Do Re Mi Rintik Hujan

Disclaimer : Bleach © Tite Kubo

Rated : T

Genre : Friendship, Romance, Hurt/Comfort

Warning : OOC, Typo(s)?, AU, GaJe, Abal

Ini fict request dari Rukiorra Schiffer. Ichi bingung mau bikinnya gimana karena kali ini adalah request, ide ceritanya dimasuk-masukin aja, gak tau bagus ato nggak -". Tapi… Ichi tetap berusaha kok ^^/

*Maaf karena fic sebelumnya aja belum selesai udah bikin fic baru*

Don't Like, Don't Read, so…

Enjoy it!

.

.

.

Chapter 1

.

.

.

Aku sangat menyukai hujan. Sangat! Alasannya karena hujan selalu membawa pergi emosiku. Ada satu hal yang aneh. Ini terjadi padanya. Entahlah… yang kutahu dia membenci hujan. Tapi, ia selalu mengelak dengan mengatakan 'aku tak benci hujan, hanya saja hujan itu merepotkan!'. Jika hujan merepotkan bukankah itu artinya dia membencinya? Iya kan? Tapi, yah… opini masing-masing orang itu berbeda.

Aku tahu alasannya membenci hujan. Karena hujan selalu mengingatkannya pada orang yang ia sayangi. Begitukah? Jika dia membenci hujan berarti dia juga membenci orang itu 'kan? Karena hujan selalu mengingatkannya pada orang itu. Aneh kan? Tapi, aku tak ingin dia membenci 'orang itu' hanya karena hujan. Yosh… akan kubuat dia menyukai hujan. Karena aku juga menyayangi 'orang itu'.

Rintik hujan mulai mereda. Hal ini juga ikut meredakan hatiku. Pasalnya, dengan berhentinya hujan aku tak perlu melihat wajah sedihnya itu.

"Yo, midget!" sebuah suara baritone menyadarkanku yang sedang melihat ke arah jendela. Kulihat laki-laki berambut nyentrik itu sedang melihat ke arahku sambil tersenyum. Aku tak membalas senyumnya. Untuk apa membalas senyum bodoh itu?

"Hujan sudah reda, lho. Tak mau pulang?" katanya lagi. Aku bergeming. "Hallo~!" sapanya sambil meletakkan telapak tangannya di sebelah mulutnya. Ia lalu berjalan ke arahku.

"Oi.. midget, kalau tak pulang sekarang nanti keburu malam," sahutnya sambil menjitak pelan kepalaku. Karena kaget, sontak saja aku memukul kuat perutnya.

"Harus berapa kali kukatakan bahwa namaku Kuchiki Rukia, bukan midget! Ingat itu, Kurosaki Ichigo," kesalku. Aku lalu merapikan mejaku dan perlahan berjalan meninggalkan Ichigo yang masih menahan sakit di perutnya.

"Ru… Rukia, tunggu aku!" katanya sambil mengelus perutnya dan menyusulku. Aku hanya diam dan terus berjalan menyusuri koridor yang sepi. Suara rintik hujan membuatku tenang. Tapi, aku tahu hatinya tak tenang. Makanya, aku memilih untuk diam disaat seperti ini. Karena seperti apapun aku mengajaknya bicara, dia pasti hanya akan membalas dengan senyum paksaan.

Ichigo masih terus berceloteh. Entah masalah apa, itu tak penting. Aku masih memperhatikan sisa-sisa air hujan yang belum sempat turun ke bumi. Inilah nikmatnya hujan. Hanya dengan memperhatikannya saja membuat perasaanku seperti melayang. Ingin rasanya aku segera berlari keluar dan menerima guyuran hujan yang akan membuatku berkali-kali lipat merasa senang. Sayangnya, sekarang hanya gerimis. Hujan deras sudah lama berhenti.

"Kau… begitu suka hujan, ya?" tanyanya semangat. Sayangnya ia tak sempat menyembunyikan wajah sedihnya itu. Kerutan-kerutan di dahinya bertambah. Oh, ayolah. Hujan tidak terlalu buruk kok.

"Andai saja hari itu… Kaa-san tidak….," dengan cepat aku memotong kalimat Ichigo.

"Ichigo… jangan menjadikan hujan sebagai alasan kau bersedih. Mungkin benar hujan akan membangkitkan kenangan pahit dihatimu. Mungkin kau terus saja berusaha mengubur kenangan itu di dasar hatimu. Lalu, karena melihat hujan kau malah menempatkan kenangan itu dipermukaan hatimu, membuat hatimu dengan mudahnya luntur terkena air hujan itu. Tapi Ichigo, sadarlah… hujan bukanlah sesuatu yang dapat kau tolak kehadirannya. Aku sangat tahu kau sangat membenci hujan dan ingin hujan tak pernah turun. Apa kau lupa? Hujan juga turun saat kematian Nee-sanku, tapi aku justru senang dengan hujan karena hujan selalu membuatku mengingat Nee-san," celotehku. Semakin kesal melihat wajah sedihnya itu.

Ichigo menunduk, lalu terkekeh pelan. "Hei… harus berapa kali kukatakan bahwa aku tidak membenci hujan. Aku hanya tidak suka karena hujan itu merepotkan. Lihat, kita harus menunggu berpuluh-puluh menit agar bisa pulang ke rumah tanpa kehujanan." Ia berdalih, membuatku terkekeh. Ada saja alasannya agar tak terlihat kalah.

"Yah… itu juga terserah padamu," balasku pelan dan kembali menatap langit hitam lewat jendela koridor.

#*#

Aku bimbang. Disatu sisi aku menyukai hujan, tapi disisi lain ternyata aku juga membenci hujan. Aku menyukai hujan karena hujan selalu membuang beban pikiranku. Dan, aku benci hujan karena hujan selalu membuatku melihat wajah sedihnya.

Aku memasuki rumahku setelah melambaikan tangan pada Ichigo. Sebenarnya hal itu tak perlu kulakukan karena kami adalah tetangga. Rumah kami dekat, iya… namanya juga tetangga. Dinding pagar yang membatasi rumah kami pun sudah dibuat pintu agar kami bisa keluar masuk dengan mudah. Itu hal wajar karena Nii-sama dan Paman Ishiin adalah sahabat di kantor.

Kau tahu? Saking dekatnya rumah kami. Beranda kamarku dan kamar Ichigo yang ada dilantai 2 hampir menyatu. Hanya ada sekitar jarak 5 cm yang memisahkannya. Dan jarak itu sama sekali tak berpengaruh.

Ichigo biasanya akan masuk ke kamarku kalau hujan. Tujuannya tidak lain adalah ingin berceloteh tak jelas agar ia bisa melupakan hujan. Haha… entahlah, aku tak tahu apakah aku benar-benar bisa membuatnya menyukai hujan.


.::Do Re Mi Rintik Hujan::.


Aku segera memasuki kamarku setelah mengucapkan 'Tadaima'. Walaupun aku tahu Nii-sama tak ada di rumah.

Dengan malas aku melempar tasku ke atas ranjang. Perlahan, aku membuka satu-persatu pakaian yang melekat ditubuhku. Dasi, kaus kaki, rok, dan kemeja hingga…

Tok… tok… aku tersentak saat mendengar suara kaca berandaku diketuk. Aku yakin itu Ichigo. Lihat… aku bahkan belum mengganti pakaianku dan dia sudah mau masuk ke kamarku.

Aku hanya diam tak membalas ketukannya dan melanjutkan ritual pulang sekolahku ini. Mengganti baju! Yah, siapa juga pasti akan melakukan itu.

"Rukia… kau sudah selesai ganti baju?" tanya Ichigo.

"Belum," jawabku datar. Ehm… mungkin terkesan dingin. Aku sama sekali tak mempercepat gerakanku. Untuk apa?

Greek… aku menggeser pintu kaca beranda kamarku dengan kasar. Dengan jengkel aku menatap Ichigo yang sedang asyik menyenandungkan sebuah lagu di depan bunga lavender yang kurawat. Well, sebenarnya ada banyak bunga di beranda kamarku.

"Wah… bunga lavender indah juga, ya!" sahutnya sambil nyengir. Aku tak menggubris kalimatnya dan kembali memasuki kamarku. Kemudian membanting diri di atas kasur nan empuk yang selalu siap menerima hantaman kecil dari tubuh mungilku.

"Kalau kau mau kau boleh ambil 1 pot," kataku datar ketika ia memasuki kamarku. Ichigo terkekeh, lalu membanting tubuhnya di atas kasur di sebelahku. Sayangnya karena tubuhnya cukup besar, aku sedikit terhempas ke kiri .

"Kenapa?" tanyaku keheranan. Tumben, biasanya Ichigo akan berceloteh jika sudah masuk ke kamarku.

"Tidak usah. Aku… tak bisa merawat bunga," katanya sambil memejamkan mata. Aku memalingkan wajahku darinya dan menatap langit-langit kamarku.

Apa karena lavender juga adalah bunga kesukaan ibumu, Ichigo? Batinku. Aku memejamkan mataku. Tak ada alasan khusus, hanya ingin menenangkan pikiranku sejenak. Secara perlahan aku mengatur nafasku. Yah, dari Yumichika-senpai yang mengajariku yoga, bernafas dengan teratur juga bisa menenangkan pikiran.

Aku masih memejamkan mataku. Menenangkan pikiranku dengan mendengar gemuruh guntur sembari mengatur nafasku. Aku ini aneh, aku akui itu. Biasanya orang tak meyukai guntur karena itu berisik, tapi aku justru menyukainya. Ah… lupakan!

Kubuka mataku dan melirik ke arah beranda. Langit masih dihiasi awan hitam yang terus bergemuruh. Tapi sayangnya, hujan sudah berhenti, gerimis pun tak ada. Padahal, aku suka hujan.

Kualihkan pandanganku ke arah Ichigo. Matanya sendu menatap awan. Yah, setidaknya pandangannya kali ini lebih baik daripada di sekolah tadi.

"Naa… Rukia," panggil Ichigo. Sambil terus memejamkan mata dan mengatur pernafasanku, aku menjawab dengan berdehem pelan. "Hm?"

"Ru… kia!" panggilnya lagi. Aku dengan kesal mengangkat tubuhku dan mengubah posisiku menjadi duduk di sisi ranjang. "Ada apa sih?" geramku.

"Hei… jangan marah dong," sahutnya sambil terkekeh.

"Kau yang membuatku marah," balasku. Ichigo ikut mengubah posisinya menjadi duduk. Ia menunduk dan memijit pelan pangkal hidungnya sambil terkekeh.

"Ada apa?" tanyaku pelan.

"Kau… bisa masakkan aku sesuatu?" tanyanya yang sukses membuatku membulatkan mata.

"Kau bercanda? Aku tak bisa masak, kau bisa suruh Yuzu 'kan? Bukankah makanan Yuzu itu enak. Kau lupa kalau setiap makan malam aku selalu makan bersama kalian?" celotehku sambil berkacak pinggang. Ichigo kembali terkekeh. Yah, Nii-sama selalu pulang malam. Aku tidak bisa memasak, namun aku juga tak mau belajar memasak. Untunglah keluarga Kurosaki mau dengan senang hati menerimaku menjadi tamu tetap di ruang makan mereka setiap malam. Well, kalau pagi-pagi biasanya, Nii-samalah yang memasak. Cheh, Rukia, kau gadis tak berguna.

"Aku ingin makan makanan buatanmu, Rukia. Aku sudah bosan dengan makanan Yuzu," sahutnya.

"Masih mau cari alasan, hah?" geramku sambil menarik kerah bajunya. Namun, cengkramanku melemah saat melihatnya terseyum lemah. Entah mengapa, aku jadi malu sendiri kalau ditatap seperti itu. Haha… kurasa wajahku sudah memerah sekarang.

"A… Aku tak bisa memasak, lho," kataku diiringi semburat merah diwajahku.

#*#

Ichigo, kau tahu alasan aku menyukai hujan bukan? Aku suka karena hujan menenangkan pikiranku dan selalu bisa membuatku mengingat Nee-san. Entah sudah berapa kali kukatakan hal itu padamu. Tapi, apa kau tahu alasan lain aku menyukai hujan? Pelangi. Aku suka pelangi, juga hujan. Ya, itulah alasannya. Karena jika tidak ada hujan, pelangi pun tak akan muncul.

Jreng! Sebuah telur gosong tersaji untuk Ichigo. Sambil menahan malu, aku menunduk. Mataku berair saking malunya. Pipiku kukembungkan, membuat Ichigo terkekeh.

"Su… sudah kubilang aku tak bisa memasak," protesku sambil membuang muka. Semakin malu saat melihat Ichigo mulai memegang perutnya, menahan tawanya yang mungkin akan segera membuatnya berguling-guling di lantai saking lucunya.

"I… Ichigo!" teriakku jengkel sambil berkacak pinggang. Ichigo masih menahan tawanya melihat telur gosong di hadapannya.

"ICHIGO!" pekikku sambil menjitak kepalanya kuat.

"…." Ichigo bungkam. Sebuah benjolan muncul di kepala. Namun, ia masih saja memaksa untuk tidak tertawa. "Khehehehe….," kekehan kecil lolos dari bibirnya, membuatku langsung memelototinya.

"Huahahahaha… gomen gomen!" tawanya meledak dan dengan cepat ia menahan tanganku yang hampir saja mendarat di pipinya. Wajahku masih memerah, entah karena malu atau karena sulit bernafas. Hei hei… keduanya benar. Aku sulit bernafas karena menahan malu.

Ichigo masih tertawa, dengan bosan aku melepas celemek yang menempel di tubuhku dan menggantungnya di sebuah gantungan dapur. Aku lalu duduk di kursi di sebelahnya.

"Baiklah, jangan menilai sesuatu dari penampilan, Oke?" kata Ichigo sambil memasukkan sesendok nasi bersama irisan telur gosong di atasnya. Ichigo tersenyum menatapku…

"Hoek!" entah sudah berapa kali Ichigo berteriak seperti itu. Tapi, anehnya ia sama sekali tak memuntahkan sesuatu.

"Kau… jangan memaksakan dirimu… Ichigo," lirihku sambil menggosok punggungnya. Inilah akibatnya. Untuk apa dia memaksakan diri memakan habis telur goreng (yang sudah kucampur-campur bahannya) buatanku yang gosong. Lihat hasilnya? Perutmu mual serasa ingin muntah 'kan, Ichigo?

"Aku… tak memaksakan diriku," jawabnya sambil menatapku. Ada apa dengan tatapannya itu? Tatapannya terkesan… argh… aku tak bisa mendeskripsikannya. Membuatku kebingungan dan mengerutkan dahiku.

"Apanya yang tidak memaksakan diri? Kenapa kau mau saja menghabiskan telur gosong itu?" kesalku, aku masih mengelus punggungnya, berharap rasa mualnya sedikit berkurang.

"Aku tak memaksakan diriku Rukia," tekannya lagi. "Aku hanya tak mau memuntahkan makanan yang sudah kau buat dengan susah payah. Lagipula…," Ichigo menatap mataku. Lembut dan menenangkan, aku baru tahu bahwa mata hazel itu bisa menenangkanku. Tapi, hei… apa yang mau Ichigo katakan?

"Apa?" sahutku salah tingkah sambil memalingkan wajahku.

"Itu masakan buatan Rukia yang pertama kali, jadi… aku tak mau menyia-nyiakannya," sahutnya sambil menegakkan kembali punggungnya. Aku menarik tanganku dari punggungnya dan menatapnya yang juga sedang menatapku. Mata kami bertemu, membuat wajahnku –entah mengapa– terasa panas. Ia tersenyum lemah padaku.

"Ada apa denganmu, heh?" katanya menyadarkanku sambil menyentil dahiku. Cukup membuatku meringis.

"Ti… tidak apa-apa, kau… yakin tidak ingin minum obat atau sesuatu?" tanyaku khawatir dan memberikannya segelas air putih. Ichigo menerima air itu lalu menegaknya sampai habis, dan jawaban dari pertanyaanku tadi hanyalah gelengan lemah. Ia lalu berjalan menuju wastafel dan mencuci tangannya.

"Rukia!" panggilnya sambil bersandar di wastafel. Aku hanya berdehem sambil merapikan meja makan yang berantakan. Untunglah di kulkas ada beberapa buah dan di lemari makanan ada mi instan, jadi setidaknya aku bisa mengganjal perutku yang tadi gagal untuk memakan makanan buatanku sendiri.

"Kau… sudah buat tugas sastra?" tanyanya.

"Sudah. Membuat puisi 'kan? Itu perkara mudah," sahutku. Aku lalu berjalan ke arahnya dan mulai mencuci piring. Sungguh, memasak adalah hal terburuk yang pernah kulakukan.

"Yaya… aku akui kau anak hebat… dalam bidang sastra," tekannya. Aku mendelik ke arahnya, dan dia hanya terkekeh.

"Wari! Bisa kau buatkan untukku?" tanyanya.

"Tidak!" balasku cepat. Hei, aku memang suka sastra tapi, bukan berarti aku mau menerima permintaanmu. Kau tahu, puisi yang kubuat selama ini mengandung unsur 'hujan', jika kau ingin minta dibuatkan. Siapkan mental dan fisikmu.

"Haha… bercanda… aku juga sudah kok!" balasnya sambil tersenyum ke arahku. Wajahku kembali memerah, entah mengapa, seharian ini melihat Ichigo tersenyum membuatku merasa senang.

"Wa… sudah jam 8. Aku kembali dulu. Kau makanlah, setidaknya mi instan," sahut Ichigo sambil berjalan menjauh. Ia masih melihat jamnya, seperti menghitung sesuatu. Ah… lupakan. Apa itu penting? Kulihat Ichigo menaiki tangga menuju kamarku. Hah, dia berniat masuk ke kamarnya lewat beranda rumahku? Dasar!

#*#

Terkadang, hujan selalu mempermainkan kita. Ia terus saja turun tanpa mengerti perasaan orang. Perasaan orang yang sedih karena teringat masa lalu. Perasaan orang yang kesusahan disaat dinginnya udara yang ditimbulkannya menembus kulit, bahkan tulang. Perasaan orang yang marah kerena selalu saja menghambat aktivitas. Tapi, kurasa jika hujan turun mood-ku justru menjadi lebih bagus, berbeda sekali dengannya yang selalu murung di musim hujan.

Hari ini cerah. Namun, aku tak menyukainya. Matahari terus saja mengeluarkan panasnya, membuatku merasa gerah dan pusing.

Bagaimana dengan Ichigo? Tak usah ditanya lagi seberapa senangnya tidak melihat hujan. Eufiora yang ia rasakan melebihi eufiora yang kurasakan saat hujan turun.

Aku tertunduk lemas, sekarang kelas kami pelajaran olahraga. Bukannya aku membenci olahraga, hanya saja berlari ditengah terik matahari adalah sesuatu yang membosankan. Ehm… maksudku bukanlah 'membosankan' karena tidak menantang, 'membosankan' yang kumaksudkan adalah merasakan panas yang terus saja mengeringkan kulitku. Selama satu minggu ini hanya 2 kali hujan turun, dan salah satunya adalah kemarin. Kau tahu seberapa senangnya aku ketika akhirnya hujan turun.

"Wo… midget, tinggal 1 lap lagi, kenapa lemas sekali?" teriak si Orenji itu. Ia menurunkan kecepatannya dan menyamakan langkahnya yang (bisa dibilang cepat) dengan langkah kecilku yang sangat lamban.

"Tinggal… hah… sha… thu.. untukmu," sahutku terengah sambil menelan ludah. "Un.. thukkuh… mhasih 3," lanjutku.

"Hahaha…," dia tertawa renyah. Kutatap wajahnya itu. Hei… kenapa dia jadi begitu… mempesona? Ah… tidak-tidak! Lupakan, si baka orenji ini sama sekali tak ada bagus-bagusnya.

Aku menyeka keringat yang turun dari pelipisku. Dan Ichigo melanjutkan larinya sambil menjulurkan lidahnya padaku. "BAKA!" jeritku.

#*#

Kenapa hujan tak turun? Apa karena langit ingin menenangkannya yang terus saja bersedih?

"Baiklah… kumpulkan puisi kalian!" kata Ochi-sensei dengan senyuman khasnya. Dengan malas aku berdiri dan mengumpulkan lembar kertas berisi puisi buatanku. Sial, seluruh tubuhku sakit sekali. Bagaimana tidak? Zaraki-sensei yang killer itu malah menyuruh kami berlari keliling lapangan sebanyak 10 lap.

"Woi… midget, lemas sekali," sahut temanku. Hei… dia mengejekku midget? Ugh… virus si orenji itu ternyata sudah menular pada cowok dengan tatapan dingin ini. Yup, hanya tatapan, bukan sifat.

"Berisik! Jangan mengataiku midget, kau sendiri midget!" kesalku padanya. Ia terkekeh, lalu duduk di bangkunya.

"Oi… Toushirou, benar apa yang dikatakan Rukia," bela Ichigo sambil mengacak rambutku. Aku melenguh. Sial, saat hujan tak turun justru dia menjadi hiperaktif dan menyebalkan. Menyesal aku mengkhawatirkannya.

"Oi… Kurosaki, panggil aku Hitsugaya-taichou. Biar begini aku ini ketua kelas kalian. Dan kau… midget, jangan mengataiku midget!," kesal Hitsugaya.

"Kau yang mengataiku midget, midget!" kesalku. Aku memelototinya dan dia pun balik memelototiku. Kami masih saling memelototi, si Baka Orenji itu hanya terkekeh melihat tingkah kami. Tak ada yang mau mengalah, siapa juga yang mau mengalah pada si midget ini.

"Yak…, karena aku mau menilai puisi kalian, sekarang kalian bebas," sahut Ochi-sensei santai. Membuatku dan Hitsugaya mengalihkan pelototan kami pada guru gila itu. Bagaimana tidak? Semua muridnya dibiarkan bebas dan dia dengan tenangnya bilang kalau kebebasan adalah yang utama.

"Chotto… sensei!" panggilku dan Hitsugaya dengan suara sedikit ditekan. Aku memicingkan mataku ke arahnya, kenapa juga dia mau meniru kalimatku.

"Sudahlah… kalian berdua tidak usah khawatir, ini semua tanggung jawabku kok. Berbuatlah semau kalian. Jika ada masalah aku akan menjawab dan kalian yang menanggungnya, OK?" candanya. 4 persimpangan muncul di pelipisku dan Hitsugaya. Guru ini memang menyebalkan, tapi jujur saja aku suka dengan guru yang selalu tersenyum sepertinya.

#*#

Langit begitu cerah. Angin hanya bertiup lemah. Membuat siapa pun yang merasakannya begitu ingin tidur. Tapi, ia selalu saja membuka matanya saat keadaan ini berlangsung.

"Selamat makan~!" sahutku girang. Sekarang aku dan Ichigo sedang ada di atap sekolah. Ochi-sensei bilang kami boleh bebas, jadi aku dan Ichigo memutuskan untuk memakan bekal kami. Toh, jika pelajaran Ochi-sensei sudah selesai waktu istirahat juga sesudahnya.

"Si Byakuya memasakkanmu apa?" tanya Ichigo yang langsung kubalas dengan sebuah pukulan di dagunya.

"Ru… Rukia, apa maksudmu memukulku tiba-tiba?" sahutnya sambil menyeka darah yang keluar dari hidungnya. Aku tak peduli dengan darah itu, dia memang sudah terbiasa dengan keluarnya-darah-dari-hidung-karena-bogem-pemberianku.

"Harus berapa kali untuk memanggil kakakku Byakuya-sama, Ichigo," sahutku sambil mengirim death glare pada Ichigo.

"Iya… iya… dasar. Kakakmu memasakkanmu apa?" Tanya Ichigo sambil mengusap dagunya. Bagus, aku menyuruhnya memanggil Nii-sama dengan panggilan Byakuya-sama dan sekarang ia memanggil Nii-sama dengan sebutan 'kakakmu'.

"Apa urusanmu?" sinisku sambil membuka kotak bentouku.

"Huwa…. Kare. Ah! Sudah lama sekali aku tak memakan kare," sahut Ichigo yang langsung menyendok isi dari kotak bentouku. Kalau saja aku tak memegang kotak bentou ini dan aku masih ingin makan, wajahnya itu pasti sudah bengkak kutinju.

"Wah… enak!" pujinya. "Beda sekali dengan masakan seseorang," lanjutnya yang membuatku naik darah seketika. Dengan kesal aku meninju pipinya, sayangnya hal itu tak terwujud lantaran ia dengan santainya mengelak. Dengan sebuah senyum kemenangan!

"Wari! Sudahlah, sekarang kau makan saja!" katanya sambil tersenyum. Sontak saja aku tersenyum melihat wajah gembiranya itu. Syukurlah, saat hujan sama sekali tak turun ia bisa tersenyum gembira, walaupun hal itu justru membuatku tersiksa. Yah… setidaknya aku tak perlu mendengar ocehan tak jelasnya.

#*#

Aku tak tahu kenapa kau begitu antusias melihat cahaya matahari? Kenapa setiap kali cuaca cerah kau selalu memaksakan diri untuk menatap matahari? Sebegitu senangkah? Padahal, aku berharap akan ada awan hitam yang segera datang dan menurunkan hujan, tapi kau malah berharap awan hitam tak pernah datang.

"Kau benar-benar akan buta jika kau terus-terusan melihat matahari, Ichigo," nasihatku dalam perjalanan pulang kami.

"Biarin, sekarang bukan tengah hari. Jadi tak terlalu menyengat," sergahnya dan tetap terpaku pada matahari. Aku hanya mendengus.

"Naa… Rukia," panggilnya. Aku hanya membalas dengan deheman yang sengaja kutekankan nadanya.

"Puisimu tadi judulnya apa?" tanyanya. Aku tersentak dan menatapnya.

"Apa urusannya denganmu?" sinisku.

"Oh… Ayolah, hanya judul kok," pintanya.

"Sebutkan judul puisimu dan aku akan menjawab pertanyaanmu," kataku.

"Ehm… baiklah, karena mood-ku sedang bagus. Akan kuberitahu, judulnya 'Matahari'," jawabnya antusias. Aku mendengus. Sudah kuduga dia akan membuat puisi yang sangat bertolak belakang dengan hujan. "Nah… sebutkan judul puisimu!" pintanya. Dengan antusias dia menatapku.

"Do Re Mi Rintik Hujan!" jawabku dan ia langsung diam. Wajahnya tiba-tiba terlihat kaget saat aku mengucapkan kata hujan.

"Hujan ya?" sahutnya dan… buag! Kulayangkan tinjuku pada wajahnya. Ehm… mungkin hanya dagunya karena tinggi badanku cukup kalah darinya.

"Woi… Rukia!" teriaknya dan aku hanya berjalan menjauh tanpa menghiraukannya. Aku hanya diam, sebenarnya aku cukup merasa bersalah membuatnya mengingat masalah itu. Hujan selalu saja mengingatkannya pada ibunya yang menginggal 9 tahun yang lalu. Aku juga mengingatnya, wajah sedihnya yang terus-terusan bersedih, seakan-akan dialah yang membuat ibunya kecelakaan. Padahal, ibunya meninggal karena berusaha melindunginya yang hampir tertabrak mobil, disaat hujan turun dengan lebat! Sungguh, daripada dirinya sebenarnya aku lebih merasa terpukul, karena selain kehilangan orang yang kusayangi, aku juga harus merasa tersiksa dengan melihat wajah sedihnya selama musim hujan berlangsung.

#*#

Walaupun hujan dari langit tak turun, aku cukup merasa senang. Karena dengan begitu, aku tak melihat awan mendung dari wajahnya.

"Rukia!" panggil Ichigo. Ada apa dengan anak ini? Sekarang kami sedang makan, kenapa dia terus saja memanggilku.

"Onii-chan, Rukia-chan sedang makan, jangan diajak bicara!" sewot Yuzu. Aku hanya diam dan menyeruput sup di mangkukku.

"Ichi-nii, tak bisakah kau memakan habis dulu makananmu? Ah… terima kasih atas makanannya, Yuzu," sahut Karin sambil beranjak dari kursinya. Aku masih diam sambil melanjutkan makanku.

"Ah… Karin-chan, cepat sekali makannya," sebuah ambekkan keluar dari mulut Yuzu, membuatku sedikit terkekeh melihat wajah imutnya itu.

"Yuzu, aku masih harus mengerjakan PR, atau… kau mau meminjamkan buku PR-mu?" goda Karin sambil menatap Yuzu.

"Uuh… yasudah, kerjakan sendiri. Aku tak mau Karin-chan menyalin kerjaanku," sahut Yuzu kesal, dan lagi-lagi hal itu membuatku terkekeh. Senangnya punya keluarga seperti ini. Rasanya, aku sedikit merasa iri.

#*#

Aku masih bingung. Apakah harus senang atau tidak jika hujan turun.

Aku masih celingak-celinguk di dalam kamar Ichigo. Ini kebiasaanku kalau memasuki kamarnya.

"Apa yang kau cari Rukia?" tanya Ichigo yang baru saja keluar dari kamar mandi. What? Dasar bocah tak tahu malu, kenapa dia keluar hanya dengan mengenakan celana panjang dan bertelanjang dada?

"Ba.. Baka," lirihku sambil memalingkan wajahku.

"Hah? Kenapa?" tanyanya lagi. Membuatku cepat-cepat ingin menonjok dan menendangnya.

"Tak… Tak apa, hanya memeriksa kamarmu saja. Siapa tahu kau menyembunyikan buku porno disini!" jawabku jujur. Ya, itulah alasanku selalu memeriksa kamarnya. Siapa tahu dia menyembunyikan buku porno? Jika iya, akan segera aku sebar ke seluruh sekolah.

"Kau… dasar, sudah berapa kali kubilang itu mustahil," sahutnya jengkel sambil menarik kedua pipiku. Membuatku langsung menghadap ke arahnya. Glek! Aku menelan ludah melihat dada bidangnya.

"Ha… Hit (sakit)!" sahutku sambil berusaha melepas tangannya.

"Berjanjilah untuk tidak mengucapkan hal itu lagi," jengkelnya. Aku mengangguk kuat, tarikannya semakin kuat.

"Ucapkan, aku mau mendengarkan ucapanmu!" jengkelnya lagi. Sial, lagi-lagi tarikannya semakin kuat.

"Ha…ku, belhanhi hak hakan mehnguhapkanha lahi (A.. ku, berjanji tak akan mengucapkannya lagi)," sahutku sambil menepuk tangannya.

"Aku tak mendengarnya," sahutnya.

Plak! Aku menampar kuat tangannya dan dia langsung melepaskan tangannya. Dengan sedikit meringis dan air mata yang sedikit keluar dari mataku aku mengelus pelan pipiku yang memerah.

"YA! AKU BERJANJI TAK AKAN MENGUCAPKANNYA LAGI! PUAS?!" jeritku.

Ichigo terdiam melihatku yang sedang mengatur nafas. Lalu, dia tertawa keras, membuat wajahku semakin memerah.

"Hahahahahahahaha…. Inilah salah satu alasanku menyukaimu Rukia," sahutnya di tengah tawanya. Membuat wajahku memerah dan menatapnya lekat-lekat. Apa? Tadi… dia bilang apa? Dia bilang … su… ka? Hei… kenapa jantungku serasa berdetak dengan cepat? Kenapa aku merasa ada sebuah rasa 'senang' di hatiku.

Ichigo masih tertawa, entahlah apa sebegitu lucunya?

Drrrrsss…. Dan tawa Ichigo pun terhenti ketika tiba-tiba hujan turun dengan derasnya.

"Ternyata boneka teru-teru itu memang tak ada gunanya!" lirih Ichigo hampir berbisik. Namun, telingaku cukup tajam untuk menangkat kalimat itu, membuat dadaku serasa sakit. Apa maksudnya mengatakan hal itu?


.::Do Re Mi Rintik Hujan::.


Rasa senangku tiba-tiba menghilang melihat wajah Ichigo tadi dan kalimat yang tadi keluar dari mulutnya. Dan aku memutuskan untuk pulang ke rumah.

Karena tadi aku masuk ke rumah Kurosaki lewat pintu depan, terpaksa aku pun pulang lewat pintu depan. Biasanya aku lewat beranda Ichigo sih.

"Rukia-nee yakin mau di rumah? Apa Byakuya-nii akan pulang malam ini?" tanya Karin. Ah… senangnya ada yang mengkhawatirkanku.

"Iya, aku mau di rumah saja. Nii-sama tidak akan pulang malam ini, ayah kalian juga. Katanya ada pekerjaan penting," jawabku sambil tersenyum. Aku lalu membuka payung yang dipinjamkan Yuzu.

"Rukia-chan tidak takut petir?" tanya Yuzu panik. Aku tersenyum lemah dan mengelus pelan rambutnya.

"Tidak, aku suka petir," jawabku jujur. "Beda sekali dengan seseorang yang mungkin membenci petir," sindirku sambil melirik Ichigo. Ichigo hanya diam, tatapannya sendu. Efek dari hujan. Biasanya dia akan mengejekku balik jika aku mengejeknya,dan lihatlah sekarang. Ia begitu tak bergairah.

"Jangan bersedih terus, bodoh. Jika kau terus mengerutkan dahimu bisa-bisa kepalamu botak memikirkannya. Sudahlah, aku pulang dulu. Jaa~ Yuzu, Karin!" sapaku sambil berjalan pergi. Yuzu dan Karin hanya tersenyum lemah, dan si baka orenji itu tetap terlihat suram. Oh, ayolah… jangan menatapku dengan tatapan menyedihkan itu

Aku tersentak saat menatap pintu pagar rumahku. Ada 2 orang perempuan yang salah satunya berambut ungu dan yang satunya berambut caramel sedang bersandar di pagar sambil menikmati hujan yang membasahi mereka.

"Baka… apa yang kalian lakukan?" sahutku cepat sambil menemui mereka. Mereka hanya tersenyum menatapku. Senyuman yang membuatku ingin menonjok mereka karena senyuman itu hanya paksaan.

"Bibir kalian sampai biru saking kedinginannya. Ayo, cepat… masuk," celotehku cepat sambil membuka pintu pagar. Dengan senyum paksaan yang malah terlihat tersiksa itu mereka membuntutiku masuk.

Aku sibuk sekarang. Memanaskan air dan mencari baju-baju bekas Nee-san yang masih pantas dipakai.

"Kuso!" desisku. Aduh, kenapa Nii-sama harus menyimpan pakaian Nee-san di atas lemari sih? Dengan kesal aku menarik sebuah kursi dan menaikinya, berusaha menggapai sebuah kotak yang ada di atas lemari pakaian Nii-sama. Oke, mungkin ini tidak sopan karena masuk kamar orang tanpa izin, tapi… ah masa bodoh. Aku siap menerima hukuman.

"Dapat!" seruku riang. Dengan terburu-buru aku mencari baju yang kira-kira muat untuk mereka. Dan setelah menemukannya aku langsung melesat ke kamar mandi untuk menyiapkan air hangat untuk mereka.

"Baiklah… silakan mandi, ini bajunya. Berdua tak apa kan? Nanti jika sendiri-sendiri aku takut salah satu dari kalian akan sakit menahan dingin," kataku cepat.

"Ah… Kuchiki-san terlalu berlebihan. Tak mandi pun tak apa kok! Memang kami yang sengaja basah-basahan," sahut gadis berambut caramel.

"Inoue!" tegasku dan dia hanya tersenyum cengengesan.

"Terima kasih, Rukia-chan. Baiklah, ayo Orihime," ajak gadis berambut ungu itu sambil memasuki kamar mandi rumahku. Inoue menurut.

"Baiklah, biar kugosok punggungmu, ya… Senna-chan!" balas Inoue sambil menyusul Senna masuk ke dalam kamar mandi.

"Kalau air panasnya kurang, bilang ya," kataku sambil menjauh dan hanya dibalas dengan deheman oleh Inoue. Aku berjalan menuju dapur, membuatkan mereka secangkir cokelat panas untuk menghilangkan rasa dingin.

Perlahan kudengar guntur mulai bersahut-sahutan. Dan suara rintikan hujan yang membanting ke bumi ikut menimpali. Petir pun ikut andil dalam acara memeriahkan bumi itu. Ditambah lagi dengan suara tiupan angin yang terdengar semakin kencang, juga gemericik daun akibat angin. Aku menikmatinya, semua ini ibarat hadiah dari alam untukku. Tak satupun dari semua itu yang mengganggu pikiranku, semua itu justru membuang pergi pikiran-pikiran yang selalu memusingkanku, membuatku merasa nyaman.

Selesai membuat cokelat panas. Aku duduk di sebelah pintu kamar mandi. Mendengar suara hujan sambil menghilangkan dingin tubuhku dengan sebuah selimut dan secangkir cokelat panas. Sesekali aku mencuri dengar apa yang Senna dan Inoue bicarakan.

"Cheh…," aku berdecih pelan sambil menyeruput isi gelasku.

"Hah…," helaku. Hujan bertambah lebat. Aku tak tahu apa yang sedang dilakukan Ichigo sekarang. Apa dia sedang bersembunyi dalam selimut untuk menyembunyikan ketakutannya itu? Ah.. Ichigo tak takut pada hujan, ia hanya membencinya. Dan lagi, Ichigo bukanlah cowok bodoh yang akan bersembunyi di balik selimut hanya karena hujan.

Aku terkekeh saat membayangkan apa saja yang mungkin Ichigo lakukan. Kurogoh saku jaketku dan mengeluarkan hp flipku. Kucari kontak dengan nama Ichigo, namun… saat itu juga sebuah panggilan kudapatkan.

"Moshi-moshi," sapaku pada seseorang di seberang sana.

"Rukia," panggilnya dan aku hanya menjawabnya dengan sebuah deheman.

"Doushita, Ichigo?" tanyaku dengan suara malas yang dibuat-buat. Kuseruput cokelat panasku dan menjilat bibirku.

"Kau… sedang apa?" tanyanya dengan suara yang tak kalah malasnya, tapi aku tahu sebenarnya ia merasa kesepian.

"Minum cokelat panas," jawabku sekenanya.

"Jadi ingin," sahutnya. Aku terkekeh.

"Kalau begitu minta buatkan saja dengan Yuzu," kataku. Pandanganku beralih pada kaca jendela yang ada di depanku. Ratusan air masih setia membantingkan diri pada kaca itu, membuatku terus tersenyum senang.

"Aku ingin kau yang membuatnya," katanya. Aku tersentak. Kenapa dia mengatakan hal itu dengan nada berharap.

"Kau mengejekku, Kurosaki?" kesalku. Terdengar kekehan dari seberang, syukurlah ia tertawa.

Grreekk… disaat aku sedang asyik berbicara dengan ichigo. Senna dan Inoue keluar dari kamar mandi. Mereta tersenyum padaku yang sedang terduduk. Namun, entah mengapa aku jadi mengabaikan mereka.

Aku masih berbicara dengan Ichigo lewat telepon. Ternyata, Senna dan Inoue yang merasa kucuekkan, ngambek dan langsung saja duduk di depanku. Mereka menatapku tajam, namun aku masih terus berbicara dengan Ichigo. Ah… mendengar tawanya disaat hujan turun sungguh membuatku senang.

"Kau lucu, Ichigo," sahutku dengan suara menyindir mendengar leluconnya tadi. Dia menyindir Kurotsuchi-sensei itu menyukai anaknya sendiri, Kurotsuchi Nemu. Tidakkah bercandanya kelewatan.

"Hahaha… ini alasan lain aku menyukaimu Rukia, sungguh menyenangkan mengajakmu bercanda," tawa Ichigo. Sungguh, perkataan itu membuat wajahku memerah, termasuk wajah Inoue dan Senna yang tak sengaja mendengar omongan Ichigo tadi. Tapi, hei… apa yang menyenangkan dari mengajakku bercanda?

Dengan tatapan kaget aku menatap wajah Inoue dan Senna, mereka pun balik menatapku.

"Tadi… maksudnya apa?" tanyaku.

#*#

.

.

.

TBC

Yosh… chapter 1 finish. Maaf buat *Rukiorra Schiffer-san. Karena Ichi bikin ficnya kebablasan dari yang diinginkan. Ichi jadi kepikiran aja bikin yang begini dan… jeng jeng… lahirlah sebuah fic GaJe. Maaf… maaf… maaf… Hontoni Gomensai. *sembah sujud -,-

Ichi juga bingung bikin fic ini maunya gimana. Pokoknya tulis aja yang sempet nongkrong di otak. Nyehe…. Di lanjutannya bakalan ada sesuatu yang mengejutkan lho :3

Mind to Review? No FLAME!