Assalammu'alaikum.

Perkenalkan, nama saya Rainessia. Biasa dipanggil Rain.

Saya adalah author baru. Baru kembali maksudnya setelah setahun hiatus dari dunia FFn.

Alasan saya kembali menulis ini adalah, sejujurnya saya mendapat tantangan dari dosen saya di kampus. Untuk membuat sebuah cerita dalam kurun waktu 1 bulan. Sampai akhir Mei ini.

Etto, beliau bilang, jika saya bisa membuat sebuah cerita panjang yang bisa memuaskan beliau, beliau akan berpikir untuk mencarikan penerbit yang mau menjadikan cerita tersebut menjadi sebuah novel.

Yah, sebenarnya ini juga permintaan pribadi saya kepada beliau, jadi beliau berpikir seperti itu dan memberikan saya tantangan. Cerita-cerita dari fanfic saya sebelumnya sama sekali tidak memuaskan beliau, malah beliau berkata jika bahasanya masih kurang lembut.

Jadi, saya ingin mencoba membuat fanfic panjang yang semoga saja dapat diterima.

Fic ini mungkin bisa dibilang sebagai percobaan dari proyek saya. Untuk versi novelnya, tentu saja saya membuat karakter saya sendiri. Jika menggunakan ini, itu sama saja melanggar hak cipta.

Dan saya mohon dengan sangat, jika para pembaca berkenan, tolong baca fanfic yang satu ini dan jika berminta, silahkan isi kotak reviewnya.

Selamat membaca.


.

.

.

.

.

"Cih. Aku ingin segera pergi dari sini," tampak seorang pemuda berambut pirang yang sedang kesal dengan keadaannya sekarang. Pemuda tersebut saat ini sedang terbaring di sebuah tempat tidur di seburah ruangan dengan beberapa perban yang melilit rapi di beberapa anggota tubuhnya. Yah, sekarang ini, pemuda tersebut sedang dirawat di salah satu ruangan yang ada di rumah sakit.

"Kau ini Len. Jika tidak ingin berada di rumah sakit, jangan kau buat dirimu sendiri celaka," ucap seorang pemuda lain yang sedang duduk di kursi di ruangan itu.

"Lebih baik aku mati saja," ucap Len –pemuda yang sedang dirawat tadi– dengan santainya.

"Apa kau tidak bisa menghargai hidupmu sedikit saja?" tanya pemuda disebelah Len itu dengan diakhiri helaan nafas.

"Ha? Apa yang harus dihargai? Hidup hanya tentang kematian," Len menjawab dengan ekspresi kesalnya. Sungguh, dia lebih sangat ingin mati sekarang daripada harus berada di rumah sakit yang membosankan seperti keadaannya sekarang ini.

"Lalu kau mau aku membunuhmu sekarang?" tanya pemuda tadi lagi. Tatapannya kini menjadi tajam ke arah Len seakan tidak senang dengan semua perkataan Len.

"Silahkan jika kau berani," Len melemparkan tatapan yang lebih tajam kepada pemuda berambut biru itu dan membuat pemuda itu langsung terdiam.

"Haaa... Baiklah, baik. Lakukan sesukamu," pemuda itu akhirnya menyerah menghadapi Len.

"Jadi, Kaito. Apa yang kau lakukan disini?" tanya Len kembali santai kepada pemuda berambut biru itu. Pemuda yang dia sebut Kaito.

"Tentu saja melihatmu," jawab Kaito singkat.

"Kau membawa sesuatu yang tidak membosankan?" Len menatap ke sekitar Kaito. Dia sangat berharap bahwa sahabatnya itu membawa sesuatu yang bisa sedikit menghiburnya.

"Tidak. Aku juga datang karena perintah orang tuamu. Sejujurnya aku sangat malas," kali ini Kaito yang menjawab pertanyaan Len dengan santai dan berhasil membuat Len kembali kesal.

"Jika seperti itu pergilah dari sini!" Len bangkit dari tidurnya. Duduk di atas tempat tidur itu dan memutar tubuhnya ke arah Kaito. Segera saja dia menendang Kaito dengan kakinya, namun sayang sekali Kaito dapat menghindar dan langsung keluar dari ruangan.

"Baiklah. Aku juga ingin pergi. Aku sudah punya janji dengan Miku dan yang lain. Kami akan melihat bunga Sakura hari ini. Sampai jumpa," setelah mengucapkan itu, sosok Kaito pun langsung menghilang entah kemana. Seperti dirinya ditelan bumi.

Len menghela nafas panjang, memaklumi sikap sahabatnya itu dengan sabar. Sekarang dia merasa semakin bosan. Kehadiran Kaito tadi setidaknya bisa menghilangkan sedikit rasa bosannya.

"Melihat bunga Sakura 'kah?" Len bergumam pelan. Sesaat kemudian, dia mengalihkan pandangannya ke arah jendela, menatap keluar jendela itu. Melihat beberapa pohon bunga Sakura yang tumbuh disana. "Sepertinya aku akan mencobanya,".

.

.

.

.

.


Vocaloid & Utauloid ©Crypton Future Media, Yamaha Corp, Etc.

Snow Girl in Spring ©Cyber Keju-ma.

Rate T.

GaJe, OOC, Typo(s) berserakan, Sulit dimengerti, De eL eL.

Don't Like?, Don't Read!


.

.

.

.

.

Len berjalan di sebuah koridor rumah sakit tersbut. Koridor itu dikelilingi oleh beberapa jenis tanaman obat dan ada juga ada beberapa jenis bunga yang cantik di sekitar koridor itu. Karena koridor itu berada di luar ruangan, udara disana juga cukup sejuk dan menenangkan.

"Jika aku tahu tempat ini lebih awal, mungkin aku tidak akan bosan," Len bergumam sambil menatap ke sekelilingnya. Dia cukup terpukau dengan koridor itu. Seperti sedang berada di taman bunga yang indah. "Padahal ini hanya rumah sakit, tapi baik juga jika pemiliknya melakukan seperti ini," lanjutnya sambil melangkah lebih jauh menuju ujung koridor itu.

Sesekali, Len mencoba berhenti untuk melihat beberapa bunga yang dia sukai. Berjongkok dipinggir koridor itu, menyentuh dan menghirup aroma bunga yang dia lihat. Dia benar-benar tidak habis pikir, biasanya dia tidak menjumpai hal seperti ini di rumah sakit manapun.

"Yaa.. Ini benar-benar luar biasa. Jika ini dibuka untuk umum, mungkin aku akan mengunjungi tempat ini setiap hari," Len hanya bisa takjub melihat keindahan di sekitarnya. Senyum tipis terukir di wajah putihnya itu. Menandakan bahwa kini suasana hatinya sedang sangat senang.

Len terus melangkah lebih jauh ke arah depan koridor. Jujur dia semakin penasaran apa yang ada di sana. Mungkin saja itu jalan menuju tempat bunga Sakura yang dia lihat dari jendela tadi tumbuh. Dia sangat ingin ke sana daripada menghabiskan waktunya di ruangan.

"Tapi kenapa tempat sebagus ini sangat sepi yah? Apa mungkin ada hantu disini? Yang benar saja," Len tertawa kecil hanya karena candaan yang dia buat sendiri. Yah, mungkin untuk menghibur dirinya yang sedang sendiri itu.

Langkah Len terhenti tiba-tiba saat dia menangkap sebuah suara di telinganya. "Apa itu?" tanyanya entah kepada siapa. Dia berhenti sejenak. Menajamkan pendengarannya agar dapat mendengar dengan jelas, namun sayang suara itu masih terdengar samar.

Len melangkah dengan langkah cepat lebih jauh menuju ujung koridor, mencoba mencari sumber suara yang masih terdengar samar itu. Yang ada dipikirannya saat ini adalah mungkin ada orang lain yang berada di koridor itu.

Semakin jauh, suara tersebut semakin terdengar jelas di telinga Len. Dia kembali menghentikan langkahnya, kembali mencoba untuk mendengar suara itu. Dia menenangkan dirinya sendiri, memejamkan matanya dan menajamkan pendengarannya kembali. Terdengar seperti suara seorang gadis yang tengah mengalunkan sebuah lagu dengan lembut.

"Ada seorang gadis disini?" Len membuka matanya. Menatap jauh bagian lain dari koridor itu. Mungkinkah ada seorang gadis di tempat sepi seperti ini? Yang pasti, dia harus mencari tahunya sendiri.

Berlari. Kini Len berlari dengan cepat mengikuti koridor itu. Dia sangat penasaran siapa itu? Jika dia memikirkannya, mungkin 'kah ada seorang gadis? Atau mungkin saja hantu?

Len menghentikan langkah kakinya. Matanya membelalak, dia cukup terkejut dengan apa yang dia dapati di ujung koridor itu. Ada beberapa pohon Sakura yang tumbuh disana. Mungkin tempat ini yang dia cari. Namun, sebenarnya bukan itu yang membuatnya terkejut, tapi dia melihat seorang gadis disana.

Yah, seorang gadis dengan kursi roda. Rambut putih seindah saljunya yang terurai panjang ke bawah. Menghadap ke arah pohon Sakura, membelakangi sosok Len yang sejak tadi berdiri di sana. Dengan mengalunkan sebuah lagu dengan lembut, tanpa menyadari ada orang lain di sana.

Sedangkan Len, dia mulai terhanyut dalam alunan lagu yang lembut dari gadis itu. Dengan ditambah hujan guguran bunga Sakura, membuat suasana di sekitar tempat itu menjadi lebih tenang. Bahkan dia sendiri belum pernah merasa setenang ini dalam hidupnya.

Tidak berapa lama, gadis itu menghentikan alunan lagu dari mulutnya. Membuat Len segara tersadar dari kondisi sebelumnya. Awalnya dia sempat bingung dengan apa yang terjadi, namun dia segera tahu tujuannya datang kesini untuk mencari gadis itu.

"Anoo..." panggil Len agak ragu. Dia sama sekali tidak tahu harus melakukan apa. Takut dirinya hanya menjadi pengganggu disana.

Gadis itu merespon dengan menegakkan kepalanya. Dia memutar posisi kursi rodanya dengan hati-hati. Dan bergegas mengahadap ke sumber suara yang seperti memanggilnya.

Len terdiam saat bertatapan dengan gadis itu. Iris safirnya bertemu dengan iris ruby sang gadis, menatap dirnya dengan polos. Dia hanya terdiam melihat kecantikan seorang gadis yang baru saja ditemuinya. Terpesona, lebih tepatnya seperti itu.

"Ada yang bisa kubantu?" suara lembut dari sang gadis langsung membuat Len tersadar dari lamunnanya. Len segera menggelengkan kepalanya agar segera sadar dan kembali ke dirinya sendiri.

"E-etoo.. Maaf?" Len hanya bisa tersenyum aneh sambil menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.

"Maaf? Untuk apa?" tanya gadis dengan memiringkan kepalanya, tanda bahawa dia bingung.

"A-aah... Aku.. Maafkan aku," Len membungkukkan tubuhnya untuk meminta maaf kepada gadis itu. Sejujurnya juga dia tidak tahu kenapa harus melakukan ini, dan kenapa juga dia harus meminta maaf?

Gadis yang ada di hadapan Len itu hanya tertawa kecil melihat sikapnya. Sedangkan Len sepertinya sedang menahan malu karena sudah bersikap aneh dengan orang yang baru saja dia jumpai.

"Berdirilah dengan tegak. Kenapa kau harus meminta maaf?" tanya gadis itu. Dia pun mendorong roda pada kursi roda yang di duduki dengan tangannya agar bisa memperpendek jarak mereka. Diapun berhenti, dan selanjutnya tersenyum kepada Len.

Len segara menegakkan badannya. Kembali menatap sang gadis yang kini sedang tersenyum kepadanya. Membuatnya tersipu malu karena mendapat senyum dari seorang gadis cantik.

"Aku ini aneh yah?" tanya Len sambil menggaruk belakang kepalanya. Senyum aneh kini kembali menghiasi wajahnya.

"Mah. Tidak usah dipikirkan. Bersikaplah santai," jawab sang gadis masih dengan senyumannya.

"Aku.. Len. Kagamine Len. Salam kenal," Len memperkenalkan dirinya kepada sang gadis.

"Ah. Maafkan aku sebelumnya. Namaku Sukone Tei. Senang berkenalan denganmu, Kagamine-san" balas sang gadis bernama Tei itu. Dia sedikit membungkukkan badannya, sebagai tanda untuk perkenalan diri dan segara kembali ke posisi semula.

"Panggil Len saja. Di dunia ini banyak yang namanya Kagamine, bahkan kau bisa menemui sepuluh orang Kagamine sekaligus," ucap Len sambil mencoba untuk memecahkan suasan canggung di antara mereka.

"Jaa.. Len-san, kalau begitu panggil saja aku Tei," Tei kembali memberikan senyum lembutnya kepada Len yang berhasil membuat Len kembali tersipu.

"Eh? Kau yakin?" tanya Len. Mencoba meyakinkan Tei dengan ucapannya barusan.

"Kau memintaku memanggil dengan nama kecilmu, aku juga memintamu untuk memanggil nama kecilku. Bukankah itu cukup adil?" ucap Tei balik bertanya kepada Len.

"Maa... Kau benar sih. Kalau begitu, sekali lagi. Salam kenal Tei," kini Len melangkahkan kakinya untuk lebih memperpendek jarak di antara mereka.

"Salam kenal, Len-san," Tei hanya menatap Len yang kini berjalan mendekatinya.

"Sudah kubilang Len saja, tidak usah pakai '-san' segala," ucap Len seraya menghela nafasnya.

"Ara... Maafkan aku, Len," Tei tertawa kecil melihat sikap Len. Kini dia dapat melihat Len dengan jelas karena jarak mereka sudah sangat dekat. Menatap Len dengan seksama, mungkin dia berpikir bahwa pemuda ini cukup tampan.

"Ngomong-ngomong, apa yang kau lakukan disini?" tanya Len. Kini dia berjongkok di hadapan Tei untuk menyetarakan tingginya.

"Bukankah itu harusnya menjadi pertanyaanku?" Tei membalikkan pertanyaan Len dan langsung membuat Len bingung.

"He? Maksudmu?" Len menggaruk pipinya. Karena dia tidak mengerti maksud perkataan Tai. Karena mereka sama-sama pasiena 'kan? Pasti punya tujuan untuk datang ke tempat ini.

"Aku selalu berada disini dari pagi hingga sore. Kalau kau?" tanya Tei sekali lagi.

"Aku hanya merasa bosan berada di ruangan. Aku mencoba berkeliling, dan akhirnya menemukan tempat ini," jelas Len.

"Hmm..." Tei hanya bergumam sambil mengganggukan kepalanya, tanda mengerti.

Sejenak, suasana di sekitar mereka menjadi hening. Len sendiri sedikit canggung untuk memulai pembicaraan, karena dia takut bertingkah tidak wajar lagi dan mempermalukan dirinya sendiri.

"Nee! Nee! Len!" suasana heningpun terpecahkan dengan suara Tei yang memanggil Len dengan semangat.

"Iyah?" tanya Len sambil menatap sang gadis.

"Bisakah kau membawaku ke sana?" Tei dengan semangat menarik tangan Len. Sambil menunjuk ke arah dimana pohon Sakura tumbuh di taman tepat di ujung koridor itu.

"He? Kau yakin?" Len mencoba meyakinkan lagi perkataan Tei yang baru saja dikatakan Tei.

"Daripada kita tidak melakukan apa-apa? Aku juga sangat ingin turun ke sana. Kau mau 'kan menemaniku?" Tei kembali memohon kepada Len. Bahkan, kali ini dia sedikit membungkukkan tubuhnya untuk memohon.

"Aahh... Baiklah, baiklah," Len menyerah. Diapun menuruti apa yang Tei minta.

Len juga berpikir, kalau Tei ada benarnya. Daripada mereka harus berdiam diri di koridor, lebih baik melakukan sesuatu. Lagipula, tujuan awalnya memanglah untuk mencari dan melihat pohon bunga Sakura itu.

Tidak ingin berlama lagi, Len pun segera mengambil posisi berdiri di belakang kursi roda Tei. Menggeggam pegangan pada kursi roda itu, memutar kursi roda itu ke arah yang ingin dia dan Tei tuju, dan membawanya dengan perlahan dan hati-hati.

"Kau ini. Kurasa kau sedikit aneh yah," ucap Len mencoba untuk berbasa-basi.

"Aneh? Maksudmu?" tanya Tei bingung.

"Yang kumaksud adalah itu, biasanya seorang gadis sedikit takut dengan pria yang pertama kali dia temui. Tapi kau malah mengajakku pergi. Apa kau tidak takut jika aku ini orang jahat?" Len bertanya sambil melihat ke arah rambut putih milik Tei. Walau memang hanya itu yang bisa dia lihat jika sambil mendorong kursi roda yang diduduki Tei.

"Memangnya ada orang jahat yang meminta maaf kepada gadis yang baru saja ditemuinya? Kurasa kaulah yang aneh," Tei menolehkan kepalanya ke belakang. Diapun tertawa kecil sambil melirik Len.

"Aahh... Jika kau yang berkata seperti itu, kurasa kau benar," Len hanya bisa tersenyum kecut kepada gadis itu. Namun menurutnya, gadis seperti Tei mungkin cukup menarik untuk dirinya.

Len berhenti mendorong kursi roda Tei, mereka berdua sudah sampai pada tujuan. Mulai dari ujung koridor ini, sepertinya mereka harus berjalan menuju taman itu.

Melihat Tei yang berada di kursi roda, Len terpikir untuk melakukan sesuatu terhadap Tei. Dia segera berjalan ke hadapan Tei dan berjongkok membelakangi Tei. Dia harus menggendong gadis itu untuk bisa ke taman.

Tei menatap Len sejenak. Sepertinya dia mengerti bahwa Len ingin menggendongnya. Tei bangkit dari posisi duduknya, namun tidak naik ke punggung Len, melainkan berdiri. Berdiri layaknya gadis normal. Dan tentu saya, langsung membuat Len yang melihatnya terdiam seperti orang bodoh.

"Kau tidak perlu melakukan itu Len," Tei kembali tertawa kecil ketika melihat ekspresi wajah Len sekarang. Seperti orang yang baru saja teringat barang yang tertinggal di rumah.

"Kau bisa berdiri?!" Len segera bangkit dari posisinya. Berdiri dengan menampilkan ekpresi kaget diwajahnya.

"Apa aku pernah mengatakan bahwa kakiku lumpuh?" Tei mendekat kepada Len. Menatap iris Safir milik Len dengan tatapan lembut dari iris Ruby-nya.

"Ti-tidak sih.. Ta-tapi itu.. Kau tahu 'kan? Orang yang duduk dikursi roda itu biasanya tidak bisa berdiri..." Len menjawab dengan gugup. Bagaimana tidak, sebagai seorang pria, ditatap begitu dekat oleh seorang gadis pasti membuatnya gugup.

"Kakiku tidak lumpuh Len. Masih bisa digerakkan dengan normal," Tei menjauhkan wajahnya dari Len. Dia memejamkan sambil tersenyum.

"La-lalu kenapa kau memakai kursi roda?" tanya Len.

Tei hanya diam. Matanya masih terpejam, namun senyuman di wajahnya sudah hilang. Dia seperti terus untuk beberapa lama. Membuat Len semakin bingung.

"Hoi... Tei?" Len mencoba memanggil Tei, namun sama sekali tidak ada jawaban dari sang gadis.

Suasana menjadi begitu hening seketika. Hanya ada suara hembusan angin yang terdengar di antara mereka berdua. Len sama sekali tidak tahu harus melakukan apa lagi. Keheningan ini berlangsung cukup lama. Bahkan hingga menghabiskan beberapa menit. Tapi, apa yang terjadi kemudian, membuat Len benar-benar sangat terkejut. Tei dengan tiba-tiba menjatuhkan diri ke tubuhnya, memeluknya dengan erat, dan menggelamkan wajah ke dadanya.

"Tei..?" Panggil Len terkejut. Dia menatap sang gadis yang sedang memeluknya. Keringat terlihat banyak muncul di wajah Tei. Apa mungkin Tei kelelahan? Pikirnya.

"Aku tidak lumpuh... Hanya saja, tubuhku ini terlalu lemah. Bahkan kakiku tidak kuat untuk menopang tubuhku sendiri selama setengah jam. Ini terlalu melelahkan," setelah beberapa lama, Tei kembali bersuara. Namun kali ini agak berbeda, nada berbicaranya terdengar lirih.

Tei mengangkat wajahnya, menatap Len dengan mata berkaca-kaca. Dia kembali tersenyum, tapi senyuman yang ini berbeda dengan senyuman sebelumnya. Bukan menggambarkan kebahagiaan atau juga bukan kelembutan, mungkin saja ini adalah senyum kesedihan.

Kali ini Len lah yang terdiam. Menatap seorang gadis lemah dengan senyuman lirihnya, dia benar-benar kehabisan kata-kata. Pertama kali dalam seumur hidupnya, baru saat inilah dia menemukan seorang gadis seperti Tei. Gadis cantik yang lembut dengan tubuh lemah, seperti seorang tuan putri yang pernah dia baca di beberapa novel.

"Kau tidak sedang bercanda 'kan...?" Len mulai kembali mengeluarkan suaranya.

"Apa kau melihat kebohongan di mataku?" Tei terus menatap Len, untuk membuktikan bawah dia tidak berbohong.

Dan Len juga melakukan hal yang sama, menatap ke dalam iris Ruby sang gadis salju. Dia sama sekali tidak melihat kebohongan, malah kini seperti dirinya yang turut bersedih.

"Tei, boleh aku memastikan satu hal?" tanya Len yang tiba-tiba menjadi serius.

"Tanyakan apapun.." Tei mengalihkan pandangannya, dia kembali menenggelamkan wajahnya ke dada Len. Tidak sanggup lagi menatap Len lebih lama.

"Maaf jika pertanyaanku kurang sopan... Umurmu sekarangini.. Berapa tahun...?" Len bertanya dengan hati-hati dan selembut mungkin, karena dia tahu, bertanya soal umur kepada seorang gadis itu memang hal yang kurang sopan.

"Tujuh belas tahun..." jawab Tei lirih.

"Kalau begitu... Kau mengatakan bahwa kau selalu disini dari pagi hingga sore, itu sudah berapa lama berlalu?" tanya Len sekali lagi. Hal inilah yang sebenarnya ingin dipastikannya sedari tadi.

Tei kembali diam, namun sepertinya tetap merespon. Hal itu dirasakan oleh Len, karena saat dia bertanya, Tei mengeratkan genggaman tangan di bagian belakang bajunya. Dia tetap menunggu jawaban dengan sabar, karen dia juga mengerti mungkin ini berat untuk Tei.

.

.

.

.

.

"Dua... belas tahun..."

.

.

.

.

.


~To Be Continue~


Etto, bagaimana dengan intronya?

Saya ingin review yang jujur, karena ini juga menyangkut proyek saya.

Jika untuk awalnya ini kurang menarik atau kurang bagus, katakan saja ini kurang. Jika ada bahasa yang terdengar tidak enak, bisa tolong ditandai atau dicopas saya ke kotak reviwe agar saya bisa perbaiki. Jika ini memang sebegitu buruknya sampai Tuhan sendiri tidak tahu harus melakukan apa, maka fanfic ini akan saya hentikan segera.

Saya menerima review dalam bentuk lembut, tegas, atau kasar juga tidak masalah. Jika itu memang sebuah kesalahan dalam penulisan, akan saya terima. Bagi yang ingin memberikan saran untuk selanjutnya, saya juga terima dengan senang hati. Dan bagi yang tidak menyukainya, saya mohon sebesar-besarnya, jangan dibaca, apa lagi sampai flame, menghina, atau menjelek-jelekan saya.

Tentunya sebagai seorang penulis, saya ingin karya saya dihargai, walau hanya sebagian kecil dari orang yang mau untuk membacanya. Kita semua punya perasaan yang sama sebagai penulis, pasti tidak ingin karya yang kita buat dengan usaha keras kita sampai dihina, bahkan diinjak-injak.

Jadi sekali lagi, saya mohon sebesar-sebesarnya untuk para pembaca, saya mohon bantuannya. Anggaplah saya seorang Novelis yang membutuhkan Editor. Para pembaca sekalian yang ingin mereview fanfic saya adalah Editor untuk saya.

Untuk fanfic saya yang lain, akan saya hentikan dulu deh. Saya ingin berfokus kepada yang satu ini. Yah walau memang sudah tidak dilanjut sih.

Oke, sekian dari saya, saya usahakan untuk update secepatnya. Mengingat deadline saya hanya sampai akhir bulan.

Akhir kata saya ucapkan, terima kasih.