Disclaimer : Naruto milik Masashi Kisimoto
.
.
.
**o**
Dia memahami, pada saat itu ia tak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya berdiri layaknya patung. Rintik hujan yang berjatuhan mengiringi isak tangis orang-orang yang ada di sekitarnya. Oleh sebab apakah mereka semua bersedih? Dìa tidak berusaha menanyakan pertanyaan itu, karna ia sendiri pun tahu apa pemicunya. Di antara orang-orang yang ada, hanya dia saja yang tampak baik-baik saja, sama sekali tak mengindahkan segala kekalutan yang melanda tempat itu. Pandangannya hanya terpaku pada sesosok tubuh yang terbuju kaku di sana, bersama seorang gadis berambut merah muda yang terisak-isak sambil memeluk sosok itu.
Dìa memperhatikan wajah pucat itu dengan seksama. Wajah yang dulu selalu bersemangat itu kini tampak dingin, hampa tanpa gairah, pucat dan dingin. Entah kenapa ia merasa kejadian ini seakan-akan bagai mimpi buruk, mimpi yang begitu terasa menyakiti hatinya.
**Shirohae**
"Bagaimana kabar, Ayahanda hari ini Hanabi?" tanya Hinata, menghentikan celotehan Hanabi dengan misi-misi serunya, yang tampaknya hanya dia saja yang menikmati celotehan itu.
Hanabi menatap kakaknya, Hinata sedetik lamanya. Lalu katanya, "Baik. Tou-sama baik-baik saja. "
"Oh." sahut Hinata. Dia sedikit mengangkat barang belanjaan yang digendongnya.
"Sini ku bantu, Nee-sama." tawar Hanabi sambil menjulurkan tangan.
Hinata mengamati uluran tangan kurus Hanabi selama sesaat. Kendati tak yakin apakah tangan sekecil itu bisa membawa barang seberat ini. Tapi akhirnya dia pun menggeleng. "Tidak perlu, Hanabi. Aku bisa melakukannya sendiri." tolaknya.
"Ayo sini." Hanabi memaksa. Gadis itu merebut barang belanjaan dipelukan Hinata.
"Hana, tidak perlu." tolak Hinata lagi, tapi Hanabi tak mengacuhkan kata-kata Hinata, dengan sedikit memaksa gadis itu pun berhasil meraih belanjaan Hinata.
"Nah... Begini 'kan lebih baik." katanya kemudian. Hinata menghembuskan napas pasrah. Hanabi melanjutkan. "aku tidak mengerti dengan jalan pikiran Nee-sama. Kok mau-maunya membeli apartemen itu? Padahal di rumah 'kan jauh lebih nyaman."
Mendengar kata-kata yang dilontarkan Hanabi, tarikan napas Hinata berubah memanjang. Dia memejamkan lavendernya rapat-rapat selama dua detik. Denyut jantungnya menjadi terasa nyeri, bagai ada duri yang menancap menikam ulu hatinya. Kemudian kelopak mata indah itu terbuka, menampilkan sepasang lavender yang tak punya cahaya hidup, menyorot jalanan yang agak sepi, lalu turun... Padahal sudah jelas 'kan alasan kenapa dia membeli apartemen itu. Bukankah Hanabi juga tahu tentang perasaannya pada pemilik apartemen itu sebelumnya.
"Eh, Nee-sama mau masak apa?" tanya Hanabi lagi, manakala menyadari dirinya telah salah membuka topik. Hinata tak segera menjawabnya, pandangannya menerawang jauh ke depan, ke sebuah pohon yang ada di tepi jalan.
"Hinata-nee-sama..." gumam Hanabi sambil mengamati wajah sendu sang kakak. Masih belum ada sebuah huruf atau kata yang terujar dari mulut Hinata. Dibalik wajah itu, Hanabi sangat tahu kalau ada sebuah luka yang tampak jelas, suatu luka yang barangkali telah mengubah hidup sang kakak dari yang cerah menjadi kelam, sekelam malam manakala telah sepi.
"Maaf, Nee-sama..." kata Hanabi dengan pelan sambil menundukkan kepala, merutuki keceplosan bicaranya.
Suatu helaan napas panjang kembali terdengar dari pernapasan Hinata. Gadis dua puluh enam tahun itu berhenti melangkah. Dia memandang Hanabi sambil tersenyum. "Tidak apa-apa. Ku rasa seharusnya tidak perlu dipermasalahkan. Lagi pula dia sudah pergi untuk selamanya. Hanya saja, aku suka mengenangnya. Entah sampai kapan, aku juga tak tahu. Tapi akan ku usahakan untuk bisa melihat ke masa depan lagi. Tidak lagi berdiam pada puing-puing kenangan tentangnya..." katanya dengan getir.
Hanabi memandangi kakaknya dengan ekspresi tak percaya. Dia tertegun beberapa saat pada senyum di wajah Hinata yang hambar, sebuah senyum palsu untuk menutupi kegetiran hatinya.
"Ayo." ajak Hinata kembali melangkah. Hanabi tak segera mengikuti, dia memperhatikan punggung sang kakak dengan prihatin.
"Nee-sama..." lirih Hanabi.
***o***
"Sebentar dulu." Hinata mengeluarkan kunci dari tasnya, lalu memasukkannya ke lubang pintu apartemen. Hanabi menunggu dengan tangan yang sedikit pegal.
"Ayo masuk." kata Hinata setelah berhasil membuka pintu. Dia pun masuk diikuti Hanabi di belakangnya. Hanabi meletakkan barang belanjaan itu di atas meja makan, mengeluarkan isinya, lalu memisah-misahkannya, sedang Hinata tengah menyalakan kompor, lalu memasak air.
"O iya," Hanabi memulai percakapan. Dia berjalan ke arah lemari pendingin, memasukkan barang-barang itu ke dalamnya. "bagaimana dengan teman Nee-sama penyuka anjing itu? Bukannya dia sering berkunjung kemari bukan?"
Hinata tampak agak kaget, mendengar pertanyaan Hanabi. Tentu saja dia takkan lupa pada sosok sahabat itu. Selama ini orang itu yang selalu berkunjung di sini, berusaha menghibur dirinya, dan kadang kala berhasil membuatnya tersenyum. "Kiba maksudmu?"
Hanabi mengangguk mengiyakan. "Apa Nee-sama tidak tertarik padanya?"
Hinata terdiam sebentar. Dia menatap Hanabi sambil menerka-nerka apakah adiknya itu sedang bercanda.
"Dia baik 'kan?" Hinata masih mematung. "dari caranya memperlakukan Nee-sama, sepertinya dia punya perasaan pada Nee-sama."
Hinata menyangkal. "Jangan bicara yang tidak-tidak, Hanabi."
Hanabi pun membisu. Itu suara tertegas yang tak pernah didengarnya ke luar dari mulut sang kakak. "Maaf Nee-sama." lirih Hanabi. Pandangannya mengamati wajah sang kakak yang saat itu sudah kembali sibuk dengan masakannya. Tapi apa yang tampak pada pandangan Hanabi hanyalah sebuah wajah yang teramat dingin. Hanabi terus saja memperhatikan gerak-gerik sang kakak. Tak ada obrolan yang terjadi dalam rentan waktu yang cukup lama. Dan selama itu pula sang kakak tak pernah mau menengok ke pada Hanabi. Keadaan berubah sangat canggung.
"Nee-sama masak apa?" tanya Hanabi lagi untuk mencairkan suasana. Keadaan berubah sangat canggung.
Hinata menarik napas. "Udon, dan yang lainnya."
"Bisa Hana bantu?" tawar Hanabi. Hinata mengangguk tanpa keberatan. Mereka pun sibuk menyiapkan segala sesuatunya diselingi percakapan ringan.
"Jadi kapan Nee-sama berkunjung ke rumah?" tanya Hanabi lagi. "banyak yang kangen Nee-sama lho."
Mendengar pertanyaan Hanabi, Hinata pun berhenti meng-ini meng-itu bahan masakan. Dia berpaling pada Hanabi. "Mungkin...," gantungnya. Mata Hanabi mengerjap. "besok atau malamnya, Hana."
"Oh, bagus!" kata Hanabi dengan semangat. "kami akan menunggu Nee-sama." mereka pun kembali melanjutkan menyiksa bahan makanan itu sampai terhidanglah semuanya di atas meja makan. Mereka berdua kemudian duduk berhadapan. Kali ini tak ada obrolan yang terjadi. Udara pagi yang sejuk berhembus pelan menyapu ruangan itu.
Tot tok tok
Hinata berhenti mengunyah. Hanabi pun begitu. "Biar aku saja." jawab Hinata seraya bangkit dan meninggalkan Hanabi sendirian. Ketika ia telah sampai di ambang pintu, suara salak anjing langsung membuat Hinata sudah menebak siapa tamunya. Hinata menarik napas dan membuka pintu.
"Selamat pagi, Kiba-kun." sapa Hinata.
Kiba tersenyum kikuk. "Eh, Hinata-chan. Sudah tertebak ya?" tanyanya basa-basi.
"Aku mengenali suara Akamaru."
"Oh." sahut Kiba dengan singkat.
"Mau masuk? Kami sedang sarapan."
Kiba mengernyitkan dahi. "Kami?"
"Hanabi tadi ke sini membantuku memasak." jelas Hinata cepat-cepat.
"Owww. Adikmu ya?"
"Mau ikut, Kiba-kun?" tawar Hinata lagi.
"Eh, makasih. Kebetulan sekali. Ayo Akamaru." ajak Kiba tanpa malu-malu.
"Guk! Guk!"
**Shirohae**
"Haaaahh... Masakannya enak sekali!" kata Kiba puas sambil menepuk-nepuk perutnya. Kiba berpaling ke Akamaru. "benarkan Akamaru?"
"Guk, guk!" Akamaru menyalak.
Kiba kemudian berpaling lagi pada kakak-beradik itu. "Siapa yang memasak?"
Hanabi berkata, "Kami berdua."
"Oh," Kiba memperhatikan Hinata yang saat itu masih mengunyah makanannya, tapi dengan wajah ditundukkan. "ku rasa kalian bisa jadi istri yang baik."
"Uhuk!" Hanabi langsung terbatuk-batuk mendengar komentar Kiba.
"Kau kenapa, Hanabi?" tanya Kiba.
"Bukan apa-apa."
Hinata tidak merespon. Kiba pun jadi merasa khawatir. "Kau baik-baik saja, Hinata-chan?" tanya Kiba lagi.
Hinata mengangkat wajahnya. Dia mengangguk dan katanya, "Aku baik-baik saja."
Lalu hening. Semenit lamanya mereka tak mengobrol. Kiba pun merasa agak aneh dengan keadaan itu. Dia segera mengusulkan. "Kalian mau ikut jalan-jalan tidak?"
Sebelum menjawab, Hanabi melirik sang kakak lebih dulu. Lalu segera menyahut. "Kami mau."
Hinata tampak kaget. Dia memandang Hanabi dengan alis bertaut, tapi Hanabi tak acuh.
Kiba bangkit berdiri. "Baiklah, ayo kita bereskan ini."
Mereka pun berjalan-jalan keliling desa. Mengunjungi teman-teman mereka dulu, mengobrol selama beberapa waktu, dan mereka sama sekali tak menyindir tentang Naruto. Setelah itu membantu orang-orang di desa sampai hari menjelang sore. Mereka pun pulang. Hanabi menunggangi Akamaru dan bermain-main dengan anjing itu. Sedang Hinata dan Kiba berjalan beriringan tanpa obrolan. Tidak ada yang memulai percakapan.
"Hari yang indah ya, Hinata-chan?" tanya Kiba takut-takut.
Hinata menengok ke arah Kiba yang berjalan di sebelahnya."Ku rasa iya." jawab Hinata dengan lirih. Hening lagi beberapa saat.
Kiba menghembuskan napas lega. Matanya menerawang jauh ke depan, namun pikirannya kembali ke belakang. Kiba bertanya lagi, "Apakah kau tak merasa rindu dengan Tim 11, Hinata-chan?"
Hinata menarik napas panjang. Pandangannya terpaku pada sosok Hanabi yang sedang tertawa bersama Akamaru. "Mungkin... Akhir-akhir ini banyak yang aku pikiran..."
Hening lagi. Tetapi Kiba segera angkat bicara. "Banyak yang telah terjadi pada kita selama ini. Sampai aku sendiri tak menyadari kalau aku sudah setua ini," kata Kiba mengenang.
Hinata tak menanggapinya. Dia dengan setia mendengar Kiba berceloteh tentang masa lalu mereka. Tapi kadang Hinata menyunggingkan sebuah senyum ketika kebetulan Kiba bercerita tentang suatu bagian. Lalu Hinata merasa kaget ketika Kiba memegang tangannya. Mereka berpandangan beberapa saat. Hinata segera menarik tangannya dari genggaman Kiba.
"Maaf, aku kelepasan." kata Kiba.
Hinata berkata, "Tidak apa-apa."
"Sebenarnya Hinata-chan," kata Kiba ingin berterus terang. "aku tidak pernah suka melihatmu seperti ini..." Hinata mengangkat pandangannya lagi pada Kiba.
"...mengapa kau selalu mengurung diri? Menutup diri dari dunia luar seolah matinya orang itu adalah karna semua salahmu?" kata-kata Kiba menohok dada Hinata. Hinata membisu sambil menundukkan kepalanya. Kiba memegangi ke dua pundak Hinata erat-erat sambil memperhatikan puncak kepala gadis itu.
"Setidaknya Hinata-chan, kau harus mengetahui bahwa gugurnya orang itu karna keinginannya sendi―"
"Namun aku m-masih mencintainya..." sela Hinata dengan pelan. Air matanya mulai terurai. "S-seharusnya, kau m-mengerti... Karna o-orang itu yang telah mengeluarkanku dari segala k-kekosonganku. Karna dia pun aku s-selalu bisa berjuang dan bertahan. Karna dialah aku sadar tentang sebuah kehangatan. Ketika keluargaku sendiri sebegitu dinginnya padaku dan saat mereka menganggapku s-sangatlah tidak berguna. Dia datang menolongku sendirian... Membelaku meski dia sendiri tak mengenalku..." Hinata menyingkirkan tangan Kiba dari pundaknya. "Sekarang, beritahu aku," kata Hinata dengan suara lebih tegas. "Apa yang terjadi padamu seandainya hal yang paling berharga dalam hidupmu itu hilang atau direnggut darimu?"
"Tapi Hinata―"
"Cukup, Kiba. Aku butuh menyendiri sekarang..." tanpa menunggu jawaban Kiba, Hinata pun segera pergi meninggalkan Kiba.
**Shirohae**
Hinata duduk bersandar di bingkai jendela kamarnya. Matanya memandang sendu sang surya yang mulai pergi dengan perlahan-lahan. Mata lavendernya meredup, seakan tak memiliki cahaya, seperti mata yang telah lama kehilangan harapan, sarat akan kesedihan. Sekonyong-konyong pikiran Hinata kembali pada masa bertahun-tahun yang lalu, ketika sosok matahari Hinata juga pergi untuk selama-lamanya. Matahari yang selalu memberikan semangat pada kehidupan Hinata, yang selalu memperlihatkan cahaya harapan di hati Hinata. Deru napas Hinata mulai mendidih. Masih terngiang jelas dalam benak Hinata, akan wajah itu yang tak pernah berhenti bersinar, telah kehilangan jiwanya, pada mata seindah lautan biru itu yang juga telah padam cahayanya. Pada wajah itu yang mulai memucat. Pada kelopak mata itu yang mulai terpejam. Dan satu tikaman yang menghujam jauh ke jantung Hinata, memadamkan semua cahaya harapan di dalam hatinya.
Hinata tahu, memperhatikan matahari itu hanya akan menguak kembali nestapa dalam hatinya, tapi Hinata tak ingin berpaling, atau lari dan menyangkalnya, meski air mata yang bergulir menjadi saksi akan kepedihan yang dia alami selama ini.
TBC
An : Hahahahahahahahahahahahahahah
