Reader's POV

"Semuanya 800 yen."

"Ini. Terima kasih."

Segera aku mengambil belanjaanku untuk bulan ini. Menghela napas sebagai awal permulaan, aku mengucapkan terima kasih. Aku pergi meninggalkan supermarket kota dan berjalan pulang ke rumah.

Langit sudah hampir gelap ketika aku melangkah menuju kediamanku. Seiring dengan itu, aku sadar bahwa musim dingin akan tiba; itu membuatku berpikir untuk membeli penghangat ruangan. Aku mengulum senyum, mengucapkan rasa syukur pada kami-sama karena hingga saat ini aku masih dibiarkan hidup.

"Tadaima..."

Menutup pintu, aku melangkah pelan menuju dapur dan meletakkan belanjaanku disana. Setelah itu, aku segera pergi menuju kamar, melangkah pelan menuju satu-satunya ruang istirahat yang kumiliki di apartemen itu.

"Seiji-kun?"

Aku melangkah lebih dalam, mendapati satu sosok kecil yang rapuh dan sangat tampan. Ah, aku menyadari itu. Hei, tentu saja! Dia tampan dan hebat. Karena... dia anakku yang berharga. Satu-satunya harta yang kumiliki di dunia ini. Dan karena Seiji-kun, aku tidak butuh siapapun lagi.

Hanya dia sumber cahaya di jalan yang sudah kupilih ini.

Sosok bayi berhelai merah tipis, tengah tertidur pulas dengan guling yang mengapit kedua tubuhnya. Apa kalian tahu, ia begitu lucu dengan wajah polos serta tanpa dosa itu. Seiji-kun benar-benar manis dan lugu. Aku segera merangkak ke atas, berbaring disampingnya dengan jari menyentuh pipi gembulnya.

Perkenalkan, anakku yang masih berusia setahun dua bulan.

Dia hanya anakku seorang. Tidak ada yang lain. Dia anakku, aku yakin kalian sudah mengerti, 'kan? Tidak ada yang tahu keberadaan sosoknya ini. Karena itu tidak penting. Seiji-kun hanya memiliki aku, begitu pun diriku yang bersumpah akan melindunginya sepenuh hatiku.

Tak terasa, air mata kembali tumpah.

Sungguh, aku tidak tahu sampai kapan penderitaan ini berakhir.

"Seiji-kun," Kukecup pipinya yang merah, aku tersenyum seadanya. "Mama menyayangimu..."

.

.

.

ANCESTRY

Kuroko no Basuke by Fujimaki Tadatoshi

Ancestry by stillewolfie

[Akashi S. & OC/Reader]

OOC, future-life, typos.

.

.

ketika hubungan mereka sudah terlepas—

.

.

CAPITULO ONE

(Carretera)

.

.

—saat jalan kembali muncul di hadapannya.

.

.

Prefektur Shiga, Kyoto.

Ruangan itu didominasi oleh kaca-kaca klasik papan atas yang disertai dengan barang-barang mahal yang tersedia di dalamnya. Sofa berwarna cokelat emas dengan meja kayu terlihat menghiasi sudut kiri ruangan itu. Dan di tengah-tengahnya, terdapat sebuah meja yang sudah diisi oleh satu sosok dermawan dan hebat di saat yang bersamaan.

Dialah sang penguasa di perusahaan bisnis terbesar, Akashi Seijuurou.

Rambut merahnya masih sama, keabsolutannya masih sama, dan aura kepemimpinannya pun masih sama. Tidak ada yang berbeda dalam sudut manapun bila ini menyangkut tentang putra tunggal Akashi itu. Semuanya sama—sempurna. Tidak ada perbedaan yang membuatnya cacat dalam sekali pandang.

Dengan pose seorang raja, manik merah-kuningnya menatap layar laptop dengan alis mengerut samar. Ia mengetuk jarinya sekali, lalu seiring dengan itu, Seijuurou menggerakkan jarinya di atas huruf-huruf keyboard, menciptakan kalimat demi kalimat formal yang akan ditujukan oleh para bawahan nantinya.

Musim dingin telah tiba, dan Seijuurou yakin para manusia yang dari awal sudah mengabdi pada perusahaannya itu membutuhkan suatu hiburan. Sebagai pemimpin yang baik, ia akan mengizinkan mereka untuk beristirahat. Meski Akashi Seijuurou terkenal sebagai sosok berperawakan dingin dan sadis, ia tidak mungkin memaksa bawahannya untuk kerja rodi.

Dia benar, 'kan?

Akashi Seijuurou, 19 tahun. Seorang pria berambut merah dengan manik unik yang memiliki sisi hanyut. Di umurnya yang muda, ia masih belum memikirkan hal-hal umum; seperti pernikahan ataupun mencari keturunan. Ia merasa dirinya belum butuh, dan Seijuurou seratus persen masih mengabdi pada perusahaan yang dipercayakan sang ayah padanya. Itu membuatnya sibuk dan tak sempat memikirkan fakta lain kecuali bisnis dan perusahaan.

Workaholic? Bisa dibilang begitu.

Seijuurou memutar kursinya, ia mendapat langit kota yang sudah mendung diiringi dengan rintik-rintik salju sebagai tanda pergantian musim. Pria itu menatapnya datar dan helaan napas kembali ia keluarkan. Pria itu ternyata sedikit lelah dengan jalan yang ia ambil sendiri. Tapi sejujurnya, ia tidak peduli. Inilah jalan yang diambil, maka itulah yang membuat Seijuurou melangkah sampai akhir.

Akashi Seijuurou kembali berbalik, menyalakan laptop, dan kembali memikirkan segala sesuatu dengan caranya sendiri. Bahkan ia tidak menyadari bahwa ada seorang gadis diluar sana... yang membutuhkan kehadirannya.

.

.

~ ancestry ~

.

.

Aku tahu bahwa ini salah.

Semua yang kulakukan adalah salah.

Aku tidak mengerti, tapi inilah jalan yang kupilih. Aku terlalu panik saat itu. Aku hanya tidak ingin membuat semua orang terbebani karena sebuah kesalahan seperti ini. Menangis dan pergi hanyalah satu-satunya jalan, meski aku tak tahu sampai kapan rahasia ini akan terus bertahan.

Sejak aku mendengar kabar kehamilanku, aku tidak tahu. Aku terdiam, bibir ini tidak bisa berucap. Di umurku yang keenam belas, aku tengah mengandung. Itu fakta dan hal tersebut benar-benar membuatku hampir gila. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Yang kulakukan saat itu hanyalah menangis dari siang sampai malam, bingung dan tak ada seseorang yang bisa kudengar pendapatnya. Suatu kenyataan yang membuatku malu tanpa ampun, dan akhirnya pada awal bulan Maret di musim semi, aku hampir membunuh darah dagingku sendiri.

Gila? Itulah kenyataan.

Tapi tenang saja, aku tidak sempat membunuhnya. Aku memiliki akal sehat dan hati nurani. Aku tidak memiliki hak untuk membunuh jiwa yang tengah ada di tubuhku. Mengelus perutku sebagai awal permulaan, dengan mata yang sembab, aku pun berkata—

"Selamat datang ke dunia, sayang..."

—itu adalah tanda bahwa aku menerimanya.

Hari demi hari sebelum ujian kelulusan, aku menutupi fakta ini. Aku terus bergaul dengan teman-temanku tanpa memasang wajah takut. Aku bersikap seperti biasa, tidak ada yang curiga, maka hal itu membuatku tenang. Kehadiran Seiji-kun waktu itu kututupi dengan senyum palsu tanpa kebohongan. Bahkan dari orang tua, sahabat, dan—

"Lihat! Lihat! Itu Akashi-kun!"

"Huh?"

—darinya, Akashi Seijuurou.

Apa yang terbersit di pikiran kalian? Sosok itu... Akashi Seijuurou? Dia adalah pemuda yang pintar, berwibawa, tenang, dan memiliki jiwa yang kuat. Akashi-kun adalah sosok yang sempurna. Dialah sang nomor satu di segala bidang. Akashi-kun itu cerdas, kaya, dan merupakan kapten basket di sekolah kami, Teikou. Jadi tidak ada lagi yang meragukannya—karena mereka semua tahu bahwa sosok Akashi Seijuurou merupakan dewa yang akan sukses di masa depan.

Tapi, sejujurnya, di mataku, Akashi Seijuurou hanyalah sosok brengsek yang tidak tahu apa-apa.

Aku sudah tidak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata. Bagiku, dia merupakan manusia yang perlu kupandang rendah.

Kalau kalian menganggap kami sudah mengenal, itu salah. Aku mengenalnya, tapi dia tidak ingat siapa aku sebenarnya. Apa itu merupakan kebetulan? Ya. Itu fakta dan aku harus menerimanya. Ini merupakan kesalahannya, dan aku tidak ingin bila kembali mengenalnya lebih dalam, maka kesalahan yang sama akan kembali terulang.

Tanpa sadar bila melihat wajahnya, aku tak sanggup untuk menerima kepedihan ini—beban besar yang kutanggung sendiri.

Aku bukanlah seorang gadis yang akan mati bila ditinggal oleh orang yang dicintai. Aku bukan pengecut. Bila ini yang kuinginkan, maka terjadilah. Aku bersumpah, bahwa anak yang kukandung adalah anakku—bukan anaknya.

Meski kenyataan mengatakan bahwa dialah ayah dari anak ini, aku tidak peduli.

.

.

~ ancestry ~

.

.

"Seiji-kun, katakan aaaaa~"

"Aaahn..." Hap. Seiji-kun memakan bubur serealnya dengan lahap. Dengan serbet berwarna putih bergambar bola basket yang terikat manis di lehernya, ia terlihat lucu ketika bibirnya terhiasi oleh sisa-sisa bubur. Segera aku membersihkannya dan memberinya satu suapan terakhir. Maka waktu sarapan hari itu sudah selesai.

Seiji-kun benar-benar manis. Di umurnya yang masih satu tahun, berat badannya benar-benar bertambah. Seiji-kun makin besar dan sehat! Aku mengecup pipinya dan mengajaknya berjalan ke teras. Ini akan membuatnya lebih mengenal dunia luar meski hanya sebentar.

"Sini, Seiji-kun. Ayo datang pada Mama..."

Aku menyayanginya. Aku sangat mencintai anak ini. Dulu, aku tidak pernah terpikir bagaimana hidupku bila saat itu aku membunuh Seiji-kun. Tapi, apa kalian tahu? Dia anakku. Anak yang kulahirkan susah payah, satu-satunya sumber kebenaran di jalanku yang gelap. Maka aku akan melindunginya dari siapapun. Karena itulah, ia akan kulindungi dengan segenap jiwaku.

"Ma! Mama!" Ia merangkak pelan-pelan kearahku. Melihat usahanya itu, membuatku terharu. Manik merah itu memandangku berbinar, rasa antusias benar-benar terlihat di sepasang matanya. Dengan berpangku pada dinding di sebelahnya, ia melangkah pelan-pelan. Entah mengapa, hal tersebut membuatku menangis saat itu juga. Inikah yang dirasakan oleh orang tua saat mereka melihat anaknya berusaha?

"Ya, sayang! Mama disini..."

Refleks, aku menangkapnya—anak kecilku yang hampir terjatuh setelah belajar berjalan.

"Anak Mama pintar... Mama sayang Seiji-kun."

"Baba...ha..."

Angin pagi menyadarkanku akan sesuatu. Segera kupeluk Seiji dalam pelukanku. Akhirnya untuk pertama kalinya, salju benar-benar turun. Aku menghela napas pelan, segera kukecup pipi anakku dan membimbingnya agar masuk ke rumah. Suhu yang tiba-tiba menurun drastis membuatku takut untuk membawa Seiji lama-lama diluar, dia bisa sakit dan aku tak mau itu terjadi.

.

.

~ ancestry ~

.

.

Aomine Daiki menatap mesin pendingin yang ada di depannya. Alisnya mengerut, bibirnya bergerak maju. Ia bingung. Untuk malam ini, apa dia harus memilih kopi atau bir kaleng? Hari sudah larut, dan salju mulai turun. Entah apa yang ada di pikiran pemuda itu, yang jelas ia bingung dengan dua minuman yang terpajang di mesin pendingin otomatis itu.

Kemeja tanpa kancing yang dihiasi dengan kaos oblong memang bukan pakaian yang pantas dipakai untuk musim dingin. Tas besar yang ia pangku di punggung merupakan sebuah tanda bahwa ia baru saja pulang dari fakultas. Setelah menekan tombol merah di salah satu tempat pilihan minuman, ia baru sadar bahwa pria itu sudah memilih kopi untuk menemaninya minum di malam yang gelap.

"Haah..."

Aomine menghela napas berat, disusul dengan garukan gatal di belakang rambutnya.

Setelah itu, ia memutuskan untuk melangkah mendekati lapangan yang dari awal sudah ada di dekat mesin pendingin yang tadi dikunjungi. Manik biru tua mengerjap, seringai dikeluarkan seiring dengan Aomine Daiki membuang sisa minuman kopinya di tempat sampah terdekat.

"Aominecchi! Kocchi! Kocchi~!"

"Yo, Kise!"

Si biru muda yang baru saja mencoba phantom shoot-nya pun berhenti, menoleh ke belakang diiringi dengan senyuman tipis. "Lama tak berjumpa, Aomine-kun."

Aomine pun membalasnya dengan senyuman hangat pula. Matanya langsung berfokus pada pria besar berambut merah tua yang baru saja men-dunk bola dengan ganasnya.

"Heeh, kau datang juga, Ahomine!"

"Kemarilah, Bakagami!"

Dan sedetik kemudian mereka langsung bermain, tidak peduli dengan dua sosok lain yang segera menyingkir.

"...mereka melupakan kita-ssu."

"Kau benar, Kise-kun."

Kise Ryouta menghela napas pelan seiring dengan tubuhnya duduk di bangku panjang terdekat. Keringat yang mengalir di tubuhnya tak membuat ketampanan alami yang memang dari awal sudah ia miliki itu berkurang, melainkan di mata dunia, wajah itu benar-benar membuat hati mereka berbunga-bunga. Perkenalkan, Kise Ryouta, 19 tahun, saat ini menjalani studi kuliah di sekolah pilot ternama di Jepang.

"Uwah, terima kasih, Kurokocchi!"

"Mm. Douzo..."

Seiring dengan Kise yang meneguk minumannya, satu manusia bertubuh mungil juga beristirahat disamping mantan model kota. Rambutnya berwarna biru muda dan sangat indah. Merupakan partner abadi si biru tua yang sedang bermain brutal di lapangan sana. Perkenalkan, Kuroko Tetsuya, 19 tahun. Hingga saat ini ia bergelar sebagai the phantom of sixth man dari Generasi Keajaiban yang pernah berjaya di dunia perbasketan Jepang. Namun sekarang, ia hanyalah seorang mahasiswa biasa yang duduk di bangku kuliah di fakultas sastra dunia.

"Hei! Kembalikan bolanya!"

"Dasar bodoh, rebut dulu bolanya dariku, Baka!"

"Apa!?"

Tangannya yang besar terjulur, hendak berniat mencuri bola diam-diam. Namun ketahuilah, Aomine Daiki merupakan mantan ace terkenal, dan ia tidak mungkin akan terkecoh oleh trik murahan yang diberikan Kagami Taiga padanya. Sosok merah berdarah panas menggeram kesal, kakinya dengan cekat berusaha menghalangi si biru tua memasukkan bola.

"Kampret! Tunggu aku, Aho!"

"Ahahaha!"

Perkenalkan, Kagami Taiga, 19 tahun. Mantan ace Seirin yang dulu sangat berjaya di masa Winter Cup beberapa tahun silam. Saat ini menduduki bangku kuliah di universitas yang sama dengan Kuroko Tetsuya. Mengambil jurusan teknik mesin disana.

Hari sudah semakin gelap, maka semakin sebentar lah waktu mereka untuk bermain di lapangan itu. Saat ini, empat pria dengan ukuran tubuh bervariasi itu duduk berjejer. Dengan rambut mereka yang berwarna-warni, itu membuat salah satu dari mereka akan mudah untuk ditemukan di tengah gelapnya malam. Kecuali dia, Kuroko Tetsuya, yang dari awal memang memiliki hawa yang sangat tidak mudah untuk ditemukan.

"Jadi?"

Aomine membungkukkan tubuh, menggoyangkan botol minum yang baru diberi Kuroko beberapa waktu lalu. "Ada apa kau memanggil kami, Tetsu?"

Sebagai tegukan terakhir, orang yang dimaksud sama-sama diam. Ia menundukkan kepalanya sebentar. "Sebenarnya, kemarin Akashi-kun menghubungiku."

Kise hampir menyemburkan minumannya. "Akashicchi? Dia masih hidup-ssu—aw! Ittai yo Kagamicchi!"

"Tentu saja Akashi masih hidup! Kau kira dia sudah mati, ha?"

Kise mengelus kepalanya pelan. "Dia 'kan sudah lama tidak terlihat-ssu... jadi kukira begitu."

"Tidak biasanya Akashi-kun mengabariku begini, Kise-kun." Kuroko menghela napas, "Ia memintaku untuk menemukan seseorang."

"Siapa?"

Kuroko Tetsuya menoleh pada seseorang yang duduk di paling ujung, matanya menyalang lurus pada Aomine yang terkikuk. "Dia, Aomine-kun."

"Huh? Siapa?"

"Dia," Senyum sendu terukir jelas, "Kagami-kun memang tidak mengenalnya. Tapi aku, Kise-kun, dan kau pernah bertemu dengannya." Ia melirik jelas kearah Aomine. "Dan Akashi-kun menyuruhku untuk bertanya langsung padamu, Aomine-kun."

Sekarang, Aomine mengerutkan dahinya seperti orang bodoh. "Dia siapa sih yang kau maksud!? Aku tidak mengerti—"

"Aomine-kun pikir aku juga mengerti?" Kuroko menyela. Tatapan tajam (meski di mata Kagami tidak menakutkan) ia keluarkan. "Akashi-kun meminta kita untuk mencari dia, gadis itu, dan membawanya langsung ke Kyoto."

Sekarang, Kagami yang hampir menyemburkan airnya. "A-Apa? Kyoto, katamu!?"

"Ya, Kagami-kun." Kuroko berdiri, melangkah dan berdiri tepat di depan teman-temannya yang lain. "Akashi-kun serius. Ia menyuruh kita untuk membawa dia ke tempatnya. Itu terdengar jelas dari suara saat ia meneleponku tiba-tiba semalam."

Kise Ryouta dengan mulut menganga langsung terdiam. Entah mengapa dari sudutnya ia terduduk, Kuroko Tetsuya begitu cantik saat tersinari oleh sinar rembulan—tunggu! Apa yang barusan ia pikirkan?

"K-Kalau begitu kita harus menemukannya-ssu!" Kise itu bodoh, dan ia akan selalu bodoh. "Eeh... tapi dimana kita akan bertemu dengannya? Mengenalnya saja tidak-ssu..."

Kuroko tersenyum. Ia langsung menoleh pada Aomine yang kini memasang wajah tak terhitung. "Aomine-kun, apa kau masih ingat saat ulang tahunmu sebelum kelulusan? Yang kau adakan dan mengundang teman seangkatan?"

"Ooh! Tentu saja!" Ini bukan Aomine, tapi Kagami. "Hei, Aho. Waktu itu kau mengundangku juga, 'kan? Jangan bilang kau tidak ingat?"

"Hmm, ya. Kurasa aku mengingatnya. Memangnya kenapa—hei! Waktu itu Akashi juga ada, 'kan?" Raut Aomine saat teriak benar-benar aho. "Saat itu ia berkata bahwa acara yang kubuat itu merepotkan, lalu kalau tidak salah aku, Hayama, si banci itu, dan Akashi sedang minum-minum... dan kemudian Akashi—" Tubuh besar pria itu gemetar pelan. "—mabuk...?"

"Ya, kau benar." Meski masih berwajah datar, rasa senang langsung hinggap di wajah Kuroko Tetsuya. "Lalu setelah itu?"

"Ada seorang gadis yang menawarkan bantuan—dia! Ya, dia! Itu 'kan—"

"Un. Dia yang diminta Akashi-kun untuk kita cari, Aomine-kun." Kuroko tersenyum kecil. "Aku tidak tahu apa tujuan Akashi-kun menyuruh kita mencarinya. Tapi daripada membuatnya marah, lebih baik kita menuruti perintahnya saja."

"Oke oke, bisa kalian luruskan masalah ini? Dari awal aku tidak mengerti." Kagami bersuara. "Jadi, yang diminta Akashi adalah kita disuruh mencari seorang wanita yang tidak kalian kenal? Kalian bahkan tidak tahu apa dia masih hidup atau tidak!"

"Ya! Aku saja tidak tahu siapa yang kalian bicarakan-ssu!"

Hening. Detik jarum jam yang Kise pakai sebagai latar belakang kediaman ini. Kuroko Tetsuya tidak membalas pernyataan Kise tadi. Memang benar, ia bahkan tidak tahu siapa gadis itu, dimana ia tinggal, dan bagaimana keadaannya sekarang. Mereka sudah lulus SMA, dan waktu itu mereka hanyalah kenalan biasa yang tak pernah mengobrol bersama. Jadi, bagaimana mereka berempat mencari sosok tersebut? Tidak ada petunjuk apapun, baik dari Akashi atau mereka sendiri.

Ini benar-benar sulit.

.

.

~ ancestry ~

.

.

Aku mengasingkan diri dimulai sejak aku lulus sekolah.

Memutuskan untuk meninggalkan kediaman orang tuaku sampai tidak memberikan mereka kabar hingga bertahun-tahun, pindah ke sudut kota dan menyewa apartemen dengan uang seadanya. Sejak aku menginjakkan kaki di tempat ini, aku sadar bahwa ada banyak hal yang harus kulewati. Karena itulah, aku memutuskan untuk mencari pekerjaan ringan dan dapat menghidupiku serta Seiji. Sebagai seorang siswa dan hanya bermodal ijazah tanpa gelar, membuatku sulit mendapat pekerjaan yang layak. Tapi bagiku, itu tidak masalah. Saat ini aku hanya bekerja sambilan di sebuah kedai ramen tak terlalu terkenal di pinggir prefektur Tokyo. Selain gajinya yang cukup memuaskan, tempat ini tidak terlalu dikenal oleh orang-orang di pusat kota. Aku tidak perlu khawatir bila ada kenalanku di SMA yang dapat menemukanku disini.

"Terima kasih, malam ini kau banyak membantu."

"Mm. Baiklah, aku pulang ya, Nemu-chan. Sampai jumpa."

"Hati-hati di jalan..."

Menutup pintu belakang, aku melangkah di tengah keramaian. Malam ini sangatlah indah. Mempererat mantelku, aku berjalan lebih cepat. Aku berharap Seiji-kun baik-baik saja di rumah. Aku sangat bersyukur bahwa tetangga apartemenku bersedia menjaga Seiji bila aku bekerja. Ini benar-benar menguntungkan diriku yang berusaha untuk menghidupi kehidupannya saat besar nanti.

Aku membayangkan ia tumbuh menjadi anak yang cerdas. Ah, itu pasti menyenangkan sekali, ya?

Tap.

Aku mengadah ke atas. Tokyo memang benar-benar ramai dengan teknologi di zaman sekarang. Disana, di layar kaca monitor pusat kota, aku mendapati iklan yang benar-benar membuatku sesak. Akashi Seijuurou kembali muncul di layar kaca, memamerkan kekayaannya yang melimpah. Kudengar, ia mendapat promosi bisnis terkenal di luar negeri, dan kutahu, itu pasti sangat menguntungkan perusahaan Akashi yang saat ini sedang ia jalani. Akashi-kun memang hebat. Di umurnya yang ke-19, ia bisa mengatur suatu perusahaan yang pengaruhnya sudah tersebar ke seluruh dunia.

Dan aku yakin Akashi-kun tak pernah tahu bahwa ia sudah memiliki anak.

Bagaimana bila masyarakat dunia mengetahui hal ini? Akashi Seijuurou, pria yang dihormati, sosok yang dikenal karena kejeniusan serta keabsolutannya dalam memegang tahta, telah memiliki anak dari rahim seorang wanita biasa—yang dalam kasus ini... adalah aku. Apa yang terjadi? Apa harga dirinya akan tercoreng? Apa Akashi-kun akan diturunkan dari jabatannya? Apa dia akan menyangkal bahwa Seiji bukanlah anaknya? Hah. Itu tidak mungkin. Dari segi fisik, anakku memang benar-benar mirip dengannya. Rambut merah, iris senada, dan bentuk fisik lainnya. Bila Seiji kuperkenalkan ke dunia fana ini, dalam sekali lihat orang-orang pasti menyebutnya sebagai Akashi Seijuurou kedua. Karena mereka sama. Mereka mirip. Seiji tidak mewariskan apapun dariku.

Tapi ketahuilah, inilah fakta. Dan aku harus menerimanya.

Aku tidak pernah bilang kalau aku sangat membenci Akashi-kun. Malah sebaliknya, aku sangat menyayanginya. Aku mencintainya selayaknya wanita menyukai seorang pria. Meski ia melakukan hal hina padaku, tapi berkatnya aku juga bisa bertahan. Aku menjadi kuat dan tidak bergantung padanya maupun orang lain. Meski aku sangat ingin menampar, mencaci-maki, merendahkan dirinya bahwa tindakan yang ia lakukan dahulu merupakan suatu kesalahan besar, aku tidak akan pernah melakukannya.

Aku mencintainya. Aku menyayangi Akashi-kun.

Trrrt...

"Halo? Ah, iya. Aku akan segera pulang. Mm, aku mengerti. Jaa..."

Pip.

Memasukkan ponselku kembali ke dalam saku, aku melanjutkan langkah.

Ia tidak mengenalku. Bahkan aku kurang yakin bila dirinya masih mengingatku.

Hanya saja, meski aku mencintainya, meski dia adalah ayah dari anakku, Seiji tak akan kuberikan pada siapapun.

Aku bersumpah atas luka yang ia berikan padaku di masa lalu.

.

.

~ ancestry ~

.

.

Akashi Mansion, Kyoto.

Akashi Seijuurou menatap sang penguasa enggan. Ia menghela napas pelan dan memutuskan untuk keluar dari ruangan tersebut. Pria itu berdiri, hendak keluar darisana. Namun suara ayahnya membuatnya kembali memutar bola mata.

"Tidak. Aku tidak tertarik, otou-sama."

"Seijuurou, ingatlah siapa dirimu. Kau sudah dewasa dan berhak memikirkan hal itu."

"Oh tentu saja tidak. Tidak sekarang."

Di umur yang menuju dua puluh tahunan, Akashi Seijuurou adalah seorang penguasa baru. Ia bukan lagi bocah SMP yang berpatuh pada peraturan orang tuanya. Ia adalah seorang Akashi, dan penerus perusahaan dari warisan kiriman terdahulu. Karena itulah, ia yakin bahwa keputusan untuk menentang Akashi Masaomi—yang dalam kasus ini, adalah ayahnya sendiri—merupakan hal benar. Menikah ataupun bertunangan mengartikan hal sakral di mata Seijuurou. Itu bukan hal sepele, karena menyangkut batin dan perasaan orang itu sendiri. Seijuurou tidak mau menikah dengan wanita yang tidak mengenalnya luar dan dalam, ia ingin bersama seorang perempuan yang tahu siapa dirinya.

Ya, ia percaya di antara semua ratusan gadis di dunia ini, ada satu orang yang mampu mengetahui hal itu.

Kembali ke ruangan pribadi, Akashi Seijuurou duduk di bangkunya sendiri. Dari jendela kaca ia bisa melihat langit Kyoto yang sudah diiringi oleh salju. Mata merah-kuningnya sedikit ngantuk, tapi ia tak terlalu memperdulikannya dan menuntut untuk terus mengerjakan sisa tugasnya.

Namun tepat pukul sebelas malam waktu setempat, pikirannya buyar entah kemana.

Menghela napas dalam dan menutup kedua mata, memori kembali terlempar di awal pergantian tahun. Dimana saat itu, Akashi Seijuurou yang baru menginjak usia yang ke-19, mendapati satu sosok perempuan yang berhasil menarik atensinya. Ya, ia yakin itu bukanlah seorang gadis biasa. Seijuurou sadar bahwa mereka pernah bertemu di suatu tempat, dan ia mengerti bahwa pertemuan itu bukanlah kebetulan biasa.

Ada sesuatu di dalam diri gadis itu... yang membuat Seijuurou ingin mencari tahu.

Suatu hari, Seijuurou sedang berjalan di keramaian kota Tokyo. Jika ingin bertanya mengapa ia disana, Seijuurou ingin sedikit hiburan dari masa-masa sibuknya. Yakni keinginannya saat itu duduk di majiba ditemani oleh bayangannya saat masih SMA, yaitu Kuroko Tetsuya. Namun, saat ia ingin membuka pintu restoran, satu sosok berhasil membuatnya mengalihkan pandangan.

Seorang gadis. Ia menggunakan pakaian santai dengan map cokelat yang Seijuurou tebak merupakan lamaran pekerjaan. Dalam sekali pandang, tatapannya menunjuk rasa takut. Tubuh mungilnya gemetar, dan Seijuurou bersumpah bahwa ada air menggenang di pelupuk matanya. Darisitu, Seijuurou yakin bahwa gadis itu mengenalnya—padahal pemuda itu berhasil membuat penyamaran yang bagus, namun sang gadis bisa mengetahuinya langsung—tapi yang membuat Seijuurou bingung adalah... kenapa harus takut? Kenapa tidak ada pandangan berbinar ataupun pertanyaan bertubi-tubi yang dikeluarkannya? Bukankah itu adalah reaksi normal bila seorang masyarakat biasa bisa bertemu dengan Akashi Seijuurou di puncak teratas? Lalu mengapa—

—belum membalas tatapannya pun, gadis itu langsung menghilang tepat di hadapan Seijuurou.

Trrrt...

Seijuurou menorehkan kepala. Ah, ponselnya tengah berbunyi rupanya.

"Hn. Oh, ternyata kau Tetsuya."

"Akashi-kun, aku ingin memberitahu informasi tentang permintaanmu padaku."

Seijuurou menyandarkan diri pada kursi. "Kau sudah tahu siapa dia?"

"Ya," Ada keheningan janggal di luar sana. Seijuurou menutup kedua mata. "Menurut Aomine-kun, dia adalah teman SMA kita dulu. Dan... dia pernah muncul di pesta ulang tahunnya waktu itu."

"Oh, benarkah?" Seijuurou sudah menduganya. "Itu saja? Baiklah. Selamat malam, Tetsuya."

Percakapan pun berakhir sampai disana.

Pesta ulang tahun Aomine Daiki?

Seijuurou berpikir sembari menumpu badan pada kursi.

Sebenarnya... apa yang terjadi?

.

.

continue

.

.

little notes

saya pengen buat yang beginian. janji deh gak bakal lama, mungkin karna ff ini dirangkai dengan plot pendek soalnya hehe. pasti temen-temen udah pada tebak 'kan, ya? well... jangan salahkan saya karena idenya terlalu mainstream. saya pengen dan inilah yang terjadi. :)

.

.

Terima kasih sudah membaca!

Mind to Review?