Summary: Semua yang ditinggalkan mendiang sang ayah adalah miliknya. Sampai pada akhirnya...


One Piece © Eiichiro Oda

Holy Orders © Viero D. Eclipse

Pairing: Ace x Luffy (AceLu)

Genre: Drama/Fantasy/Adventure/Mystery/Sci-Fi

Rated: T

Warning: AU, Shounen Ai, Referensi ilmiah fiktif, Padat deskripsi dan mungkin OOC?

Don't like? Don't read!


-Part 1-

Mansion

Ace hanya dapat terdiam dengan atensi yang terarah pada refleksi kaca jendela mobil yang ia tumpangi. Dengan air muka tak terdefinisi, puluhan persepsi terus berkutat dalam labirin nalarnya. Laju mobil yang begitu statis ternyata tak sanggup mengimbangi gusarnya genangan spekulasi yang dipendam pemuda itu. Di usianya yang sudah menginjak 22 tahun, ia pun dituntut untuk menentukan masa depannya sendiri.

South Blue.

Sudah lama ia tak melihat kota itu. Sebuah kota kelahiran yang ia tinggalkan saat berumur sepuluh tahun. Kini, blurnya dimensi nostalgia seakan menjadi sebuah panorama dalam otaknya bersamaan dengan laju perjalanannya. Kembalinya ia ke kota itu merupakan bagian dari awal hidupnya yang baru.

Kedua mata obsidian Ace kini terarah pada beberapa berkas dokumen yang terletak di samping kursinya. Berkas-berkas kepemilikan tanah, surat rumah (atau mungkin sebuah mansion?), dan beberapa surat hak kepemilikan lainnya, hanya akan menjadi kumpulan hal yang harus Ace pelajari secepatnya. Semua itu adalah bentuk simbolik dari peninggalan sang ayah. Gold Roger, bangsawan terkaya sekaligus seorang ilmuwan ternama se-South Blue telah pergi menuju dimensi firdaus dan meninggalkan semua yang ia miliki di dunia fana ini kepada sang putra.

Hanya dalam hitungan beberapa menit lagi, Gol D. Ace akan menjadi orang kaya. Tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa ia akan mewarisi seluruh kekayaan ayahnya. Baiklah, mungkin saat kecil, ia pernah merasakan menjadi anak dari seorang bangsawan. Namun di usia sepuluh tahun, insiden perceraian di antara kedua orang tuanya itu harus membuatnya terpuruk dalam dimensi kesederhanaan. Ia memilih tinggal dengan sang ibu, Portgas D. Rouge dan tak sedikitpun berpaling pada sang ayah. Bukan karena ia tak sayang pada sang ayah. Hanya saja sebagian waktunya telah didominasi oleh sang ibu. Ayahnya tak memiliki waktu untuk memikirkan keluarga. Salahkan gelar ilmuwan yang ia sandang itu.

Dan anehnya...

Sebenci-bencinya Ace dengan tahta ilmuwan -yang sudah membuat ayahnya tak mementingkan keluarga-, pemuda itupun ternyata mewarisi darah jenius ayahnya. Rangkaian prestasi gemilang terus mewarnai langkah pendidikannya. Hingga pada akhirnya, ia pun berhasil lulus dan diwisuda dari Universitas Grand Line dengan memenangkan tahta sebagai lulusan periset terbaik dalam durasi tahun yang tersingkat.

Dan Ace pun tak pernah memakai gelarnya untuk menjadi seorang ilmuwan seperti sang ayah. Beberapa ajakan kerja sama dalam penggarapan project penelitian bertaraf internasional yang pernah ditawarkan padanya selalu saja mendapat kilah penolakan. Pemuda itu tak terlalu berminat untuk mengoptimalkan anugerah kejeniusannya. Ia lebih memilih menjalani hidup sebagai orang biasa. Meski sang ibu telah lama pergi meninggalkannya karena kesempatannya untuk bernyawa telah habis, Ace pun masih saja tetap menyukai kesederhanaan yang ia lalui.

Karena mungkin, esensi dari sebuah kesederhanaan itulah yang merupakan peninggalan dari sang ibu kepadanya?

Ya. Mungkin saja seperti itu. Portgas D. Rouge tak pernah mengajarkan putranya untuk menjadi sebuah eksistensi yang arogan dan angkuh. Ketegaran, prinsip yang kuat dan menjadi apa adanya. Itulah sebuah pelajaran berharga yang sudah diturunkan sang ibu kepadanya. Ace tak akan pernah melupakan hal itu. Segenap aspek berharga itu akan selalu ia aplikasikan dalam hidupnya. Apapun yang terjadi.

Jadi, terkadang... tak mengherankan juga jika pemuda tampan yang berpenampilan sederhana itu tak terlalu mencolok perhatian masyarakat di sekitarnya. Siapa sangka seorang pemuda berusia 22 tahun yang selalu memakai topi cowboy berwarna oranye dengan serangkaian kemeja putih tak terkancing, celana hitam selutut dan memiliki tatto di lengan dan punggungnya itu, ternyata adalah seorang pemuda yang begitu jenius?

Sungguh, tak ada yang menyangka.

"Kita sudah tiba, Tuan Ace. Di depan mansion milik almarhum ayah Anda." Suara dari sang sopir pribadi telah berhasil membuyarkan lamunan Ace. Putra Gold Roger itu menganggukkan kepala dan lekas mengucapkan terima kasih. Yang mendapat ucapan terima kasih hanya tertawa pelan dan berkata bahwa ini sudah menjadi tugasnya. Ace hanya menggarukkan belakang kepalanya dengan hawa canggung. Ia sama sekali belum terbiasa untuk memiliki semua fasilitas ini. Sopir pribadi bahkan mobil pribadi ayahnya; yang kini sudah menjadi miliknya. Sungguh, ia masih belum terbiasa dengan semua itu.

Belum lagi dengan warisan selanjutnya.

Setelah mempersiapkan diri, pada akhirnya Ace pun lekas membuka pintu mobil dan bertumpu pada kedua kakinya untuk berdiri menghadap tampak depan mansion peninggalan sang ayah. Sebuah mansion yang begitu elit dan tak perlu diragukan lagi kemewahannya. Ace sudah mendengar rumor tentang mansion megah itu. Banyak orang bilang bahwa skala harga untuk menyewa ataupun membeli kompleks mansion milik ayahnya telah mencapai ratusan miliyar lebih. Hanya golongan bangsawan ataupun keluarga kerajaan yang konon bisa memiliki mansion tersebut. Di jaman modern seperti ini, mungkin orang yang bisa menjadi subtitusinya adalah golongan orang yang bertahta sebagai milioner ataupun pejabat pemerintahan.

Tak terkecuali dengan ayahnya yang merupakan ilmuwan.

Dengan background awal yang berasal dari keluarga bangsawan, almarhum ayahnya itu sudah bisa mendirikan kejayaannya sendiri.

"Sudah setahun semenjak ayah Anda meninggal, mansion ini tak pernah dijamah oleh siapapun. Jangan terkejut jika saat Anda masuk, keadaan mansionnya benar-benar begitu kotor dan tak terawat. Anda bisa menggunakan fasilitas cleaning service dari mendiang ayah Anda dulu, Tuan Ace. Saya memiliki daftar nomor telpon mereka." Sang sopir itu terlihat memberikan beberapa lembar kartu nama pada Ace. Pemuda bermata obsidian itu menautkan kedua alisnya. Menatap rentetan nomor telpon yang tertera di kartu itu.

"Jadi... mereka-mereka ini adalah mantan pengabdi ayahku dulu?"

"Benar. Mereka akan tetap mengabdi pada keluarga Anda sampai kapanpun juga." Ace menghela napasnya mendengar itu. Ia memang membutuhkan jasa cleaning service secepatnya. Belum lagi dengan panorama rumput-rumput liar yang mulai menjalar di sekitar pekarangan mansion. Jika hal itu dibiarkan begitu saja, bisa-bisa ratusan tanaman liar itu akan menjelma menjadi hutan.

Lekaslah pemuda itu membuka gerbang mansion. Dengan sang sopir yang berjalan di belakangnya seraya membawa barang bawaan Ace. Mereka berdua melangkah masuk dalam diam. Hingga suara tebasan pohon mulai terdengar, menghantam pendengaran mereka dengan nyaringnya. Sesosok figur pria tampak mengintervensi momen itu.

"Hei, siapa kau! Kenapa kau bisa masuk ke dalam kediaman almarhum Gold Roger!" Ace terhenyak. Pria yang sudah menghadang langkahnya tampak begitu marah. Rasa waspada semakin kental terasa tatkala interuptor itu terlihat membawa sebuah gergaji mesin di tangan kanannya. Situasi semakin bertambah genting. Beruntung kegentingan itu lekas dicairkan oleh sang sopir.

"Tenanglah, Jozu! Dia adalah putra dari Tuan Gold Roger."

"Apa maksudmu, Marco?" Jozu, seorang gardener di mansion itu, tampak skeptis dengan penjelasan Marco. Dan sang sopir pribadi hanya dapat menghela napasnya.

"Dia ini adalah Gol D. Ace. Putra dari Tuan Gold Roger sekaligus pewaris sah dari mansion ini."

"Ja-Jadi, dia adalah putra dari Tuan Gold Roger?" Jozu tampak terperangah untuk sesaat. Ace hanya menganggukkan kepalanya dengan singkat.

"Ah, iya. Aku adalah anak tunggal dari Gold Roger." Melihat keidentikkan entitas Ace dengan mantan atasannya itu membuat rasa percaya terpatri dalam diri Jozu. Lekaslah pria itu tertunduk di hadapan Ace untuk meminta maaf.

"Maafkan atas bentakan saya tadi, Tuan Ace. Saya benar-benar tidak tahu jika Anda adalah putra dari Tuan Gold Roger." Pernyataan itu membuat Ace tersenyum. Ia lega karena kesalahpahaman ini bisa terselesaikan dengan baik.

"Ah, tak apa-apa. Kecurigaan itu adalah hal yang sangat wajar. Aku bisa memakluminya," mendengar itu, sang gardener terkekeh pelan. Marco hanya tersenyum dan lekas melambaikan tangan pada Jozu.

"Sebaiknya kami harus segera memasuki mansion. Tolong kau hubungi beberapa pengabdi yang lain, Jozu. Tuan Ace sangat membutuhkan bala bantuan untuk membereskan mansionnya nanti."

"Baiklah. Aku mengerti, Marco."


~AxL~


Pengap. Penuh debu. Kotor. Berantakan.

Empat kata itu sungguh tepat untuk menggambarkan keadaan mansion saat ini. Ace hanya bisa terduduk diam di sebuah kursi sofa selagi menunggu beberapa pengabdi ayahnya untuk menyelesaikan tugas mereka dalam membersihkan beberapa ruangan yang kotor. Putra Gold Roger itu menghela napasnya. Ditatapnya keadaan sekeliling yang terbilang sangat luas itu.

Beberapa lukisan tua masih terlihat menghiasi sebagian besar dindingnya. Belum lagi dengan sebuah lampu besar dengan desain bernuansa eropa yang sudah tergantung tepat di atas atap ruang tamu. Sebuah televisi flat berukuran raksasa dengan teknologi holograpic juga terlihat di ruang santai. Beberapa koleksi globe berbagai ukuran, permainan asah otak dan kerajinan keramik imitasi yang berbentuk tabung reaksi, neraca dan sebagainya juga terlihat berjejer rapi di atas meja hias ayahnya.

Sungguh tak berubah.

Ya. Sang ayah memang tak pernah berubah. Semenjak Ace kecil, ia masih ingat dengan kebiasaan pria itu. Ayahnya selalu saja senang mengoleksi hal-hal kecil yang berhubungan dengan profesinya sebagai seorang ilmuwan. Mainan-mainan Ace saja pasti bentuknya berhubungan dengan alat-alat penelitian seperti mikroskop plastik, kaca pembesar, papan asah otak, puzzle ataupun sempoa. Sepertinya mainan-mainan itu masih tersimpan rapi di laci meja hias milik ayahnya. Hal itu tak perlu diragukan lagi.

Ingin melanjutkan observasinya lebih jauh, Ace pun beranjak dari sofanya dan segera berjalan menuju ke arah utara. Siluet ruang dapur yang berhubungan dengan pekarangan belakang mansion seakan membuat Ace tenggelam ke dalam dimensi masa lalu. Ia masih ingat dengan jelas saat sang ibu menggandeng erat tangannya untuk menuju dapur. Rouge menyuruhnya untuk duduk di kursi ruang makan sementara dia menyiapkan makan pagi untuk mereka. Dan Ace bahkan masih ingat dengan sang ayah yang selalu membantu beberapa gardener untuk memangkas rumput-rumput liar yang mulai tumbuh di pekarangan belakang mansion.

Semua itu hanyalah rajutan memori masa lalu yang tak akan pernah Ace lupakan.

Karena... mungkin hanya itulah satu-satunya momen kebersamaan keluarga yang terasa begitu hangat baginya. Setidaknya sebelum kedua orang tuanya memutuskan bercerai dan berpisah sampai ajal menjemput nyawa keduanya.

Tak terasa, kedua kaki Ace telah membawanya pada sebuah hamparan pintu yang cukup besar. Kedua alisnya bertaut saat melihat hal itu. Semenjak kecil, ia tak pernah melihat adanya sebuah ruangan dengan pintu yang sebesar ini di dalam mansion. Ataukah mungkin, ayahnya membangun ruangan ini setelah ia berpisah dengan ibunya?

'Sebaiknya aku masuk ke dalam.'

Penasaran, jemarinya pun mulai mendorong pintu itu perlahan-lahan. Rasa kurositas semakin membumbung tinggi dalam nalar Ace. Dan tak membutuhkan waktu lama baginya untuk mengetahui, ruangan apa itu sebenarnya.

"Perpustakaan?"

Dahi Ace berkerut serius. Ruangan itu ternyata adalah sebuah perpustakaan tua dengan ribuan buku yang tertata rapi di setiap raknya. Masuk ke dalam, hawa pengap kembali menerpa entitas Ace. Dan kedua obsidiannya bisa memastikan bahwa buku-buku yang ada di dalam perpustakaan itu ternyata didominasi dengan buku referensi untuk penelitian ayahnya sendiri. Sungguh realita yang tak mengherankan.

"Aku yakin, perpustakaan ayah adalah sebuah perpustakaan dengan koleksi buku ensiklopedia terlengkap di South Blue..." Ace bergumam sendiri di saat menatap koleksi buku ensiklopedia dengan berbagai bahasa milik ayahnya itu. Kedua obsidiannya lantas mengobservasi rak buku yang lainnya.

"Ilmu etimologi, filsafat, misteri psikologi, kumpulan konsep metodologi rancangan ayah, jurnal, konsep project DC-722 Arabasta, konsep project subtitusi bahan bakar di Barino Island?" meski hamparan debu menyamarkan cover bukunya, Ace masih dapat melihat dengan jelas judul-judul yang tertera di bagian tepi bukunya. Semakin lama, rak berisi buku-buku project milik ayahnya semakin mendominasi. Jemarinya lantas mengambil sebuah buku dengan sampul berwarna merah darah yang tampak mencolok di antara kumpulan buku yang lain.

"Holy... Orders?"

Dahi Ace berkerut serius menatap judul itu. Lekaslah ia buka buku itu dan melihat halaman pertama.

"Project CG-2185 AD, adalah sebuah project tersulit yang pernah kutangani dalam hidupku..." air muka Ace bertransisi lebih serius dari sebelumnya. Jemarinya lantas meraih sebuah kursi di dekat meja perpustakaan dan ia pun mendudukkan diri sejenak di sana. Membaca dengan seksama buku itu.

"Sudah hampir sebulan setelah orang-orang itu memberiku project ini. Aku masih belum berhasil menemukan sebuah cara untuk membuatnya menjadi hidup."

Dahi Ace semakin berkerut membaca tulisan itu. 'Buku ini sepertinya ditulis oleh ayah...'

"Orang-orang itu terus memohon padaku untuk menyelesaikan project ini. Era mereka telah mengalami sebuah krisis yang begitu besar. Aku tak pernah menyangka bahwa dimensi futuristik akan menjadi sebuah mimpi buruk bagi segenap umat manusia. Sejatinya, aku berpikir, apakah masa depan bisa diubah dengan project ini? Ini adalah project yang rumit dan sangat tidak realistis jika diserahkan padaku..."

Lama-lama Ace mulai bosan membaca rangkaian kalimat monoton itu. Ia sungguh tak mengerti dengan subtansi yang dimaksud ayahnya. Jemarinya secara refleks telah membuka pertengahan halaman. Dan nalarnya menyuruh untuk membaca secara skimming. Ada satu paragraf yang sukses menarik atensinya secara penuh.

"Aku sedikit menemukan titik terang hari ini. Project itu sepertinya memiliki link dengan keturunanku. Aku tak mengerti, mengapa ia bisa membentuk jaringan link dengan pewaris darahku. Apakah ini sebab mengapa orang-orang itu menyerahkan project ini padaku?"

"Keturunan?" persepsi Ace seakan tersentak membaca itu. Kedua obsidiannya membelalak secara mendadak. Tulisan itu membuatnya skeptis. Keturunan? Sebenarnya ada apa ini?

'Apa yang ayah maksud, keturunannya itu adalah... aku?' enigma ini semakin membingungkan untuk Ace. Sebenarnya project apa yang sudah diceritakan ayahnya di buku ini? Rasa curiga semakin mengombang-ambingkan nalarnya. Pemuda itu lekas membuka lembaran terakhir buku ayahnya dan kembali menautkan alisnya dengan rentetan kalimat yang tertera di sana.

"Dia masih tersimpan di sana. Di dalam tabung kaca berisi cairan life fluid. Beberapa selang penyambung nutrisi dan life string untuk pemberi stimulus sistem motorik maupun sensorik di dalam tubuhnya juga tidak kulepaskan sama sekali. Aku percaya bahwa kelak project ini akan hidup. Meski aku akan menghembuskan napasku dalam waktu dekat, takdir pasti akan mempertemukan dia dengan keturunanku. Dan keturunanku yang akan menghidupkan project ini. Aku percaya itu..."

Hening.

Ace membisu bersamaan dengan ditutupnya buku itu. Semua ini sungguh semakin membingungkan saja. Tak ada titik terang sedikitpun yang bisa digali oleh kuasa rasio. Dua belas tahun ia berpisah dengan ayahnya sungguh tak membantu sama sekali. Ia tak pernah tahu dan tak pernah ikut campur dengan apa yang sudah dilakukan oleh sang ayah semasa hidupnya. Tak pernah terbersit sedikitpun dalam nalarnya bahwa sejarah yang diguratkan oleh seorang Gold Roger bisa menjadi semisterius ini.

"Aku tak akan pernah mengerti dengan apa yang dipikirkan ayah..." pemuda penyandang nama D itu hanya dapat menghela napas pasrah. Kepalanya semakin terasa berat. Bayangkan saja. Ia sudah tiba di mansion ini dan lalu semua teka-teki membingungkan ini terjabar begitu saja di hadapannya. Tanpa adanya sedikitpun pencerahan sama sekali. Semakin dipikirkan, rasa linglung semakin menghantam Ace. Lekas ia letakkan kembali buku itu ke dalam rak dan ia pun menopang dahinya.

"Sebaiknya aku mempelajari hal ini besok saja. Aku terlalu lelah untuk berpikir..."

Dengan langkah yang sedikit gontai, Ace pun segera berlalu untuk menuju pintu keluar. Padatnya hamparan debu yang menyelubungi perpustakaan itu membuat Ace sesekali terbatuk. Mengibaskan tangan. Hanya itu yang bisa dilakukan olehnya.

"U-Uhukk! Sebaiknya aku segera keluar dari sini-"

KRATAAKKK!

Suara benda terjatuh dari atas meja. Ace tak menyadari bahwa siku lengannya telah melibas benda tersebut. Sebuah asbak. Dahi Ace berkerut melihat itu. Segeralah ia ambil asbak itu dan meletakkannya kembali ke atas meja. Secarik kertas yang terselip pada ukiran asbak itu berhasil menarik atensi Ace.

"Kertas ini... kertas apa ya?" tak biasanya ada kertas yang terselip pada ukiran asbak. Kecuali... jika kertas itu memang sengaja diselipkan oleh seseorang. Skeptis, Ace mulai menarik kertas itu dan membuka lipatannya secara perlahan. Kedua obsidiannya terbelalak lebar di saat melihat beberapa tulisan tangan yang tertera di kertas itu. Degup jantungnya seakan berhenti berdetak.

"Ace, pergilah ke rak buku yang paling sudut di dalam perpustakaan ini. Doronglah rak itu ke samping. Kau akan tahu kebenaran yang sebenarnya."

'Ini... tulisan ayah?' Ace terperangah melihat itu. Pesan itu ditulis seakan-akan orang yang menulisnya tahu bahwa Ace akan melalui semua kejadian ini. Rasa begidik mengguyur Ace. Semua ini sungguh terasa semakin ganjil.

"Sebaiknya aku turuti saja pesan ini..." mencoba mencari rak yang dimaksud, kedua obsidian Ace kini tertuju pada sudut ruang perpustakaan. Hanya ada satu rak di sudut itu. Dengan perasaan waspada, segera ia hampiri rak itu dan mencoba mendorongnya ke samping.

"Kebenaran? Sebenarnya kebenaran apa yang ayah maksud? Ugh!" Dengan susah payah, Ace terus mendorong rak buku itu ke samping. Perlahan namun pasti, sebuah ruang kosong tampak membentangkan siluetnya dengan begitu nyata. Ace terperanjat menatap itu. Di balik rak ternyata ada sebuah ruangan rahasia yang begitu gelap tanpa cahaya penerangan apapun.

"Ru-Ruangan apa ini?" detak jantung Ace berpacu dengan cepatnya. Ia memberanikan diri untuk melangkahkan kaki dan masuk ke dalam ruangan gelap itu. Yang terbersit dalam benaknya hanya satu.

"Pasti ada saklar lampu di sekitar sini. Aku harus mencarinya."

Jemarinya terus meraba hamparan dinding. Ace hanya bisa memercayakan daya akomodasi matanya yang mulai beradaptasi dengan gelapnya ruangan itu. Berkas cahaya lampu dari ruang perpustakaan utama menjadi modal Ace untuk terus melangkah masuk ke dalam. Pemuda itu terus meraba hamparan dinding. Hingga pada akhirnya...

"Yes! Ketemu! Ini pasti saklar lampunya!"

KLAP!

Tanpa berbasa-basi lebih lanjut, Ace langsung saja menyalakan saklar lampu itu secepat mungkin. Terangnya cahaya lampu yang berpijar membuatnya memejamkan mata untuk sesaat. Sedikit merasakan efek kaget dalam akomodasi matanya, ia mencoba membuka indera penglihatannya secara perlahan-lahan.

"I-Ini 'kan ruang... laboratorium?"

Syok.

Tak pernah terbayangkan oleh Ace sebelumnya bahwa sang ayah ternyata memiliki ruang laboratorium di balik rak buku dalam perpustakaannya seperti ini. Masih dengan rasa syok, telah ia perhatikan laboratorium itu dengan seksama. Beberapa tabung kaca berukuran besar dengan tinggi rata-rata dua meter, terlihat berdiri angkuh tepat di tengah altar laboratorium. Pemuda itu melangkahkan kakinya secara perlahan-lahan. Menghampiri satu tabung kaca itu sebagai bahan observasi.

"Cairan di dalam tabung ini... adalah life fluid." Sungguh tak salah lagi. Ace yakin bahwa konklusinya benar. Cairan bening berwarna kebiruan yang ada di dalam tabung itu benar-benar merupakan cairan life fluid. Sebuah cairan kimia yang biasa digunakan dalam penelitian tertentu dan memiliki khasiat untuk menyembuhkan berbagai luka dan melancarkan peredaran darah. Cairan itu juga mampu menjaga kestabilitasan jaringan dan sistem kinerja organ tubuh manusia. Saat ia kuliah dulu, ia pernah mempelajari campuran senyawa untuk pembuatan life fluid. Namun, yang membuat Ace heran adalah...

"Life fluid ini sedikit berbeda dari life fluid pada umumnya. Biasanya warnanya agak kehijauan. Tapi life fluid dalam tabung ini justru kebiruan. Sebenarnya, ini cairan life fluid jenis apa? Aku belum pernah melihat yang seperti ini sebelumnya." Rasa skeptis kembali menjalar dalam penalaran Ace. Penemuannya itu benar-benar begitu janggal. Tiga buah tabung kaca yang ia lihat, seluruh life fluid-nya berwarna kebiruan. Ace yakin, ini pasti salah satu penemuan yang dihasilkan oleh ayahnya.

"Aku sungguh penasaran, bagaimana ayah meracik formula untuk membuat life fluid semacam ini? Dan apa saja fungsinya? Sepertinya, life fluid jenis ini lebih banyak khasiatnya jika dibandingkan dengan life fluid biasa..."

Naluri ilmuwan dalam diri Ace seakan bangkit. Mencoba membendung rasa kurositasnya, ia pun lekas melangkahkan kakinya untuk berjalan menyusuri areal tengah altar laboratorium. Puluhan tabung kaca itu masih terus menjadi panoramanya. "Sebenarnya penelitian apa yang ayah kerjakan dalam laboratorium ini hingga ia memiliki tabung kaca berisi life fluid sebanyak ini? Apakah penelitian yang ia kerjakan berhubungan dengan subyek makhluk hidup?"

Sebongkah mesin kontrol dan beberapa ranjang dengan perangkat pemicu jantung telah menjadi pemandangan Ace saat ini. Sebuah alat reaktor canggih untuk menstimulus sistem motorik maupun sensorik dalam struktur tubuh manusia juga tampak hadir di sana. Berbagai selang infus dan kabel-kabel dengan milimeter yang kecil terlihat melilit sebuah obyek dalam suatu tabung kaca. Ya. Sebuah tabung kaca yang lagi-lagi berisi cairan life fluid biru yang terletak di dekat mesin kontrol paling ujung. Kedua alis Ace bertaut melihat hal itu.

"Sepertinya ada sesuatu di dalam tabung itu?" penasaran, ia pun mencoba untuk mendekati tabung itu perlahan-lahan. Obyek yang ada di dalam tabung itu semakin nyata saja entitasnya. Dan debaran jantung Ace seakan berhenti berdetak tatkala realitas telah terungkap.

Sesosok manusia atau lebih tepatnya seorang pemuda...

Telah terlihat berada di dalam tabung berisi life fluid itu.

Berdiri tegap... dengan kedua mata yang terpejam rapat.

Kedua mata Ace membelalak lebar. Ia begitu syok. Parasnya memucat. Mulutnya menganga secara refleks. Seakan tak percaya dengan apa yang ia lihat.

'A-Ada manusia! Kenapa bisa ada manusia di dalam tabung ini?'

Sekujur tubuh Ace mulai gemetaran. Mansion ayahnya tak terjamah selama setahun lebih. Otomatis, keberadaan laboratorium ini juga pasti tak akan diketahui oleh siapapun. Dan secara mengejutkan, ia menemukan sesosok pemuda di dalam tabung life fluid milik ayahnya? Apa-apaan ini?

Mencoba mengendalikan rasa takut dan kecemasannya, Ace kembali memperhatikan figur yang ada di dalam tabung kaca itu dengan seksama. Figur pemuda berwajah lugu, berambut raven dengan goresan luka di bawah mata kirinya itu tak menunjukkan reaksi apapun. Tetap terdiam dengan kedua mata terpejam rapat bagai mayat yang sudah tak bernyawa. Balutan kain putih tampak membelit tubuhnya yang kurus. Beberapa selang pengisi nutrisi dan kabel life string tampak terhubung di sekujur tubuh pemuda itu. Ace sungguh terhenyak.

"A-Anak ini tak mungkin hidup! Jangan-jangan ia adalah mayat yang diawetkan oleh ayah?" persepsi negatif terus saja meracuki nalar putra Gold Roger itu. Jelas saja Ace berpikir demikian. Manusia membutuhkan makan dan minum untuk dapat bertahan hidup. Dipendam dalam cairan life fluid seperti ini tak akan mungkin bisa untuk mempertahankan sebuah nyawa. Apalagi mansion ini sudah tak terjamah selama setahun. Sungguh mustahil pemuda ini bisa hidup hanya dengan berada di dalam tabung life fluid seperti ini, bukan?

Tapi permasalahannya sekarang adalah... life fluid yang digunakan ayahnya sungguh berbeda dengan life fluid biasa.

Life fluid biru ini... Ace mulai menyimpan spekulasi lain. Atensinya lantas tertuju pada kabel life string yang sudah tampak tersambung pada monitor pendeteksi denyut nadi. Tak ada denyut nadi yang terdeteksi di sana. Seingin-inginnya Ace untuk mengubah keadaan, sejatinya ia mulai bingung dalam memilih realita itu sendiri. Sebenarnya apa yang lebih buruk?

Mendapati mayat seorang pemuda dalam tabung life fluid milik ayahnya yang sudah tak terjamah selama bertahun-tahun ataukah mendapati seorang pemuda yang ternyata masih hidup di dalam life fluid tapi dalam keadaan tak sadar?

Tak ada opsi terbaik yang bisa dipilih. Semuanya sama-sama menyeramkan.

"Sepertinya pemuda ini sudah mati. Tak ada denyut nadi yang terdeteksi pada monitor." Ace bertopang dagu untuk sesaat. Ia sungguh tak habis pikir dengan semua ini. Sebenarnya project apa yang sudah dijalankan oleh ayahnya? Menjadikan manusia sebagai project penelitian merupakan hal yang sangat ilegal di mata dunia. Dan kenapa ayahnya melakukan semua ini?

"Aku tak bisa membiarkan mayat pemuda itu terus berada di dalam tabung life fluid seperti ini. Aku harus segera mengeluarkannya dan menguburkannya di tempat yang layak." Sebuah keputusan terbentuk dengan kuatnya. Ace harus segera membenahi semua kejanggalan ini. Mungkin saja ayahnya meninggal dalam keadaan tak sempat untuk membenahii mayat pemuda dalam eksperimennya itu. Ya, probabilitas itu mungkin saja terjadi.

Dan di saat Ace hendak melangkah maju untuk mendekati tabung itu...

Sesuatu yang mengejutkan pun terjadi.

Titt!

...

Hening.

Langkah Ace terhenti. Kedua obsidiannya kembali membelalak dengan lebar. Ia terhenyak.

Titt!

"Su-Suara itu..."

Atensinya kembali terarah pada monitor. Dan alangkah terkejutnya Ace saat monitor itu mulai menunjukkan sebuah reaksi adanya denyut nadi dalam diri pemuda misterius itu. Nadinya berdenyut dua kali dalam satu menit. Sebuah denyut nadi tak realistis untuk manusia normal. Tapi denyut nadi itu sudah menjadi bukti yang cukup kuat bahwa pemuda yang ada di dalam tabung kaca life fluid itu masih hidup. Rasa begidik kembali mengguyur benak Ace. Ini sungguh tidak mungkin.

'Ba-Bagaimana bisa pemuda ini bertahan hidup selama bertahun-tahun di dalam tabung life fluid? Apa dia sedang berada dalam keadaan koma?'

Mencengangkan.

Dalam 22 tahun hidupnya, Ace tak pernah menyangka bahwa ia akan menghadapi semua ini. Ia hanyalah sesosok insan yang terjebak dalam jalan takdir berliku penuh enigma. Dua belas tahun ia hidup secara sederhana bersama ibunya. Dan sekarang? Ia harus terjerumus dalam situasi ini. Ke dalam situasi yang membuatnya terombang-ambing dalam gelapnya labirin misteri. Kapasitas nalar seakan tak sanggup untuk mencapai konklusi pemecahan. Rangkaian tulisan tangan ayahnya dalam kitab "Holy Orders" itu kembali terngiang di benaknya.

"Dia masih tersimpan di sana. Di dalam tabung kaca berisi cairan life fluid. Beberapa selang penyambung nutrisi dan life string untuk pemberi stimulus sistem motorik maupun sensorik di dalam tubuhnya juga tidak kulepaskan sama sekali. Aku percaya bahwa kelak project ini akan hidup. Meski aku akan menghembuskan napasku dalam waktu dekat, takdir pasti akan mempertemukan dia dengan keturunanku. Dan keturunanku yang akan menghidupkan project ini. Aku percaya itu..."

...

Hening.

Pandangan Ace seakan nanar. Sungguh tak salah lagi. Sepertinya project yang dimaksudkan dalam buku itu adalah project yang saat ini ada di depan kedua matanya. Sebuah project dimana keturunan Gold Roger harus melanjutkannya. Semua misteri ini mulai menemui titik terang.

"Apakah ayah sengaja mewariskan semua peninggalannya padaku agar aku bisa menemukan dan melanjutkan project-nya ini?"

Spekulasi itu memiliki peluang yang cukup besar. Dengan kejeniusan yang diturunkan Gold Roger kepada Ace, sudah pasti ilmuwan itu akan percaya pada putranya sendiri. Project ini... sebuah project misterius dengan orientasi yang masih belum jelas arahnya...

Secarik kertas yang dilipat rapi tampak terselip di sela-sela mesin kontrol. Ace menautkan kedua alisnya melihat itu. Skeptis, jemarinya mengambil kertas itu dan membuka lipatannya secara perlahan-lahan. Dan sekujur tubuhnya bergeming dalam buliran kegentaran saat satu pesan mutlak telah terpapar di kertas itu dan meresap ke dalam otaknya.

Holy Orders, Project CG-2185 AD.

Subject Name: Monkey D. Luffy. 19th (Not Aging since 2185 AD)

First Founder: Gold Roger.

Progress: Still not active.

This project will be continued by my descendant. My son... Gol D. Ace.

TBC


A/N: Hahaha! Saya yakin kalo fic ini beneran saya lanjutkan, pasti hutang fic MinaNaru saya di FNI bakalan terbengkalai semua xD #Plaks. Seperti biasa. Penyakit lama mendadak kumat di saat hutang fic multichapter saya masih numpuk. Saya malah nambah hutang lagi dengan fic ini. #Orz. Peluang nih fic bakalan berlanjut sangat kecil (Kalau gitu ngapain dipublish?) Saya cuman pengen memuaskan hasrat saya untuk bikin fic yang genre yang sedikit menguras otak. Udah lama saya gak bikin fic dengan genre begini semenjak masih singgah di Fandom YGO dulu.

Banyak referensi yang saya gunakan di sini. Baik dari game, anime, maupun fic YGO saya terdahulu. Judul fic ini juga saya comot dari sebuah judul lagu dari OST game Guilty Gear *Lagi keranjingan ama OST game ini*

Untuk sekarang, nih fic saya biarkan dulu. Saya masih pengen namatin Undercover Rockstar. Kalau ada yang tertarik fic ini berlanjut ya saya senang. Kalau gak ada yang mau ya gak masalah. Ini cuman bentuk pelampiasan hasrat aja.

Mind to REVIEW?