Judul : Darkness Surrounding – Sekuel HBL (?)
Genre : Fantasy dengan sedikit horror dan action (maunya gitu).
Rating : PG 13
Fandom : Potterverse dicrossoverkan dengan Supernatural Series.
Related Fic : Hogwarts Bizzare Love
Disclaimer : Milik creatornya masing-masing. Yang jelas ide crita dan OC Madeline Lestrange dll punya saia.
Warning : Jangan mencampur-adukkan beberapa hal dalam fanfic ini dengan kepercayaan agama tertentu! Karena apa yang ada di dalam fanfic ini adalah murni hasil imajinasi semata. Ingat, ini fiksi!
Kegelapan yang begitu pekat dan juga keheningan total. Begitulah yang sedang dirasakan oleh Madeline pada saat ini. Tubuhnya terombang-ambing dalam sebuah ruang hampa, bak sehelai bulu yang pasrah kemana pun arah angin membawa. Tak berdaya untuk bergerak, bahkan untuk sekedar menggerakkan ujung jari sekalipun. Semua organnya serasa mati. Kedua matanya telah dibutakan. Indera pendengarannya pun bernasib serupa. Lumpuh dan digantikan oleh rasa sakit yang tiada habisnya.
Kemana perginya cahaya? Dan kemana pula hilangnya semua bunyi-bunyian? tanya Madeline dalam bekapan keputus-asaan yang semakin mendera dari detik ke detik. Sebuah pemikiran memilukan terlintas di pikirannya. Apakah ini rasanya… mati
Gadis itu mencoba berontak. Dia membuka kedua matanya lebar-lebar, menginginkan seleret cahaya merasuk dan memberikan pencitraan akan tempat dia berada sekarang. Sia-sia. Lalu ia berusaha berkonsentrasi penuh agar dapat menangkap suara selirih apa pun, berharap dengan sepenuh hati bahwa gendang telinganya masih berfungsi. Tetap saja sia-sia. Terakhir, dia membuka mulutnya dan mencoba bersuara untuk menghasilkan erangan atau rintihan demi mengurangi sakit bertubi-tubi yang menjeratnya. Namun hasilnya nol besar.
Rasa sakit itu, kau tak kan pernah bisa membayangkannya, begitu perih mencabik dalam-dalam dan menebarkan sengsara berkepanjangan merasuk jiwa, hingga dapat membuat Madeline menyesal mengapa dia pernah dilahirkan. Bukan hanya panas membara, tetapi juga dingin membekukan dan serbuan nyeri yang terasa bak hujaman ribuan anak panah silih berganti menerpanya.
Madeline kini putus asa. Ya, dia sudah putus asa. Tiada lagi yang bisa dia lakukan. Betapa menyedihkannya jika mengingat hidup bisa berakhir sedemikian tragis. Tak perlu berandai-andai ketika Madeline berpikir untuk menapak-tilasi semua memorinya di dunia. Dia tidak menyesal. Tentu tidak. Sampai detik ini pun, seorang Madeline Lestrange tidak pernah menyesali mengapa dia harus melakukan percobaan pembunuhan atas Ginny Weasley demi orang yang sangat dia cintai, Harry Potter. Kenapa harus menyesal? Dia berhak atas cinta Harry, dan Ginny Weasley, si kumuh itu, tidak. Begitu keyakinan kuat Madeline.
Oh, kau tentu berpikir, gadis ini sungguh menyebalkan. Bagaimana bisa kekejian tak termaafkan begini tidak mampu menundukkan kekerasan hatinya? Apakah setitik rasa kemanusiaan tidak sanggup lagi mengetuk pintu nuraninya? Benar kau berpikir begitu? Maka benci dia! Benci Madeline! Tapi tetap dia punya alasan untuk tidak perlu merasa menyesal.
Dahulu, kita sama-sama tahu hidup macam apa yang dilalui Madeline Lestrange. Jangan ungkit kemalangannya! Itu hanya akan menimbulkan rasa iba. Seorang Madeline Lestrange pantang dikasihani. Dia membenci belas kasihan. Sungguh benci, sama bencinya dengan jerawat yang muncul di saat tidak tepat. Well, ini serius.
Karenanya, akan lebih baik jika kita memutar balik kenangan di saat gadis ini berkata dengan lantang, bahwa dia belum pernah mendapatkan segala sesuatu yang diinginkannya di dunia. Apapun itu. Baik itu adalah sekeping cinta, sesuatu yang hampir pasti didapatkan setiap orang dari orang-orang di sekeliling mereka, termasuk juga dirimu yang selalu dilimpahi cinta dari kedua orang tuamu, paling tidak.
Madeline muak akan ketidakberdayaannya selama belasan tahun lamanya ini. Dia juga menginginkan cinta, sebagaimana manusia normal lain. Sebagian besar ruang di hatinya disesaki oleh obsesi dan nafsu menggebu. Sebagian kecil lainnya mematikan akal sehat dan meredam bisikan dari lubuk hatinya yang terdalam. Hingga akhirnya keseluruhan hawa tidak sehat ini telah membentuknya menjadi orang lain, orang yang sama sekali bukan dirinya. Seorang Madeline telah terlahir kembali, dan kali ini bukanlah pertanda baik. Melainkan bencana. Bencana bagi Madeline sendiri, lebih tepatnya begitu. Mengerikan. Tragis. Sungguh tidak terduga…
Baiklah. Sudah cukup rasanya kita meratapi kepergian gadis malang (atau kejam, mungkin banyak yang berpikir begitu) bernama Madeline Lestrange ini. Bagaimana pun juga seseorang yang telah pergi tidak akan bisa kembali lagi. Pemikiran ini sangat logis. Bahkan Madeline juga berpikir seperti ini. Namun benarkah? Sepertinya mulai detik ini segala bentuk rasionalitas harus ditanggalkan. Apalagi Madeline sedang berada di sebuah dunia yang tidak… maksudku… belum pernah kita singgahi, dan tentu saja kita tidak ingin pergi ke sana sekarang juga, kan? Namun suatu hari nanti kita semua akan pergi ke sana, tanpa terkecuali.
Dunia yang sama sekali asing. Dunia gaib, banyak orang menyebut demikian. Banyak hal yang masih belum tersingkap di dalamnya. Salah satu penyebabnya adalah karena hingga detik ini berlalu, belum pernah ada seseorang yang kembali setelah sebelumnya mampir ke dunia itu tadi. Atau kau percaya kepada para pembual yang berseloroh tentang hidup mereka setelah dibangkitkan dari kematian? Maaf, itu hanya tipuan remeh bagiku, kurasa. Dan apa yang terjadi dengan Pangeran Kegelapan tentu saja tidak bisa dibandingkan dengan gadis obyek pembicaraan kita kali ini. Mereka berdua sama sekali berbeda.
Kembali kepada Madeline yang merasakan tubuhnya bagai melayang tanpa bobot di ruang hampa. Waktu bergulir dengan sangat lambat di sana. Amat sangat lambat hingga terasa sungguh membosankan. Kemudian, di saat semua harapan gadis itu sudah padam bersamaan dengan sirnanya cinta untuk seorang Harry Potter, terdengarlah suara yang datang menyapa di tengah semua kehampaan ini.
Suara itu tidak lantang, melainkan lamat-lamat namun tetap jelas terdengar. Bukan berasal dari pria maupun wanita, karena sepertinya ada sahut-menyahut di antara keduanya. Suara yang menunjukkan kewibawaan dan ada semacam kebanggaan semu yang terselip di setiap patah katanya. Nadanya mengalun lembut, hingga seolah menyesap ke setiap pori-pori yang terbuka. Suara ini berasal dari Si Misterius, boleh aku menyebutnya begitu, kan?
"Wahai anak manusia yang di dalam hatinya dipenuhi dengan segala kebusukan dan keculasan. Anak manusia yang terlahir dengan pahitnya kesengsaraan dan mati dalam kenikmatan dendam. Kami datang untuk menyapa."
Madeline terkesiap. Suara itu masuk begitu saja ke dalam pikirannya. Begitu menggugah. Begitu membangkitkan semangat. Nampaknya Si Misterius ini lebih memilih untuk berbicara langsung melalui pikirannya, entah apa maksudnya. Belum sempat Madeline membalas sapaan ini, makhluk yang menyebut dirinya sebagai Kami itu kembali berkata.
"Saat ini, saat di mana setiap jiwa anak manusia yang terbuang dari dunia nyata, saat di mana kau telah dikalahkan oleh suratan takdir dengan tanpa menyebut nama junjunganmu sebelumnya, maka di saat inilah kau berkesempatan untuk mengikuti jalan yang telah kami tempuh dengan tiada keterpaksaan."
"Perkataanmu sangat berbelit-belit," tukas Madeline, berbicara dalam pikirannya. "Aku tidak mengerti sama sekali apa yang kau katakan. Sudahlah! Katakan saja sekarang ini aku ada di mana dan bagaimana aku bisa keluar dari tempat mengerikan ini!"
Si Misterius itu tidak gentar dengan hardikan Madeline. Sebaliknya, ada semacam kepuasan yang membumbui nada bicaranya sekarang.
"Kau sedang berada di alam yang kami sebut sebagai Alam Di Antara, yaitu alam sesudah kehidupan dan sebelum kau benar-benar mengalami kematian. Koma, begitulah para anak manusia biasa menyebut keadaan seperti ini. Kau sendiri boleh menyebutnya sebagai terjebak di antara hidup dan mati. Kau belum sepenuhnya mati, namun juga mustahil bagimu untuk hidup kembali."
Madeline kini menangis pilu dalam hati. Jadi dia benar-benar sudah akan mati sekarang. Dia akan meninggalkan semua keindahan yang dulu pernah sedikit dikecapnya bersama seorang Harry Potter. Sepupunya, Draco, pasti saat ini sedang meratapi kepergiannya ini. Lalu apa yang harus dia lakukan sekarang? Mungkin kematian adalah jalan yang terbaik di kala tiada harapan lagi. Mustahil untuk hidup kembali, begitu kan?
"Namun Kami bisa membantumu. Kami bisa merilismu kembali ke duniamu. Bukan dengan wujud yang kau inginkan atau dalam bentuk aslimu sekarang ini, sayangnya. Kami akan membiarkanmu mencari wadah baru dan juga akan memberimu kekuatan berlimpah demi memuaskan apa yang harus kau tuntaskan di dunia nyata. Katakan persetujuanmu kepada Kami, maka akan ada perjanjian," ujar Si Misterius dengan suara menggema di kepala Madeline.
"Jadi, aku bisa hidup lagi?" tanya Madeline penuh harap.
"Lebih dari itu, wahai anak manusia. Kau tidak akan pernah bisa mati lagi. Kau akan punya kehidupan yang kekal. Sama seperti bangsa Kami. Bergabunglah bersama Kami! Jika Kami bersedia menawarimu sebuah perjanjian, maka apa jawabmu?"
"Aku akan menerimanya," sahut Madeline tanpa pikir panjang.
Suasana kembali hening. Ini membuat Madeline bertanya-tanya apakah Si Misterius itu akan segera mengabulkan permintaannya ini. Akan tetapi terasa sangat ganjil, baik oleh Madeline maupun oleh kita semua. Siapakah yang punya kuasa sebesar ini untuk membebaskan seseorang dari Alam Di Antara?
"Siapa kau? Kenapa kau bisa sangat yakin bisa membantuku keluar dari masalah ini?" tanya Madeline dengan perasaan bergejolak.
"Kami adalah penguasa dari segala tempat di bumi yang bersinggungan antara panas dan dingin. Kami adalah penunggang angin dan aliran darah setiap anak manusia yang setia membisiki mereka dengan hawa nafsu terdalam. Kami adalah turunan dari malaikat yang terusir dari surga ketika menolak menghormati bangsa manusia. Kami adalah daya tarik tempat terkutuk yang disebut dengan neraka. Kami adalah Iblis."
Mendengar ini semua membuat Madeline terkejut bukan main. Dia terpesona, tercengang menyadari kalau baru saja ia membuat sebuah perjanjian dengan Iblis. Bukan rahasia kalau Iblis penuh tipu daya. Selain itu, tentu mereka akan meminta imbalan jika permintaan Madeline tadi benar-benar dikabulkan. Namun sudah terlambat bagi gadis itu untuk membatalkan perjanjian ini. Amat sangat terlambat.
Mula-mula hanya seberkas, namun kemudian mendadak seluruh penjuru ruang hampa itu diterangi cahaya benderang seakan matahari baru saja terbit di sana. Semilir angin dingin mulai terasa dan semakin bertambah kencang sekuat badai. Bunyi-bunyian yang tadinya hilang tersedot entah kemana, kini datang berbondong-bondong mengisi kekosongan yang ada. Suara bergemuruh memusingkan, ditambah cahaya terang menyilaukan dan hempasan angin ribut membuat situasi menjadi sangat tidak nyaman.
Madeline merasakan tubuhnya terhempas kuat-kuat dan terkocok kesana-kemari, jungkir balik tanpa tahu di mana atas atau bawah. Dan di saat semua kekacauan tadi berangsur-angsur menghilang, barulah dia tersadar bahwa dirinya sudah berada di dunia nyata. Dunia nyata, begitulah kita bisa menyebutnya untuk membandingkan dengan dunia gaib yang baru saja disinggahi Madeline.
Pemandangan khas pinggiran kota London menyambut Madeline. Gedung-gedung tinggi dengan desain kuno, rumah-rumah tembok bata beratap lengkung dengan pintu besar dan jendela berbentuk setengah lingkaran mendadak ada di sekitarnya. Jalanan yang licin dan agak becek dengan di tepi-tepinya dipenuhi tumpukan salju terlihat cukup sepi. Segelintir orang yang melintas di atas trotoar tampak tidak begitu banyak bicara, namun Madeline merasa kangen sekali dengan aksen mereka yang khas. Rasanya seperti sudah berabad-abad berlalu sejak dia dikalahkan oleh Ginny dalam sebuah pertempuran sengit.
Setelah selama berjam-jam lamanya terpesona mengamati tempatnya berada, Madeline memutuskan untuk beranjak. Namun alangkah terkejutnya dia saat mendapati dirinya tidak punya kaki untuk diajak melangkah. Lebih dari itu, dia bahkan tidak punya wujud. Kini dia hanyalah gumpalan asap abu-abu pekat yang bergulung-gulung. Lalu makhluk apakah dia ini sekarang? Dia bukan manusia lagi, tentu saja.
Dalam wujud barunya ini Madeline merasa sangat ringan dan mudah bergerak. Namun untuk mengendalikannya, tunggu dulu. Belum terasa semudah membalikkan telapak tangan. Yang ada justru gadis itu kebingungan. Wujudnya ini tidak kasat mata, karena berkali-kali seseorang menabraknya begitu saja seperti sedang menabrak asap rokok. Dan sekali tertabrak, sebagian besar tubuhnya yang berupa asap ini akan berpencar-pencar tak karuan. Butuh waktu agak lama untuk bisa mengumpulkannya lagi.
Di tengah rasa bingungnya ini, Madeline menemukan seorang gadis kecil yang sedang duduk melamun sendirian di sebuah bangku taman. Gadis itu berumur sekitar enam tahun, berambut pirang pucat dan bermata biru cerah. Dari ekspresinya yang sedih dan memandangi beberapa anak yang sedang riang bermain tak jauh di hadapannya, Madeline menyimpulkan gadis kecil itu sedang kesepian.
Gadis yang tersisih, sama seperti aku.
Entah apa yang menuntunnya, Madeline tak tahu pasti. Yang ia tahu hanyalah tiba-tiba saja tubuhnya yang berupa gumpalan asap kelabu melesat menghampiri gadis pirang itu. Oh, dia butuh wadah. Begitu kata Iblis tadi. Dan sepertinya gadis kecil itu adalah wadah yang paling cocok untuk Madeline.
Gadis kecil malang dengan pikiran kosong. Mudah untuk disusupi.
Madeline merasakan dorongan menggebu, rasa senang yang ganjil dan tanpa keraguan saat merasuki tubuh gadis kecil itu melalui mulutnya yang setengah terbuka. Dalam hitungan detik saja wujudnya dalam bentuk gumpalan asap kelabu telah memenuhi ruang pada wadah barunya ini. Seketika Madeline telah mengambil alih tubuh si gadis kecil dan membelenggu jiwa pemilik tubuh yang sedang di tempatinya itu jauh di bawah kendalinya. Ini berarti gadis kecil itu akan bisa melihat dan merasakan apa yang diperbuat Madeline dengan tubuhnya, namun dia tidak bisa melakukan apa pun untuk mencegahnya. Seperti kendali mantra Imperius, namun kali ini kau harus berada di dalam tubuh bonekamu untuk mengontrolnya sesuka hati.
"A… aku… hidup… dan… bernapas!" seru Madeline riang.
Dengan jemarinya yang mungil, Madeline meraba wajahnya yang kini imut dan menggemaskan, rambutnya yang tidak lagi coklat bergelombang dan berganti pirang lurus, serta kedua tungkai kakinya yang pendek. Well, tingginya sekarang hanya sekitar empat kaki saja.
Sambil menyusuri jalanan becek di sebuah gang sempit yang agak remang karena deretan rumah yang ada di sana memblokir cahaya matahari rapat-rapat, Madeline berusaha membiasakan dirinya agar dapat bertingkah sewajarnya seperti anak berumur enam tahun lainnya. Cukup sulit. Karena sebagai gadis abg, Madeline terbiasa berjalan anggun dan menghabiskan banyak waktu untuk bercermin, mengagumi kecantikannya. Ya, dulu dia memang cantik. Tapi, sekarang tidak lagi. Itu pendapat Madeline setelah mencermati wajah wadahnya ini melalui kaca jendela salah satu rumah yang dilewatinya.
Wajah gadis kecil yang ditempatinya ini tidak terlalu cantik, bahkan terlalu bagus untuk bisa disebut manis. Wajah pemurung, lebih cocok begitu. Dengan sudut bibir tertarik ke bawah dan kedua mata bersinar redup, yang tersirat dari wajah ini hanyalah ekspresi muram. Namun Madeline tidak ambil pusing. Toh dia hanya membutuhkan tubuh gadis kecil ini untuk menuntut balas atas kematiannya, bukan untuk ikut kontes kecantikan.
"Hei, kau!"
Seseorang berteriak dari arah belakang. Madeline tersentak, mempertanyakan apa benar dia yang baru saja dipanggil dengan nada sekasar ini. Ketika dia berbalik untuk mencari tahu, mendadak sebongkah salju telah menampar wajahnya telak. Madeline menjerit kaget, megap-megap dan merasakan sakit serta sedikit kebekuan di wajahnya yang halus. Sementara itu terdengar suara cekikikan mencemoohnya.
Dengan kedua tangan gemetar kedinginan, Madeline menyapu salju yang melekat di pipi dan matanya. Kulit wajahnya kini terasa kebas dan sedikit nyeri. Selain itu, hatinya juga mulai panas. Apalagi ketika suara cekikikan para pengganggunya semakin nyaring dan disertai tembakan bola salju bertubi-tubi.
"Serang dia!" komando seorang bocah laki-laki berumur sekitar sepuluh tahun dan bertubuh gempal kepada dua orang anak laki-laki yang sedikit lebih muda darinya.
Madeline merasakan tubuh kecilnya terhuyung. Bola-bola salju berukuran sekepalan tangan terus-menerus ditembakkan ke arahnya. Kaki dan badannya jadi sasaran empuk. Namun tawa geng cilik itu semakin kencang saat bola salju mereka berhasil menimpuk tepat di muka Madeline. Tak ada belas kasihan tampaknya. Bahkan untuk gadis kecil lemah ini.
Dasar bocah-bocah badung!
"Hentikan!" teriak Madeline, berusaha menutupi wajahnya dengan kedua lengannya dari bola-bola salju yang menyasarnya.
"Jangan berhenti sampai si kecil Ailsa menangis!" sahut bocah laki-laki pemimpin geng nakal itu. "Hayoo! Terus lempari wajah cengengnya!"
Ailsa? Jadi nama gadis kecil ini Ailsa? pikir Madeline.
Perlahan-lahan dia mulai paham mengapa gadis kecil ini bertampang murung. Ya, tentu saja. Karena dia tidak punya alasan untuk gembira. Tersisih dan direndahkan. Oh, dia malah jauh lebih menyedihkan dari Madeline semasa hidupnya dulu.
Kali ini Madeline menurunkan kedua tangannya, membiarkan bocah-bocah nakal itu menimpukinya dengan bola salju. Madeline sudah cukup geram. Namun jangan salah sangka. Dia tidak geram karena nasib malang Ailsa yang tampaknya selalu diganggu geng kecil ini. Madeline tidak peduli dengan nasib Ailsa. Yang ada di pikirannya adalah jangan ganggu aku selama aku memakai tubuh gadis lemah ini.
"Kubilang hentikan!" teriak Madeline lagi.
"Oh, kenapa gadis Elwood kecil? Apa kau tidak ingin menangis dulu seperti biasa?" ledek anak laki-laki pemimpin geng itu.
Meski begitu, mereka bertiga berhenti melempari Madeline. Apa mereka sudah benar-benar berniat untuk berhenti mengganggu Ailsa? Well, dugaan ini salah besar. Mendadak saja pemimpin geng anak berandalan itu menimpuk sebongkah besar salju dan tepat mengenai wajah Madeline, menghantam cukup keras hingga membuat tubuh kecil Ailsa jatuh terjengkang.
"Nice shot, Fergus!" puji salah satu anak laki-laki kepada pemimpin gengnya.
Sontak terdengar tawa cemooh sekali lagi. Ketiga anak laki-laki nakal itu menertawakan kekonyolan gadis kecil yang mereka anggap cengeng dan tak berdaya itu. Ini membuat kesabaran Madeline habis sudah. Kemarahannya telah mencapai ubun-ubun.
"Kalian semua buntalan daging kotor!" seru Madeline lantang.
Namun suara hardikan ini tidak cukup mengerikan di telinga ketiga bocah badung itu. Tentu saja karena suara Ailsa Elwood terdengar sangat kekanak-kanakan. Mereka boleh saja meremehkan Ailsa, tetapi mereka tidak tahu siapa yang sekarang sedang mengendalikan tubuh gadis kecil itu.
"Oww… jadi sekarang kau berani memaki kami, Elwood kecil? Kukira ibumu tidak pernah mengajarimu berkata kotor," seloroh Fergus, si pemimpin berandalan kecil, sambil berkacak pinggang menantang.
"Yeah, ibuku yang mengajariku. Asal kau tahu saja," balas Madeline, melotot tajam. Tentu dia berkata jujur. "Kalian belum kenal siapa ibuku sih. Dia seorang pembunuh, sama seperti aku. Oh, maaf. Maksudku, aku ini hanya calon pembunuh."
Untuk sejenak Madeline tercengang mendapati reaksi mengejutkan atas ucapannya barusan. Wajah ketiga pengganggunya ini berubah pucat pasi dan kedua tungkai kaki mereka gemetar hebat. Sepertinya ada sesuatu yang begitu mengerikan di wajah Madeline atau Ailsa yang membuat mereka sangat-sangat ketakutan hingga membeku tak dapat bergerak.
Tanpa sadar, Madeline berpaling ke arah salah satu jendela milik sebuah toko yang sudah tutup. Dia juga ikut terkejut saat melihat pantulan wajah Ailsa di jendela tersebut. Ekspresi polos tak berdosa Ailsa sudah lenyap, berganti dengan ekspresi dingin dan murka. Yang lebih mengejutkan lagi adalah matanya. Sepasang bola mata biru itu kini sudah berubah total menjadi putih susu, seperti bola mata monster saja.
"Kau bukan Ailsa…" ujar Fergus lirih.
"Memang bukan," jawab Madeline dengan suara aslinya, suara seorang gadis remaja. "Aku Madeline. Madeline Lestrange. Dan kurasa saat ini aku adalah penjelmaan iblis yang merasuki tubuh Ailsa. Ya, tentu saja. Aku sudah mati soalnya. Mengerikan ya?"
Sontak, ketiga anak laki-lagi itu memutar tubuhnya, bermaksud kabur sejauh mungkin dari si kecil Ailsa yang mendadak kerasukan iblis entah dari mana. Namun Madeline tidak ingin membiarkan mereka lolos begitu mudah.
Sesungguhnya ini hanya sebuah ketidaksengajaan saat Madeline mengulurkan tangan kanannya dengan sedikit hentakan ke arah geng bocah nakal itu. Tetapi akibatnya sungguh tidak terduga. Tiba-tiba saja tubuh ketiga anak laki-laki itu terangkat dari tanah dan punggung mereka menghantam dinding secara bersamaan. Detik berikutnya, mereka bertiga meronta-ronta sekuat tenaga, tak bisa melepaskan diri dari dinding, seperti ada sebuah paku besar tak kelihatan yang menahan mereka di sana.
"Well, apa ini? Jadi ini yang dinamakan kekuatan iblis? Menarik juga. Sekarang aku tidak butuh tongkat sihir lagi," seloroh Madeline sambil mengagumi keindahan bola mata putih susunya melalui pantulan kaca jendela.
"Maafkan kami… Tolong lepaskan kami…" rintih salah seorang anak buah Fergus, mengiba.
Kedua telinga Madeline sudah tertutup rapat. Dia ingin mencoba kekuatannya lebih jauh lagi. Dia haus akan rasa ingin tahu. Karenanya, tanpa belas kasihan, Madeline memutar telapak tangannya searah jarum jam dan membuat tubuh ketiga anak laki-laki itu berputar mengikuti gerakan telapak tangannya ini. Sekali, dua kali, dan berkali-kali sampai gadis itu puas.
"Lucu," ucap Madeline pendek, tak peduli isak tangis yang mulai terdengar dari bibir ketiga korbannya itu. Sayang, keadaan gang yang sunyi senyap begini tidak akan banyak membantu anak-anak badung ini.
Biarlah. Toh mereka juga sering membuat Ailsa menangis, kan?
"Bagaimana kalau begini?" kata Madeline, menghentakkan tangan kanannya lebih kuat dan menyebabkan ketiga korbannya menjerit kesakitan.
Tubuh mereka bertiga sedang didesak oleh sebuah kekuatan besar yang semakin lama semakin menekan mereka dalam-dalam, seolah ingin membenamkan mereka hidup-hidup ke dinding. Terdengar bunyi dinding yang mulai retak, disertai dengan teriakan minta ampun. Rupanya dinding yang menahan tubuh bocah-bocah nakal itu mulai melesak saking kuatnya tenaga yang dikerahkan Madeline. Pasti ketiga anak itu merasa sangat kesakitan sekarang.
"Tontonan menarik," ujar Madeline enteng dan menurunkan tangan kanannya.
Serta merta tubuh ketiga anak nakal itu berjatuhan ke tanah. Wajah, baju dan celana mereka sekarang belepotan salju. Dua anak buah Fergus pingsan. Sedangkan pemimpin mereka sendiri sedang berkelonjotan menahan sakit pada tulang belakangnya.
Madeline mendekatinya santai saja. Kedua bola matanya masih putih total, belum kembali seperti semula. Madeline sendiri merasa belum cukup puas menguji kekuatannya. Dia masih ingin mencobanya lagi dan lagi.
"Hai, Fergus. Cukup sampai di sini saja kau menganggu anak yang lebih lemah darimu," kata Madeline lembut.
Fergus masih saja terbaring terlentang sambil mengerang-ngerang kesakitan. Kedua matanya terbelalak lebar saat mengetahui Madeline menghampirinya. Di balik butiran salju yang mengotori wajahnya, tampak ekspresi ketakutan yang teramat sangat. Selangkah dua langkah kaki mungil Ailsa yang membawa Madeline mendekat, wajah Fergus semakin pucat pasi seperti orang kurang darah.
"Jangan…" pinta Fergus parau ketika sekali lagi Madeline menodongkan telapak tangannya sambil berjongkok di samping tubuh pengganggunya ini.
Namun Madeline tidak ingin mendengar penolakan atau permohonan apa pun untuk saat ini. Dia harus membuat perhitungan atas pelecehan yang didapatnya tadi. Tangan mungilnya meremas-remas udara kosong yang ditujukan kepada Fergus dan menyebabkan anak laki-laki itu merasakan sakit yang luar biasa di dalam rongga dadanya.
Mula-mula Fergus hanya batuk-batuk kecil, namun lama-lama batuknya semakin hebat. Entah bagaimana dia merasa seperti sedang tercekik, kesulitan untuk bernafas. Kerongkongannya perih bukan main. Sampai akhirnya darah mengalir deras dari kedua lubang hidungnya. Urat-urat di wajahnya terlihat menonjol, jelas sekali dia tak mampu lagi menahan sakit ini.
"Apa yang kau lakukan kepadaku…?" rintih Fergus di sela-sela batuk parahnya. Kini dia berguling-guling sambil memegangi dadanya yang serasa akan segera meledak.
"Meremukkan paru-parumu, kurasa," balas Madeline santai, terus saja meremas-remas udara kosong. "Well, mengasyikkan juga lama-lama begini."
"Hentikan, please…"
Sambil tersenyum tipis, Madeline menarik tangan kanannya. Tidak. Dia tidak melakukannya untuk berbelas kasihan. Dia melakukannya karena tubuh Fergus sudah terlanjur mengejang sampai akhirnya tidak bergerak lagi. Entah pingsan atau mati, Madeline sama sekali tidak peduli. Yang dia pedulikan sekarang adalah bagaimana caranya untuk bisa kembali ke Hogwarts dan menemui kedua orang yang sangat ingin dilihatnya mati menderita, Harry dan Ginny.
" and , ready or not, here I come," desis Madeline dengan kedua bola mata putih berkilat-kilat bak mutiara dan seringai sadis di bibir mungilnya.
Bersambung…
Note : buat yang suka ama Madie, jangan kaget ya kalo Madie jadi kejem banged di crita ini. Jujur, diriku bosen ama Madie yang mellow di beberapa fic sebelumnya n pengen balikin dia ke karakternya dulu sebelum tewas. Apalagi di kondisinya sekarang, Madie gak ada alasan lagi untuk jadi orang baek-baek. Mohon maklum.
