Disclaimer : yang jelas not me ^.^v

Warning: AU, OOC, GAJE, EYD ANCUR, BANYAK TYPO(s) dan segala kekurangannya.

Happy Reading

Don't Like Don't Read

.

.

ME, YOU, AND MY DAD

CHAPTER 1

"Huft, capek." gumamku seraya merenggangkan otot-ototku. Latihan ekskul malam ini membuat seluruh tubuhku pegal-pegal. Aku pun menghentikan latihanku untuk beristirahat sejenak dengan mencoba duduk di rerumputan. Aku melihat anak-anak lain masih dengan latihannya, namun ada beberapa juga yang mulai istirahat. Sejenak aku menutup mataku dan menikmati angin malam yang menerpa wajahku. Segar.

"Hei, Forehead."

Samar-samar kudengar Ino memanggilku tapi tak kuperdulikan dan tetap menikmati angin malam. Jarang-jarang aku bisa sesantai ini.

"Forehead, kau ini ku panggil-panggil malah tidak dijawab." Ucapnya kesal seraya meletakkan kedua tangan di pinggangnya.

"Hm?" Aku menaikkan sebelah alisku. "Memangnya ada apa sih, Ino-pig?" tanyaku kesal.

"Huh, tumben sekali kau cepat lelah biasanya kau yang paling semangat."

"Memangnya tidak boleh aku duluan yang istirahat? Aku kan juga manusia biasa, I-N-O-PIG." Ucapku dengan memberi penekanan pada namanya.

"Heh, sepertinya kau bukan sekedar manusia biasa. Kau itu kan manusia bertenaga monster. Hahaha…" ejeknya.

Aku mendelik kejam ke arahnya. Dasar kalau saja aku lagi mood pasti sudah kucincang dia. Heh, kali ini kau selamat.

"Cih, lama-lama kau seperti Naruto." Kesalku. "Tapi terserah apa katamu aku sedang malas meladenimu." kataku dan menutup mataku kembali.

Dapat kulihat wajahnya sedikit berkerut. Sepertinya ia agak bingung dengan perubahan sikapku. Maklum, aku lagi gak mood.

"Eh? Kenapa?" tanyanya dan langsung duduk di sampingku.

"Kenapa apanya?"

"Hah, sudahlah. Oh iya, kau tahu tidak, besok Sai akan mengajakku pergi berdua loh." Ujarnya seraya mengerling padaku.

"Oh, ya? Baguslah. Aku senang akhirnya si senyum palsu itu mau membuka hatinya. Hahaha…"

"hahaha… aku sendiri masih tidak percaya dia akan mengajakku. Rasanya seperti mimpi." ujarnya.

Ino tersenyum. Ah, dia sangat cantik kalau tersenyum. Yah, Ino adalah sahabatku dari kecil. Waktu kecil aku sering dikerjai dan ditertawai anak-anak lain karena dahiku yang lebar. Aku hanya bisa terdiam dan meringkuk untuk menyembunyikan dahiku. Tapi, Ino selalu menolongku dan terus saja menemaniku. Ketika ada orang yang mulai mengejekku pasti Ino akan membentak mereka. Aku masih ingat, ketika Ino memberiku sebuah pita berwarna merah dan mengenakannya di rambutku. Aku bertanya padanya kenapa ia memberiku pita. Ia bilang:

"Karena...Ku pikir ini akan menjadi alat bagimu untuk berhenti sebagai kuncup. Tidak ada arti bunga kecuali bunga. Mungkin berubah menjadi...bunga yang lebih indah dari segalanya."

Aku terkejut sekaligus senang. Sejak itulah kami menjadi sahabat. Kami sering berbagi kisah, termasuk saat ini, Ino sering bercerita perasaannya terhadap si senyum palsu-Sai-. Sai adalah murid pindahan yang masuk ke sekolah kami, Konoha High School. Entah bagaimana Ino bisa tertarik kepada pemuda itu. Katanya sih, Sai berbeda dengan pria lain. Well, sebagai seorang sahabat aku hanya harus mendukungnya, kan?.

Kami terdiam sejenak untuk menikmati angin malam yang menyejukkan. Menikmati pikiran masing-masing.

TIT TIT TIT

Suara klakson motor menghentikan aktivitas kami dan kulihat seorang pria berwajah pucat sedang tersenyum ke arah kami. Ah, itu hanya senyum palsu. Kami bangkit berdiri dan membalas senyumnya. Kemudian Ino berjalan ke arahnya.

"Sudah ya, Forehead. Aku pulang dulu." Kata Ino dan segera duduk di motor Sai.

"Iya, hati-hati, Ino-pig."

"Dah." Ino melambaikan tangannya.

"Dah." Aku membalas lambaiannya. "Ino-pig, jangan lupa pajaknya besok." teriakku.

Ino menatap tajam ke arahku. Aku tersenyum lebih tepatnya menyeringai. Setelah mereka pergi, aku menghela napas dan kembali duduk. Aku memandang ke arah langit malam yang cerah.

'Malam yang indah.' kataku dalam hati. Sangat indah. Lihatlah! Malam ini bulan purnama muncul dengan sangat terang dan ratusan bintang pun bermunculan menemani sang bulan.

Aku menguap kecil, rasanya capek juga memandang langit terus. Tapi, aku sangat menyukainya karena aku sedang menunggu sesuatu yang datang dari langit. Menunggu sebuah…sebuah…

"Memandang langit lagi? Hm?"

Sebuah suara memecahkan lamunanku dan sontak membuatku terkejut. Kemudian menoleh ke arah belakang.

"Ah, Na-Naruto…" kataku gugup. "Apa yang kau lakukan disini?" tanyaku.

"Tentu saja menjemputmu pulang, Sakura-chan." Ucapnya semangat dan tak lupa cengiran lebar terhias di wajah tannya. "Latihan sudah selesai, kan?" lanjutnya.

"Ya, hampir. Latihan ekskul untuk ultah sekolah cukup menguras tenagaku." jawabku jujur.

Yah, empat hari lagi sekolah kami akan ulang tahun. Kami ditugaskan untuk mempersiapkan semuanya. Di mulai dari pertunjukkan semua kegiatan ekskul hingga hiasan-hiasan. Kepala Sekolah membagi tugas masing-masing kelas membagi orang-orang menjadi dua tim, Tim putih dan Tim biru. Aku masuk ke tim putih sedangkan Naruto masuk ke tim hitam. Pisah? tentu saja.

"Ya, aku juga sedikit lelah tapi asalkan aku bias melihat Sakura-chan, aku jadi semngat lagi. Hheheh…" kata Naruto penuh keyakinan.

"Huh, gombal. Kau terlihat baka kalau sedang gombal." kataku sinis seraya menyikut lenganku ke perutnya.

"Eh? Aku gak gombal, Sakura-chan. Aku sungguh-sungguh kok." belanya.

"Tukang gombal."

"Gak." bantahnya.

"Iya." Kataku tak mau kalah.

"Gak."

"Iya."

"Gak."

"Iya."

"Aarrggh, sudahlah kali ini Sakura-chan yang menang." Ucap Naruto nyerah.

"Hahaha… berarti 1-0." Kataku bangga.

"Eits, lain kali aku pasti menang."

"Terserah apa katamu tapi aku yakin pasti aku menang lagi."

"Kau meremehkanku, Sa-ku-ra-chan?" katanya sambil mencubit pipiku dan memberi penekanan pada namaku.

"HaHit, Haka (sakit, baka)."

"Hahaha… kau lucu sekali kalau seperti ini. Hahaha…" tawa Naruto meledak.

"Hehaskan (lepaskan)." Rontaku.

Dengan cepat ia pun melepaskannya. Setelah ia melepaskannya, dengan cepat aku langsung meninju perutnya.

BUUGHH

Naruto pun tersungkur ke tanah. Rasakan itu Naruto no baka.

"Uugh, ke-kenapa kau me-memukulku?" rintihnya sambil memegang perutnya.

"Itu balasan karena sudah mencubitku."

"Sakura-chan jahat."

"Biarin." Ucapku sinis. "Ayo kita pulang, ini sudah malam." ajakku seraya membantunya berdiri.

"Oke, ayo kita pulang." Jawabnya seraya memegang tanganku.

Hangat. Itu yang kurasakan. Aku tersenyum simpul. Kami pun berjalan pulang.

Dalam perjalanan pulang, kami membicarakan banyak hal. Terkadang tertawa, terkadang sedih, terkadang kesal. Namun, kini kami hanya terdiam menikmati semilir angin malam yang menerpa kami dan bunyi hewan-hewan malam menaungi perjalanan kami. Tapi ketika akan berbelok ke tikungan, langkahku terhenti.

"Kenapa?" Tanya Naruto bingung.

"Sampai di sini saja. Aku bias pulang sendiri. Terima kasih sudah mengantarku." Ujarku dan melepaskan tanganku dari tangannya.

"Kenapa? Rumahmu hampir sampai kan? Jadi biarkan aku mengantarmu sampai di depan rumah."

"Jangan. Aku tak ingin sesuatu terjadi padamu. Maaf, Naruto."

Aku pun segera berlari meninggalkan Naruto yang termangu di tempatnya berdiri. Setelah agak jauh, aku menoleh ke belakang.

'Huft, syukurlah Naruto tak mengikutiku' kataku dalam hati.

Dengan langkah yang semakin pelan, aku pun memasuki pagar rumah kediaman Haruno. Perlahan aku membuka pintu rumah. Tiba-tiba…

PPRRRAANGGG

Sebuah botol kaca meluncur ke arahku dan menghantam dinding yang berada tepat di sebelahku. Aku sungguh terkejut, jantungku berdetak tak karuan dan otot-ototku terasa lemas seketika.

'INI BAU ALKOHOL' Jangan-jangan ayah mabuk lagi.

"KIZASHI, APA YANG KAU LAKUKAN?" teriak ibuku.

"HEH, DARIMANA SAJA KAU MALAM-MALAM BEGINI BARU PULANG, HAH?" bentak ayahku dan tak menghiraukan teriakan ibuku.

Aku terdiam seraya menundukkan kepala. Aku tak berani melihat wajah ayahku. Wajahnya sungguh menakutkan. Aku takut. Sungguh. Aku takut sekali.

"Sakura, cepat pergi ke kamarmu biar ibu yang mengurus ayahmu."

Aku masih terdiam di tempat dan tak mau beranjak dari sana. Aku merasakan tubuhku bergetar dan kakiku kaku. Lalu kulihat ayahku berjalan sempoyongan dan meneguk botol sake itu. Ia berjalan ke arahku.

"Darimana saja, HAH?"

Aku diam.

"Sakura, cepat ke kamarmu sekarang juga." kata ibu lagi dan mecoba untuk menahan ayahku.

"Kenapa tidak jawab, HAH?" Bentak ayahku sekali lagi.

Tiba-tiba…

PPLAAKK

"SAKURA!"

Aku tersungkur ke lantai dan dapat kurasakan pipiku panas dan bengkak. SAKIT. Tidak, bukan sakit karena pipiku di tampar tapi hatiku terasa sakit sekali.

"DASAR, PUTRI TIDAK BERGUNA." Ucap ayahku dan mencoba memukulku lagi. Namun, dithan oleh ibuku.

"CUKUP, KIZASHI." Teriak ibuku lagi. "Sakura, dengarkan ibu cepat pergilah ke kamarmu." Lanjut ibuku kini dengan nada yang lembut.

Air mata keluar dari mataku dan segera aku berlari kea rah tangga menuju kamarku. Samar-samar ku dengar teriakan ayah dan ibu. Aku pun menghempaskan tubuhku ke kasur.

Air mata terus saja mengalir. Aku benci hidup ini. Aku benci keluarga ini. Aku benci ayah. Aku benci, benci, benci, hiks…aku benci…hiks…aku benci.

Aku menatap sebuah figura foto. Foto keluarga yang tersenyum bahagia. Aku menatap lekat-lekat sosok ayah yang tersenyum senang dengan aku yang berusia sekitar 3 tahun duduk di pangkuannya dan ibu yang tersenyum senang melihat kami.

"Ayah." gumamku. Kemudian tanpa sadar perlahan-lahan mataku tertutup.

To be Continued

...

A/N: Huuuaaaaa, Apa ini? *nutup mata*. Aku gak berani liat tulisan ini. Duh, gimana ya? bagus or jelek ato ancur bgt :(. Pendek? Gaje?. Aurora rasa muka para reader sedang berkerut setelah baca ini. Tapi, fic ini spesial untuk edogawa luffy yang sudah banyak membantuku. :D

LUFFY-SAN, TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA YA? TERIMA KASIH JUGA KARENA SUDAH MAU MEMBERIKU SEMANGAT UNTUK MENULIS. MAKASI JUGA ATAS SEMUA SARAN-SARANNYA. *bungkuk-bungkuk hormat*

MAKASI BANGET YA?

Pliss, kritik dan sarannya sangat dibutuhkan untuk membangkitkan semangatku. X)

So, REVIEW PLEASE?