Ohayou! Konichiwa! Konbawa!
.
Fic ini jadi karena terinspirasi anime Fairy Tail episode 125, episode 126, dan ketika Wendy pertama kali muncul di Fairy Tail. *wink*
Dan lagi-lagi saya bikin fic dengan crack-pairing. Jika Anda tidak suka, silakan tinggalkan fic ini dengan damai. :)
I will survive~
Dozo, Minna-sama!
.
Disclaimer: Fairy Tail belongs to Hiro Mashima. I don't own Fairy Tail. I don't take any personal commercial advantages from making this fanfiction. Just for fun. Waning: Alternate Reality, TWT, OOC, OC, typos, OOT, crack-pair.
.
Have a nice read! ^_~
.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
.
Ada banyak penyihir luar biasa tergabung dalam penyihir Fairy Tail. Mereka tetap begitu luar bisa kendati waktu tujuh tahun telah terlewat. Walau sekarang fisik dan jumlah anggota markas guild mereka kali ini jauh berbeda dibandingkan dengan yang dulu—akibat krisis finansial karena hutang yang membengkak selama tujuh tahun, namun kehangatan dan keceriaan dan kerusuhan senantiasa melekati image guild sensasional sepanjang riwayat kerajaan Fiore ini.
Jika seseorang bertandang ke guild Fairy Tail, yang pertama kali dia lakukan adalah mencari tahu siapa masternya—Makarov Dreyar. Ditilik sekilas pandang, beliau hanyalah seorang kakek tua kecil yang dari matanya saja tersirat ia bahagia mengikuti perkembangan guildnya. Atau Master keempat, Macao. (Jangan bertanya kenapa tidak ada penjelasan mengenai Master keempat.)
Mungkin yang mereka cari-cari bisa juga Gildartz dan Laxus. Jangan terlalu banyak berharap, mereka sangat sulit ditemui. Kemudian ada Titania no Erza, serta model terkenal dengan dua persona kontra, Mirajane. Mereka adalah para penyihir andalan kelas S kebanggaan Fairy Tail.
Ataukah penasaran dengan popularitas trio dragon slayer dan ketiga exceed yang setia mendampingi mereka? Raijin Shuu? Shadow Gear? Dan penyihir-penyihir hebat lainnya serta pelayan bar yang cantik? Mampir berkunjung pun tak masalah, apalagi menawarkan mereka pekerjaan. Fairy Tail akan menyambutmu dengan ramah dan meriah.
Namun cerita kali ini bukanlah mengenai penyihir-penyihir terkenal dan sepuh itu, melainkan generasi-generasi muda penerus guild antik tersebut.
Once upon a time—suatu waktu, cerita ini dimulai dengan seseorang yang butuh pertolongan dan individu istimewa lain yang seringkali menolongnya.
Sesederhana itu, seharusnya.
"Wendy, jangan lari terlalu cepat!" seru seekor kucing berbulu putih pada seorang gadis kecil dikuncir dua yang tengah berlari-lari kecil. "Nanti kau bisa jatuh!"
"Aku harus bergegas, Charle. Mira-san membutuhkan obat-obatan yang kupetik di hutan ini secepatnya," sahut gadis itu seraya menoleh ke belakang—pada exceed kesayangannya.
Charle terbelalak. Ia mengibas-ibaskan tangannya panik. "Wendy, awas—!"
Baru saja Charle memperingatkannya. Kaki kanan Wendy menjejak lantai yang baru saja selesai dipel dan masih basah sehingga menyebabkan gadis itu terpeleset. Namun alih-alih badannya berciuman mesra dengan permukaan lantai, mantan penyihir Catshelter itu justru menabrak seseorang.
BRUK!
Orang yang ditabrak Wendy itu refleks berbalik dan menahan laju hampir jatuh gadis itu dengan memegang bahunya, ia berhasil mengendalikan rasa terkejutnya. Baru sedetik kemudian ia tersadar, ember berisi penuh air kotor bekas mengepel lantai ia lemparkan dan tengah melayang di udara.
"Oh, tidak!" Charle memekik.
Terlambat.
BYUUR!
Air hitam yang kotor mengguyur Wendy dan orang yang ditabraknya itu hingga basah kuyup. Wendy hendak buru-buru mundur, tapi gadis itu terpeleset lagi dan jatuh menimpa orang yang ditabraknya berada di bawah dirinya.
Mereka terjatuh. Keduanya sama-sama meringis kesakitan, terlebih orang yang merasakan pedihnya permukaan punggungnya nyeri karena beradu dengan lantai.
"Ka-kau baik-baik saja?" tanya orang yang menyelamatkan Wendy dari konfrontasi benturan pada lantai, di sela ringisan kesakitannya.
"A-aku—" Wendy baru berhasil mendudukkan dirinya di atas orang itu, tapi ember kayu yang telah habis menumpahkan air kotor itu mendarat keras tepat di kepalanya. Suara "Bang!" kencang terdengar ketika ember laknat itu menghantam keras kepala bermahkotakan rambut biru kusam. Hal ini menyebabkan Wendy terjatuh lagi dan wajah kotornya menabrak dada terbuka sang penolongnya. "—sa-sakiiit…"
Semua orang yang melihat kejadian itu terbengong-bengong dibuatnya.
.
#~**~#
A Fairy Tail Fanfiction,
.
Damsel in Distress
.
By: Light of Leviathan
#~**~#
.
"Astaga… Wendy, Romeo, kalian baik-baik saja?" Mirajane bergegas menghampiri kedua anak itu diiringi Kinana sambil membawa handuk bersih.
Putra tunggal master keempat Fairy Tail itu menoleh ke samping, lalu meludahkan air kotor bekas mengepel lantai yang masuk ke mulutnya. "Tidak juga," jawabnya. Kemudian ia melirik pada gadis kecil yang tengah menimpanya. "Ka-kau bisa ba-bangun, Wendy-Nee?" tanyanya ragu.
Gadis yang dari segi fisik sebaya dengannya itu lekas mengangkat tubuhnya, memaksakan diri untuk duduk. Sepasang mata coklatnya berputar-putar, ekspresinya sarat derita. Tangannya terangkat untuk menyentuh bagian kepala yang terasa panas dan berdenyut menyakitkan. "Ho-hontou ni go-gomenasai, Romeo-san…"
Kinana dan Charle lekas membantu Wendy untuk bangun, lalu memapahnya ke kursi terdekat. Dengan lembut, gadis yang merupakan pelayan bar Fairy Tail selama tujuh tahun terakhir itu menghanduki gadis kecil tersebut.
Romeo dengan susah payah berdiri sembari mengusap-usap punggungnya yang masih terasa sakit. Tertatih ia berjalan menuju Mirajane yang mengulurkan handuk kepadanya. Ia meraih handuk itu dan mulai mengeringkan dirinya seraya menarik kursi dari meja yang paling dekat dengannya untuk diduduki. "Terima kasih, Mira-Nee."
"Sama-sama, Romeo," balas Mirajane lembut, "kau baik-baik saja?"
"Ya. Hanya sakit sedikit di punggung," jawab Romeo, bocah itu berusaha terlihat tenang dan baik-baik saja.
"Wah… lantainya jadi kotor lagi," cetus Lucy kecewa.
Happy tersenyum lebar dan mengacungkan salah satu telapak kaki depannya. "Jadi, apa sekarang kita bisa bermain skating?"
"Main skating itu jelas di atas es, Happy," tanggap penyihir roh bintang itu sweatdrop.
Romeo mendesah lelah. "Maafkan aku. Aku pel lagi saja—"
"Oh, semangat masa muda yang mengesankan, Anakku," sela Macao dengan nada bangga sambil menepuk helaian lepek raven surai putranya.
Wakaba membelalak tak percaya. "Orangtua macam apa kau, hah? Anakmu kau suruh pel guild sendirian sementara ayahnya malah minum-minum sambil main kartu?"
"Kau juga orang tua macam apa membiarkan Romeo mengepel sendirian dan malah main kartu sambil minum-minum denganku, Wakaba?!"
Kedua orang itu ribut bertengkar. Romeo menatap tanpa minat keduanya.
Erza tersenyum misterius. Ia melewati Romeo dan menepuk bahunya sekilas. "Kau istirahat saja. Biar kami yang lanjutkan pekerjaanmu, Romeo."
"Ka-kami?" ulang Romeo memastikan, ia terlihat skeptis dan terbit satu prasangka yang mengacu pada kecurigaan tertentu.
"Aku, Lucy, Natsu, dan Gray," tegas penyihir wanita paling kuat di Fairy Tail itu penuh keyakinan.
"HEEEH?!" Ketiga orang lain yang disebut namanya memekik kaget. "Kenapa aku?" protes ketiganya kompak.
"Ada masalah?" Erza melirik teman-teman setimnya dengan sorot mata mengancam. Hal ini sukses membuat orang-orang di sekitarnya meremang bulu kuduknya. "Lagipula, hanya kita yang sedang menganggur. Tak ada salahnya membantu. Kalian tega membiarkan Romeo membersihkan ulang bar ini sendirian?" tandasnya kejam.
"AYE, SIR!" Ketiganya lekas balik kanan dan berhamburan mencari peralatan untuk bersih-bersih. Silih berganti mereka memberikan isyarat pada Romeo bahwa mereka akan mengerjakan tugas yang diperintahkan Erza tanpa mengeluh.
Mirajane tersenyum geli. Ia menatap Erza dan melontarkan pujian modus, "Ide yang bagus, Erza."
"Tentu saja. Ah, sebaiknya aku mengikuti mereka untuk memastikan mereka tidak membuat kekacauan," ujar Erza yang beranjak dari sisi Romeo untuk menyusul ketiga kawannya.
Romeo mengembuskan napas panjang. Kecurigaannya terbukti. Erza pasti mengusulkan—memaksa tepatnya—untuk membiarkan yang lain selain dirinya untuk membersihkan aula Fairy Tail. Satu hal yang bisa dipastikan, bar ini tidak akan semakin bersih, tapi justru malah bertambah kotor bahkan kacau. Meskipun markas sedang sepi karena sebagian besar penyihir-penyihir bepergian mengerjakan misi, tapi kendati hanya mereka berempat—justru karena karena tim terkuat Fairy Tail itulah—dapat dipastikan akan membuat kisruh, entah apa masalahnya dan bagaimanapun caranya.
Happy terbang untuk mendekati bocah yang sekali lagi menghela napas panjang itu. Dengan ekspresi inosen khasnya ia berkata, "Serahkan saja pada mereka. Tidak usah pasang muka seram begitu, Romeo."
"Mukaku tidak seram," tukas Romeo, "dan justru karena itulah aku jadi khawatir."
Romeo tidak menggubris respon satir khas Happy berikutnya karena atensinya teralih pada sumber suara lemah yang menyebutkan namanya.
"Romeo-san, ma-maafkan a-aku…"
Bocah yang sedang melepaskan syal kuning yang membalut lehernya itu menarik napas dalam-dalam. Belum ia sempat memberikan balasan, gadis itu terkulai pingsan.
"Sepertinya kepala Wendy-chan tertimpa ember keras sekali," ujar Kinana prihatin seraya menopang anak perempuan yang terkulai dalam rangkulannya.
"Ara, ara…" Mirajane menggeleng-gelengkan kepala, "Kinana, Charle, gantikan baju Wendy lalu bawa dia pulang agar bisa beristirahat. Jangan lupa mengompres kepalanya dengan air hangat dan bersihkanlah tubuhnya."
Charle mengangguk, airmukanya keruh akan kekhawatiran dan murung yang terfokus pada Wendy. Kinana mengangguk, ia dibantu Charle melaksanakan instruksi Mirajane.
Gadis yang merupakan kakak dari Elfman dan Lisanna itu lalu mengalihkan pandangannya pada Romeo. "Kau sebaiknya mandi, Romeo. Aku akan minta pada Macao supaya membawakanmu pakaian ganti."
Saat itu, Romeo mengatupkan bibir rapat-rapat dan mengangguk mendengar perkataan penyihir wanita dengan kemampuan satan soul itu. Ia beranjak dengan handuk yang kini kuyup ternoda tersampir di bahu. Sebenarnya ia tidak terlalu menyimak instruksi Mirajane karena sepasang mata oniksnya mengikuti kepergian Wendy yang dipapah oleh Kinana dan Charle, pulang menuju asrama penyihir wanita Fairy Tail dan tiada henti menggumamkan "maaf" dengan suara lemah.
.
#~**~#
.
Hari esok, ketika mentari bertahta agung di singgsananya yang merupakan hamparan lazuardi dan menyengatkan radiasi hangat berlimpah terik mentari.
"Wendy Nee-chan~ kau sedang main petak umpet?" Anak perempuan dari pasangan Alzack dan Bisca itu menyentuh kaki seseorang dan mengguncangnya perlahan.
Wendy berjengit. Serasa jantungnya nyaris meloncat keluar dari rongganya saking terkejutnya dirinya. "Ti-tidak, Asuka-chan," jawabnya pelan. Ia mengembangkan senyum ramah pada anak perempuan itu.
"Wendy, kenapa kau hanya berdiri di balik pintu masuk aula? Pantas saja Charle masuk ke bar tadi pagi sambil cemberut—kukira itu karena kau tidak datang ke markas."
Sapaan itu refleks membuat yang disapa berjengit lagi dan terpekik pelan. Penyapanya ikut terkejut dibuatnya.
"Se-selamat si-siang, Lucy-san," balas Wendy lega, "A-ano… e-eto… si-siapa sa-saja yang su-sudah datang?" tanyanya terbata-bata.
Kerutan samar muncul di dahi yang tertutupi helaian rambut pirang itu. Alisnya mengernyit pertanda heran. "Sudah banyak, lagipula sebentar lagi jam makan siang."
Wendy terlihat mengalami kesulitan dengan aliran sistem pernapasannya. Ini menyebabkan rona merah mendebui pipinya. Gadis kecil itu menatapi Asuka—tidak berani mengangkat kepalanya. Ia ingin bertanya, namun entah kenapa lidahnya kelu. Terlebih ia merasa enggan karena insiden memalukan kemarin.
Sejenak Lucy mengamati dengan seksama salah tingkah si gadis kecil berambut biru yang dikuncir dua di hadapannya. Kemudian dia terkikik geli setelah berhasil mengetahui maksud dari perilaku tidak wajar Wendy.
"Oh, dia sudah ada di dalam," kata Lucy riang seraya mengedipkan sebelah mata dengan gaya nakal. Ia meraih tangan mungil berkeringat dingin Wendy, lalu mendorong gadis itu memasuki aula yang ramai. "Ayo masuk, Wendy!"
Takut-takut, Wendy mengedarkan pandangan. Bagus, setidaknya tidak ada yang menyadari kehadirannya. Begini jauh lebih baik—situasi dan kondisi yang diharapkannya. Sepasang mata beriris layaknya hazel itu bergulir mencari satu sosok bocah laki-laki sebaya dirinya. Pandangannya terhenti ketika ia telah menemukan seseorang yang dicarinya.
Langkah-langkah berat mengantarkannya memangkas jarak dengan orang yang kemarin ditabrak olehnya. Batinnya menjerit panik—belum siap mental. Keringat dingin tidak henti mengalir di pelipisnya. Namun ia tidak bisa lari lagi. Sekarang atau tidak selamanya. Ia harus meminta maaf atas kesalahan yang dibuat olehnya.
Ia menaiki tangga kian mendekati bar. Dari ujung matanya yang tertutupi helaian poni bersurai biru pun ia masih bisa melihat orang itu, dia duduk di kursi paling tepi meja bar—hanya beberapa meter berada di depannya.
Wendy berusaha menenangkan dirinya dengan terapi tarik-buang-napas. Efek positifnya hal ini membuatnya sedikit merasa lebih tenang. Ia mendongakkan kepala dan melihat orang itu sedang bertopang dagu dengan meja bar sebagai tumpuan lengan.
"Aku tidak butuh ikanmu, Hap—" Charle hendak melayangkan satu jitakan manis di kepala berbulu biru milik Happy, ketika ia melihat Wendy akhirnya datang ke aula. "—Wendy!"
Nyaris serentak seluruh pasang mata insan menghunjamkan tatapan penasaran pada pemilik nama yang diserukan oleh Charle. Seketika Wendy membeku. Dan keheningan merenggut kerusuhan yang dalam waktu singkat merambati aula guild yang sempat menjadi guild nomor satu di kerajaan Fiore itu.
Wendy merasakan suhu di sekelilingnya mendadak meningkat tajam tatkala orang yang hendak dihampirinya menoleh padanya. Terlebih ketika tanpa disangka-sangka melayangkan senyum ramah dan bertanya ringan padanya, "Kau sudah sehat, Wendy-Nee?"
Sunyi sejenak.
Natsu memiringkan kepalanya dari balik sosok itu. "Wah, Wendy, kepalamu benjol!" cetus pemuda berambut merah muda itu riang.
Sweatdrop berjamaah dan terbengong-bengong. Wendy yang sekujur tubuhnya bergetar hebat, bibirnya terbuka lalu terkatup seperti ikan. Refleks ia membalikkan badan dan berseru, "Ma-… ma-maafkan a-aku! "
Gadis itu hendak melarikan diri. Sayangnya, nasib baik lagi-lagi tak berpihak padanya. Baru satu langkah ia ambil dan menjejak penuh kepastian pada lantai kayu, saat itu pula ia terpeleset. Ah, sial lagi.
GUBRAK!
Suara "OH!" kencang bersahut-sahutan memenuhi aula itu. Wendy menelungkupkan kepalanya pasrah seraya meredam erangannya dalam lindungan kedua lengannya.
Oh, malu lagi.
Gelak tawa berderai memecah keheningan yang sempat singgah. Telak membuat Wendy berusaha mengangkat badannya dengan kepala tertunduk dalam. Kening dan hidungnya berdenyut sakit, mungkin akibat ia jatuh terpeleset tadi dengan wajah menghantam lantai terlebih dulu. Ia bisa merasakan hemoglobin bergumul di wajahnya yang menyebabkan merah padam wajahnya dan asap-asap imajiner menguar darinya.
Hingga Wendy merasakan tangan dengan tekstur permukaan kulit agak kasar menyentuhnya lembut, meraih bahu dengan trademark biru muda khas Fairy Tail miliknya.
"Err, kau baik-baik saja, Wendy-Nee?" tanya satu-satunya orang yang berlutut di sampingnya untuk menolongnya, tampak meragu.
Wendy membiarkan orang itu membantunya duduk. Ia tahu orang itu pasti akan membantunya, tapi ia tak menyangka yang lain akan tertawa—entah karena apa.
"Ti-tidak," jawab Wendy jujur. Ia berusaha menahan isak tangis yang nyaris tak tertahankan, kristal-kristal airmata menghiasi sepasang mata hazel miliknya, bibirnya berkedut-kedut, dan badannya menggeletar hebat.
"Hoaa—" Panik penolongnya. Berhubung posisinya kini berada yang paling dekat dengan Wendy, ia bisa melihat gadis kecil di hadapannya hampir menangis. "Ki-kita keluar saja dari sini!" Ia membantu Wendy berdiri, menopangnya lalu bergegas membawanya keluar dari aula.
"Hee, kalian mau kemana, Romeo, Wendy?" tanya Natsu heran.
Pertanyaan yang disuarakan itu persis seperti yang terbersit dalam benak para anggota Fairy Tail. Mereka hanya bisa melongo tak mengerti menatap kepergian Romeo yang membawa Wendy keluar dari bar. Riuh-rendah membumbung memenuhi ruang utama markas terpencil milik Fairy Tail itu.
Romeo menoleh. Ekspresi galak tertoreh di wajahnya, matanya yang beredar pada seisi aula itu menyorotkan ketajaman tak terbantahkan dan menyiratkan peringatan. "Diam!" sentaknya.
Dengan itu, ia menghentakkan langkah tegas. Siluetnya menghilang di balik pintu bersama Wendy. Lucy yang berada di dekat pintu hanya bisa mengerjap-ngerjapkan mata, sama bingungnya dengan yang lain.
"Hei, ada apa dengan anakmu, Macao?" tegur pria tua perokok sahabat Yondaime Master guild Fairy Tail.
Macao mengedikkan bahu. Ia juga tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi. "Padahal kita sudah siap menyambut kedatangan Wendy—karena ternyata ia baik-baik saja…"
Urat saling bersilangan di dahi salah satu exceed yang pandai meramal. "Wendy pasti langsung sedih saat tiba-tiba ditertawakan seperti tadi!"
"Kami kan tidak melakukan apa pun," sanggah Gray diikuti anggukkan setuju dari yang lainnya.
Lucy menghela napas sembari memijat pelipisnya. "Kalian menertawainya. Menertawakan Wendy tepat setelah dia terjatuh. Siapa yang tidak berpikiran negatif karena itu?"
"Oi, kami tertawa karena Macao menyuruh untuk tertawa saat menyambut kedatangan Wendy, agar Wendy dapat kesan bahwa kita senang dengan kedatangannya kembali, Lucy," tutur Natsu yang memfokuskan atensinya pada sepiring kudapan di hadapannya, daging panggang yang ditusuk garpu dalam genggamannya kini lenyap dilahap oleh dragon slayer api itu.
"Aku tidak peduli, pokoknya kalian harus minta maaf karena membuat Wendy sedih," hardik Charle kesal.
Charle akan menyusul Wendy, namun Erza menghalanginya. Exceed dengan pita merah menghiasi ekor itu memicingkan mata kesal pada gadis berbalut armor besi tersebut. "Biarkan aku lewat."
"Biarkan mereka sendiri. Ada urusan yang harus mereka selesaikan, bukan?"
Suara menenangkan dan senyum meyakinkan Erza, berdampak pada Charle yang membuang muka dan memilih menuruti perkataannya.
Ada baiknya memberikan sedikit waktu untuk Romeo dan Wendy supaya mereka bisa berkonversasi sejenak.
.
Tsuzuku
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
.
Flat banget untuk takaran Fairy Tail, ya? Maafkan jika terkesan gaje dan kurang deskrip dan kurang humor. Chapter depan mudah-mudahan tidak akan membanting chapter ini. Orz *deep bows*
Lagi, bukannya menyelesaikan satu chapter lagi "Compliment", saya malah mem-publish draft berdebu. *headbangs* masalahnya fic ini dengan itu amat timpang—dari segi diksi maksud saya. Coba dibandingkan saja, fic Compliment gaya bahasanya berbeda dengan fic ini. Dan entah kenapa membahas ini bikin saya makin nggak pede sama fic sendiri. *gloomy feels*
Scene RoWen-nya di chapter berikutnya. ;D
.
Terima kasih sudah menyempatkan membaca. Kritik dan sarannya selalu ditunggu. ^_^
.
Sweet smile,
Light of Leviathan (LoL)
