Title: The Other Side of Me
Author: Lee Shikuni
Archip: Yaoi, Chapter, M (for Crime)
Genre: Crime, Family, Romance
Cast:
-Jung Ho Seok a.k.a J-Hope (BTS)
-Jeon Jung Kook (BTS)
-And OC
Warning: Typo(s), GJ, Amburadul, Yaoi Fanfic! Pair: HopeKook, DLDR! RnR, please...
A/n: Idenya dri mantan Author (katanya) Makasih bgt! Aku cba kembangin ide Noona jd FF ini. Semoga ska dg pair HopeKook yg sengaja aku bikin. Semoga gk mengecewakan semua reader. Hope U like it! Happy reading~ ^^
AUTHOR POV
#Flashback
PLAK!
"Belajar saja kau tidak becus?! Apa gunamu hidup Jung Ho Seok?!" bentak seorang yeoja paruh baya setelah menampar tanpa perasaan pada seorang anak berumur 15 tahun.
Ho Seok menunduk dalam. Menutupi kerapuhan dan kelemahannya sebagai seorang anak remaja yang tak dapat asal melayangkan protes-pendapatnya. Salah satu pipinya memerah-panas; perih. Matanya ikut memerah, berair, dan begitu panas; perih. Ingin sekali ia berkedip. Tapi jutaan tetes lainnya pasti akan mengikuti hingga berakhirnya hari ini. Pandangan sudah berkabut, ntah apa yang asyik anak ini lihat di lantai; saksi bisu penganiayaan kecil itu. Bahu bergetar itu tak membuat yeoja paruh baya itu iba untuk memeluk tubuh ringkih Aegya semata wayangnya itu. Dengusan keras membuat Ho Seok menggigit bibir bawahnya menahan isak yang hampir muncul.
"Kembali ke kamarmu! Belajar dengan rajin! Tidak ada makan malam untukmu! Aku tidak ingin kau seperti Orang Gila yang pemabuk itu!" usir yeoja paruh baya itu menyamarkan seseorang yang berposisi sebagai kepala keluarga. Ho Seok masih diam karena syok dan masih menetralisir rasa takutnya yang berlebih. "PERGI! KAU TIDAK DENGAR AKU, BOCAH DUNGU?!" bentakan itu membuat Ho Seok berjalan terbirit-birit menuju kamarnya.
Ho Seok duduk diam di balik pintu kamarnya yang rapat; tertutup. Sembari menggigiti ibu jarinya untuk meredam isakan yang keluar karena tangisnya. Dengan seragam sekolah lusuh yang melekat di tubuhnya.
Ho Seok tidak bodoh. Ia hanya mendapat nilai 9 untuk ulangan hari ini. Ia hanya terpeleset oleh 1 soal dari 10 soal yang ada. Dan ia sudah memperkirakan Eomma-nya akan memakinya kasar. Tetesan-tetesan air asin dari matanya sudah membuat bajunya basah, tapi ia tak peduli dan tetap diam; tidak beranjak.
Kepalanya serasa begitu rumit dan penuh oleh bola kusut yang ntah dimana ujungnya. Sayangnya otaknya sudah lelah mencari ujung itu untuk diperbaiki. Akhirnya hanya membiarkan begitu saja dengan seiring gundukan (masalah) itu semakin besar dan memenuhi otaknya.
Setelah sadar dari lamunannya, Ho Seok melihat sekitar. Tanpa menghapus air matanya ia bangkit berdiri untuk meraih handuk dan menghilang di balik bilik kamar mandi; dan menghabiskan berjam-jam lamanya.
"KAU TIDAK TAHU APA-APA, PENGECUT! SEMUA INI SALAHMU!"
"Aku baru saja pulang bekerja. Setidaknya KAU membuatkanku secangkir kopi, JALANG!"
"BEKERJA, HUH?! KAU PIKIR APA BAU ALKOHOL ITU?! Aku jamin kau pasti sehabis 'bergaul' dengan yeoja MURAHAN itu. JAWAB AKU!"
"TAHU APA KAU, HUH?! JALANG YANG TAK TAHU APA-APA SEPERTIMU SEBAIKNYA DIAM, SAJA! MENURUTMU AKU TIDAK TAHU? SIAPA NAMJA BUSUK ITU, HUH?!"
Ho Seok baru saja keluar dari kamar mandi di kamarnya sembari mengusak rambut basahnya. Kegiatannya terhenti saat mendengar ribut-ribut 'disko' di luar kamarnya, seperti hari-hari sebelumnya. Ho Seok melempar handuknya asal lalu beranjak memutar kenop dan membuka pintu kamarnya sedikit; hanya untuk mengintip.
PRANG!
"AKU BUKAN JALANG TUAN JUNG YANG TERHORMAT!"
PLAK!
"KAU! SAMA BUSUKNYA DENGAN NAMJA BRENGSEK ITU, JALANG!"
Ho Seok meringis dalam hati. Lalu menutup kembali pintu kamarnya. Ia beranjak duduk di tepi ranjangnya. Meremas rambutnya yang masih lembab; berusaha tak mendengar jeritan maupun bentakan, caci maki maupun sindiran yang ia tangkap lewat gendang telinganya.
BLAM!
Hingga suara pintu utama rumahnya tertutup pun terdengar. Jantung Ho Seok berpacu cepat saat keadaan rumah tiba-tiba hening. Perasaan takut yang lemah itu kembali datang menghantuinya sebelum waktu berjalan. Bahkan tak cukup 1 detik untuk tubuh mungil itu bergetar ketakutan dengan diikuti suara gebrakan pintu kamarnya yang dibuka tanpa perasaan.
Kejadiannya terlalu tiba-tiba, bahkan Ho Seok tak sempat bernafas.
PLAK!
Tamparan itu...
BUGH!
Pukulan itu...
"KAU! JIKA TIDAK ADA DIRIMU! MUNGKIN HIDUPKU AKAN TENANG! DASAR KAU TIDAK BERGUNA! UNTUK APA KAU HIDUP BOCAH JUNG?!"
Makian itu...
Mungkin... Mungkin jika Ho Seok lebih berani lagi, ia ingin pergi. Tapi... suara kecilnya tak berdaya, tubuh bergetarnya begitu lemah, dan air matanya sangat rapuh. Ia seperti debu kecil yang selalu diijak-injak di drama kehidupan Bumo-nya.
Ho Seok kembali meneteskan jutaan berlian berharga yang menyakitkan. Terus meringis menahan raungan sia-sia itu di kerongkongannya, dan berakhir ia ditendang -benar-benar ditendang- oleh Eomma-nya sendiri keluar dari flat kecil tempat tinggalnya. Ho Seok mengetuk-ngetuk pintu itu dengan isakan yang mulai terdengar keras dan pilu, sayangnya tidak ada yang peduli. Tidak akan.
Awan di atas sana sudah memakan bulan. Beserta gemuruh yang berbicara dalam bahasa yang tak dimengerti Ho Seok, hingga hujan deras menemaninya di luar sana sedang gemuruh petir tetap mengajaknya berbincang. Dengan tubuh dan bibir pucat bergetar, Ho Seok memejamkan matanya. Berharap ia sudah tak bernafas lagi saat ditemukan esok harinya; putus asa.
TAP!
Ho Seok menghentikan langkahnya ketika suara ribut-ribut 'disko' kembali terdengar memalukan dari luar flat-nya tinggal. Ho Seok berdiri dengan jarak 10 meter dari pintu utama flat. Malah menunduk menunggu -ntah apa- sembari menatap ujung sepatu usangnya yang sudah tak layak pakai. Seragam yang kemarin basah oleh air matanya sudah kering.
CLEK!
Adegan selanjutnya adalah sang Eomma yang mengusir Appa-nya dari flat. Ho Seok meremas jemarinya yang terkepal kuat. Kakinya refleks berlari dan menahan kedua tangan Bumo-nya. Mencoba melerai semampunya karena -jujur saja- ini mulai memalukan dan memuakkan hidupnya yang sudah seperti gulungan kertas koran lama tanpa ujung.
BRUK!
"KAU TIDAK USAH IKUT CAMPUR, BOCAH TENGIK!" usir Eomma-nya, setelah mendorongnya menjauh; menyingkir dari keributannya dan sang Nampyeon.
"Hajima... Appa... Hajima..." bisik Ho Seok lirih yang tak membantu suasana sama sekali. Sekali lagi, Eomma-nya berteriak mengusir. Dan dengan dengusan, Appa-nya menyerah dan pergi. Tentu Ho Seok berharap Appa-nya kembali; jika ada kesempatan.
"KAU, MASUK! Atau kau mau menjadi anak jalanan di luar sana? TERSERAH!" setelahnya, Ho Seok segera mengekori sang Eomma ke dalam rumah.
Ho Seok melihat sekitarnya. Cukup aneh dengan malam ini yang begitu tentram; sepi, dingin. Bumo-nya sibuk dengan kegiatan sendiri. Appa-nya menonton televisi, sedang Eomma-nya ntah sedang memotong apa di dapur.
Ho Seok meremas sampul buku yang ia baca. Matanya seringkali mengintip pada kegiatan sang Eomma. Ah, bukan! Matanya terus menatap benda yang ada di tangan Eomma-nya yang seolah memanggilnya untuk bermain bersama. Ho Seok mencoba mengatur nafasnya untuk menjernihkan kembali kepalanya. Tapi, lagi-lagi ia melirik benda itu. Tiba-tiba semuanya gelap; memejamkan matanya, lalu membukanya lagi. Keadaannya masih sama. Tapi Ho Seok bangkit, dan kejadiannya tak akan sedamai malam ini lagi -atau beberapa detik yang lalu-.
Ho Seok berjalan pelan menghampiri sang Eomma. Ia berhenti 30 cm dari keberadaan Eomma-nya sendiri. Hanya diam mematung; untuk mengosongkan pikirannya.
"Eomma, mau kubantu?" tapi kalimat lirih penuh rasa takut itu masih tak bisa keluar dari logatnya. Yang dipanggil menoleh, dan menyerahkan pekerjaannya tanpa banyak bicara. Ho Seok menerima seperangkat pisau dan lobak. "Ah, aku bereskan dulu buku-bukuku." Ho Seok berbalik tanpa di sadari yang lebih tua, ia menyisipkan pisau itu di lengannya.
Ho Seok berjalan menjauhi dapur. Tidak jadi meraih bukunya, tapi ia mendekati punggung Appa-nya yang sedang asyik menonton televisi yang isinya tak bermutu, Ho Seok mendengus.
SRET... SRET...
Sang Appa beberapa kali meringis tak sadar; saking asyiknya menikmati isi dari tayangan benda berbentuk persegi itu. Appa-nya merasa aneh, punggungnya terasa perih dan sang Appa baru saja mengecek ada apa di punggungnya.
Tertegun, keringat dingin, tubuh bergetar, mulut menganga... Merah? Bau karat. Darah?
Seketika itu juga Ho Seok tertawa layaknya anak kecil, terdengar begitu menyeramkan dengan aura mata yang kelam; menertawai puas hasil karya huruf 'J' di punggung Appa-nya. Sang Appa menjerit. Sontak Ho Seok mendorong kepala Appa-nya sendiri hingga mengenai televisi dengan keras. Televisi mati, bahkan kacanya hingga retak, kepala sang Appa berhias cairan merah pekat yang membuat Ho Seok tertawa lagi.
Ho Seok menoleh kearah dapur. Mendapati sang Eomma yang memandangnya horror, kaku, dan sisanya seperti yang terjadi pada Appa-nya. Ho Seok melayangkan seringainya.
"Biar aku bantu Eomma." gumam Ho Seok dengan senyum lebar yang menyeramkan. Perlahan tubuh kurus itu mendekat.
"Jangan mendekat! Menjauh dariku! ADA APA DENGANMU, HO SEOK?!"
BRUK!
Eomma-nya sudah terblokir oleh lemari di dapur.
"Mwo? Coba tanyakan itu pada dirimu sendiri." ucap Ho Seok tegas dan dingin sembari menunjuk-nunjuk wajah Eomma-nya dengan ujung pisau yang sudah 'kotor'. Ho Seok berjongok. "Jawabannya. Pertama, aku MUAK." Ho Seok menggoreskan garis vertikal pada bagian wajah Eomma-nya yang terpampang di hadapannya; karena Eomma-nya memalingkan wajahnya, menggunakan pisau. "Kedua, aku mual." kali ini garisnya horizontal. Eomma-nya hanya meringis menahan tangis. "Ketiga, aku MARAH!" Ho Seok menusukkan pisau itu pada pipi sang Eomma, dan berhasil mendapat pekikan keras. Ho Seok mencabutnya lagi dan maraih pisau lain di dapur itu.
Ho Seok berdiri, dan mundur beberapa langkah dari Eomma-nya. Ia melirik Appa-nya yang sibuk berusaha berdiri.
SRET!
JLEB!
"Berdiri saja, lama."
Itu terlalu ringan, cepat, dan tidak berperasaan. Ho Seok melempar ujung mata pisau tepat mengenai jantung sang Appa yang langsung jatuh tak berdaya dengan darah yang mulai mengalir memberi warna lain pada lantai putih tak berdosa.
Ho Seok kembali melihat Eomma-nya yang sibuk mengurangi rasa sakit pada pipi berlubangnya. Ho Seok menyeringai lebar.
"Aku sudah membantumu menghilangkan sumber masalahmu. Sekarang, aku ingin menghilangkan sumber masalahku sendiri." Ho Seok sudah bersiap melempar pisaunya lagi. Dengan mata memicing berlagak profesional, dan hanya dalam hitungan beberapa detik saja...
1...
2...
3...
SRET!
JLEB!
PROK! PROK! PROK! PROK!
Tepat sasaran! Ho Seok bertepuk tangan untuk dirinya sendiri. Ia mendekati jasad Eomma-nya, dan melepaskan pisau itu dari kepala sang Eomma. Ho Seok tersenyum puas saat tubuh itu oleng mencium mesra lantai yang sudah terkotori itu.
Ho Seok mengambil kedua pisau itu. Mencucinya di wastafel beserta tangannya yang berlumur darah juga. Setelah selesai, ia menyimpan pisau-pisau itu kembali ke tempatnya. Ho Seok berlari kearah kamarnya. Ia meraih hoodie hitamnya dan segera memakainya dengan tergesa. Setelah itu melesat lagi ke dapur untuk mencari minyak tanah ia melumuri kedua jasad kaku itu dengan minyak dan menyebarkannya juga pada tempat-tempat yang lain. Setelah isi tangki minyak habis, ia mencari korek api atau apapun yang bisa membakar tempat terkutuk ini; itu persepsinya sekarang. Sembari mencari, ia membuka kulkasnya. Menatap sedih dan kecewa tak menemukan satupun kaleng soda untuk merayakan malam bebasnya sekarang. Hanya ada beberapa kaleng soju. Dengan hati kecewa ia mengambil 2 kaleng soju dan mendapatkan sebuah korek api di atas kulkas. Tersenyum manis layaknya mendapat permen, ia membawanya ke tengah rumah.
CKESH!
Api menyala dan...
WOOSH!
Langsung merambat kemanapun minyak tanah memberikan api itu jalur. Dengan santai, Ho Seok keluar dari pintu belakang rumahnya. Ia pergi menuju taman yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumahnya. Tapi, dataran taman ini naik, membuatnya bisa melihat rumahnya meski hanya duduk diayunannya saja -di sana ada seperangkat ayunan-. Tapi kali ini, Ho Seok tidak lagi main ayunan seperti kebiasaannya bersedih dipenghujung pulang sekolah, ia memanjat pohon rindang di taman itu dan meminum sojunya di sana sementara ia melihat kenangan buruknya lebur di lahap sesuatu berwarna oranye menyala itu.
Setelah satu kaleng sojunya habis, Ho Seok mendengus karena petugas kepolisian dan pemadam kebakaran datang, juga beberapa warga. Padahal Ho Seok belum melihat kenangan buruknya hangus hingga pagi. Ho Seok turun dari pohon dan mulai berjalan menjauh ntah mau kemana; sembari meminum sojunya yang tinggal setengah kaleng lagi.
Ini baru awal kehidupannya yang menarik. Selamat tinggal bola kusut! Hingga saat ini, otak Ho Seok masih kosong.
#FlashbackEnd
AUTHOR POV END
~TBC~
A/n: Ini... semoga tidak mengecewakan. #bow Kekurangannya, tlg kasih tau di kotak review. Review, please... ^^
