Author's Note: saya kembali dengan sebuah twoshot! Padahal tiga hari lagi saya UAS, tapi malah nekat membuat fanfiksi. Apa boleh buat, kepala saya terlalu sumpek dijejali rumus-rumus dan susunan matriks entah-apa-namanya #plak! Sekalian saya mau memenuhi request-an crossalf-ku tersayang yang meminta dibuatkan Drarry rate M. Lama-lama Sen jadi berotak bejat gara-gara kau, Alf #shot Yosh! Semoga suka dengan sedikit jeruk nipis dari saya. Lemonnya chapter depan =D

Warnings: AU, OOC, non-magical world, a bit hurt and fluffy, mature content, SLASH, typo, don't like? Just leave this page!

...

No Matter Who We Are © crimson-nightfall

Harry Potter © J.K. Rowling

...

Harry melangkahkan kakinya dengan terburu-buru. Dengan langkah kaki yang panjang, ia berlari dari halaman sekolah menuju ke arah di mana gedung sekolahnya berada. Dengan cepat pula ia menaiki anak tangga yang menuju ke aula depan sekolah itu—menaiki dua anak tangga sekaligus. Terlihat jelas tetesan keringat di wajah pemuda tersebut. Siapa pun pasti sudah bisa menebak mengapa ia bersikap terburu-buru seperti sekarang. Well, tidak lain karena terlambat tentunya.

Pemuda berambut hitam berantakan itu mengumpat pelan ketika tanpa sadar dirinya melewati koridor yang seharusnya mengarah ke kelas pertamanya pagi ini. Dengan cepat ia berbalik arah sehingga menimbulkan suara decit ketika sol sepatu miliknya bergesekan dengan lantai marmer di koridor sekolahnya. Untung baginya, ia tidak terpeleset atau bertemu dengan Filch—sang penjaga sekolah—karena keterlambatannya.

"Snape pasti akan membunuhku," gumam Harry masih sambil berlari. Ia mengutuki bangunan sekolahnya karena membuatnya semakin lama untuk mencapai kelas tujuannya karena besarnya gedung sekolah tersebut. Ia juga mengutuki dirinya sendiri karena mau-maunya menemani ayah baptisnya untuk menonton pertandingan sepak bola sampai jam tiga dini hari tadi padahal ia tahu sendiri kalau hari ini ia akan berhadapan dengan seorang Severus Snape.

Memikirkan guru Kimia-nya membuat Harry tergidik. Entah apa hukuman yang akan ia dapat nanti karena ia terlambat. Bukan rahasia umum lagi kalau pria yang suka tampil dengan pakaian serba hitam itu sering memberikan detensi karena sebuah kesalahan kecil. Terakhir kalinya saja Harry mendapat hukuman dari Snape, pria itu menyuruhnya untuk membersihkan seluruh gelas beker, tabung reaksi dan menyortir seluruh bahan-bahan Kimia di ruang penyimpanan.

Betapa menyebalkannya hukuman tersebut. Ia bahkan harus menghabiskan hari Minggunya untuk menyelesaikan semua itu karena ancaman Snape yang akan menambah hukumannya kalau ia tidak menyelesaikannya pada akhir pekan.

Ia menggelengkan kepalanya; mengenyahkan bayangan pria mirip kelelawar tersebut dari kepalanya. Dengan nafas yang masih tersengal-sengal karena berlari dari gerbang sekolah sampai ke tempatnya berdiri saat ini. Ruangan yang merupakan kelas pertamanya di fifth-form (setara dengan kelas 11). Kalau saja Kimia bukanlah pelajaran wajib dalam pendidikannya, ia tidak akan mau mengambil mata pelajaran ini apalagi dengan Snape sebagai pengajarnya. No way!

Sambil berusaha mengatur nafasnya, Harry mengetuk pelan pintu berwarna cokelat tua di hadapannya. Ia sudah memasrahkan diri untuk mendapat detensi lagi. Ia tahu, baik Sirius dan Regulus tidak suka kalau dirinya terkena detensi. Tapi dalam kasus Snape, ia sama sekali tidak terlalu memusingkannya mengingat Sirius pasti akan menyalahkan Snape karena sudah memberi hukuman padanya. Entah mengapa, kedua orang itu pasti selalu melemparkan ejekan satu sama lain ketika bertemu. Regulus hanya mengatakan kalau kedua orang itu musuh lama ketika mereka masih bersekolah dulu.

Alasannya? Harry tidak mau tahu.

Suara pintu yang berderit pelan menyadarkan Harry dari lamunannya. Ia sudah bersiap untuk mendapat tatapan sinis dari Snape karena keterlambatannya. Tapi kedua iris hijau cemerlangnya melebar ketika pintu di hadapannya sudah terbuka sepenuhnya. Ia sama sekali tidak menemukan sosok pria berambut klimis dan berminyak dengan hidung bengkoknya. Justru ia menemukan seorang pria yang sangat berbeda dan yang pasti, pria itu bukanlah Snape.

"Well, kuduga kau adalah murid kelas ini," kata pria di hadapannya. Harry hanya bisa mengangguk singkat; masih terkejut dengan siapa yang dilihatnya. "Kalau begitu masuklah. Aku tidak akan mempermalahkan keterlambatanmu hari ini, Mr. Potter, kurasa."

Entah mengapa, Harry kembali menganggukkan kepalanya. Ia yang tidak tahu harus berkomentar apa, langsung memasuki kelasnya ketika pria itu memberikan jalan dan mendudukkan dirinya di sebuah bangku kosong tepat di tengah-tengah kedua sahabatnya.

"...Tidak biasanya kau terlambat, mate."

Harry melirik sekilas ke arah pemuda berambut merah di sampingnya. "Salahkan Sirius yang mengajakku bergadang," katanya lalu memfokuskan perhatiannya ke arah pria berambut pirang platina yang berdiri di depan kelas sambil menuliskan sesuatu di papan tulis. "Di mana Snape dan siapa orang itu?"

"Mr. Snape, Harry," kali ini Hermione yang berbicara tanpa melirik sedikit pun ke arahnya. Gadis berambut cokelat mengembang itu terlihat sibuk mencatat rumus senyawa di buku tulisnya. "Mr. Snape sedang ada urusan di London dan pria itu," katanya sambil menunjuk ke arah pria tadi dengan pensil miliknya. "Mr. Malfoy, guru pengganti selama Mr. Snape tidak mengajar."

-o-o-

Bertahun-tahun lamanya, Harry berpikir kalau dirinya adalah seorang anak laki-laki normal yang menyukai lawan jenisnya. Ia bahkan pernah berkencan dengan Cho Chang, salah satu seniornya yang merupakan anggota pemandu sorak sebelum akhirnya setahun yang lalu gadis keturunan Asia itu lebih memilih Cedric Diggory daripada dirinya. Ia juga sempat berkencan dengan beberapa anak perempuan baik seangkatan atau pun juniornya di Hogwarts.

Tapi tampaknya, saat ini ia harus mempertanyakan orientasi seksualnya ketika bertemu dengan Draco Malfoy, guru pengganti untuk kelas Kimia-nya selama Snape mengikuti seminar entah-apa-namanya. Ia sadar, sejak ia memasuki kelas Malfoy, ia tidak henti-hentinya mengamati pria itu.

Ia juga sadar kalau bukan hanya ia saja yang memperhatikan seorang Draco Malfoy. Bahkan hampir semua anak perempuan yang bersekolah di salah satu sekolah terbesar di Inggris ini selalu mengikuti setiap gerak-gerik pria berambut pirang platina tersebut.

Seperti sekarang misalnya, hampir sebagian besar mata memandang ketika pria berusia pertengahan dua puluh tahun tersebut masuk dari pintu kafetaria dan berjalan ke arah tempat pemesanan makanan saat makan siang berlangsung. Entah apa sebabnya pria itu lebih memilih untuk makan siang di kafetaria daripada di lounge; tempat para pengajar biasanya menghabiskan waktu senggang ketika mereka tidak mengajar.

Sambil berusaha menghabiskan makan siangnya, Harry sesekali melirik ke arah pria itu. Dalam diam dan mengacuhkan begitu saja perbincangan di sekeliling mejanya, Harry mengamati bagaimana seorang Draco Malfoy memilih untuk duduk sendirian di sudut ruangan sambil menyantap makan siangnya. Pria itu seolah-olah tidak mempedulikan tatapan murid-murid yang dilayangkan kepadanya dan dengan tenangnya menikmati makan siangnya sendirian.

"...Apa yang kau lihat dari guru baru itu, Harry?"

"Err—tidak ada," katanya dengan cepat ketika Ginny bertanya padanya. Sedikit gugup, ia mengalihkan pandangannya dari guru baru tersebut ke arah makan siangnya; mengacuhkan begitu saja tatapan penuh tanya yang dilayangkan adik perempuan Ron ke arahnya. Ia tidak ingin teman-temannya berpikiran yang tidak-tidak mengenai dirinya.

Tapi belum dua menit berlalu, Harry kembali melirik ke arah di mana Mr. Malfoy duduk. Ia tersentak ketika melihat sorot mata pria itu yang seolah-olah sedang mengarah ke arah tempat duduknya. Ia sampai harus mengedarkan pandangan ke sekitarnya siapa tahu kalau pria itu bukan sedang menatapnya. Ia tidak ingin besar kepala dan membuatnya berpikir yang tidak-tidak. Namun setelah beberapa menit berlalu, ia sadar ke mana sorot mata pria itu tertuju.

Ya, sorot mata dari kedua iris kelabu tersebut sejak tadi memang mengarah kepadanya dan entah mengapa tiba-tiba ia merasakan jantungnya berdetak dua kali lebih cepat ketika ia melihat senyum tipis yang terukir di wajah pucat pria itu.

...

...

"Asam sulfat diproduksi dari belerang, oksigen dan air melalui proses kontak. Pada langkah pertama belerang dipanaskan untuk mendapatkan sulfur oksida dan kemudian dioksidasi menggunakan oksigen..."

Harry mengerang pelan sambil mencatat kata-kata yang diucapkan Mr. Malfoy di depan kelas. Ia mengerang bukan karena tidak mengerti dengan apa yang dikatakan guru pirang tersebut. Bahkan ia sangat mengerti. Berbeda sekali ketika Snape mengajar yang selalu membuatnya tidak mengerti karena pria itu sangat jarang menjelaskan pelajaran. Harry mengerang karena lagi-lagi konsentrasinya terpecah begitu saja ketika ia mendongakkan kepalanya ke arah papan tulis dan mendapati sosok tampan seorang Draco Malfoy.

Well, ia mengakui kalau guru pengganti itu memang tampan dan menarik. Rambut pirang lurus yang ia yakin sangat halus dibiarkan sedikit berantakan. Lengan kemeja berwarna biru tua yang digulung setengah lengan ditutupi oleh jas praktek berwarna putih serta celana jeans yang dipakai pria itu membuat Harry tidak bisa mengalihkan pandangannya dan membuat konsentrasinya buyar begitu saja. Belum lagi kulit pucat pria itu membuatnya ingin menyentuh kulit tersebut. Ia merutuk pelan mengapa pria itu berpenampilan demikian.

Ia tidak tahu apakah harus senang atau kesal karena mendapat jadwal Kimia tiga kali seminggu.

"...Aku ingin kalian membuat sebuah larutan garam dari asal sulfat dan kemudian menuliskan reaksi kimianya. Terserah kalian mau menggunakan jenis basa seperti apa. Waktu kalian setengah jam dan berhati-hatilah terhadap asam sulfatnya."

Sebagian murid di kelasnya mengerang atas tugas yang diberikan pria itu. Namun berbeda dengan Harry. Pemuda beriris hijau cemerlang tersebut mendesah pelan ketika sosok Mr. Malfoy menghilang di balik pintu ruang penyimpanan. Lega karena ia tidak melihat sosok pria itu walau hanya sebentar. Ingin segera menyelesaikan jam pelajaran Kimia-nya dan pergi dari kelas ini, Harry segera menutup buku catatannya dan mengambil sebuah gelas beker. Ia tidak perlu pergi ke mana-mana karena semua peralatan yang ia butuhkan sudah tersedia di mejanya.

"Aku harap kali ini aku bisa menyelesaikannya."

Harry mendongakkan kepalanya ke arah asal suara di sampingnya. "Kau pasti bisa, Neville. Kali ini tidak ada Snape yang terus menerus menatap tajam ke arah kita," katanya sambil tersenyum lebar ke arah pemuda bertubuh agak gemuk yang menjadi teman sebangkunya hari ini. Semua orang tahu kalau Neville Longbottom tidak pernah bisa menyelesaikan tugas prakteknya dengan baik ketika Snape mengajar karena pria itu tidak henti-hentinya melemparkan tatapan dingin dan tajam layaknya seekor burung elang yang mengawasi buruannya.

Ia kembali mengalihkan perhatiannya pada botol-botol kaca berwarna cokelat di mejanya. Diraihnya sebuah botol yang bertuliskan 'tembaga(II) oksida' dan kemudian membukanya. Tidak lupa ia juga meraih sebuah pipet tetes dan memasukkan larutan tadi ke dalam gelas beker. Ia pun meraba mejanya untuk menemukan di mana botol yang berisi larutan asam sulfat berada.

TRAKK!

'Pakai mata dan telingamu saat bekerja dan jangan pernah bertindak ceroboh.'

Kata-kata bernada dingin yang pernah diucapkan Snape padanya saat ia masih duduk di third-form terngiang-ngiang di kepalanya ketika ia menyadari apa yang baru saja terjadi. Rupanya Neville baru saja lupa menutup kembali botol yang berisi larutan asam tersebut sehingga ia yang saat itu berniat mengambil botol tidak sengaja menyenggolnya dan membuat cairan berwarna bening itu mengenai punggung tangannya. Ia meringis ketika merasakan panas di kulitnya.

"Harry!" pekik Neville.

Jujur saja, ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang. Ia hanya tahu kalau tidak segera ditangani, larutan itu akan menyebabkan iritasi pada kulitnya. Ia berniat untuk berteriak dan memanggil guru Kimia-nya sebelum ia merasakan tarikan karas pada lengannya. Ia sedikit tersentak ketika merasakan sensasi dingin pada lengannya yang tidak tertutup jas praktek. Detik berikutnya yang ia tahu hanyalah seseorang tengah menariknya menuju keran air dan membilas tangan kirinya yang terkena larutan asam sulfat dengan air yang mengalir dari keran.

"Kelas dibubarkan! Kalian semua keluar dari ruangan ini dan tinggalkan saja pekerjaan kalian! Stupid Longbottom," kata sebuah suara yang berada tepat di sampingnya. Harry hanya bisa menahan nafasnya ketika menyadari siapa pemilik suara tersebut. Ia bisa merasakan tatapan teman-teman sekelasnya yang mengarah kepadanya. Namun ia tidak peduli dengan semua itu.

"Ternyata Severus tidak berbohong ketika mengatakan kalau kau selalu terlibat dalam masalah, Mr. Potter."

Harry bisa merasakan tubuhnya menegang. Bukan karena kata-kata yang ditujukan kepadanya tapi karena sentuhan lembut pada tangannya. Ia semakin kesulitan untuk bernafas saat merasakan sentuhan di punggungnya. Ia tahu kalau saat ini bagian depan tubuh pria pirang itu menempel pada bagian punggungnya dan hal tersebut membuat jantungnya kembali berdetak dengan kencang. Ia bahkan bisa merasakan hembusan nafas yang bertiup dan mengenai sisi kanan wajahnya.

Demi Tuhan! Apa yang dilakukan Malfoy hingga membuatnya seperti ini?

"Err—aku sama sekali tidak apa-apa, Mr. Malfoy," kata Harry dengan sedikit gugup. Ia bergerak tidak nyaman karena sikap Mr. Malfoy yang seolah-olah seperti sedang memeluknya.

"Kalau kulitmu terkena larutan asam sulfat, kau perlu lima belas menit untuk mendinginkan jaringan di sekitar bagian yang terkena asam. Apa kau tahu itu, Mr. Potter? Kau mau aku harus bertanggungjawab kepada kedua Black bersaudara itu karena membuat tubuh anak kesayangan mereka terluka?"

Harry menggeleng pelan. Ia menundukkan kepalanya ke arah tangannya ketika mendengar pria di belakangnya itu mendecak. Ia sedikit penasaran mengapa sepertinya Malfoy mengenal kedua anggota keluarganya.

"Well, sudah kuduga kalau kau akan bersikap seperti itu. Entah apa kata Severus kalau tahu kau sama sekali tidak mendengarkan pelajaranku."

Harry mengerang pelan atas kata-kata Mr. Malfoy. "Ia pasti akan menghukum saya, Sir," katanya tanpa mengalihkan pandangannya dari tangannya. Ia bisa melihat betapa kontras warna kulitnya dengan kulit guru pengganti tersebut.

"Hmm... mungkin," kata Mr. Malfoy sambil melepaskan sentuhan pada tangannya. Entah mengapa, ia merasa kecewa ketika sosok pria pirang tersebut tiba-tiba menjauh darinya. "Sudah cukup, Mr. Potter. Kemarilah, akan kuobati lukamu."

Sambil berusaha meredakan debar jantungnya, Harry mengikuti ke mana langkah kaki gurunya. Dalam diam, ia mengamati pria itu. Ia juga diam saja ketika gurunya menyuruhnya untuk duduk di salah satu kursi yang berada di dalam ruang penyimpanan peralatan laboratorium sementara pria pirang itu membuka sebuah lemari yang berada di sudut ruangan. Entah apa yang sedang dicarinya, Harry sama sekali tidak tahu. Ia yang tidak tahu harus melakukan apa lebih memilih untuk mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan.

Tidak ada yang berubah sejak terakhir kali ia ke tempat ini—kira-kira empat bulan yang lalu saat ia menghabiskan detensi dengan Snape karena membuat sebuah ledakan kecil pada percobaan yang pernah ia lakukan gara-gara salah memasukkan takaran Natrium dalam bentuk padatan ke dalam sebuah tabung air. Untung saja, takaran yang ia masukkan tidak cukup besar untuk membuat kelas tersebut meledak.

"Kemarikan tanganmu, Mr. Potter."

Harry dengan cepat mengulurkan tangan kirinya ketika Malfoy berlutut di depannya. Ia kembali tersentak ketika permukaan kulitnya bersentuhan dengan tangan dingin pria itu. Ia tidak harus berbuat apa ketika guru penggantinya menggosokkan semacam salep ke permukaan kulitnya yang sedikit memerah. Ia hanya diam saja sampai pada akhirnya pria itu menyelesaikan pekerjaannya.

"Thanks..." gumam Harry dengan nada pelan.

"Tidak masalah. Ini sudah tugasku."

Harry sangat tidak mengerti apa yang sedang terjadi padanya. Ia terpaku di tempat duduknya saat menyadari kalau sepasang iris kelabu itu kembali menatap lurus ke arahnya. Ia sama sekali tidak mengerti dengan maksud tatapan gurunya. Ia hanya tahu kalau ia sama sekali tidak bisa mengalihkan perhatiannya dari sepasang iris mata kelabu itu sampai akhirnya membuatnya tanpa sadar mengulurkan tangan kanannya ke arah pria di depannya dan mengelus lembut sisi kiri wajah pria itu.

Ia yang melihat kedua iris kelabu di hadapannya melebar membuatnya menyadari apa yang sudah ia lakukan. Ia mengumpat pelan dan berniat menarik tangannya. Namun, sebuah tangan pucat sudah terlebih dahulu menahan apa yang hendak ia lakukan. Ia langsung melayangkan tatapan tidak mengerti mengapa pria di hadapannya itu menggenggam erat tangannya.

"Tidak seharusnya kau melakukan ini padaku, Harry."

Harry menaikkan sebelah alisnya ketika mendengar Malfoy memanggilnya dengan nama depannya. Ia juga tidak mengerti mengapa ketika pria itu memanggilnya dengan nama depan, telinganya terasa familiar ketika mendengarnya.

"Sir?" tanya Harry ketika menyadari pria di hadapannya meremas pelan tangan kanannya. Ia juga menyadari kalau perlahan-lahan wajah pria itu semakin mendekat ke arahnya dan kemudian menempelkan kedua kening mereka berdua. Ia bisa menghirup aroma cinnamon dari tubuh pria itu dan harus ia akui, ia menyukainya.

Untuk yang kesekian kalinya, ia seolah-olah tidak mengerti dengan yang terjadi pada dirinya sendiri. Ia begitu ingin menyentuh pria berambut pirang tersebut sehingga membuat dirinya melepaskan genggaman Malfoy pada tangannya dan meletakkannya pada leher jenjang pria itu.

"Katakan kalau aku ini gila, Sir," bisiknya sambil menatap lekat ke arah kedua iris kelabu di hadapannya. "Katakan bahwa aku sudah gila karena menginginkanmu."

Harry tidak mendapat jawaban dari pria bermata kelabu tersebut ketika tiba-tiba saja Malfoy merengkuh tubuhnya dan kemudian mempertemukan bibir mereka berdua. Awalnya, ia yang sama sekali tidak tahu mengapa tiba-tiba saja gurunya menciumnya membelalakkan kedua matanya namun kemudian segera menutup matanya ketika merasakan sentuhan lembut di punggungnya. Bukankah ia yang menginginkan pria itu untuk menyentuhnya? Bukankah ia yang selalu mendambakan bagaimana berciuman dengan seorang Draco Malfoy?

Ia juga tahu kalau apa yang mereka lakukan ini salah. Sangat tidak etis seorang guru mencium muridnya sendiri seperti sekarang. Mr. Malfoy bisa mendapat masalah kalau ada yang memergoki mereka. Tapi ia tidak bisa menolak ketika pria itu menciumnya dengan sedikit brutal seperti sekarang. Ia yang tidak mau kalah, membalas setiap pagutan yang diberikan pria itu. Tidak lupa, ia juga mengalungkan tangan kirinya pada leher pria itu dan tangan kanannya yang meremas helaian rambut pirang gurunya ketika Malfoy memasukkan lidahnya ke dalam rongga mulutnya; membuat kedua lidah bergulat satu sama lain untuk memperebutkan dominasi.

Yang terdengar di ruangan serba putih itu hanyalah decak saliva ketika kedua bibir itu berpagut satu sama lain. Sesekali, Harry menggeliat gelisah ketika merasakan telapak tangan pria pirang tersebut bergerak dan menyentuh bagian belakang tubuhnya sampai akhirnya berhenti di pinggangnya dan kemudian memeluk erat dirinya.

"Sir..." desah Harry di sela-sela ciumannya dengan pria pirang tersebut ketika kedua lidah mereka berhenti bergulat dengan kemenangan di pihak sang guru pengganti tentunya; menghubungkan kedua bibir mereka dengan sebuah benang saliva tipis sampai akhirnya bibir pria itu bergerak menuju ke sudut bibir dan mengarah ke rahang serta lehernya. Ia kembali mendesah pria ketika pria itu bermain-main dengan lehernya sambil melepaskan kacamata yang ia pakai dan meletakkannya sembarangan.

"Ssh... panggil aku Draco, Harry," bisik Draco tepat di telinga kanannya. Harry hanya bisa bergetar ketika merasakan hembusan nafas panas itu di telinganya dan kemudian mengerang ketika Draco mulai menyerang titik-titik sensitif tersebut. Entah sejak kapan, ia baru menyadari kalau saat ini ia sudah didudukkan di atas sebuah meja persegi panjang di dekat rak kaca di ruangan tersebut dengan Draco yang menekan tubuhnya.

Tapi apakah itu menjadi sebuah masalah sekarang?

Harry mengenyahkan pikiran itu dari kepalanya. Kedua iris matanya terpejam erat ketika merasakan jemari lentik milik Draco mulai membuka satu per satu kancing kemeja yang ia pakai. Berniat tidak hanya ingin menjadi penonton, Harry pun membuka kedua matanya dan ikut membantu membuka setiap helaian pakaian yang menutupi tubuh pria pirang itu. Dengan nafas yang tersengal karena Draco sudah berhasil mengenyahkan atasannya dan mulai menyerang kembali lehernya, ia mulai mengenyahkan jas praktek serta kemeja yang dipakai Draco.

"D-Draco..." kata Harry dengan nada tersengal ketika pria itu menyerang titik sensitif yang berada di bagian bawah tubuhnya. Kedua tangan pemuda itu mencengkram bahu putih pucat Draco ketika pria pirang tersebut mulai bermain-main di bawah sana.

Harry menyurukkan kepalanya pada tengkuk Draco ketika pria itu kembali menggoda dirinya dengan sentuhan-sentuhan sensual pada titik sensitif tubuhnya. Nafas pemuda beriris hijau itu semakin tersengal dengan desahan dan erangan yang tidak bisa ia hentikan untuk keluar dari mulutnya. Apa yang dilakukan Draco pada tubuhnya benar-benar membuatnya gila; gila akan sentuhan pria itu. Ia tidak memikirkan apa pun lagi sekarang. Ia juga tidak sempat memikirkan kalau pintu ruang penyimpanan tersebut hanya ditutup dan sama sekali tidak terkunci.

"Draco!" seru Harry ketika ia mencapai titik tertingginya. Disandarkannya tubuhnya pada dada bidang Draco dengan kedua tangan yang memeluk erat leher pucat pria itu. Ia masih memejamkan kedua matanya dengan erat untuk menikmati apa yang baru saja ia lepaskan. Ia tidak berani untuk sekadar membuka matanya dan menatap sepasang iris kelabu itu.

"Apa kau senang?" bisik Draco tepat di telinganya. Harry hanya bisa mengangguk lemas atas pertanyaan yang ditujukan padanya. Ia masih terlalu lelah atas apa yang baru saja dilakukan Draco padanya. "Kalau begitu sebaiknya kau pergi dari tempat ini, Mr. Potter. Aku tidak mau bertanggungjawab kalau ada yang memergoki apa yang baru saja kita lakukan dan lebih baik lagi kalau kau... tidak perlu memikirkan apa yang baru saja terjadi."

Kedua kelopak mata yang tadi terpejam segera terbuka sepenuhnya. Ditatapnya pria berambut pirang di hadapannya yang sudah mengendurkan pelukan pada pinggangnya dengan tatapan tidak mengerti. Ia terkejut ketika sepasang iris kelabu itu menatap dengan sorot mata yang dingin ke arahnya.

Harry segera menundukkan kepalanya. Tanpa sadar ia menggigit bagian bawah bibirnya dengan kedua tangan terkepal di kedua sisi tubuhnya.

Apa yang ia lakukan tadi merupakan sebuah kesalahan?

Apakah Draco melakukan semua itu hanya karena permintaan darinya?

Harry tersentak atas pemikirannya sendiri. Tentu saja seperti itu. Mana mungkin orang seperti Draco tertarik kepadanya. Apalagi kalau ia adalah seorang murid dan Draco adalah seorang guru. Ia benar-benar bodoh ketika berpikiran demikian.

"Kalau itu memang keingginan Anda, Sir," katanya dengan suara pelan namun ia yakin Draco masih bisa mendengarnya. Dengan cepat, ia menurunkan dirinya dari meja dan berjalan sedikit menjauh dari sosok Draco. Ia tidak lupa meraih kacamata serta pakaiannya dan kemudian mulai mengancingkan kembali celananya. Kedua jemari tangannya sedikit bergetar ketika berusaha mengancingkan seluruh kemeja miliknya. Ia sama sekali tidak melirik sedikit pun ke arah Draco ketika ia mulai membenahi pakaiannya atau pun saat ia pergi dari ruangan tersebut. Ia juga sama sekali tidak menyadari kalau sepasang iris kelabu sejak tadi terus-menerus mengikuti setiap gerakannya sampai tubuhnya menghilang di balik pintu.

Ia hanya ingin pergi dari hadapan pria pirang itu secepat yang ia bisa.

To be Continued

...

Yak! Bagaimana? Review sangat ditunggu. Kalau tidak ada halangan, chapter dua akan dipublish hari Minggu atau Senin. Untuk WD akan dilanjutkan kalau ujian saya sudah selesai. Mood-nya belum ada. #ngeles #dilemparinkuali