Sang Cahaya di Titik Mati
.
Disclaimer: Kuroko no Basuke milik Fujimaki Tadatoshi
.
Peringatan: OoC, AR, (Future) Chara(s)' Death, dan Slash.
.
Kaisar murka,
malaikatnya dicinta.
Tanah berdarah.
(Sebuah Haiku dari putra seorang penipu untuk Anda yang akan meluangkan waktu untuk membaca)
.
Kuroko no Basuke oleh Fujimaki Tadatoshi
Sang Cahaya di Titik Mati oleh Putra Penipu
.
Basket mengikat mereka. Sebuah benang merah yang membuktikan bahwa tidak ada tipuan sulap, tidak ada kebetulan belaka. Semua hal adalah sebuah bentuk kausalitas yang saling terhubung, saling terikat. Hingga satu pertanyaan arogan terlontar, "apa itu kekalahan?"
Kekalahan adalah tabu, sesederhana itu. Kekalahan berarti kematian dan kemenangan adalah satu-satunya cara untuk bertahan hidup. Kemenangan adalah sebuah keharusan, kekalahan bukan pilihan.
Ambisi itu berubah obsesi. Menaklukkan kemenangan di bawah jari-jemari. Permainan hidup mati ini tidak lagi membawa kebahagiaan, membosankan. Saat dirasa mereka tidak ada lagi lawan yang sepadan. Bahkan, berhentilah mereka bersandar pada satu sama lain. Masing-masing dari mereka yang berdiri sama tinggi dan tidak ingin merendahkan diri.
Mereka, Kiseki no Sedai.
Lima orang jenius di bidangnya. Monster berwujud manusia yang tidak segan membunuh sang lawan. Sejatinya, manusia adalah serigala bagi manusia lain. Sekali lagi, kemenangan demi kemenangan tidak selamanya mendatangkan bahagia. Ada gema kemarahan di setiap langkah mereka, ada kesedihan dalam sorot mata.
Nyatanya, para monster pun bisa merasakan frustrasi. Hingga pada tiga lustrum usia mereka, janji perang dikumandangkan. Berperang tidak butuh alasan, tetapi insting untuk menang dan untuk mengalahkan.
Turnamen Winter Cup membawa serta janji mereka, di antara kerdum-kerdam pantulan bola jingga. Kali ini Winter Cup tidak lagi sedingin namanya, ia sepanas konsentrasi mereka yang mampu memasuki zone. Mencoba merampas kemenangan selayaknya perilaku yang dibiasakan.
Serangkaian turnamen Winter Cup itu seperti perpanjangan tangan prominensa. Panasnya membakar kulit-kulit telanjang hingga bernanah. Kemenangan itu seharusnya seperti matahari terbit di fajar nyata, tidak pernah tidak. Namun, mereka dikalahkan rasa jemawa. Bahkan, di atas yang tak terkalahkan masih ada yang tak terkalahkan. Hingga mereka menyadari benang merah ternyata benar-benar merah.
Siapa percaya? Di penghujung hari, kekalahan sang Kaisar seperti kartu as sekop dalam perang, ia berarti kematian. Namun... "aku tidak pernah dan tidak akan pernah kalah," itulah yang dikatakan Seijuurou Akashi dan ia tidak pernah salah, tidak juga setelah mengaku kalah.
Kekalahan itu hanyalah kemenangan yang tertunda. Pun perang ini belum akan usai. Kiseki no Sedai disebut monster bukan tanpa alasan karena selepas turnamen winter cup, pada masa bulan dingin, jauh di dalam jiwa mereka kembali mempertanyakan kembali arti kekalahan.
Sekali lagi mereka bertanding di garis batas hidup dan mati. Masing-masing, saling mengalahkan, dengan kilat di mata mereka. Peperangan ini menenggelamkan mereka semakin dalam. Benang merah sesungguhnya mengikat dengan kekuatan yang menghancurkan.
Kiseki no Sedai menyebut kekuatan ini sebagai cinta yang datang sekali, tetapi kekal. Satu benang merah yang mengikat kuat mereka itu menjelma sebagai satu sosok lelaki – Taiga Kagami. Namun, ada kehancuran di setiap pemahamannya karena ego mereka tidak menghendaki untuk berbagi. Kiseki no Sedai ingin memilikinya untuk diri mereka sendiri.
Dirasa mereka peperangan menjadi satu-satunya jalan keluar. Hingga sang Kaisar bersabda sebagai dentum mortir pertanda perang dimulai. Lalu, akhirnya...
"Sampai bertemu di neraka," ya, sosok Taiga Kagami benar-benar menjadi hidup dan mati mereka.
...memerintahkan cahaya yang akan padam.
.
Malaikat turun ke dunia
Jatuh dalam dosa
Dipuja raganya
Dicumbui romansa
.
Jika Taiga Kagami adalah cahaya, maka ia adalah cahaya yang membutakan. Bukan netra, melainkan jiwa juga moral mereka. Ya, kebutaan ini bagaikan malam absolut yang kelam lebam. Namun, terdapat kebebasan, pun roman picisan seperti alunan musik naluri yang tak kasat mata.
Bagi Kiseki no Sedai, di antara kelam itulah yang membawa memori tentang Taiga Kagami yang pernah berdiri tegak di atas kekalahan mereka. Seorang lelaki yang kini menjadi satu objek afeksi bagi kelimanya. Rupanya, kenangan ini tak seberapa. Malam absolut datang tidak menjanjikan matahari, tidak juga rembulan, dan bintang-bintang tidak hadir untuk mengencani malam. Hanya ada kelam menyelimuti mereka dengan amarah, dengan rindu dendam.
"Kita sejak semula memulai permainan ini dengan resiko besar dan semua tahu itu. Namun, memang di setiap langkah selalu ada konsekuensi-konsekuensi berbahaya. Hal yang terus memburuk sebelum sempat menjadi baik dan tidak akan pernah membaik."
Keenam lelaki duduk melingkar, di hadapan mereka hanya dibatasi secangkir teh Kuding yang pahitnya membakar lidah, dari ujung hingga pangkal. Namun, rasa pahit menggelitik lidah mereka dengan cara yang aneh karena di balik pahitnya terdapat sepercik rasa manis. Ah, kiranya mengingatkan mereka pada seorang lelaki pencuri hati.
"Apakah itu ramalan, Akashi-san?"
"Aku tidak pernah salah, Tatsuya Himuro."
Lelaki berambut hitam itu menyentuh liontin cincin di lehernya yang selalu terasa dingin dan hatinya memang tidak seharusnya sepanas ini. "Kita semua sewajarnya tetap menjadi musuh, bahkan setelah Winter Cup usai."
"Ya, dan aku tidak akan mengampuni siapapun yang melawanku." Seijuurou Akashi tidak pernah belajar memaafkan, pun melupakan. Bahkan, jika ia berbicara tentang dirinya sendiri. Terlebih lagi jika ia bicara tentang Tatsuya Himuro.
Lelaki itu, Tatsuya Himuro, yang bahkan tidak pantas disebut sebagai salah satu prodigy. Namun, tidak bagi Taiga Kagami, karena baginya, sesosok lelaki berambut hitam itu adalah keajaiban yang datang di antara rasa kesepiannya di negeri asing. Lalu, dikemudian hari membelenggunya dalam lingkaran persaudaraan. Satu hal yang bahkan orang tuanya tidak sanggup memberikan. Benarkah demikian adanya?
Sepasang mata heterochromia menilainya penuh dengan prasangka. "Aku tahu itu," pemilik mata itu pulalah yang kelak melahirkan prahara. Satu hal yang bermula dari sepasang cincin kembar yang menandai ikatan persaudaraan tidak sedarah dan juga yang menyulut api hitam kecemburuan. Itu tidak hanya dirasakan Seijuurou Akashi, tetapi juga seluruh anggota Kiseki no Sedai. Kecemburuan, itu bahkan benar-benar menjatuhkan para monster ke dalam dosa tak termaafkan.
"Ya, aku pun merasakan nafsu bagi cahaya seperti yang kalian rasakan." Tatsuya Himuro menjawab dan memang tidak sedang berusaha untuk mengelak.
Dengusan meremehkan terdengar, bahkan seseorang yang mengaku mempunyai pengendalian diri yang baik pun tidak kuasa untuk tidak turut ternoda hitam kecemburuan. "Satu hal yang kaurasakan itu menjijikan, Himuro. Rasa itu tidak sepantasnya timbul di antara saudara," hidung Shintarou Midorima ikut mengernyit ketika ia berbicara seakan turut membaui busuk perasaan Tatsuya Himuro. Itu tercium seperti nattō yang difermentasi dengan lendir ikan berbisa yang mulutnya berlumur darah.
"Tabu yang kaurasakan itu, Muro-chin... aku akan menghancurkannya."
Tatsuya Himuro tahu ia telah membuat satu kesalahan besar yang bahkan dirinya sendiri tidak pernah sekalipun membayangkan. Namun, Taiga Kagami terlalu terang dan itulah kedatangannya sebagai cahaya. Berawal dari kesalahannya sendiri Tatsuya Himuro mengerti bahwa nafsu manusia seperti arus pasang dan kesadarannya hanya sebuah kapal yang terombang-ambing di tengah samudera... yang kemudian karam.
"Aku mencintai Taiga jauh sebelum ia mengalahkan keajaiban. Pun jika rasa ini tabu maka aku telah menanggung dosa ini sedari dulu. Takdir telah memanggilku," ia tahu cinta yang dirasakannya untuk Taiga Kagami akan membawanya menuju kehancuran dan jika tidak kemarin maka hari ini.
"Kau tahu apa yang harus kaulakukan. Memang, tidak ada cara lain untuk menghapus tabu yang menjijikkan itu, kecuali kau harus mati untuk menebusnya, Tatsuya Himuro."
Lelaki berambut hitam itu mengerti hari ini adalah hari penghakimannya. Datang dari mereka yang sorot matanya menyinarkan kemurkaan dan pembalasan dendam. Membungkam suara di dalamnya, suara seorang lelaki yang mencintai adiknya sendiri – Taiga Kagami.
. . .
Hari ini adalah hari ketika dunia Taiga Kagami diguncang kesedihan yang mendalam. Sedih yang dirasakan layaknya menghela awan hitam yang menggantung berat di cakrawala pagi. Kesedihan tanpa saudara. Rasa kehilangan di antara duka. Hujan deras kemudian datang tanpa peringatan.
Air langit itu runtuh bagaikan air mata malaikat yang sedang menangis di negeri Sakura yang jatuh. Itu membasahi pipinya juga marunnya yang sendu atau memang kedua netra itulah yang meneteskan air mata karena luka-luka kedukaan. Ya, ternyata air mata yang menetes itu deras mengalir seperti hulu sungai yang tidak bisa dikeringkan.
Taiga Kagami, seorang lelaki yang lembut hatinya. Bukan berarti sudah seharusnya ia mudah menangis. Namun, tidak kali ini. Tidak di saat Tatsuya Himuro, lelaki yang telah dianggapnya sebagai kakak sendiri, tidak bisa menentang hukum alam. Kematian.
Siapapun tahu kesedihannyalah yang membuat negeri Sakura ini dirundung muram. Taiga Kagami menatapi gundukan tanah pemakaman di hadapannya dengan sedu sedan. Di sanalah kakak lelakinya dikebumikan bersama liontin cincin kembar yang tidak pernah tanggal.
Robek jantung dia yang ditenggelamkan bersama darah. Sebilah chef's knife menuntut nyawa manusia yang mengajaknya lelap bersama hangatnya merah. Hingga seorang anak Adam tertidur di pangkuan kematian. Sampai kapanpun, Taiga Kagami tidak akan pernah bisa mengerti alasan Tatsuya Himuro hingga lelaki itu memilih untuk mengakhiri hidupnya sendiri.
"Kagami-kun."
"Kagami-kun."
"Kagami-kun..."
"Kuroko?" lepas dari kebiasaannya, tidak ada keterkejutan di dalam nada suara Taiga Kagami.
"Ayo... Kagami-kun, kami antar kau pulang."
"Kami?"
"Ya, Kagami-kun, bersama Midorima-kun dan Aomine-kun."
"Apa yang kalian lakukan di sini?" karena jarak Tokyo dan Akita harus ditempuh selama hampir empat jam bahkan dengan kereta api tercepat.
"Sama seperti yang kaulakukan, Baka," lalu seketika Taiga Kagami teringat ia masih berdiri di tengah hujan di tanah pemakaman.
"Apa itu berarti Tatsuya benar-benar... Tatsuya dia..." bahkan Taiga Kagami tidak sanggup menyelesaikan.
"Kita harus pulang, Kagami. Hujan semakin deras dan payungku mungkin tidak lagi menghindarkan kita dari basah," ya, dan ia mulai mengerti hujan ini semakin deras, tetapi hanya wajahnyalah yang basah dan saat ia mendongak Shintarou Midorima menaungi dia dengan payung kuningnya. "Ini hanya karena lucky item-ku hari ini, nanodayo."
"Kagami-kun, yang dikatakan Midorima-kun benar."
"Tapi, Kuroko. Tatsuya... dia sendirian dan kedinginan dan... dan seharusnya dia akan memakan acar di burger-ku karena aku benci itu. Apa yang harus kulakukan?" Taiga Kagami mulai meracau dengan kata-katanya simpang siur. Setengah hatinya masih menolak keras kepergian Tatsuya Himuro.
"Ck... Bakagami. Hei, mulai sekarang pesanlah burger tanpa acar dan semua masalahmu selesai." Daiki Aomine dan logikanya.
"Aomine-kun," sepatah kata sarat akan peringatan yang diucapkan oleh Tetsuya Kuroko. "Kagami-kun, ayo..." sekali lagi ajakan untuk pulang dilontarkan.
"Aku tidak mengerti, Kuroko. Dia, Tatsuya, yang kukenal selalu memiliki semangat untuk berjuang. Aku tidak percaya ini akhir yang dipilihnya. Kenapa?" Taiga Kagami seakan mengulur waku untuk meninggalkan tanah pemakaman.
"Jangan berpikir terlalu keras, Kagami. Itu hanya akan menyakiti otakmu."
"Aomine, jika kau ke sini hanya ingin meledekku maka jangan sekarang," bahkan Taiga Kagami tidak mempunyai cukup tenaga untuk marah.
"Sudah, jangan keterlaluan, Aomine-kun."
"Aku hanya tahu dia butuh penghiburan dan bukan belas kasihan," sudut mata beriris biru navy itu berkedut samar, agaknya satu atau dua hal membuatnya kesal.
"Lihat, hujan ini semakin deras untuk diabaikan." Shintarou Midorima berkata dengan tidak sabar menyela di antara perdebatan.
Pemilik iris biru navy dan hijau gelap itu menyeringai samar saat pada akhirnya seorang Taiga Kagami kalah oleh dinginnya air hujan. Hingga ia, dibimbing oleh ketiga rekannya, melangkahkan kaki menjauh dari tanah pemakaman. Lelaki itu yang berlalu dengan hati yang masih dirundung nestapa.
Nyatanya, seringai itu tidak leka dari pandangan Tetsuya Kuroko. Diamnya ia mengamati dan dengan itulah ia merefleksikan mereka yang menawarkan cinta kepada sang malaikat dengan air mata. Kiseki no Sedai yang seakan tertawa karena membalik dunia hingga porak-poranda.
. . .
Belum habis dukanya saat Taiga Kagami merasakan bahwa selain permainan basket tidak ada satupun di dunia ini yang jujur pun adil. Ia menganggap demikian karena dunia di sekitarnya tetap tidak berhenti berjalan bahkan setelah satu dari beberapa orang yang ia anggap penting di kehidupannya mati. Bunuh diri, satu hal yang selama ini dianggapnya sangat tidak menggambarkan Tatsuya Himuro. Kiranya ia tidak tahu bahwa memang ada api dalam sekam dan itu tidak berkobar.
"Kagami-kun."
"Kuroko, jangan mengagetkanku!"
Tetsuya Kuroko masih menampakkan raut muka datar walaupun di dalam hatinya sedikit merasakan senang bahwa Taiga Kagami mulai kembali seperti biasa, atau mungkin tidak... "Kagami-kun, kurasa ini masih menjadi misteri ketika kau tiba-tiba berubah menjadi siswa teladan."
Taiga Kagami butuh satu kepakan sayap kupu-kupu untuk memahami makna sarkastis dari ucapan Tetsuya Kuroko karena mata marunnya mendapati bahwa tidak ada lagi siswa di kelasnya selain mereka berdua. "Kuroko-teme, ini sudah lebih empat puluh lima menit dari jadwal pulang sekolah. Sial, kurasa pelatih akan menghukum kita karena terlambat datang latihan."
"Sebenarnya latihan hari ini diliburkan, Kagami-kun. Kurasa aku lupa memberitahumu."
"Huh, apakah sesuatu terjadi pada pelatih, Kuroko?" agaknya Taiga Kagami pun merasakan satu hal yang wajarnya bukan bagian dari kebiasaan. Kelonggaran yang sebelumnya tidak pernah datang dari Riko Aida.
Jika mata beriris biru muda milik Tetsuya Kuroko tidak sanggup menggambarkan emosinya ke permukaan, maka tidak batinnya. Memang telah terjadi sesuatu, tetapi itu bukan terjadi kepada Riko Aida melainkan kepada Taiga Kagami. Bahkan, Tetsuya Kuroko tidak sanggup mengatakannya kepada laki-laki yang tidak paham terhadap keadaannya sendiri. "Tidak sesuatupun, Kagami-kun. Namun patut diapresiasi karena ini sama jarangnya terjadi seperti bulan biru di tengah malam, 'kan?"
Kelopak mata Taiga Kagami mengerjap beberapa kali dan ia masih tetap tidak mengerti. "Kuroko, jika kau tidak lancar bicara bahasa Inggris, setidaknya bicaralah menggunakan bahasa Jepang."
"Aku tidak sudi dinasihati oleh seseorang yang nilai bahasa Inggrisnya hanya memperoleh empat puluh satu dan nilai bahasa Jepangnya hanya upah tinta, Kagami-kun," dan sebelum Taiga Kagami berteriak untuk protes Tetsuya Kuroko sudah terlebih dahulu memotong perkataannya. "Maji Burger tidak pernah terdengar buruk bukan? Aku yang traktir, Kagami-kun, karena kurasa lapar membuat kesadaranmu tadi di ambang batas."
"Apa kau benar-benar Kuroko? Kurasa ada yang salah tidak hanya kepada pelatih, tetapi juga kepadamu."
Tetsuya Kuroko memutar bola matanya secara imajiner. "Aku phantom-nya," jika ini hanya sekadar candaan maka lelaki beriris biru muda itu sedang bercanda dengan serius.
Namun, Taiga Kagami tetaplah Taiga Kagami. Pupil matanya yang membesar karena rasa jeri. Lelucon Tetsuya Kuroko yang seperti ini tidak akan pernah menyentuh sisi humornya. Tidak selama Tetsuya Kuroko pun belum berhenti mempermainkan rasa takutnya.
"Jangan kaukira hantu tidak bisa berbicara yang sebenarnya, Kagami-kun."
.
"Kau baik-baik saja, Kagami-kun?"
"Selain merasa sangat kelaparan kurasa aku baik-baik saja, Kuroko," satu alis bercabang Taiga Kagami terangkat sembari mengunyah satu gigitan besar burger-nya. Itu adalah burger kelimanya. Setengah dari dua pertiga kuantitas burger yang biasa ia makan, dengan tanpa acar, dan hal itu tidak lepas dari pengamatan Tetsuya Kuroko.
"Jumlah burger yang kaupesan tidak sebanyak biasanya."
"Apa itu masalah?" kedua tangan lelaki berambut marun itu bersedekap. Kata-kata Tetsuya Kuroko mulai mengganggunya.
Lelaki berambut biru muda itu melakukannya bukan tanpa sengaja. Ia tahu, Taiga Kagami hanya akan meledak emosi karena bola langsung atau bahkan sebaliknya, mundur teratur. Namun, ia tidak seawas itu untuk menyadari bola pancingan. "Mungkin kau tidak selapar itu. Jangan memaksakan diri. Kau tahu aku selalu bisa diajak berbagi, Kagami-kun."
"Maksudmu?"
"Kau tahu... burger-nya," dan paras Tetsuya Kuroko masih sedatar biasanya.
"Tidak."
"Kagami-kun, aku membelinya dengan uangku dan sudah seharusnya mendapat hakku."
"Kuroko-teme!" Taiga Kagami memandang lelaki yang duduk di hadapannya, di Maji Burger, dengan kesal, "baiklah, satu saja."
Tetsuya Kuroko menerima satu buah burger dengan senyum setengah bulan sabitnya. Kemudian satu pernyataan dikemukakannya, "kurasa burger sudah seharusnya dimakan dengan acar. Itu memang membuat cita rasanya menjadi lebih segar."
Bahkan, di saat-saat tertentu, bola pancingan tetap dapat menimbulkan kemarahan. Satu hal itulah yang dirasakan Taiga Kagami saat ia tanpa sadar meletakkan dengan keras gelas sodanya sehingga setengah isinya berhambur keluar dan suaranya meninggi. "Apa pedulimu?"
"Aku memang peduli, Kagami-kun," muram Tetsuya Kuroko berkata. "Kesedihan selayaknya dapat diterima akal. Aku tahu itu ada dalam dirimu, Kagami-kun. Perlihatkan padaku karena aku dapat mengerti bahkan mata hari dapat berubah merah karena gundah."
"Kuroko, kurasa aku akan jadi gila karena semua ini. Tidak hanya aku, tetapi kalian pun berubah. Pelatih, Hyuga-senpai, Kiyoshi-senpai, dan kau, dan entah siapa lagi," satu telunjuk Taiga Kagami menuding di antara amarahnya. "Aku tidak butuh dikasihani!"
"Aku tidak mengasihanimu, Kagami-kun. Aku hanya memaparkan fakta karena aku peduli sebagai temanmu." Tetsuya Kuroko tidak berkata dusta. Nyatanya, kedua mata Taiga Kagami bagaikan surya, tetapi cahayanya kedinginan. "Kiranya aku hanyalah seorang bayangan, tetapi percayalah Kagami-kun aku tidak akan meninggalkanmu sendirian dalam kegelapan."
Satu Phantom Shot meruntuhkan pertahanan Taiga Kagami yang dibangunnya tertatih. Lelaki yang ditinggal mati itu memang masih merasakan duka, tetapi kali ini ia menangis tanpa air mata dan merintih tanpa suara. "Aku... aku tidak tahu, Kuroko. Kurasakan kepalaku seperti terus mendengar gonggongan sekumpulan anjing. Mereka menyalak semakin keras semakin dekat. Tidak hanya itu, mereka juga menggaruk, menggigit, berusaha melukai diri mereka sendiri. Awalnya kurasakan ketakutan, tetapi lama-kelamaan aku pun merasakan kemarahan. Lalu aku mulai menyalahkan Tatsuya atas semuanya. Dia bunuh diri, Kuroko. Kakakku pergi dan tidak akan pernah kembali. Dia yang mati tanpa aku tahu sebabnya, tetapi membiarkanku merasakan akibatnya."
Kata-kata Taiga Kagami sarat akan rasa putus asa dan tidak bisa tidak Tetsuya Kuroko sedikitnya merasa iba walau ia tidak ingin menunjukkannya. Tangan kanan Tetsuya Kuroko tidak lagi memegang gelas vanilla milkshake-nya yang sekarang terasa hambar, tetapi menangkup milik Taiga Kagami yang gemetar. "Kagami-kun, mungkin ini terdengar lancang. Namun, apa kau sedikitnya merasa penasaran akan tindakan bunuh diri yang dilakukan Himuro-kun?"
"Entahlah, Kuroko. Kurasa saat ini aku enggan berpikir. Memang benar, berpikir sepertinya akan menyakiti otakku."
Tetsuya Kuroko membuang napas lelah, memang selain basket agaknya Taiga Kagami tetap sukar diajak memutar otak. Namun, lelaki beriris biru muda itu tetap berusaha merintang lelaki di hadapannya. "Kau yang paling mengenal Himuro-kun pun beranggapan bahwa bunuh diri bukan suatu hal yang akan dilakukannya. Kagami-kun, kurasa setidaknya kali ini kau perlu berpikir kritis karena kau selalu percaya tidak ada satupun yang percuma termasuk kematian."
Bagai menyibak mendung di mata Taiga Kagami. Seberkas cahaya yang lahir kembali. Itu bersinar kemerah-merahan seperti bunga Alstroemeria. Namun, satu hal yang ditakutkan Tetsuya Kuroko bahwa keindahannya meminta hati nurani pelangi, menodai jiwa dia yang suci.
"Dari mana aku harus memulainya, Kuroko?"
Tetsuya Kuroko tergoda untuk menyelam, semakin dalam. Ketekunannya untuk menemukan sisa-sisa dari sebuah kematian untuk mengangkat bangkainya naik ke permukaan, "mulailah dari yang kalian lakukan setelah final Winter Cup hingga bulan Juni, Kagami-kun."
"Hah, mengapa harus setelah final Winter Cup?"
"Aku merasakan ada tensi di antara kalian dan mereda setelah saat itu."
Sekali lagi pupil mata Taiga Kagami melebar, tetapi kali ini bukan karena ketakutan melainkan karena ia memaksa otaknya untuk berpikir. Enam bulan yang lalu, Taiga Kagami merasa dirinya seperti kepak sayap kupu-kupu yang terbang mundur, "di awal tahun aku masih merasakan euforia kemenangan dan merayakannya lagi bersama Tatsuya. Kami memakan pasta dengan resep barunya," ada sedikit senyum nostalgia di wajah Taiga Kagami saat mengingatnya. "Sambil menonton rekaman pertandingan Winter Cup secara maraton, tetapi kurasa aku sudah ketiduran saat babak perempat final."
"Lalu, itu yang membuatmu mengeluhkan punggungmu yang sakit karena tertidur di sofa?"
Ada jeda sejenak saat Taiga Kagami akhirnya melanjutkan, "aku bangun di atas kasur kamarku, Kuroko."
"Kagami-kun, kau tidur berjalan?"
"Aku tidak!" lawan bicaranya menjawab dengan kesal. "Mungkin Tatsuya. Posturnya tidak lebih besar bukan berarti dia lemah, Kuroko."
"Aku tidak pernah menganggap Himuro-kun lemah." Tetsuya Kuroko menimpali dan biru mudanya mendesak Taiga Kagami untuk melanjutkan.
"Namun, aku bangun saat dia sudah pergi. Pulang ke Akita. Saat itu, aku bahkan baru tahu bahwa Tatsuya senang berkebun. Dia memberiku bibit bunga Morning Glory yang ditinggalkannya di nakas samping tempat tidurku. Lalu, setiap bulan berturut-turut hingga bulan kelima ia selalu mengirim bibit bunga yang berbeda-beda."
"Kau tahu bibit bunga apa saja yang dikirim Himuro-kun untukmu?"
"Ya, itu tertulis di plastik pembungkusnya. Morning Glory, Red Nasturtium, Green Marrigold, Daffodil, dan Monkshood."
Tetsuya Kuroko tahu bahwa bunga mungkin saja ingin berbicara. Bunga-bunga layaknya benang pancarona yang masai. "Tanpa pesan?" dan dia hanya bisa menduga-duga karena semuanya masih terlihat redam.
"Kecuali melalui pesan singkat di bulan kelima. Sebenarnya pesan singkat terakhir Tatsuya membingungkan dan dia tidak lagi membalas pesanku hingga saat itu." Taiga Kagami membuka folder pesan di ponselnya dan dengan jelas menunjukkannya kepada lelaki di hadapannya.
Laksana duri dan bunga dalam satu raga.
Cintaku bagi cahaya. Lena,
direngkuh angkara murka.
Benar adanya bahwa pesan itu singkat saja. Namun, Tetsuya Kuroko seperti dihempaskan realitas yang jujur dan apa adanya. Hingga ia merasa mual. Benarkah cinta sepatutnya tidak berasal dari akal? "Aku tidak percaya bahwa sejauh ini yang kauceritakan adalah seutuhnya, Kagami-kun."
"Apa maksudmu? Sesuatu yang kuceritakan padamu itu kebenarannya, Kuroko."
"Benar, tetapi rumpang. Kau agaknya menyembunyikan sesuatu..." biru muda itu berusaha menelisik marun yang terus ingkar. "...Kagami-kun?"
Waktu seakan tahu kegundahan yang dirasakan Taiga Kagami. Membeku, detik ke dua puluh tiga yang tidak kunjung datang. Sengap itu terasa selamanya, tetapi Tetsuya Kuroko tahu kesabaran tidak akan pernah sia-sia. Ia akan sabar menunggu hingga Taiga Kagami akhirnya bersuara. "Apakah kebiasaan buruk itu dapat menular, Kuroko? Kau tahu Alex mempunyai kebiasaan dengan menunjukkan rasa sayangnya kepada orang-orang terdekat, aku dan Tatsuya, dengan gamblang. Kurasa itu memengaruhi Tatsuya."
Agaknya perkataan Taiga Kagami mulai membuat Tetsuya Kuroko larut dalam keingin tahuan. "Jadi, kebiasaan itu dimiliki Alex-san dan akhirnya Himuro-kun?"
Taiga Kagami mengedikkan bahunya, "untuk Alex, ya. Untuk Tatsuya... entahlah, kurasa ia hanya melakukannya padaku sekali dan saat itu aku mulai menyerah dengan rasa kantuk."
Tetsuya Kuroko memilih bungkam walaupun di dalam benaknya ia ingin menegasikan. Dirasanya benang-benang ini menjadi terlalu rumit untuk diurai. Bahwasanya, satu hal yang dilakukan oleh Tatsuya Himuro kepada Taiga Kagami semestinya tabu di antara mereka yang menganggap dirinya saudara.
Sekali lagi mereka jatuh dalam keheningan. Tetsuya Kuroko dan Taiga Kagami yang memilih bergumul dengan pikiran dan perasaannya masing-masing. Hingga senja hari datang dan mengharuskan mereka berpisah jalan. Lalu lambaian tangan dan salam perpisahan menjadi penutupnya.
Tetsuya Kuroko berjalan pulang, sendirian, masih dalam spekulasi dan keingin tahuannya. Dirasanya memang ada satu benang merah di antara rupa-rupa benang. Meskipun masai, tetapi tidak ada kusut yang tak selesai. Namun, satu hal yang tidak Tetsuya Kuroko ketahui bahwa keingin tahuan kiranya memang mematikan.
.
Bersambung
.
Catatan:
1. Janjinya saya tidak akan pernah membuat fanfic multi-chapter lagi, cukup satu saja, tetapi pasangan ini memaksa meminjam tangan saya untuk mengetiknya. Entahlah, atau memang saya hanyalah seorang pe... Ah, saya hanya bercanda. Namun, sungguh riwayat buruk saya terhadap fanfic multi-chapter memang benar adanya.
2. Sepertinya di chapter-chapter yang akan datang rate-nya bisa saja naik.
3. Terima kasih sudah membaca.
.
Putra Penipu, 2017.
