Fic ini tercipta karena obsesi Zura terhadap film2 action terutama yang berhubungan sama crime. Juga sebagai pengganti fic White Ring. Gomen, wat semua yang dah nungguin fic gaje Zura yang satu itu. Zura dengan terpaksa ngediscon- fic ntu karena bener2 menthok ide wat masuk ke endingnya. Kalau ada author yang bersedia membantu Zura, Zura akan terima dengan tangan terbuka… *halah.
Dan satu hal lagi, Zura masukkin chara Itachi… yiey! *tebar2 confetti
Yosh! Kita langsung ke penpiknye…
Disclaimer:
Naruto © Masashi Kishimoto
Warning:
OOC maybe, typo(s), shoot gun, sho-ai, dll.
Ah yeah, don't like don't read!
Inilah yang selalu mendera logikanya.
Bayangan itu bagai fragmen-fragmen yang tercerai berai, berhamburan, kemudian secara lambat laun membentuk satu kesatuan gambar utuh nan sempurna. Bayangan yang acapkali selalu didapatkannya, ketika dua iris matanya kembali terjaga, bahkan mengiringi setiap pejaman matanya seperti cerita pengantar tidur. Bayangan yang selalu mengusiknya layaknya mimpi buruk alam sadarnya selama bertahun-tahun lamanya.
Ya, bayangan itu. Bagaimanapun ia mencoba, tak mudah menghapus sebuah realita bahwa kau telah membunuh ayahmu sendiri.
Sound of Phoenix
Part 1: Kitsune, The Black Assassin
Sebutir keringat menetes dari dahi sesosok pria berambut hitam panjang, turun menelusuri setiap lekuk wajahnya yang bisa dibilang sudah berubah lebih pucat dari sebelumnya, dan lebih banyak lagi hingga membentuk sebuah aliran panjang membasahi kulit porselennya dengan intensitas yang hampir menyamai kucuran cairan merah kental yang mengalir keluar dari kedua lubang di dadanya.
Tubuhnya yang setengah berbaring, bergetar. Jantungnya berpacu lebih ekstrim dari kinerja normalnya. Desah nafasnya yang tersengal mengisi kehampaan suara di tempat ia berada. Sedangkan sepasang mata berpupil ularnya melebar, memancarkan rasa takut yang luar biasa.
Sebuah moncong pistol berlaras pendek teracung tepat di dahi pria berumur tak lebih dari 40 tahunan itu.
"Ja-jangan bunuh aku!" kata atau –lebih tepatnya mohon sang pria ketika iris matanya mendapati ibu jari tangan sang pemegang pistol berkaliber 5,7 mm itu bergerak lagi untuk menarik hammer.
Sosok yang berdiri di hadapan pria itu menyunggingkan senyum yang tak terlihat karena minimnya penerangan di ruangan yang tak terlalu besar tersebut. Hanya sinar dari purnama sempurna yang terjatuh di tepian balkon yang terbukalah yang menjadi satu-satunya sumber cahaya. Walaupun tak sampai ke tempat kedua sosok itu berada, tapi cukup membantu sang malaikat kematian berwujud manusia untuk melihat dengan jelas ekspresi kengerian yang tergambar di paras mangsanya saat ini, dan panorama itu sungguh memberi kepuasan tersendiri baginya.
"Hn, aku suka ekspresimu, Orochimaru-san. Dan…" Sosok itu menggantung kalimatnya, "…aku ingin dengar kau memohon...," ujarnya lagi yang terdengar seperti desisan.
"A-aku mohon. Tolong, jangan bunuh aku!" Peluh lebih banyak lagi keluar dari sela pori-pori kulitnya.
Sosok itu kembali mengulas senyum yang lebih membentuk seringai, "Ckckck… Aku belum meneruskan kalimatku. Maksudku…, memohonlah untuk kematianmu."
Wajah bak porselen itu bertambah pasi dari sebelumnya. Udara yang mengalir dari balkon yang terbuka ataupun AC yang disetel jauh di bawah suhu normal, tak mampu menghapus keringat dingin yang terus mengucur dari tubuhnya.
"Ti-tidak... A-aku turuti apa maumu. Kau mau uang? Berapa? Aku akan berikan berapapun yang kau minta," sergah pria berambut hitam panjang itu cepat disertai getaran dari kedua katup bibirnya yang menggigil hingga terdengar seperti orang berkumur.
Sebelah alis sosok itu terangkat dan kedua sudut bibirnya melengkung memasang senyum meremehkan, "Mau kau hargai berapa tubuh laknatmu itu, heh?"
"Be-berapapun kau mau? Kau tinggal menyebutkan nominalnya."
Sebuah dengusan angkuh menyela, "Hhmph… sungguh tawaran yang menarik. Tapi, sayang sekali… Aku tak tertarik pada uang harammu."
Mata berpupil ular itu membeliak sekejap tatkala jemari telunjuk sosok itu bergerak menarik pelatuk. Ya, hanya sekejap. Ia bahkan tak perlu mendengar nada-nada memilukan yang tercipta dari gelombang pita suaranya atau suara letupan peluru yang keluar dari selongsongnya. Ia bahkan juga tak perlu merasakan rasa sakit berkepanjangan ketika peluru tersebut melesat menembus sampai belakang kepalanya dan akhirnya bertumbukkan dengan cermin buffet berjarak dua meter di belakangnya yang langsung hancur seketika. Karena saat itu juga, sebuah nyawa tercabut secara paksa dari sang raga, meninggalkan kekosongan. Dan detik selanjutnya, tubuh yang telah vakum itupun tumbang terhempas dengan latar belakang percikan warna merah yang membaur dengan sinar keemasan sang dewi malam.
Sementara sang pelaku sendiri telah pergi meninggalkan tempat kejadian setelah melemparkan sebuah kartu hitam pekat bergambar rubah orange berekor sembilan ke tubuh sang mangsa.
.
.
.
Denting jam mengalun indah menguasai kesunyian ruangan berpenerangan remang tersebut. Sesosok pria tampak duduk bergeming tanpa melakukan aktifitas berarti. Sepasang mata oniksnya memandang lelah pada tumpukan berkas yang berada di atas meja kerjanya. Lalu melirik sekilas pada jam dinding yang berada di seberang ruangan.
Dahinya mengernyit.
Waktu sudah menunjukkan pukul 10 p.m.
Namun, hal tersebut tak men-sugesti sang pria untuk segera meninggalkan ruang yang menjadi tempat kerjanya itu. Ditutupnya salah satu berkas yang terbuka di hadapannya dan dilemparkannya asal. Dihempaskan tubuhnya ke belakang; ke senderan kursi. Ia pandangi foreground warna putih yang mendominasi atap ruangannya, lama. Detik berikutnya sebentuk CO2 terlepas berat dari lubang respirasinya.
Tak berselang lama, suara ketukan di pintu menghalau semua bayangan yang diciptakan imajiner di depan matanya. Mata obsidian itu bergerak ke asal suara sebelum menggumam, "Masuk."
Daun pintu yang terbuat dari kayu ek terbaik itu perlahan membuka. Menunjukkan siluet pria bertubuh jangkung dengan rambut hitam panjang yang diikat di ujungnya.
Sosok itu berjalan mendekat setelah menutup pintu dan menekan saklar ruangan dengan tangan kirinya sementara tangan yang lain ia gunakan untuk membawa nampan dengan dua cangkir di atasnya.
"Membaca di penerangan minim akan merusak mata, Uchiha-san," ujarnya seraya meletakkan dua cangkir yang dibawanya tadi di meja, kemudian menyorongkan salah satunya tepat di depan sang pria yang masih diam di tempatnya. "Coklat panas?" tawarnya.
Pria bermata lavender itu menggeser kursi dan mendudukinya. Sedangkan pria yang dipanggil Uchiha-san tadi melirik sejenak pada cangkir yang mengepulkan uap panas, sebelum menegakkan tubuhnya.
"Terima kasih, Neji. Dan…," ucapnya. "…sepertinya aku sudah memperingatkanmu untuk memanggilku dengan namaku saja."
"Sungguh melanggar etika, jika seorang kouhai seperti saya…"
"'Itachi', panggil aku dengan nama itu," sela Itachi.
"Ah, baiklah… Itachi-senpai," ucap Neji akhirnya.
Itachi mendengus.
"Hm, bagaimana dengan kasus baru itu? Apakah sudah ada titik terang?"
Itachi menarik napas panjang sebelum menjawab, "Hhh, aku mungkin sekarang sudah tertidur nyenyak di ranjangku jika hal itu sampai terjadi, Neji."
"Lalu?"
Itachi tak langsung membalas. Mata oniksnya menatap lekat lavender Neji yang menyiratkan curiousity yang besar.
"Aku sudah membaca seluruh data yang didapat tim Forensik dan tim Analisis Pembunuhan." Itachi menyambung, "Benar-benar rapi. Tak ada jejak ataupun sidik jari yang ditinggalkan pembunuhnya."
"Saya berani bertaruh, kalau pembunuhnya seorang yang profesional."
"Ini sudah keempat kalinya dalam satu bulan ini, Neji. Dan kita sama sekali belum mengetahui siapa pelakunya dan apa motifnya melakukan pembunuhan." Itachi terdiam beberapa detik lalu melanjutkan ucapannya, "…dan hal aneh terjadi di kasus yang ke empat."
Dahi Neji berkerut, menunjukkan ekspresi bingung.
Itachi memutar duduknya dan bangkit perlahan. Mengabaikan secangkir coklat panas yang menggoda untuk disesapinya karena dinginnya udara malam. Kedua kakinya ia langkahkan mendekati jendela. Ia memasukkan sebelah tangannya ke dalam saku celana sedangkan tangan yang lain ia gerakkan untuk menyingkap tirai yang menghalangi arah pandangnya.
Di sana, kilau gemerlap dari menara Tokyo begitu jelas tertangkap retina matanya. Memberi efek hingar bingar di kota metropolitan terbesar di dunia itu. Mengalahkan sinar purnama malam yang mulai tenggelam karena serbuan awan-awan hitam.
"Bukalah map merah itu," kata Itachi kemudian.
Neji yang sedari tadi bungkam dan hanya memperhatikan tindakan sang senior, mengalihkan perhatiannya pada sebuah map merah yang teronggok tak beraturan di meja. Perlahan ia arahkan tangannya untuk mengambil benda tersebut dan mulai membukanya.
Kedua lavendernya bergerak menelusuri kata demi kata yang tercetak pada kertas berukuran A4 di hadapannya. Melafalkan satu demi satu tanpa mengucapkannya secara lisan. Setelah selesai dengan halaman pertama, di baliknya lembar berikutnya. Dan begitu seterusnya, sampai lembar ke empat, yang merupakan lembar terakhir dari isi map tersebut. Dibacanya sampai paragraph terakhir sembari memperhatikan foto korban lekat-lekat.
"Semua korban yang terbunuh, mayoritas dari kalangan pengusaha kaya raya…" Neji menyubit dagu lalu menyuarakan asumsinya, "Bukan motif yang janggal jika kau menginginkan harta kekayaan dalam waktu sekejap…"
Itachi membalik tubuhnya untuk menghadap Neji kemudian menyilangkan kedua lengannya di depan dada, "Tidak ada materi ataupun harta yang hilang di tempat kejadian. Indikasi jelas, ini bukan kasus perampokan, Neji."
Neji mengangkat sebelah alisnya, "…atau untuk memenangkan kompetisi bisnis memperebutkan kursi tertinggi atau mungkin… dendam pribadi..."
Itachi mendesah lelah, "Entahlah. Itu masih menjadi misteri."
Neji kembali melayangkan pandang pada berkas di depannya, "Hm, keempat victim itu juga memiliki detail kematian yang sama; dua tembakan di dada dan satu di kepala," lanjutnya. "Style membunuh yang aneh. Bagaimana bisa ia memilih ketiga bagian tubuh manusia itu untuk sasaran pelurunya pada semua korbannya. Maksudku… pelakunya seolah sudah terlatih untuk menempatkan peluru di tempat-tempat tertentu seperti kedua dada victim sebelum menembaknya dengan jarak dekat tepat di kepala korban; ada bekas mesiu di semua dahi lelaki itu 'kan? Semacam ciri khas atau kata lainnya trade mark, mungkin."
"…dan kau akan tahu trade mark-nya yang baru, Neji. Jika kau jeli memperhatikan korban terakhir bernama Orochimaru, seorang CEO dari Meiji Pharmaceutical Co."
Mata Neji kini terpaku pada gambar victim pada lembar terakhir. Menelitinya dengan cermat dan sesuatu mengejutkannya. Ia kemudian membolak-balik halaman sebelumnya dan membandingkan foto satu dengan foto lainnya. Alisnya bertaut, hampir menyipit, seakan mengkatalogkan informasi dari lembar-lembar yang telah dilihatnya.
"Ada sesuatu di tubuhnya. Seperti… Ehm, selembar kertas? Tapi, aku tidak bisa melihat dengan jelas apa yang tertera di sana. Gambarnya terlalu… kecil," Neji mengungkapkan analisisnya.
"Lebih tepatnya sebuah kartu… dengan background hitam dan aksen rubah orange berekor sembilan." Itachi mendesah lagi, "Satu-satunya evidence tersebut sekarang diperiksa Lab, untuk meneliti ada tidaknya jejak DNA atau sidik jari yang mungkin tidak sengaja ditinggalkan sang pelaku. Walaupun tingkat keberhasilannya 0%… Yah, kau tahu dia tidak akan sesembrono itu 'kan? Melihat aksi gesitnya selama ini."
Neji menyimak dengan seksama tanpa penyelaan terhadap informasi yang didengarkannya.
"Dan kami menyebut unknown subject tersebut dengan…" Itachi menurunkan kedua kelopak matanya, "…Kitsune, the Black Assassin."
.
.
.
To be continue…
Pendek? Emang… *digetok.
Hm, baru start so jgn trburu-buru. Step by step lebih enak 'kan? *hhh, alasan.
So, mind to review? Ktakn pndapt kalian. Baik buruknya Zura akan terima dengan lapang dada… *halah
Jaa, mata au hi made… ^.~
