Teruntuk kamu, yang senyumnya tak pernah gagal menghipnotisku.
.
.
.
Pagi itu kuisyaratkan pada sudut jendela melalui sorot mata yang sayu, bahwa aku memulai hari dengan rasa syukur sebagaimana helaian dedaunan berembun dingin setelah lama tertimpa terik matahari.
Pada mulanya aku berpikir tak ada yang lebih hampa di dunia ini selain kehidupan itu sendiri. Biar malam berganti pagi, fajar itu tak ubahnya langit kelam tanpa bulan. Namun kini, aku telah menemukan jawabannya. Dalam matamu tersimpan dunia yang belum pernah kulihat sebelumnya., dan sekarang kau telah memberikanku dunia itu.
"Selamat pagi..." masih bergelung dalam selimut, kau menyapaku dengan suara sesejuk embun pagi.
"Hey," aku balas menyahut, kembali di antara lipatan-lipatan selimut yang masih meninggalkan sisa kehangatan, "berniat tidur lagi? Sudah jam setengah tujuh."
Kau menggeleng, matamu yang menyimpan dunia milikku masih terpejam. Jemarimu dalam genggamanku terasa begitu rapuh, akan tetapi cincin yang melingkar di salah satu ruasnya terasa sangat menguatkanku.
"Rasanya malas bangun. Aku ingin tetap di sini bersamamu."
"Tapi kau ada kuliah pagi."
"Ini salahmu. Kenapa kau tidak menunggu untuk wisuda bersamaku?"
Geliat manjamu membuatku tersenyum simpul. Siapa yang menyangka watak bak kucing persia itu tiba-tiba muncul ketika aku memutuskan untuk mendatangi ayahmu? Sebelumnya kau adalah orang paling apatis yang pernah kukenal, kemudian berubah menjadi gadis dengan perhatian tersembunyi paling apik jauh di balik sifat cueknya. Dan kini, kau justru membuatku terjebak dalam ekstase tatkala senyummu di pagi hari adalah sambutan paling pertama yang mengawali hariku.
Aku tidak akan pernah merasa bosan.
"Seandainya kita lulus bersama pun, aku masih harus menafkahi keluarga kecilku," kukecup ujung kepalamu yang mengeluarkan semerbak adiktif beraroma gourmand, "si kecil di dalam sini pasti akan membutuhkan banyak biaya, bukan?" anak-anak rambutku menggelitik permukaan perutmu yang mulai membesar. Kau pun tertawa geli,
"Aku tidak sabar untuk mengambil cuti hamil," katamu dengan pandangan penuh afeksi.
"Dasar pemalas, maunya libur terus."
"Hehe... tidak apa-apa, kan? Dengan begitu aku bisa menyambutmu setiap kali kau pulang."
Elusan tanganku menyusuri helai demi helai surai yang selembut sutra itu, kemudian menjawil pipinya yang senantiasa merona, mengingatkanku pada detik awal-awal pertemuan kami di mana tatapan mata ini sengaja maupun tanpa sengaja bertemu pandang.
Setiap gestur, kerlingan, tutur kata dan caramu memandang dunia dengan hati yang lapang. Kau, gadis yang mengklaim bahwa Tuhan telah menganugerahkan rasa itu padamu untukku, namun tidak pernah dirisaukan oleh rasa takut kehilangan. Aku kehilangan orientasi ruang dan waktu tatkala kau tersenyum dan memberiku arti yang lebih dari berharga.
Aroma cappucino dan roti panggang masih tercium hangat saat kau berdiri di ambang pintu, mengelus perutmu seraya berkata, "Hati-hati di jalan. Kami menunggumu di rumah."
Kau. Poros dunia, tempat kembali dan candu paling memabukkan dalam hidupku. Tak sabar rasanya untuk bisa kembali tenggelam dalam senyumanmu.
Fin
Hey hey hey fanfiction readers, I am baaaaack~~~
Sebelumnya selamat atas dirilisnya Kagamine Rin Len V4X dan ultah mereka yang kedelapan XD *telat*
Yah... sebenarnya aku lagi UAS sekarang. Tapi setelah baca buku di perpus dan dapet suatu inspirasi, maka jadilah ficlet ini haha :D
Oya tentang fictku yg Miracle of Bond, aku emang menghapus yang satu itu. Bukan karena discontinue, tapi karena ku rewrite dan hanya akan kutulis dalam bentuk original fiction. Maaf yah *bow*
Kalau kalian masih tertarik untuk membacanya mampir aja ke akun wattpad ku dengan username yg sama :D
Terimakasih dan sampai jumpa lagi :*
Disclaimer: Vocaloid isn't mine.
