DISCLAIMER
Naruto (c) Masashi Kishimoto
Not Alike
DLDR!
Hinata menatap bentangan langit sore Kyoto yang memancarkan kehangatan musim gugur. Sapuan energi merah bergabung bersama keceriaan warna kuning, menghadirkan jingga di penghujung langit yang cerah.
"Aku tak menyangka taman ini akan ramai," keluh seorang pemuda bermata gelap, Sasuke Uchiha.
"Wajar saja, ini waktu libur," Hinata mencoba menanggapi sembari menggeser posisi duduknya untuk memberi ruang kepada laki-laki itu.
"Sebenarnya aku ingin mengajakmu makan Spaghetti Ice Cream di Raguso," ucap Hinata sambil menyandarkan punggungnya.
Raguso adalah nama kedai es krim Italia yang cukup terkenal di Kyoto. Semenjak putus dari Sasuke, Hinata menjadikan tempat itu sebagai tempat pelipur lara atas hatinya yang patah.
"Aku sering melihatmu di sana," balas Sasuke sambil menerawang.
"Oh ya? Kapan?"
"Sering. Terkadang Ino menemanimu di sana, Sai juga ..."
"Lalu, kenapa kau tidak datang untuk sekadar menyapa?" suara Hinata terdengar kecewa.
Sasuke menggeleng sambil mengembuskan napasnya pelan, "Aku takut mengganggumu dengan kehadiranku yang tak kau inginkan."
Angin sore membelai pelan wajah keduanya, menyampaikan perasaan aneh yang tiba-tiba melanda tanpa permisi.
"Aku kadang tak percaya pada diriku sendiri, mengapa dulu aku tega mematahkan hatimu."
Hinata tertawa pelan, "Dulu aku juga tidak percaya bahwa aku akan patah dengan begitu buruk karena mencintaimu."
"Sebegitu parahnya ya?"
Poni datar Hinata ikut bergoyang saat gadis itu mengangguk, "Ya, aku patah hati begitu parah."
"Bagaimana keadaan hatimu yang sekarang? Masih patah dan terluka?"
"Tidak, aku berhasil menata kembali kepingan-kepingan yang pernah kau runtuhkan."
"Bagaimana caranya?" tanya Sasuke.
"Aku menganggap diriku seperti sedang membaca buku. Saat kau memutuskan untuk pergi meninggalkanku, itu artinya kisah kita sudah tamat. Kenangan tentangmu harus kututup rapat, lalu disimpan kembali seperti semula."
"Terdengar cukup mudah," ucap Sasuke dengan suara pelan. Ia menyembunyikan getaran halus yang mengandung rasa sakit dalam suaranya.
Hinata tertawa pelan, "Kau pikir mudah ya, padahal itu adalah hal yang paling melukai dan menyakitkan untukku."
"Maaf."
Ada rasa bersalah yang menghujam teramat dalam, menimbulkan sesak yang sejak awal tak mampu Sasuke tepiskan.
Bisakah ia kembali mengulang waktu?
Dulu, saat ia memutuskan untuk tidak memperjuangkan Hinata, Sasuke pikir hatinya akan baik-baik saja. Pada kenyataannya, Hinata bukanlah sosok yang mudah tergantikan oleh siapapun.
Jika taman ini sebagai perumpamaan kehidupan, Hinata adalah sosok bunga yang mekar dengan tangkai kokoh yang menyangga setiap rekahannya. Sementara Sasuke adalah embun pagi yang bersiap melebur bersama cahaya mentari.
Seberapa banyak penyesalan yang telah ia rasakan seorang diri?
Sasuke tak mampu menjawab pertanyaan itu.
Seperti sebuah lingkaran, waktu yang berlalu juga membentuk sebuah putaran penuh. Mereka (Sasuke dan Hinata) pernah bertemu, lalu memutuskan untuk saling menjauh, kemudian takdir kembali menyatukan mereka untuk kembali bersama. Meski bukan sebagai pasangan kekasih, tetapi sebuah kebersamaan yang terulang kembali itu seperti sebuah kesempatan kedua.
"Aku ingin dilahirkan kembali, berkali-kali, bahkan hingga ratusan kali."
"Untuk apa, Sasuke?"
"Untuk mencari jawaban, apakah aku benar-benar pantas mencintaimu."
Hinata tertawa kecil, menyembunyikan letupan perasaan yang tiba-tiba membuatnya menjadi salah tingkah.
"Tidak harus begitu."
"Tentu saja harus," balas Sasuke.
Mereka lalu terdiam setelah tertawa secukupnya. Hinata paham, Sasuke merupakan sosok ignorant yang lebih suka diam sebelum dipancing untuk bereaksi. Rasanya cukup canggung, ketika Hinata menemui Sasuke dalam sebuah sisi yang berbeda. Hinata berpikir bahwa mungkin perasaannya tidak lagi sama seperti dulu, sehingga kehadiran Sasuke seperti sebuah sensasi baru yang menggebu.
"Terlalu lama diam, rasanya aneh. Bicaralah," ucap Sasuke.
Untuk sesaat, Hinata kehilangan arah, "Ingin membicarakan apa?"
"Apa saja, ceritakan tentang bagaimana kau menjalani hidup tanpa kehadiranku."
Hinata menatap Sasuke lekat, menganalisa sebuah keingintahuan yang terlihat begitu nyata, "Apa yang ingin kau ketahui?"
Sasuke menyandarkan punggungnya, sembari menatap dedaunan yang melayang perlahan tertiup angin.
Apa yang ingin ia ketahui dari sosok Hinata yang sekarang?
Sasuke teringat akan sepenggal kisah masa lalunya bersama Hinata. Dulu mereka pernah memutuskan untuk berpacaran karena memang tidak ada pilihan yang lain. Bagi Sasuke, Hinata merupakan sosok pendiam yang kaku. Meskipun dirinya tidak terlalu menyukai sosok talkative seperti Sakura atau Naruto, akan tetapi ia lebih menginginkan perempuan yang membuatnya merasa berarti dan dapat diandalkan. Hal yang tidak ia temui dari sosok pendiam dan mandiri seperti Hinata.
Lalu sesuatu 'yang lain' itu datang mengambil kesempatan yang mencuri tempat Hinata.
"Bagaimana dengan permainan pianomu?" tanya Sasuke kemudian.
"Masih seperti sedia kala, ternyata aku tidak mewarisi bakat seni Ibuku," jawab Hinata.
"Pantas saja, aku tidak pernah mendapat undangan pertunjukanmu."
"Jangan mengejekku, Sasuke," Hinata menggembungkan pipinya dengan bibir yang ikut mengerucut.
Dulu, Hinata pernah berjanji akan menjadi seorang pianis terkenal dan melakukan konser tunggalnya di Auditorium Nasional. Tentu saja, Sasuke juga dijanjikan sebuah tiket eksklusif di kursi paling depan. Sayangnya, setelah patah hati sedemikian parah, Hinata memutuskan untuk menarik diri sejenak. Hinata lebih suka mendatangi perpustakaan atau toko buku untuk menenggelamkan diri dalam dunianya sendiri. Hinata mendadak kehilangan minat pada musik dan tidak pernah sungguh-sungguh dalam melatih kemampuannya, sehingga cita-cita masa remaja itu hanya tersisa sebagai sebuah imajinasi yang runtuh.
"Padahal aku menunggumu memberikanku undangan itu," ucap Sasuke dengan nada yang dibuat sedemikian menyesal.
Hinata tahu, Sasuke sedang mengejeknya saat ini, "Nanti kukirimkan undanganku kepadamu ...," balas Hinata sebal.
"Undangan pernikahan," sambung Hinata.
Sasuke terkesiap sesaat, sebelum memutuskan untuk menunjukkan tawa pelan miliknya, "Aku tahu sampai saat ini kau belum memiliki pacar."
"Jangan sok tahu!"
"Jadi benar sudah punya pacar? Siapa?" tanya Sasuke.
"Ada ..."
"Kasihan sekali laki-laki yang jadi pacarmu itu, dia tidak pernah kau ajak makan es krim ke Raguso," sindir Sasuke.
"D-dia tidak suka makanan manis," elak Hinata.
"Sepertinya 'dia' juga pendiam," lanjut Sasuke.
Tanpa sadar Hinata mengangguk setuju.
"Dia juga tinggi dan tampan, benar begitu, Hinata?"
"Tunggu, apa kau sedang membicarakan dirimu sendiri?" tuding Hinata kesal.
Sasuke menyembunyikan tawanya, "Itu karena kau hanya pernah berpacaran denganku."
"Percaya diri sekali," ucap Hinata.
"Tapi itu benar 'kan?"
Hinata tidak menjawab. Ia memalingkan wajahnya menghindari tatapan Sasuke. Walau bagaimanapun Hinata memang tidak pernah tertarik menjalin hubungan dengan orang lain setelah kisahnya kandas bersama Sasuke.
Sasuke menarik sudut bibirnya ketika melihat rona merah di pipi Hinata. Bertahun-tahun ia menunggu kesempatan seperti ini menjadi kenyataan. Kembali duduk berdampingan bersama Hinata di bangku yang sama, memandang dedaunan yang berguguran. Rasanya, Sasuke ingin mengabadikan segala hal tentang senja hari ini, segala hal tentang Hinata.
.
.
.
Dua tahun yang lalu.
Hinata melayangkan tatapan bosan mengarah ke taman samping sekolah. Segalanya seolah bersikap tenang, tidak ada yang menarik dirinya untuk bersikap ceria. Sudah hampir seminggu Hinata berada di sekolah ini, kepindahannya dilatarbelakangi oleh pekerjaan ayahnya yang mengharuskan mereka untuk berpindah-pindah. Perkenalannya dengan murid di sini belum terlalu banyak, dan Hinata sepertinya tidak begitu tertarik untuk menjalin persahabatan dengan siapapun.
'Aku tidak akan lama berada di sini, lalu mereka akan melupakan kehadiranku,' begitu pikir Hinata saat itu.
Kelasnya berisi anak-anak berisik yang kelebihan energi. Sedangkan Hinata lebih memilih untuk tetap diam di tempatnya, di seberang mejanya seorang anak laki-laki sedang merebahkan kepalanya ke meja, matanya tertutup rapat seakan terlihat begitu lelah. Hinata tidak banyak memperhatikan laki-laki itu.
Lalu pada minggu kedua, anak laki-laki tersebut membuka pembicaraan terlebih dahulu. Pertemuan mereka diawali di sebuah ruangan seni yang biasanya sepi.
Saat itu Hinata yang beberapa kali melewati ruang seni tak sengaja melihat sebuah grand piano yang tak tersentuh. Lalu pada siang itu ia memberanikan diri untuk masuk, menatap piano besar tersebut dengan tatapan kagum. Bangku pendek berlapis beludru itu terlihat sedikit berdebu, menandakan bahwa piano tersebut sudah lama tak merasakan sentuhan tangan. Hinata mengipas tempat duduk pendek itu beberapa kali, mengusir debu yang menempel di sana sebelum menghadapi piano itu sepenuhnya.
Pada menit berikutnya, jemari Hinata telah bergerak dengan lincah diantara tuts-tuts piano, mengalirkan nada lembut yang menenangkan. Rasanya menyenangkan saat Hinata menemukan benda luar biasa ini. Ayahnya tidak pernah setuju untuk menempatkan sebuah piano di ruang tamu sempit rumah mereka. Selain karena harganya yang mahal, faktor mutasi yang harus membuat mereka siap berpindah dari suatu prefektur ke prefektur lainnya juga menjadi pertimbangan yang menguatkan.
Hinata berhasil menyelesaikan satu lagu dengan sempurna, diiringi tepuk tangan yang memecah suasana tenang di ruangan itu. Hinata berbalik dan terkesiap saat mendapati laki-laki bermata kelam itu berdiri dengan tegap di samping deretan meja-meja dan kursi yang tersusun rapi.
"Terima kasih, sudah mengiringi tidur siangku dengan permainan cantikmu," uap laki-laki itu.
Hinata menyelipkan anak rambut ke belakang telinganya, bergerak kaku merespon sindiran sarkas laki-laki di hadapannya.
"Maafkan aku ...," ucap Hinata sambil membungkuk malu. Lalu Hinata bergerak cepat dan berlalu ke luar dari ruangan seni.
Hari-hari berikutnya masih terasa sama, kaku dan monoton. Hinata memang menghindari interaksi berlebihan dengan siapapun. Bukannya tidak ingin berteman, hanya saja ia sedang melindungi hatinya dari sebuah kehilangan. Pemuda bermata kelam itu juga masih dengan aktivitasnya yang tak pernah berubah. Datang ke kelas hanya untuk tidur, sisanya ia tidak pernah peduli pada apapun.
Terkadang Hinata mencoba menebak apa yang sedang dipikirkan oleh pemuda tampan itu, apakah mereka berdua sedang berada dalam keadaan yang sama?
"Hinata ... Hinata ...!"
Sebuah suara membawa Hinata kembali ke alam sadarnya. Seorang gadis cantik bermata coklat sedang menatapnya dengan tatapan bingung.
"Y-ya?" Hinata mencoba fokus pada teman sebangkunya itu.
"Ini hasil kerja kelompok Biologi kita minggu lalu," Tenten menyerahkan kertas yang sudah dinilai itu kepada Hinata.
"Terima kasih," ucap Hinata pelan. Matanya menatap hasil yang tertera di kertas itu, cukup memuaskan.
"Namanya Sasuke Uchiha," ucap Tenten tiba-tiba.
"E-eh?"
"Dia," Tenten menunjuk Sasuke yang sedang menelungkupkan kepalanya ke meja.
"Oh ...," hanya respon singkat itu yang mampu Hinata sampaikan.
"Nanti sore mau ikut denganku ke lapangan basket?" tawar Tenten pada Hinata.
Hinata hanya diam, namun wajahnya menyiratkan tanda tanya. Untuk apa aku hadir di sana?
"Sasuke itu pemain inti tim basket sekolah kita. Dia banyak berlatih untuk kejuaraan Nasional antar pelajar tahun ini, itu sebabnya dia selalu tidur setiap kali ada kesempatan."
Hinata mengangguk. Sekarang ia mengerti kenapa Sasuke selalu tidur di dalam kelas dan juga di ruang seni.
Sore hari setelah pelajaran usai, Tenten benar-benar menyeret Hinata ke lapangan basket, menyaksikan permainan teman-teman mereka.
Pandangan Hinata dan Sasuke bertemu, kali ini Hinata tidak mencoba untuk mengalihkan pandangan. Ia menatap Sasuke yang juga menatapnya. Saat permainan basket usai, Sasuke sengaja mendatangi Hinata yang duduk di pinggir lapangan.
"Waktu itu aku tidak berniat mencela permainan pianomu," ucap Sasuke sambil menenggak air mineral.
"T-tapi kau terlihat terganggu," balas Hinata.
"Tidak, bermainlah kembali. Dengan lagu yang sama."
Hinata mengangguk.
Lalu, segalanya seakan berubah pada titik yang sama. Pada kesempatan berikutnya, Sasuke akan menikmati permainan piano Hinata sebagai sebuah lullaby yang menenangkan. Di lain kesempatan, Hinata akan menyisihkan waktunya untuk duduk di pinggir lapangan sambil menggenggam sebotol air mineral.
Seperti udara yang tak pernah terlihat eksistensinya, perasaan mereka juga berpendar pada rasa yang mengikat. Sasuke menginginkan Hinata, di sisi lain, Hinata tidak pernah menolak kehadiran Sasuke. Mereka jatuh cinta begitu saja, secara alami dan juga murni.
Ini adalah hari yang indah. Sasuke dan Hinata duduk berhadapan di teras minimarket yang menyediakan beberapa meja dengan dengan naungan payung parasol. Mereka saling memandang dan merayakan jatuh cinta yang alami. Di hadapan mereka tersaji dua buah cup ramen instan dan dua botol minuman kaleng. Mereka terlihat wajar seperti anak sekolahan pada umumnya, yang memilih singgah sebelum memutuskan untuk kembali ke rumah masing-masing.
"Aku ingin menampilkan permainan pianoku pada festival tahunan kali ini, tapi butuh keberanian yang cukup untuk berdiri di hadapan para pengunjung," ujar Hinata.
"Jika kau ingin melakukannya, maka aku yakin kau akan menampilkan yang terbaik, tapi kau tidak perlu memaksakan diri jika merasa tidak nyaman."
"Kurasa aku harus belajar lebih keras lagi. Aku butuh pengakuan," Hinata berucap pelan.
"Kau sudah mendapatkan pengakuanku," balas Sasuke dengan yakin.
Hinata tersenyum manis, hal yang paling ia sukai dari Sasuke adalah kejujurannya yang terasa murni.
"Besok, Sasuke ada latihan basket 'kan?"
"Ya, tapi aku tidak berniat mengikutinya."
"Jangan begitu, meskipun Sasuke-kun sudah memiliki kemampuan yang bagus, tetapi tidak boleh menyepelekan latihan."
"Kenapa?"
"Karena, latihan akan membuat permainan basketmu semakin terlatih."
"Kalau begitu, temani aku latihan."
"Hm?"
"Besok, tunggu aku."
Hinata mengangguk dengan pelan. Hinata ingin mengenali Sasuke lebih jauh. Ibarat angin, Hinata ingin berembus di sekitar Sasuke, menuju hatinya.
Di mata Hinata, Sasuke adalah sosok yang begitu baik. Terserah orang lain menganggapnya sebagai anak berandalan, urakan dengan rambut yang tak pernah terkesan rapi. Sebagai lelaki, Sasuke cukup sopan terhadap Hinata. Sasuke juga berusaha untuk melakukan sesuatu yang menyenangkan untuk membuat Hinata tidak kehilangan alasan untuk bersamanya. Bahasa verbal Sasuke memang terkesan sedikit dingin dan ketus saat berbicara dengan orang lain, tetapi orang lain itu tidak akan mendapat perhatian yang sama seperti yang ia berikan kepada Hinata.
Tubuh tinggi Sasuke menempatkannya sebagai kapten tim basket sekolah, berbeda dengan Hinata yang memiliki tubuh mungil dan pendek. Darah seni Hinata didapatkan dari ibunya yang seorang pianis terkenal. Tahun ini Hinata berencana berpartisipasi dalam pertunjukan seni tahunan. Ia ingin tampil di depan umum sebagai Hinata, bukan sebagai seorang putri pianis terkenal. Hinata butuh pengakuan, dan Sasuke yang pertama kali memberikan itu.
Sasuke menyesap minuman kaleng miliknya, sore hampir berlalu dengan bias-bias jingga di penghujung langit.
"Ayo pergi," ajak Sasuke kemudian. Hinata mengangguk seraya membereskan sisa makanan di hadapan mereka.
"Kita pergi ke mana lagi?" tanya Hinata.
"Kau mau ke mana?"
"Bagaimana kalau kita singgah ke toko buku? Ada komik yang baru terbit bulan ini," usul Hinata pada Sasuke.
"Boleh," jawab Sasuke kemudian.
Sejujurnya, Sasuke sangat jarang mengunjungi toko buku. Akan tetapi, kali ini ia mengalah dengan harapan bisa menikmati waktu lebih lama bersama Hinata.
Mereka berjalan beriringan, menatap langkah demi langkah dengan penuh hati-hati. Hinata merasa langkahnya begitu ringan, mudah lepas dan tak bisa ia hentikan begitu saja. Ia tahu, kenyataan ini terlalu menyenangkan untuknya. Hinata jatuh cinta pada Sasuke berulang kali, setiap melihat sepasang mata gelap itu, Hinata yakin bahwa inilah cinta yang diinginkannya.
Saat Sasuke mengusap dan menggenggam tangan Hinata, saat itu Hinata meyakinkan diri bahwa suatu saat tangan itulah yang akan menggenggam hatinya.
Saat Sasuke sedang sibuk mempersiapkan diri untuk pertandingan antar pelajar, saat itu juga Hinata menghabiskan waktu lebih banyak untuk berlatih piano. Mereka saling mendukung satu sama lain, meskipun waktu yang mereka lewatkan tidak sebanyak dulu.
Sasuke masih seperti semula, diam dan dingin. Hanya saja seseorang telah menggantikan tempat Hinata. Seorang perempuan yang menggenggam sebotol air mineral dengan handuk kecil di pangkuannya. Kebersamaan mereka terlihat dekat dalam sebuah hubungan yang jelas. Dialah Karin, perempuan dengan kesan cute yang ceria. Bersama Karin, Sasuke menemukan sesuatu yang tidak dimiliki Hinata. Sebuah kesempatan yang membuatnya merasa diinginkan, bukan hanya sekadar diterima. Keakrabannya dengan Karin membuat Hinata tersisih dengan mudah.
Sasuke mengabaikan tatapan terluka Hinata saat ia membiarkan Karin mengelap keringat di dahinya. Sebuah kesalahan yang kemudian Sasuke sesali dalam waktu yang panjang di kemudian hari. Sasuke tidak tau bagaimana cara membujuk perempuan, sedangkan Hinata tidak pernah menuntut penjelasan apapun dari Sasuke. Semuanya terlihat jelas sekarang.
Hinata menyadari bahwa Sasuke tidak sepenuh hati menginginkan dirinya, sementara Sasuke mengerti bahwa ia telah mematahkan kuncup harapan yang baru saja Hinata bangun atas dirinya.
Sasuke dan tim basketnya berhasil menjuarai pertandingan antar pelajar, sementara Hinata tidak pernah tampil pada festival seni tahunan. Tidak ada ucapan selamat, juga tidak ada pertanyaan kenapa Hinata mengundurkan diri. Mereka tetap berjalan pada jalur masing-masing meskipun tidak lagi beriringan.
Kemudian Hinata merelakan Sasuke dengan seseorang yang bukan dirinya. Hinata menarik diri seperti sedia kala, berteman dengan sepi yang telah lama terasa akrab dengannya. Mungkin seperti itulah akibat dari terlalu cepat menyimpulkan perasaan Sasuke yang masih abu-abu. Hinata berlalu bersama bayangan Sasuke yang masih melekat di benaknya, bersama doa-doa baik yang tak pernah terputus.
Hinata patah dan gugur bersama serpihan-serpihan harapan yang tidak pernah terwujud. Sementara Sasuke, dia tenggelam dalam kesunyian yang diam-diam datang menyergapnya. Mereka usai dan selesai begitu saja, tanpa kata perpisahan.
.
.
.
Lalu saat ini, pada sebuah lingkaran waktu yang terus berulang.
Sasuke melirik Hinata sejenak, lalu ia tersenyum. Tanpa menolak, Hinata membiarkan Sasuke menatapnya lebih dalam lagi sebagaimana seorang kekasih yang pertama kali dipertemukan.
Dengan saling berjalan memunggungi dan berlawanan tidak membuat mereka benar-benar berpisah.
"Aku bisa lupa terhadap apapun yang pernah lewat dalam hidupku. Aku telah bertemu dengan banyak orang untuk berpisah dengan mereka. Ada beberapa hal yang ikut bersama kepergian mereka, akan tetapi untukmu ... kau begitu melekat denganku, dengan hidupku."
Hinata tersenyum lembut. Mengusap jemari Sasuke yang berada di dalam genggamannya.
"Aku tidak menganggap patah hati sebagai sebuah kegagalan, Sasuke. Aku menyadari bahwa diriku telah mencintaimu dengan sungguh-sungguh, sepenuh hatiku. Aku mengetahui bagaimana rasanya patah, bukan hanya hatiku, akan tetapi juga semangatku. Aku lupa bagaimana cara tersenyum, lalu aku tersadar semua kebodohan yang terjadi itu karena aku terlalu mencintaimu."
Sasuke tidak lagi memikirkan kata-kata apa yang harus ia rangkai. Lengannya meraih Hinata, membawa gadis itu kembali ke dalam pelukannya. Ke dalam dekapan hatinya.
Tamat
kerja mulu kapan kaya.
