Title : Furious Bloom
Genre : Romance-Crime, BxB
Rating : NC 21+
Length : 2 Chapters
Cast : Lee Jihoon, Kwon Soonyoung
[DISCLAIMER]
Seluruh cast di fanfiksi ini benar-benar ada dan sejujurnya melanggar aturan FFN. Namun Pitik tetap menggunakan namanya sebagai bahan imajinasi. Alur cerita memang milik Pitik, namun karakter mereka sesungguhnya adalah milik mereka sendiri. Maafkan Pitik, FictionPress!
Chapter 1
Sedikit lagi maka Jihoon dapat menemukan titik terang atas kasus pembunuhan di kantor perhubungan. Sosok mencurigakan yang dikenal sebagai Boo Seungkwan. Ia salah satu partner dari korban, Lee Seokmin.
Jihoon sengaja mengatur suasana ruang interogasi semencekam mungkin agar Seungkwan segera mengaku. Namun ketika pertanyaan demi pertanyaan ia lontarkan, sosok di hadapannya ini malah mengeluarkan air mata pilu.
"Aku tidak menyangka saat itu― hiks, kali terakhirku bicara dengan Seokmin. Aku bahkan― hiks, belum sempat menunjukkan kekasih baruku padanya."
Jihoon menyodorkan satu pak tisu ke hadapan Seungkwan, membiarkannya menangis sepuasnya. Ini sebuah taktik psikologis untuk membuat Seungkwan setuju menulis surat pengakuan.
Surat itu nantinya akan sangat berguna dalam penyelidikan.
Seungkwan benar-benar bertindak sesuai prediksi. Saat Jihoon memberikannya sebuah pena. Ia langsung menulis di atas kertas yang disodorkan, masih berlinangan air mata tentunya.
Jihoon tidak menyangka seorang Boo Seungkwan yang tampak baik-baik saja sebelum sesi berubah menjadi sangat emosional.
"Kita bisa menyudahi sesi interogasi ini sekarang. Kau boleh meninggalkan ruangan," ujar Jihoon.
Seungkwan mengambil beberapa lembar tisu lagi sebelum beranjak dari kursinya. Sementara itu Jihoon melipat surat pengakuannya dengan rapi dan mengantonginya.
Ketika Jihoon beranjak dari kursinya, lampu dalam ruang sempit itu mengeluarkan gas. Seungkwan yang baru meraih gagang pintu terbatuk-batuk dan tak sadarkan diri kemudian.
Jihoon terjatuh ke lantai karena kesadarannya berangsur-angsur lenyap. Sebelum semuanya berubah gelap, Jihoon sempat mendengar suara tak beraturan melalui speaker.
Ada seseorang yang melakukan sabotase. Namun Jihoon terlalu lemas untuk bertindak.
Gas yang keluar melalui celah-celah kecil lampu membuatnya tak sadarkan diri.
.
.
.
Ada cahaya yang menyilaukan ketika Jihoon membuka kedua matanya. Ia masih merasa pusing karena gas beracun yang mengambil kesadarannya.
Namun ada masalah baru sekarang. Kamar putih dengan seluruh permukaan yang tertutup bantalan.
Di mana dirinya?
Jihoon tidak bisa bergerak. Ia berbaring di ranjang dengan kedua tangan terikat secara terpisah.
Bukan tipe penahanan yang mudah. Apa lagi dengan kaki yang juga terikat secara terpisah.
"Apa yang terjadi?" gumamnya pelan.
Jihoon tidak merasakan apapun dalam saku celananya. Seharusnya ada sebuah pistol di sana. Ia juga menggerak-gerakkan tubuhnya, memastikan apakah ponselnya masih berada di saku rompinya.
Tidak ada. Siapapun yang memasang jebakan itu pasti sudah mengambilnya.
Jihoon mendengus kesal. Sebagai seorang detektif berpengalaman, ia belum bisa melakukan tindakan dalam situasi ini.
"Kau disekap," cetus seorang lelaki yang berada di dekatnya. Dengan kejelasan suara, Jihoon yakin ia juga berada di dalam ruangan ini.
"Itu yang terjadi."
Jihoon berusaha menoleh ke sana kemari, mencari keberadaan sosok yang menyahut pertanyaannya.
"Mencariku?" Sebuah suara dari atas kepala Jihoon.
Detektif itu mendongak dan menemukan seseorang di sana. Namun ia memalingkan wajahnya ketika Jihoon mencoba memperhatikannya.
"Bagaimana seorang petugas kepolisian sepertimu bisa berada di tempat ini?" tanyanya kemudian.
Jihoon lelah mendongak, ia beralih menggeleng di tempat.
"Aku tidak tahu. Apa kau disekap juga?" balas Jihoon datar.
Selama beberapa saat, Jihoon tidak mendengar apapun. Tapi ia bisa menangkap suara resleting.
Apa yang sedang dilakukan lelaki di belakangnya?"
"Aku akan dengan senang hati memberitahu kalau kau mau membantuku," ujar sosok itu kemudian.
Giliran Jihoon yang terdiam saat sosok itu memanjat naik ke atas ranjang. Ia berhenti dan duduk di atas Jihoon.
"Buka mulutmu!" suruhnya.
Jihoon tidak berniat menurut. Namun ia merasakan ujung benda lunak telah memasuki mulutnya ketika hendak berkata-kata. Sosok itu mendorongnya, membuat Jihoon terpaksa membiarkannya berada di sana.
Sosok itu memaksanya melakukan blowjob. Jihoon tidak bodoh untuk menyadarinya. Lelaki di atasnya ini pasti memiliki orientasi seksual menyimpang bila memaksa Jihoon untuk melakukan hal ini.
Terlalu lama membuka bibir, membuatnya kram. Jihoon tidak tahu sampai kapan lelaki itu akan tetap berada di atasnya. Sesekali ia mendesah puas ketika Jihoon menggerakkan lidahnya.
Itu semua ia lakukan semata-mata kram. Jihoon tidak bisa berdiam diri dalam keadaan seperti ini.
"Kau tahu cara membantuku. Apa kau pernah melakukan ini sebelumnya?" tanyanya kagum.
Jihoon tidak bisa menjawabnya. Tidak saat ia merasakan kepemilikan lelaki itu membesar. Detik selanjutnya, rongga mulut Jihoon basah oleh cairan.
Lelaki itu mengeluarkan miliknya dari dalam sana. Jihoon terbatuk-batuk. Ia tidak ingin menelan cairan itu, namun posisi tubuhnya tidak menguntungkan. Ia terpaksa menelannya. Juga membiarkan sisanya menodai pinggir bibirnya.
Lelaki itu masih berada di atasnya. Ia beringsut turun hingga wajah mereka bertatapan. Dengan cepat ia meraup bibir Jihoon, menciumnya dengan intens.
Jihoon memberontak dengan menggigit bibir lelaki itu, namun ia beralih, membersihkan sisa cairan yang masih berada di wajah Jihoon dengan bibirnya.
"Melihatmu berada di bawah membuatku bahagia," senyumnya.
Jihoon kini bisa memperhatikan wajah lelaki itu dengan jelas. Kedua matanya yang membentuk bulan sabit saat tersenyum. Kedua pipinya cenderung penuh. Rambutnya berwarna kelam.
"Apa kau tidak disekap?" tanya Jihoon dengan napas yang masih terengah.
"Aku menyukaimu," balas sosok itu.
Jihoon tidak paham dengan pernyataan afeksi yang sangat mendadak ini. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah lelaki dia atasnya ini yang menyekapnya?
"Sejak awal melihatmu, aku benar-benar ingin melakukan ini," ujar sosok itu kemudian menyibakkan rompi yang digunakan Jihoon.
Ia melepaskan kancing kemeja yang digunakan Jihoon satu persatu sementara detektif itu menatapnya tak percaya.
"Aku tidak bisa melakukannya," tahan Jihoon, "Tolong lepaskan aku!"
Seakan tuli, lelaki itu tetap melanjutkan kegiatannya. Ia menjamah tubuh Jihoon, mengelus bagian abdomennya yang terbentuk. Petugas lapangan memiliki badan atletis, hasil dari latihan rutin.
Lelaki itu mengecup puncak dada Jihoon lembut, menimbulkan kejutan demi kejutan di tubuh Jihoon. Wajahnya merah padam ketika lelaki itu memperlakukannya sebagai seorang submisif.
"T-tolong hentikan," mohon Jihoon. Tangannya yang terikat mengepal erat sejak tadi.
Tangan lelaki itu kini meraih pengait celananya. Ia membuka dan menurunkan resletingnya sementara Jihoon berusaha menarik lepas ikatan tangannya.
"Lepaskan aku!" pinta Jihoon untuk ke sekian kalinya.
Air matanya mengalir karena putus asa. Ia benar-benar tidak bisa menerima perlakuan lelaki ini. Tidak dengan harga diri tingginya.
"Hentikan― hh," Jihoon mendesah di akhir ucapannya. Ketika itu sosok yang mengaku suka pada dirinya tengah memainkan kepemilikannya, ganti melakukan apa yang ia paksakan pada Jihoon di awal.
Jihoon mengigit bibirnya, tidak peduli akan lecet parah atau tidak. Yang jelas ia tidak ingin kelepasan mendesah. Suara tidak beraturan itu bisa memicu tindakan pelecehan yang lebih jauh.
Lelaki itu masih mengulumnya. Lebih menghayatinya daripada Jihoon. Detektif itu yakin ia sangat menikmati perlakuannya ini. Jihoon juga yakin miliknya sudah terpancing.
Jihoon memejamkan kedua matanya ketika benda lunak di selatan tubuhnya mengeluarkan cairan. Tidak sedikit karena ia merasa benar-benar basah.
Lelaki itu gantian menyusuri pinggul Jihoon. Tangannya basah. Jihoon yakin itu karena cairannya sendiri.
Jemarinya berhenti di pipi bokongnya. Ia meremas pelan sementara Jihoon kembali menggigit bibirnya sendiri. Perasaan geli menjalari tubuhnya.
Pada suatu titik berganti menjadi terdesak. Lelaki itu tengah mencoba masuk dalam celah tubuhnya, menggunakan cairan Jihoon untuk mempermudah jalannya.
Bibir Jihoon dipastikan sudah lecet saat ini. Sangat perih ketika salah satu jari sosok itu memasukinya. Bersusah payah ia menahan suaranya agar tidak lolos.
"Aku ingin berada di dalam tubuhmu," ungkap lelaki itu.
"Aku tidak― hh― ingin kau melakukan apapun padaku," balas Jihoon kesal.
Sosok itu kembali memanjat naik, membuat tatapan mereka saling berhadap.
"Bibirmu terluka," gumamnya sambil menyentuh luka yang Jihoon ciptakan sendiri.
"Berhenti menyentuhku!" balas Jihoon berang. Air matanya belum juga kering, namun sosok ini makin membuat Jihoon frustasi.
"Aku hanya menunjukkan rasa sayangku padamu."
"Kau tidak bisa melakukan ini pada seseorang yang bahkan tidak mengenalmu," protes Jihoon.
Sesaat ia merasakan kepanikan tingkat tinggi ketika kepemilikan sosok itu bersentuhan dengan pintu celahnya.
"Aku tidak memerlukan izinmu untuk melakukannya," balasnya angkuh sambil mendesak celah tubuh Jihoon.
Erang kesakitan tertangkap jelas di telinga sosok itu. Jihoon menggelengkan kepalanya berulang kali. Ia ingin sekali memberontak, namun setiap kali bergerak, sosok itu menghujam tubuhnya semakin dalam.
"H-hentikan, aku mohon," lirih Jihoon. Ia benar-benar tidak tahu bagaimana caranya membuat lelaki gila ini berhenti.
Menjadi submisif membuat dirinya hancur luar dalam. Jihoon tidak bisa berpikir jernih.
"Aku akan melepaskanmu setelah ini," ujar sosok itu kemudian mengecup dahi Jihoon singkat.
Entah angin apa yang membuat Jihoon menjadi lebih tenang setelah kecupan barusan. Napasnya berubah teratur seakan baru saja dijinakkan.
Ia tidak lagi memberontak dan membiarkan lelaki itu tetap berada di atasnya. Tubuh mereka masih bertaut di bawah.
Tatapannya kosong, seolah ia akan mendapat hukuman mati setelah ini.
"Kau akan segera bebas," bisik lelaki itu sambil melanjutkan kegiatannya. Ia tengah mencari titik kenyamanan dengan melakukan gerak perlahan.
Jihoon mengikuti ritmenya, menyesuaikan gerakan naik turun dominannya. Semakin lama gerakan itu menjadi kian cepat.
Tanpa sadar Jihoon melepaskan desahan demi desahan. Ia tidak ingat tentang menahannya lagi. Jihoon membiarkan lelaki asing itu mendengarnya secara bebas.
Sosok itu mengeluarkan cairan dalam tubuh Jihoon. Submisif itu merasakannya dan ia membiarkan hal itu terjadi.
Lelaki itu meraih ikatan tangan Jihoon, melepaskannya satu persatu. Alih-alih mendorong dominannya menjauh, kedua tangan itu malah memeluk punggungnya erat-erat.
"Sedikit lagi, Lee Jihoon," ujar sosok itu sambil menyebut namanya.
Jihoon mengerang pelan. Sejak tadi ia tidak mengatakan apapun. Hanya suara tak beraturan yang keluar dari bibirnya.
Lelaki itu melambatkan ritmenya hingga mereka benar-benar berhenti bergerak. Perlahan sosok itu menarik kembali miliknya dari dalam celah Jihoon.
Sebuah helaan lega terdengar dari detektif itu. Jihoon merentangkan lengannya di atas ranjang, lelah atas kepanikan dan kegiatan yang mereka lakukan baru saja.
Sosok itu membenahi pakaian Jihoon, menaikkan celananya kembali serta mengancingkan kemejanya. Kemudian ia beranjak dari atas ranjang dan membenahi pakaiannya sendiri.
"Aku menaruh ponselmu di samping ranjang. Kembalikan staminamu dan keluarlah dari tempat ini. Aku tidak akan mengunci pintunya," pesan sosok itu sebelum menghilang dari balik pintu.
.
.
.
Kasus pembunuhan di kantor perhubungan terselesaikan dengan cepat. Boo Seungkwan ditangkap sebagai tersangka. Selama ini ia berperan sebagai musuh dalam selimut. Hanya saja tidak ada yang menyadari hal itu.
Lee Jihoon mengambil cuti pekerjaan. Setelah kasus itu ditutup. Hari-hari berikutnya ia habiskan di apartemennya sendiri.
Suatu malam, di tengah cutinya, ia mendengar bel pintu berbunyi. Dengan segera ia berlari dan melihat siapa yang berada di depan kamarnya melalui interkom, seorang tamu yang belum pernah singgah sebelumnya.
Jihoon mengenalinya. Kedua mata itu masih berbentuk bulan sabit ketika tersenyum.
"Apakah kau mau membantuku?" sambutnya saat pintu kamar Jihoon terbuka.
Pemilik kamar menunduk, menyembunyikan merah padam pipinya dari sang tamu.
Bibirnya bergerak pelan mengucap sebuah kata, "Tentu."
.
.
.
To be continued
FF ini sebenarnya inspired from game. Pitik suka banget main game ini kalua lagi pinter hehe: Adventure Escape. Game itu kan ada banyak serinya. Kalau seri yang jadi bahan buat FF ini itu dari Adventure Escape Misteries: Trapmaker.
