Title : It's Not All About Money Chap 1
Pairing : HanHun, KaiHun, KaiSoo, etc
Cast : Oh Sehun, Kim Jongin, Luhan, Do Kyungsoo, Kim Junmyeon
Genre : OOC, Crackpair, Romance, Drama
Rate : M? (Maunyaaaa...)
.
.
.
Yang ini beneran new fic dan belum pernah dipost dimanapun. Kembali dengan cast KaiHun ditambah HanHun dan juga ide cerita yang pasaran LOL Enaknya lebih ke KaiHun apa HanHun ya? Well we will see seiring dengan berjalannya cerita xD Happy reading^^
.
.
.
Seorang lelaki dengan pakaian yang terlihat kusut—dengan ujung kemeja yang keluar dari celananya karena terlalu banyak bergerak dan rambut yang sudah tak berbentuk karena tertepa angin yang cukup kencang terduduk di salah satu kursi di platform stasiun sembari menunggu kereta yang beberapa saat lagi akan segera tiba. Jemari tangan rampingnya bergerak membuka setiap lembar koran dengan mata fokus menelusuri kata demi kata yang tercetak disana. Ia menggigit bibir bawahnya—nyaris putus asa.
Beginilah kisah hidup seorang mahasiswa miskin yang jauh dari orang tua. Ia tak ingin membuat mereka kesulitan dengan menanggung seluruh biaya hidupnya. Biarkan orang tuanya cukup mendengar kabar baik tentang prestasinya yang memuaskan dan hidup bahagia dengan apa yang dapat ia raih selama hidupnya—meskipun belum mampu membahagiakan mereka dengan materi yang berlimpah. Hanya sedikit uang yang ia dapat dari pekerjaannya menjadi tutor untuk beberapa anak sekolah. Ya, beruntungnya dia bisa memanfaatkan otak cerdasnya untuk menghasilkan beberapa ratus ribu won demi menghidupi dirinya sendiri meskipun kekasihnya tak jarang memberi kontribusi dalam hal finansial yang menjadi sesuatu cukup sensitif bagi orang-orang seperti dirinya.
Lelaki berperawakan tinggi kurus itu kemudian menghela nafasnya pelan saat kereta yang sudah beberapa menit ia tunggu kini datang dan mengundang penumpang yang sedari tadi duduk sama sepertinya. Mereka mulai berdiri di depan pintu kereta. Ia pun melakukan hal serupa. Menutup koran kemudian melipatnya lalu memasukkan benda tersebut ke dalam tas selendang coklat yang tersampir di bahunya. Saat pintu kereta terbuka ia segera melangkahkan kaki jenjangnya kemudian mendaratkan tubuhnya pada salah satu kursi yang cukup lengang. Tak banyak penumpang malam itu. Jam pulang kerja sudah lewat beberapa jam yang lalu. Sehun memang terlalu rajin. Ia baru saja selesai memberi pelajaran pada murid SMA-nya yang ia temui beberapa hari yang lalu di sebuah pameran buku. Sehun—nama pria itu—memang pandai mengambil hati setiap orang. Dengan mudahnya ia menarik siapa saja untuk menjadi muridnya. Bahkan kekasihnya bilang ia adalah tipe penggoda. Namun Sehun tak merasa seperti itu. Salahkan saja mereka yang mudah terjerat dan jatuh ke dalam pesona Oh Sehun.
Pria cantik berambut coklat itu merasa saku celananya bergetar pertanda ada panggilan masuk untuknya. Ia mengeluarkan smartphone putihnya kemudian menatap nama yang tertera pada screen ponsel dengan mata berat karena cahaya yang memancar dari ponsel, terlebih karena ia sudah cukup lelah dan mengantuk. Sehun menggeser screen sesaat setelah ia membaca nama seseorang yang menghubunginya.
"Yeoboseyo~" ujarnya enggan. Suaranya terdengar malas untuk menerima panggilan tersebut.
"Jagiya, kau sudah pulang?" suara di seberang sana justru berbanding terbalik dengan Sehun. Nada bicaranya terdengar begitu khawatir dan juga cemas. Sehun hanya memutar bola matanya kesal. Pasalnya mereka—Sehun dan juga kekasihnya—tengah bertengkar hanya karena hal kecil dan Sehun terlalu mempermasalahkannya.
"Kau masih mengkhawatirkanku?" pertanyaan ketus Sehun membuat pria di ujung telepon sana hanya mampu mendesah pelan. Luhan bisa dibilang begitu pengertian dan terlalu mencintai Sehun. Ia tak pernah bersikap terlalu keras padanya dan bahkan tak jarang ia mengalah meskipun ia tahu Sehun-lah yang bersalah.
"Kenapa bicaramu seperti itu eoh? Kau tak ingin aku mengkhawatirkanmu lagi?" terdengar nada kecewa yang begitu dalam dari suara lembut kekasihnya. Sehun sebenarnya sedikit tak tega jika sudah membuat Luhan cemas dan tampak putus asa. Namun kali ini Luhan harus diberi sedikit pelajaran! Salah siapa jika ia pergi dengan mantan kekasihnya tanpa sepengetahuan Sehun?
"Tak perlu!" Sehun dengan cepat memutus panggilan mereka kemudian mematikan ponselnya. Mencabut batere ponsel lalu memasukannya ke dalam tas. Ia benar-benar kesal! Ia menggigit bibir bawahnya untuk meredam emosi yang membuncah kemudian mengacak rambutnya dengan frustasi.
Sehun melangkah dengan gontai menuju apartemennya. Waktu sudah begitu larut dan keadaan di sekitarnya terlihat begitu sepi dan sedikit menyeramkan. Tapi Sehun tak terlalu mempermasalahkannya. Yang ia inginkan saat ini adalah segera sampai di apartemennya, membersihkan tubunya yang sudah lengket, kemudian merasakan tempat tidur empuk menyentuh punggungnya. Ia benar-benar lelah. Tubuh, hati, dan juga pikirannya.
Dari jauh ia bisa melihat sebuah mobil yang begitu familiar terparkir di sebrang apartemennya. Tidak salah lagi. Plat nomor yang begitu ia hapal. Itu mobil Luhan dan ia sudah menduga sebelumnya jika Luhan pasti tak akan menyerah untuk bertemu dengannya. Sebenernya lebih kepada ingin menyelesaikan masalahnya dan juga Sehun secepatnya. Pria berkulit pucat itu menghentikan langkahnya. Hendak mencari tempat aman untuk bersembunyi namun pergerakannya sedikit terlambat. Rupanya Luhan sudah mengetahui kedatangannya melalui spion mobil dan sesaat sebelum Sehun melangkahkan kakinya untuk pergi, Luhan terlebih dahulu keluar dari mobil dan segera mengarahkan tatapannya pada Sehun. Pria kurus itu hanya menelan salivanya. Percuma saja jika ia mencabut batere ponselnya agar Luhan tak bisa menghubunginya jika harus berakhir dengan bertemu Luhan disini.
Sehun segera membuang mukanya ke arah lain kemudian berjalan cepat menuju apartemennya tanpa menghiraukan keberadaan Luhan. Ia tak ingin melihat wajah kekeasihnya saat ini. Hatinya benar-benar sakit dan juga cemburu. Namun Luhan tak tinggal diam. Ia segera menyebrangi jalan untuk mengejar Sehun.
CKIIIIIIITTTTTT
Suara decitan rem dengan aspal membuat Sehun seketika menghentikan langkahnya dengan mata membulat sempurna. Tubuhnya membeku dan jantungnya berdegup begitu cepat. Sehun takut untuk berbalik dan menghadapi kenyataan yang tak pernah ia inginkan. Dengan segala keberanian yang ada ia pun segera membalikkan tubuhnya ke belakang. Dilihatnya Luhan tengah membungkuk 90° pada pengendara mobil di depannya. Ia pun segera melangkahkan kakinya kembali ke arah Sehun. Namun satu hal yang membuat Luhan menghentikan langkahnya adalah air mata Sehun yang kini sudah meluncur bebas di kedua pipinya yang memerah. Pria pucat itu segera berlari ke arah Luhan dan memeluk tubuh kekasihnya begitu erat.
"Bodoh!" Sehun berteriak di pundak Luhan. Tangannya memukul-mukul punggung Luhan cukup keras dengan air mata yang turun semakin deras.
"Kukira kau akan mati!" Sehun masih tak bisa mengontrol emosinya hingga Luhan kini membalas pelukan kekasihnya yang kekanakkan itu begitu erat.
"Kau mencemaskanku?" Luhan sedikit mengangkat kedua sudut bibirnya hingga membentuk sebuah lengkungan manis. Telapak tangannya kini bergerak mengusap punggung Sehun. Pria keras kepala itu menjauhkan tubuhnya dari Luhan. Matanya memerah dengan wajah yang tampak dipenuhi emosi.
"K-kau kira ak-aku sedang bercanda? Kau hampir mat-mati tadi! Huks..." Sehun memukul dada Luhan dengan keras hingga pria itu menggigit bibirnya menahan sakit.
"Bo-bodoh!" Sehun mengusap air matanya dengan kasar. Namun dengan cepat Luahn menggenggam kedia pergelangan tangan Sehun lalu menatap pria yang lebih muda 4 tahun darinya itu dengan intens.
"Maafkan aku." Ujarnya lirih. Sehun tak mampu menghentikan tangisannya.
"A-aku tak akan mema~"
Luhan terlebih dahulu mengulum bibir kemerahan Sehun sebelum pria itu menyelesaikan ucapannya. Sehun membuka matanya begitu lebar sementara Luhan memejamkan matanya, menggigit setiap inci bibir Sehun yang terasa asin di mulutnya. Tangannya kini menangkup kedua sisi wajah Sehun dan memperdalam ciuman mereka. Sementara Sehun menjatuhkan kedua tangannya di sisi tubuhnya. Gerakan bibir Luhan di bibirnya membuatnya perlahan memejamkan mata. Menikmati setiap sentuhan Luhan yang terasa begitu hangat dan tulus. Tangannya mencengkram kedua sisi kemeja Luhan di pinggangnya. Luhan membuka matanya perlahan kemudian menatap wajah Sehun yang basah karea air mata. Ia menjauhkan wajahh Sehun dari wajahnya dengan perlahan hingga ciuman mereka kini terlepas.
"Ya, kau harus memaafkanku, arachi? Kau tak perlu cemburu padanya. Bukankah sudah pernah kubilang jika diantara kami sudah tak ada apa-apa?" Luhan mengusap lembut wajah Sehun dengan kedua ibu jarinya. Sehun hanya tertunduk. Tak berani menatap mata Luhan secara langsung.
"Hei, lihat aku." Luhan mengangkat dagu Sehun agar pria itu menatapnya. Sehun hanya menggigit bibirnya karena merasa bersalah. Ia tahu jika ia terlalu cemburu dan kekanakkan.
"Seharusnya aku yang meminta maaf, Hyung. Aku tahu jika aku bodoh dan kekanakkan. Aku memang tak pantas untuk Hyung yang~"
Luhan kembali tak memberi kesempatan Sehun untuk menyelesaikan kalimatnya. Ia mengecup bibir mungil Sehun dengan lembut dan mengusap surai lembut kecoklatan itu dengan sayang.
"Aku mencintaimu."
.
.
.
Dentingan suara cangkir dan sendok yang saling berbenturan membuat suasana canggung diantara mereka tak terlihat begitu jelas. Pria setengah baya yang sibuk mengaduk kopinya hanya menatap anak semata wayangnya yang kini tengah menikmati sepotong roti untuk sarapannya. Tak ada percakapan diantara mereka. Hanya tatapan-tatapan yang sulit diartikan yang diberikan pria paruh baya itu pada anak yang kerap kali menunjukkan ekspresi datarnya bahkan pada ayahnya sendiri.
"Bagaimana sekolahmu?" sudah seharusnya ada komunikasi diantara mereka. Namun anak laki-laki dengan wajah yang bisa dibilang tidak bersahabat itu hanya melirik sekilas ayahnya kemudian kembali fokus pada dunianya. Terdapat jeda beberapa saat sebelum akhirnya ia menjawab.
"Baik." Ujarnya singkat. Ayahnya mulai menyesap kopi panas sedikit demi sedikit kemudian kembali meletakannya di meja. Ia memperhatikan wajah anaknya dengan seksama. Kemudian kembali membuka mulutnya.
"Kudengar dari beberapa pelayan kau memecat tutor barumu? Wae?" sudah pasti pertanyaan ayahnya membuatnya sedikit terkejut. Ia malas jika harus membicarakan hal satu itu.
"Kenapa Abeoji membahas hal tak penting itu sekarang? Kau membuatku tak berselera untuk makan." Ia meletakkan roti yang masih tersisa setengahnya dengan kasar di piring kemudian meneguk sedikit susu yang biasanya ia habiskan setiap pagi. Namun kali ini—hanya karena mendengar kata tutor—selera makannya menguap entah kemana. Ayahnya mendesah pelan kemudian meletakkan letak kacamatanya yang agak melorot.
"Tak penting katamu? Kim Jongin! Pendidikan itu penting! Bagaimana mungkin kau mengatakan itu tak penting?" nada bicara ayahnya terdengar sedikit meninggi. Ia memang tak pernah marah. Namun kali ini Jongin sudah membuatnya tak bisa bersabar lagi.
"Geumane. Aku malas jika harus berdebat denganmu di pagi buta begini." Jongin bersiap untuk berdiri kemudian menyambar tas sekolah hitam yang sejak tadi ia letakkan di kursi di sampingnya.
"Kim Jongin!"
"Apa sekolah formal tak cukup untukku? Toh aku tak ingin seperti Abeoji yang hanya berkutat di dalam dunia yang membosankan." Jongin dengan lancangnya mengatakan hal tersebut kepada ayahnya kemudian pergi begitu saja. Junmyeon hanya memijit pelipisnya yang terasa berkedut.
"Aku memang harus lebih tegas kepadanya. Jongdae, carikan tutor yang bagus untuknya lalu bawa ia padaku, arasseo? Aku tak akan membiarkan anak itu bersikap seenaknya lagi." perintahnya pada asisten yang sejak tadi berdiri disampingnya.
"Algesseumnida, Sajangnim."
To be Continued
.
.
.
Mind to review?^^
