Cerita ini berkonten dewasa, pelanggaran, non-moral.

Incest - NTR - Affair

Peringatan bagi yang tidak menyukai tag-tag yang tercantum.

Saya hanya meminjam chara.

Tolong jangan membenci mereka apapun itu setelah anda membaca.

Terimakasih.


Kyoukai no Kanata

.

Stroy by Spica Zoe

.

.

"Perkenalkan, dia adikku, Hiroomi Nase."

.

.

Nagareboshi

.

.Kita

.

Gerakannya sangat lembut, tatapannya sangat bermakna. Ada siratan yang tersembunyi, namun ingin mengintip tak sabar. Tak begitu dimengerti, tapi serasa mampu dipahami. Dua insan, berbeda jenis kelamin, berbeda umur, berbeda sikap, namun sedarah. Kini saling memandang.

"Hentikan Hiroomi"

Suhu badan memanas, meski hujan mengguyur diluar sana cukup deras. Namun di dalam suatu rungan, ada yang sedang tedesak, dan ada yang sedang mendesak. Sang pria, Hiroomi, yang namanya dipanggil tak menggubris apapun dari dia yang merasa dipojokkan. Pria itu keras kepala, dan kekeraskepalaannya itu sayangnya memang masih belum pergi jauh dari keremajaannya. Sang wanita menahan.

"Tak ada yang akan berubah sekalipun meski kau memaksaku saat ini."

Hiroomi tersenyum, miris berteman lirih. Dia lupa makna senyuman itu harusnya diartikan bagaimana. Dipereratnya genggaman tangannya pada pergelangan tangan sang wanita, mereka berdiri berhadapan, saling memandang, dan terlalu dekat.

"Aku ..." jedah sebentar mengantarkan waktu lebih banyak terbuang diantara mereka. Hiroomi memandang wajah sang wanita semakin dalam, hembusan napasnya terasa hangat diperasaan. Dia menginginkan wanita ini, meski sang wanita adalah kakak kandungnya sendiri, akal sehatnya sudah teracuni.

"... ingin menidurimu." Lanjutnya dengan nada suara yang tertahan. Sang wanita-kakak-tercekat tak percaya.

"Apa yang kau katakan? Aku kakak-"

Gemuruh petir diluar sana terdengar lebih keras kali ini. Dinginnya suasana tertepis oleh hangatnya hasrat dihati, hati yang kelam yang sedang terselimuti, terselubung oleh nafsu birahi. Ini pertama kalinya bagi sang pria, pertama kalinya dia mendapatkan sensasi yang menggelitik dibibirnya. Lembut, ya sangat lembut. Bahkan perlahan mulai basah. Meski ini pertama kalinya bagi Hiroomi merasakan seberapa lembut bibir sang wanita, pertama kali dalam hidupnya. Izumi menggenggam erat, bahkan tak lagi peduli jika kukunya nyaris menembus daging di kedua pundak sang pemuda. Hanya itulah yang bisa dia lakukan saat mendapati sang adik sudah membungkam bibirnya dengan bibir sang pemuda. Izumi berontak.

Dan setelah gelitik itu cukup menaikkan hasrat manusiawi kepriaannya, Hiroomi malah melepaskan kecupannya. Dipandangnya wajah sang wanita, yang kini tengah memerah, karena kesal. Hiroomi tahu itu, sebab mereka sedarah. Memahami sifat Izumi bukanlah hal yang sulit untuknya, bahkan mereka seumur hidup sudah tinggal bersama. Izumi mendorong kuat bahu Hiroomi berang, diusapnya bibirnya yang dia sadari mungkin telah memerah akibat paduan dari gesekan lembut yang berasal dari bibir mereka berdua. Basah, Izumi mendesah kecil dalam hatinya. Dia tidak suka perbuatan sang adik yang membuatnya seakan tak ada arti sebagai seorang kakak. Hiroomi hanya menyeringai manis, namun mengesalkan bagi Izumi.

"Diatas ranjang, tidak ada istilah kakak dan adik ..." seringai sang adik menatap kakaknya dengan kalimat yang dibiarkan belum selesai. Diangkatnya tangannya, menyentuh dagu sang kakak, membiarkan mata mereka memandang dengan perasaan saling bertolak belakang. Ingin rasanya Izumi menampar adiknya saat itu juga, tapi dia tak berdaya. Hiroomi melangkah, juga mendorong tubuh kakaknya untuk mundur, pelan, dengan tatapan yang masih terikat dan seakan mengintimidasi dirinya. Dia tahu, Izumi tahu Hiroomi mungkin bukan lawan yang imbang untuknya saat ini, meski dia sendiri adalah kakaknya.

Izumi mundur mengikuti kemauan Hiroomi, walau terpaksa. Hingga akhirnya langkah mereka terhenti saat tubuh Izumi telah menyentuh sesuatu yang cukup untuk memberitahukan pada mereka bahwa tidak ada lagi ruang untuk dilangkahi. Dan Hiroomi seakan mengerti. Masih diangkatnya dagu sang kakak yang lebih pendek delapan centimeter darinya. Membiarkannya puas menguasai seberapa cantik rupa sang wanita. Dia tak pernah bisa mengabaikan kesempurnaan rupa itu. Sikapnya yang dingin, tatapannya yang tajam, gerakan tubuh yang mengintimidasi, dan perkataan yang kelewat minim. Tapi Hiroomi tetap menyukainya.

"... Izumi-chan." lanjutnya mengakhiri kalimat yang sejak tadi digantungnya. Mata Izumi membulat, kemana rasa hormat sang adik kepadanya saat ini? Mendengar namanya disebut dengan begitu rendah rasanya Izumi tidak terima. Tidak, dia masih punya kewarasan jika apa yang Hiroomi rasakan padanya saat ini adalah salah. Tidaklah apa jika sebutan itu hanya Hiroomi tujukkan padanya saat mereka sedang mengalami kejadian seperti ini, berdua. Bukan berarti Izumi rela, tapi, dari pada semua orang mendengar bagaimana lancangnya Hiroomi memanggil namanya begitu, rasanya Izumi tidak ingin memikirkannya.

"Aku tidak bisa menahannya lagi, nee-san,"

Batin Izumi mengerang, setelah kalimat itu terucap dari mulut sang adik, tak berapa lama Izumi merasakan ada sesuatu yang sudah menyentuh kulitnya. Hiroomi sudah memainkan jari-jarinya untuk menyentuh kulit-kulit Izumi yang terbuka.

"Hiroomi, aku kakakmu!"

Izumi mendorong tubuh Hiroomi lagi, namun sang adik mampu mengantisipasinya. Digenggamnya cepat kedua tangan Izumi yang baru saja mendorongnya. Lalu setelah kedua tangan itu dikuasainya, barulah Hiroomi mendorong tubuh sang kakak untuk semakin dihimpit olehnya. Bahkan lemari es yang menahan tubuh Izumi pun sempat bergeser karena dorongan sang adik, Izumi mengaduh.

"Aku tak peduli, nee-san"

Izumi menundukkan kepalanya. Ini salah, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa.

"Jangan menyalahkanku kenapa aku bisa mencintaimu. Salahkan kenapa kau begitu sempurna untuk dicintai, pernahkah kau berpikir seperti itu?"

.

Kita

.

Keadaan di dalam kediaman keluarga Nase memang selalu seperti ini. Hening, sepi, dan terlihat begitu damai. Rumah yang dirancang menyerupai istana kerajaan yang tradisional dan kuno. Meski beberapa bagian didesain secara modern dan dibaurkan hingga menjadi perbandingan yang kaya akan seni. Izumi Nase sudah lama menjabat sebagai salah satu direktur di perusahaan yang memiliki kesan berbanding jauh dari profesi keluarga Nase turun-temurun. Meski awalnya seluruh keluarga bahkan klan menentang Izumi memutuskan apa yang akan diputuskannya. Tapi semua orang tetap tak bisa berbuat apa-apa saat Izumi sudah melangkah lebih jauh terlebih dahulu. Walau akibat yang paling berdampak saat ini adalah, diusirnya Izumi dari istana kerajaan keluarga Nase.

Hiroomi membuka matanya. Dirasakannya beberapa bagian tubuhnya terasa begitu lelah pagi ini. Mengerjap kekeadaan sekitar, Hiroomi mulai mengingat sesuatu yang langsung terputar diotaknya pagi ini. menyadari kejanggalan dari kenyataan yang baru dia terima, Hiroomi memastikan sesuatu yang terasa menjadi hilang dalam ingatannya. Malam tadi, Izumi bersamanya, dan pagi ini dia terbangun sendirian. Hiroomi bangkit, ditariknya selimut putih lembut yang bergulung disisi lain di ranjangnya, lalu digulungnya selimut itu asal untuk menutupi bagian bawah tubuhnya. Melangkah lemah, diraihnya pintu kamar dan melangkah keluar. Dia tidak begitu jelas dengan semua hal yang dia jumpai di rumah ini. Meskipun dia sudah tinggal di sana beberapa minggu lebih lama sebelumnya. Hiroomi melangkah pelan turun menuruni anak tangga, tak didapatinya bayangan yang dicarinya selama dia melangkah.

Kesal rasanya, saat terbangun dan mendapati kenyataan bahwa kita hanya berteman kesendirian. Hiroomi menghentikan langkahnya. Diujung sana, dia sudah mendapati sesosok bayangan yang sangat dia kenal, sesosok bayangan yang malam tadi berada dalam dekapannya. Hiroomi tersenyum. Dilangkahkannya kakinya melangkah mendekati sang kakak yang terlihat sibuk menyiapkan sarapan. Meski Hiroomi berada dalam posisi dibelakangi, tapi dia bisa memastikan kesimpulannya itu dari suara ketukan-ketukan berirama yang tercipta dari kegiatan kakaknya. Dia menduga suara itu dari suara telenan yang sedang kakaknya gunakan.

"Kau meninggalkanku sendirian?"

Suara ketukan itu tiba-tiba menghilang, Hiroomi menghentikan langkahnya. Izumi menghentikan gerakannya. Hanya waktu yang berjalan diantara mereka, dengan beberapa suara bising lain yang berasal dari suara rebusan dari apa yang dimasak oleh Izumi. Juga mentari yang dengan kecepatan waktu mulai berusaha masuk menerobos celah-celah yang tak berdosa.

"Tapi akan kumaafkan."

Hiroomi tak peduli bagaimana diamnya Izumi yang tak merespon perkatannya. Dilangkahkannya kakinya menuju meja makan yang tidak jauh dari sana, ditariknya kursi itu untuk mempersilahkan dirinya sendiri duduk diposisi dimana dia bisa memandangi kakaknya dengan nyaman dan memuaskan.

"Kau buat apa pagi ini, nee-san?"

Rasa bersalah memang masih menghantuinya, tapi Hiroomi sadar dia pun tak bisa melangkah mundur untuk mendapatkan kakaknya. Semua sudah terlanjur, dia sudah terlanjur menelanjangi kakaknya malam tadi, bercumbu, memaksanya bercumbu. Meski Izumi mengeluarkan airmata dalam dekapannya, tapi Hiroomi menyakinkan dia akan membuat Izumi menjadi wanita yang paling nyaman saat berada dalam pelukannya dimasa depan nanti. Dia sedang berusaha. Jadi tidak menakuti Izumi dengan tindakan menyebalkannya mungkin adalah awal yang bisa membawanya pada akhir yang diinginkannya.

"Aku tidak punya waktu untuk membuatkan yang lebih layak untukmu, Hiroomi. Aku terlambat. Harusnya pagi ini aku sudah berada di kantor." Izumi tak memandang adiknya saat berbicara. Sambil memasukkan beberapa irisan wortel dalam rebusan yang sudah mendidih sejak tadi.

"Kau ada rapat?"

Izumi bergeming sejenak, ada sesuatu yang sedang dipikirkannya. Sesuatu yang mungkin ada hubungannya dengan sesuatu yang terjadi antara dia dan adiknya malam tadi. Apa Hiroomi tak merasa bersalah sedikitpun padanya?

"Ya, mungkin sampai larut malam. Sebelum tidur jangan lupa tutup semua pintu dan jendela, tidak usah menunggu ..." Izumi sedikit kaget saat dia sudah mendapati Hiroomi mendekapnya lembut dari belakang tubuhnya, "... ku" lanjutnya lemah seraya berbisik, tampaknya pun Hiroomi tak begitu ingin peduli.

"Aku akan tetap menunggumu."

.


.

.

Izumi menghempaskan tubuhnya duduk disatu-satunya sofa yang masih tersisa kosong di dalam ruangannya. Sebagian tempat sudah diisi oleh kedua rekannya, yang kini salah satu dari mereka tengah memandangnya dengan seringaian cukup menyebalkan baginya.

"Kalian tidak lihat tadi bagaimana reaksi Fujima Miroku menatapku?"

Izumi memangalihkan pandangannya malas ke arah seorang yang baru saja menyeringai padanya. Ninomiya Shizuku, yang tak lain pun pernah menjadi salah satu temannya saat masa sekolah dulu. Izumi tak perlu berpura-pura bahagia atau tersenyum hanya untuk menghargai lelucon temannya. Toh, mereka juga sudah cukup hapal dengan peringainya yang bagaimana. Dingin. Shizuku masih tetap tertawa dengan beberapa ocehannya pada seorang wanita lainnya di ruangan itu, Shindou Ayaka, sebelum akhirnya Izumi bangkit berdiri meninggalkan mereka, berganti posisi untuk menyambangi meja kerjanya.

"Kau juga lihat tadi kan, Izumi?" tanya nya riang.

Izumi mengabaikannya, ditariknya beberapa lembar dokumen yang masih tersusun rapi diatas mejanya. Sejak pagi dia tiba di perusahaan itu, dia langsung menuju ruang rapat. Dan selesainya dari sana, baru ini dia menginjakkan kakinya di ruangan ini. Setelah empat jam berada di ruangan menyebalkan itu, empat jam mendengar debat-debat menjengkelkan antara rekan se-divisinya maupun divisi yang lain, empat jam memandang pada seorang pria yang entah mengapa jadi terdengar menyebalkan disaat-saat yang tak terduga, juga hampir empat jam penuh mendengar cekikikan, umpatan dan lelucon-lelucon menjengahkan Shizuku disepanjang rapat berlangsung. Sialan, Izumi tak bisa fokus sejak tadi.

"Dia marah padamu, Shizuku-san."

Ayaka masih menyisipkan satu senyuman sesaat orang bawahan Izumi datang mengantar tiga cangkir teh hangat yang sebelumnya dipesan oleh Shizuku seenaknya sebelum mereka masuk keruangan Izumi. Meraih cangkir itu, lalu mengesap penuh syukur. Meski dia masih menatap sesekali Shizuku yang masih tertawa dihadapnya. Tidak begitu paham menertawakan siapa, Izumi kah? Atau mungkin Miroku. Yang jelas, selama rapat berlangsung, sudah hampir tiga kali Miroku menatap Shizuku dengan tatapan kesal luar biasa.

"Biar saja! Dia pantas mendapatkannya, iya kan Izumi?"

Lagi-lagi, sepertinya Shizuku sedang sangat tertarik membuat Izumi mati kesal sejak tadi.

"Kau akan kubunuh jika kau melakukan itu lagi saat rapat Shizuku!"

"Eiitthh-"

Shizuku berhasil mengelak dari lemparan sebuah pena yang Izumi hadiahkan darinya, wajahnya masih tertawa. Lucu rasanya memikirkan kejadian tadi.

Fujima Miroku, adalah seorang konsultan yang sedang bekerja sama dengan perusahaan dimana Izumi dan kedua temannya bekerja. Dia memang cukup tampan, Shizuku sering bilang begitu. Dengan kacamata yang melekat di pangkal hidungnya, membuat sisi tampannya bertambah beberapa point, juga rahangnya yang tegas, tinggi proposional seorang pria yang didamba setiap wanita, mapan, dan dewasa, bahkan dalam urusan usia, dia memang sudah terlihat sangat matang.

"Apa dia belum menikah?"

Tanpa terduga, Ayaka kini mendapati Izumi mengangkat kepalanya memandangi kedua sahabatnya itu bergantian. Ada sesuatu yang sedikit mengganjal dipikirannya. Sudah hampir setengah tahun mereka bekerja sama, bahkan sedikitpun mereka tak pernah memikirkan kemungkinan itu. Menangkap reaksi tak terduga Izumi atas pertanyaan Ayaka, mau tidak mau membuat Shizuku menyeringai nakal sekali lagi.

"Kau tertarik padanya, Izumi?" tanyanya dengan tatapan meledek. "Itu bukan dirimu sama sekali." lanjutnya ingin tertawa, sebelum akhirnya Ayaka menghadiahkannya pandangan mematikan untuk segera menutup mulut sebab Izumi telah kembali menunduk dalam posisinya, dia memang terlihat berbeda sejak tadi, bukan Izumi yang biasa.

Waktu sudah mulai merangkak senja, beberapa karyawan pun sudah ikut beranjak meninggalkan ruangan mereka, meninggalkan penat akibat kerja. Shizuku mengalihkan pandangannya malas ke dalam ruangan Izumi yang tak begitu jauh dari ruangannya. Pintu ruangan terbuka, itu artinya mungkin Izumi masih belum pulang. Shizuku segera membenahi pekerjaannya. Setelahnya, disambarnya tas jinjingnya dan melangkah keluar ruangan sebelum mengunci ruangannya lalu melangkah menuju ruangan Izumi.

"Kau tidak pulang, Nase-sama?"

Shizuku tak mendapati Izumi mengangkat kepala memandang kembali pada dirinya. Biasanya jika disebut seperti itu, Izumi akan menghadiahkan Shizuku pandangan mematikannya. Sebab seperti yang dia tahu, Izumi sangat membenci marga itu melekat dalam dirinya, sangat.

Menyadari memang ada sesuatu yang salah, Shizuku coba berdehem berusaha mencairkan suasana. Ada sesuatu yang jauh lebih besar yang sedang sahabatnya ini alami, mungkin.

"Sejak tadi kau terlihat berbeda dari biasanya Izumi, ada apa?" tanyanya peduli. Seraya membuang sifat konyol biasanya entah kemana. Terkadang, Shizuku memang rela menjadi berbeda untuk menghadapi Izumi.

Berbeda? Izumi hanya menangkap satu kata itu dari mulut sahabatnya. Sejak pagi tadi dia memang sadar sedang bertingkah berbeda dari biasanya. Semuanya mungkin karena Hiroomi. pemuda itu sudah menyedot semua perhatian Izumi dalam sekejap.

"Kau bisa cerita padaku, kita-"

"Tak ada yang perlu diceritakan, Shizu," gadis yang namanya disebut terdiam cepat saat omongannya diputus begitu saja.

"Ada sesuatu yang tak bisa kuceritakan padamu." ucapnya lemah. Dia ragu menceritakan kejadian malam tadi pada sahabatnya sendiri. Entah kenapa dia merasa malu akan apa yang terjadi pada hubungan saudara antara dirinya dan Hiroomi.

"Apa ini tentang ajakan kencan Miroku padamu?"

Mendengar ucapan itu, Izumi tercekat sesaat. Sial. Dia hampir lupa jika dia punya janji pada pria itu hari ini. Janji bertemu yang memang sudah berbulan-bulan ini mereka sembunyikan. Jika Tuhan berkehendak, Izumi ingin hubungannya dan Miroku hanya Tuhan saja yang tahu. Dia tidak ingin Shizuku menertawainya karena kini nyatanya dia sedang berkencan dengan pria itu.

"Aku harus pergi, Shizu" Izumi bangkit tergesa. Tanpa menunggu Shizuku mengeluarkan kata lebih banyak lagi, Izumi sudah menghilang dari pandangan.

.

.

"Kau terlambat."

Izumi tak membalas ucapan yang memang ditujukan padanya. Ditariknya satu-satunya kursi kosong yang berada di seberang pria tampan itu. Mereka hanya terhalang oleh sebuah meja kecil yang diatasnya telah terhidang beberapa jenis makanan yang sudah lebih dulu dipesan sang pria. Kesal.

"Ini sudah kencan kita yang keberapa kali, Izumi-san?" Miroku sedikit sadar akan sesuatu yang mampu ditangkapnya dari pergerakan tubuh sang wanita yang terkesan berbeda kali ini. Baginya, tidak susah mempelajari kepribadian sang kekasih. Menjalin kasih selama beberapa bulan membuatnya mau tak mamu bisa dengan cepat mempelajari semua hal tentang Izumi. Mereka bukan lagi sesama orang asing, bahkan mereka sudah terlalu sering tidur dan bercinta kapanpun mereka butuh.

"Hari ini, aku harus pulang lebih awal, Miroku-san."

Izumi tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Seringnya terjadi, kencan mereka akan diakhiri dengan cumbuan panas diatas ranjang. Biasanya, Izumi lah yang selalu memilih tempat Miroku. Tapi kali ini, meskipun pagi tadi dia sudah izin pada Hiroomi akan pulang larut, tetap saja dia tak bisa melakukannya.

.

KITA

.

.

.

Hiroomi memeluk tubuhnya semakin erat. Salah, ini salah. Kata itu selalu terngiang dalam benak Izumi. Sebagai seorang kakak tertua, Izumi tak mungkin bisa menoleransi tindakan tercelah seperti ini dalam hidupnya. Tapi, Izumi sadar dia sudah kalah. Malam tadi, semua telah terbukti. Izumi menyerah atas tindakan Hiroomi padanya. dia bahkan membalas kecupan Hiroomi pada bibirnya. Mereka saling terpagut, merangkul, meremas, menggigit dan memandang. Walau masih ada setitik airmata yang bisa Hiroomi artikan.

"Ini salah Hiroomi" Izumi mengangkat tangannya meraih lengan Hiroomi yang masih mendekapnya tak rela. Tangan khas seorang pria. Sejenak, Izumi sempat lupa mengakui bagaimana dia harus menghadapi adiknya kini. Sebelum kejadian ini saja, dia masih mengira Hiroomi seorang bocah yang menyebalkan. Bagaimana tidak menyebalkan jika kerjaannya hanya membuat bungsu mereka menangis? Dan sampai sekarangpun Izumi masih tak mampu mempercayai jika sekarang, bocah menyebalkan itu sudah tumbuh menjadi seorang pria, bisakah kini Izumi menyebutnya sebagai seorang pria untuk saat ini?

"Aku tidak akan menyerah, nee-san."

Satu kecupan Izumi rasa telah menempel basah dilehernya.

"Aku tidak akan pernah menyerah sebelum aku benar-benar berhasil 'memasuki'mu" Hiroomi menyeringai.

"Kau keterlaluan, Hiroomi."

Izumi ingin sekali mengutuki dirinya. Ucapan kotor Hiroomi tentang dirinya seakan malah membuatnya begitu jalang kali ini.

"Jangan bilang keterlaluan jika itu hanya niat ingin 'memasuki'mu ..." Hiroomi tersenyum, dilepasnya dekapannya dan membawa tubuh sang kakak menatapnya secara penuh. Pandangan mereka terikat dalam. Dalam diam. Dalam rasa. Dan dalam gelora. Sekali lagi, Izumi rasa dia sudah tak lagi berdaya.

"Masih ada hal yang jauh lebih keterlaluan jika kau tahu apa yang kuinginkan darimu setelahnya, nee-san," Hiroomi menarik pinggul Izumi untuk menempel pada kulit tubuhnya. Bahkan dibalik selimut itu, tak ada lagi apapun yang membatasi dirinya. Ditariknya tangan kanan Izumi, dan mengangkatnya. Meletakkannya diwajahnya, membiarkan tangan itu menyusuri wajahnya sendiri dengan kemauan sendiri. Sebab Izumi masih tak berdaya ditempatnya.

"Aku ingin menghamilimu berkali-kali sampai kau-"

"Aku akan membunuhmu sebelum kau melakukan itu, Hiroomi."

Dan pemuda itu kini hanya menyeringai keterlaluan.

Tbc


An: Fanficnya baru beberapa hari saya garap. Ini sebenarnya bukan fic yang saya singgung di Bio. Yang saya singgung disana, bukan ini. Saya masih belum percaya diri mem-publish yang itu.

Saya menyukai Incest dan Affair. Jadi saya menikmatinya.