tangan Neru.
"Ya, Teto." Kata Rin singkat.
Teto kemudian tersenyum memandang sahabatnya, sedangkan Neru sedang memejamkan matanya sambil tak henti-hentinya mengutuk Kaito-sensei yang mengelompokkan dirinya dengan Rin. Hanya dia dan Rin.
KRIIINGGGG!
Bel sekolah tanda masuk dan mengakhiri waktu istirahat para murid itu terdengar nyaring dan tentu saja masuk kedalam gendang telinga Neru. Diliriknya jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.
09.00
Itu artinya empat jam lagi dia akan berdua saja dengan Rin dalam waktu yang mungkin cukup lama, mengingat Rin ingin segera menyelesaikan tugas ini.
'Ohhh Kaito-sensei, kubunuh kau!' Teriak Neru dalam hati.
Neru's home
Dua orang gadis manis tengah serius dengan pekerjaannya masing-masing. Rin, yang kali ini sedang duduk di sebuah sofa mungil berwarna putih sedang membacakan hasil akhir dari tugas yang sudah ia dan Neru kerjakan sejak enam jam yang lalu sedangkan Neru mengetik semua yang Rin bacakan.
Tugas itu memang tugas yang tidak bisa dikerjakan dalam waktu singkat mengingat mereka harus memilih peristiwa yang terjadi dulu, mengambil masalah yang terjadi sekarang, menganalisis permasalahan yang ada, membandingkan dengan peristiwa dulu, menjelaskan hasilnya, lalu mengambil kesimpulan.
Wajar kalau tugas ini diberi waktu seminggu untuk diselesaikan, tetapi tidak bagi Rin yang harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk menyelesaikan tugas yang hanya tersisa waktu dua hari ini.
Wajah Rin terlihat lelah. Gimana enggak, dia sedaritadi melarang Neru membantunya. Semua hasil yang kini sedang dibacakannya adalah hasil pemikirannya sendiri. Dia merasa Neru hanya akan mengacaukan saja jika tetap bersikeras membantunya. Sedangkan Neru hanya menurut, walaupun dia kesal dengan Rin yang meremehkannya.
Dan kini, Rin dengan mata yang sesekali terpejam terus memaksakan diri untuk menyelesaikan tugas ini.
"Sudahlah Rin, kau pulang saja. Ini sudah larut, kau lelah kan? Biar aku yang menyelesaikan dan hasilnya kuserahkan padamu besok agar bisa kau periksa dulu sebelum dikumpulkan." Kata Neru, dia mati-matian agar tidak bicara tergagap didepan Rin.
"Kau benar-benar akan menyelesaikannya kan?" Tanya Rin.
"Tentu, lagipula aku hanya harus mengetik semua yang sudah kau tulis itu. Kau tenang saja." Kata Neru meyakinkan.
"Jika besok tidak selesai, aku pastikan kau akan menderita." Rin berkata datar.
Neru menelan ludahnya, masih saja gadis ini bisa dingin seperti itu padahal dirinya sudah benar-benar lelah.
"Iya. Kau pulang saja dan istirahatlah." Neru berusaha untuk tersenyum kepada Rin, tapi Rin mengacuhkannya.
"Baiklah." Kata Rin singkat.
Rin lalu mengambil handphone miliknya yang sedaritadi digunakannya untuk mendengarkan musik, kemudian mencari nomor Dell. Tapi sial bagi Rin, saat dirinya akan menelepon Dell, handphone itu mati karena kehilangan tenaga baterai.
"Ah, sial." Rin berdecak sebal.
Neru melihat Rin yang sedang memaki-maki ponsel miliknya sendiri, lalu kemudian menawarkan untuk memakai ponselnya.
"Pakai punyaku saja."
"Aku tidak hafal nomor ponsel Dell dan nomor telepon rumahku. Percuma, aku pulang sendiri saja." Rin lalu bangkit sambil merappikan rok sekolah miliknya.
"Kau yakin? Ini sudah larut." Neru memandangi Rin.
"Iya, aku bisa jaga diri." Kata Rin lalu berlalu keluar, tidak mengucapkan salam atau apapun sebagai tanda perpisahan.
Neru hanya menggendikkan bahunya dan kembali mengetik tugasnya.
Sementara itu Rin yang kini sedang berjalan sesekali mengedarkan pandangannya, mencari taksi, dia sedang tidak minat memakai kendaraan umum lainnya. Tubuhnya benar-benar lelah dan lagipula dia memang tidak pernah menggunakan kendaraan umum selain taksi, maka hal itu asing baginya.
Sudah lima menit Rin berjalan tapi dia tidak menemukan sebuah taksi pun, wajar sih karena daerah ini sudah sangat sepi, hanya ada beberapa orang yang terlihat sehabis pulang dari kantor.
Rin menghentikan langkah kakinya didepan sebuah bangunan rumah yang sangat terasing dari bangunan-bangunan yang jaraknya cukup jauh dari bangunan tempat Rin berdiri. Keadaan sekitar bangunan rumah itu cukup kotor, tapi masih terlihat terawat.
Mungkin penghuni rumah itu sedang berlibur, pikir Rin.
Rin menyandarkan tubuhnya ke salah satu tiang tinggi penyangga rumah itu, tubuhnya benar-benar terasa rontok kali ini. Dia tidak sanggup berjalan lebih jauh.
Saat Rin tengah mengistirahatkan tubuhnya sambil memejamkan matanya yang kini berangsur-angsur mulai membawanya tidur, suara dentingan piano dari dalam rumah itu memaksanya membuka kembali kelopak matanya.
Rin mencoba mengacuhkan suara itu, tapi entah kenapa dirinya seakan tertarik untuk menikmati alunan melodi itu. Lama-kelamaan Rin merasa tubuhnya semakin rileks dan rasa lelahnya berkurang.
Terusik rasa penasaran, Rin kemudian melangkahkah kakinya kedepan pintu masuk rumah itu lalu memutar pegangan pintu berwarna silver itu.
"Eh? Tidak terkunci?" Rin berkata bingung.
Rin sebenarnya bukan orang yang mempedulikan hal-hal yang menurutnya tidak penting, dan suara piano itu merupakan salah satu hal itu. Tapi entah kenapa alunan piano it uterus memaksanya untuk memasuki rumah itu.
Langkah mungilnya terus masuk kedalam rumah itu. Sebuah ruang tamu megah menyambut langkah kaki Rin, tapi Rin terus melewatinya, mencari suara piano itu.
Rin kemudian mengernyit bingung, dia sudah menelusuri semua ruangan di rumah itu, termasuk kamar-kamar yang tidak ada penghuninya. Rumah ini benar-benar kosong.
Tapi denting piano itu terus terdengar.
Gadis mungil itu mendengus sebal lalu memutuskan untuk pulang. Namun saat kakinya hendak berbalik, dia menemukan sebuah cermin berukuran besar yang tergantung di dinding.
Tidak, dia tidak sedang ingin bercermin. Tapi pandangannya terkejut saat melihat bahwa cermin itu tidak menampilkan pantulan benda yang menghadap cermin itu, melainkan sebuah piano yang tengah berdenting tanppa ada yang memainkannya.
Cermin itu seperti televisi yang menampilkan pertunjukkan piano seseorang, tapi sama-sekali tidak ditemukan orang yang memainkan piano itu.
Rin semakin terkejut saat mendekatkan dirinya ke cermin itu, lalu cermin itu mengeluarkan sebuah cahaya putih disekitarnya. Membuat Rin menutup matanya karena cahaya yang menyilaukan itu.
Rin merasakan tubunya seolah melayang, berputar, lalu tiba-tiba berhenti.
BRAK!
Tubuh gadis berpita itu terjatuh kelantai, membuat pemiliknya meringis sambil memegangi kepalanya yang tadi terbentur entah oleh apa itu.
Gadis itu lalu membuka kedua matanya, mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya.
"Dimana ini?" Rin mengernyitkan dahinya.
Setahunya tadi dia sedang berada di sebuah rumah, lalu mengistirahatkan tubuhnya, lalu mendengar suara piano, lalu masuk kedalam rumah itu, lalu melihat cermin aneh.
Eh, cermin? Tunggu, kemana cermin itu?
Rin mencari cermin besar itu, tapi nihil, dia tidak menemukannya. Dia sekarang tengah berada di sebuah ruangan seperti kamar, dengan kasur kecil dengan model kuno, sebuah meja rias yang juga terlihat kuno.
Didekatinya meja rias dan melihat sebuah cermin kecil yang memantulkan bayangan dirinya.
Rin memiringkan kepalanya sedikit, dia bingung karena tadi seingatnya dia memakai seragam sekolah dan kini dia sedang memakai kimono dengan riasan tebal diwajahnya.
"Pantas saja mukaku terasa berat." Rin menggerutu sebal.
Lalu pandangannya terus menelusuri ruangan ini, terus diperhatikannya lalu dirinya seolah tersentak saat melihat sebuah kalender yang tergantung di dinding kamar itu.
Bukan, bukan ada yang aneh di kalender itu. Tapi karena angka yang menunjukkan tahun di kalender itu yang membuat gadis mungil itu seketika membulatkan matanya.
"1930?" Rin bertanya pada dirinya sendiri.
Apa-apaan ini? Setahunya ini tahun 2012 bukan 1930.
Rin kemudian mendekati kalender itu, membolak-balik bulan demi bulan yang menjadi lembaran kalender itu.
"Masa sih 1930? Ah bercanda deh." Rin mulai panik saat tahun disetiap lembar kalender itu tetap menunjukkan angka 1930.
Saat Rin tengah panik, dan membanting kalender itu asal, ada sebuah kertas kecil yang terbang kearahnya, tepat didekat kedua kakinya.
Tangan gadis itu kemudian terulur mengambil kertas itu. Lalu mulai membaca deretan huruf di kertas itu.
"Bersenang-senanglah, waktumu empat puluh hari di masa ini. Belajarlah menjadi lebih baik, setelah itu cerminku akan membawamu kembali ke masamu. Salam hangat, pemilik cermin."
"APA-APAAN INI?" Rin berteriak kesal.
BRAK!
"Ada apa?" Seorang pemuda tampan dengan model rambut yang agak panjang dan diikat ponytail membuka pintu ruangan itu kasar, sepertinya dia terkejut dengan teriakan Rin.
Rin memandang pemuda itu, lalu mulai memperhatikannya.
'Tampan' pikir Rin, dia tersenyum samar. Dasar cewek.
"Ada apa?" Ulang pemuda itu, nadanya terdengar cemas.
"Tidak, aku hanya ingin tahu sekarang tahun berapa ya?" Tanya Rin.
Pemuda itu mengernyitkan dahinya, lalu tersenyum hangat.
"Sekarang tahun 1930, kenapa?" Pemuda itu bertanya lalu berjalan menghampiri Rin.
"Tak apa. Siapa kamu?" Rin berusaha agar bersikap wajar.
"Namaku? Aku Len Kagamine." Ucap pemuda itu lembut, ah tampan sekali dia.
Rin terdiam sejenak. Dia terus memikirkan nama pemuda itu.
'Len Kagamine? Aku Rin Kagamine. Nama keluarga kita sama, tapi aku merasa tidak mempunyai saudara sepertinya. Eh tunggu, ini tahun 1930 kan? Jangan-jangan dia ituuu…'
"Kau kakek buyutkuuuuuuu?" Rin berteriak kaget.
Pemuda itu ikut terkejut dengan perkataan Rin.
"Eh? Kakek buyutmuuuu?"
Nah, udah dulu deh buat awalnya.
Tuh kan gak jelas, bener kan?
Yah abisnya aku kan emang gak kreatif jadinya aneh gitu deh.
Tapi semuanya yang udah baca (semoga ada) kasih review ya, biar aku tahu nih cerita kaya gimana
Oke, kita liat cuplikan next chapter:
"Kita ada di rumah seorang bangsawan, aku adalah tuan muda disini, jadi bisa kubilang ini rumahku juga."
"Aku? Pelayan? Jika kau tahu siapa aku, kau tidak akan berani menyuruhku seperti itu."
"Tuan, ayah anda sakit keras."
"Siapa gadis itu, Len? Seleranya buruk sekali."
"DIAM KALIAN! AKU ITU NONA MUDA, TAHU?"
"Bukankah sudah kubilang dia itu gila?"
Oke, segitu aja.
Nah sekarang review ya hehe.
